Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 31 - Last Night

Keluarga Park adalah keluarga yang hangat dan sangat terbuka, terlebih pada 3 anak kebanggan mereka. Sebagai orang tua, Tuan dan Nyonya Park sangat menghargai pendapat ataupun keinginan ketiganya. Menjadi orang tua tidak serta merta menjadikan mereka berdua sebagai Sang Maha Benar dalam tatanan keluarga. Terlebih ketika ketiga anaknya beranjak dewasa, mereka lebih menempatkan diri sebagai konselor.

Dalam permasalahan yang dihadapi Chanyeol, Tuan dan Nyonya Park pun tidak menghakimi putra bungsunya. Tentunya ada harapan, Chanyeol memiliki alasan yang rasional atas tindakannya.

"Sungguh hanya ingin menolong Jiwon?" tanya Nyonya Park yang tak ingin absen dari diskusi dengan putranya sekalipun sedang sakit.

Chanyeol menunduk dalam.

Yoona sebagai anak perempuan yang paling dekat dengan Chanyeol pun turut mendengar penjelasan adiknya. Apalagi, ia yang sudah mencium kejanggalan semenjak kedatangan Gayoung di Busan. "Hanya menolong sampai jauh-jauh ke Daejeon?"

Chanyeol menatap kakak perempuannya serius dan menjawab, "Ya, aku panik saat mendengar Jiwon terluka dan seorang diri. Aku khawatir. Dia tak punya siapa-siapa."

"Kalau Eomma tak sakit, kau tetap akan pulang?" tanya Yoona lagi.

"... Entahlah."

Pertanyaan Yoona sedikit banyak menyudutkan Chanyeol. Namun, gadis itu sendiri pernah berada di posisi dikhianati. Ia sangat paham pertanyaan apa yang tepat dilayangkan.

"Kita di sini tidak untuk menghakimi adikmu, Yoona. Kita perlu penjelasan sebagai keluarganya. Tentunya dalam ruang lingkup kita," tukas Chanyeol Appa menetralisir.

Chanyeol tersenyum miris. Pria itu menatap anggota keluarganya bergantian, mencari dukungan akan sikap yang diambilnya.

"Apakah hubunganmu dengan Gayoung sebelum Jiwon menghubungi baik-baik saja?" tanya sang Appa mencoba mencari titik terang.

"Kami ... masih berproses. Terkadang kami bertengkar, tapi kami akan berbaikan lagi. Semua pasti bisa diperbaiki."

Yoona melayangkan tatapan ketusnya. "Ini yang salah dari cara pikirmu. Cara pikir laki-laki muda sekarang. Setiap masalah bisa diselesaikan jadi selalu membuat masalah. Kau pikir istrimu itu apa? Malaikat?"

Appa menggeleng samar mendengar penuturan anak perempuannya yang terbilang frontal di hadapan keluarganya.

"Suami istri itu wajar bertengkar kecil. Justru, itu adalah proses untuk saling mengenal satu sama lain. Betul kata Chanyeol. Asalkan bisa diselesaikan yang artinya bisa dibicarakan bersama. Menyimpan permasalahan atau bibit masalah itu yang bahaya. Bisa meledak di waktu yang tidak terduga," jelas Appa bijak karena tidak ada satupun pernikahan yang sempurna di dunia ini.

Chanyeol mendesah keras dan lantas berkata jujur, "Mau bagaimana lagi. Jelas aku yang salah dalam hal ini. Aku tak akan membela diri. Mungkin sedikit terlambat, menjadi terbuka pada Gayoung."

Yoona tersenyum sinis. Ia sama sekali tak menunjukkan keberpihakannya pada sang Adik.

"Yang terpenting kau sadar. Kita akan bicarakan ini dengan Keluarga Moon karena sekarang bukan lagi urusan Chanyeol dan Gayoung. Nyonya Moon sudah terlibat, setidaknya kita harus menenangkan beliau," tenang Eomma dengan senyum tulusnya.

Chanyeol merasa beruntung, ia memiliki kedua orang tua yang sangat memahaminya.

***

Hari ini rumah orang tua Gayoung terasa begitu dingin. Bukan karena memasuki musim gugur ataupun penghangat yang tak berfungsi. Insiden di rumah sakit kemarin sudah menjadi rahasia umum di penjuru rumah. Tak seorang pun melewatkan kabar ini karena amarah Nyonya Moon yang meledak-ledak sesampainya di rumah, bahkan sebelum turun dari mobil.

Gayoung dan keluarganya berkumpul di meja makan, tanpa percakapan akrab yang biasa menjadi rutinitas. Hanya ada dentingan sendok dan piring yang sesekali terdengar.

"Bisa kalian tinggalkan Noona kalian bersama kami," ucap Gayoung Appa dengan tenang setelah keempat anak dan istrinya menyelesaikan sendok terakhir. Pria itu hanya sebentar mengizinkan ketiga anaknya beranjak dan asisten rumah tangga untuk membersihkan sisa makanan di atas meja.

Jaehyun menatap sang Noona dalam ketika akan meninggalkan ruang makan. Seolah mengingatkan Gayoung untuk tak melupakan peringatannya. Kemudian, Nyonya Moon memastikan semua pintu terkunci sebelum mengisyaratkan suaminya untuk mulai bicara.

"Tadi, Keluarga Park menghubungi kami untuk meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi dari sudut pandang mereka. Tapi, Appa perlu memastikan padamu. Benar wanita itu hanya mantan kekasih suamimu?"

"..."

Mendapati Gayoung yang tak segera menjawab, Nyonya Moon merasa anak gadisnya masih tertekan. Meskipun dadanya sendiri kembang-kempis mengingat kejadian kemarin, ia tak sampai hati ikut meledak lagi di ruangan ini. "Aku percaya pada Nyonya Park. Ibu menantu kita sudah mengkonfirmasi itu."

"Betul, Jiwon Sunbae adalah mantan kekasih Sunbae. Mereka sudah lama putus," jelas Gayoung pada akhirnya.

"Kalau dari cerita Eomma-mu, wanita itu tidak memedulikan status. Appa tidak bermaksud mengintervensi, kau sudah dewasa. Sebagai orang terdekatmu, Appa ingin tahu posisimu, apa selama kalian menikah, Chanyeol masih berhubungan dengan wanita itu?"

"Aku tidak tahu."

"Astaga," keluh Gayoung Eomma seraya memijat pelipisnya. Kalau saja Gayoung bicara tidak, mungkin ia bisa kembali bernapas lega. Tidak tahu sama halnya dengan mengatakan ada kemungkinan putrinya diduakan selama pernikahan mereka. "Eomma menyesal sudah menyarankan pernikahan kalian. Seharusnya Eomma lebih sabar untuk mencarikan pria yang lebih baik."

"Bukan begitu, Chanyeol Sunbae memperlakukanku dengan baik. Yang aku tidak tahu, apakah mereka masih berhubungan selama kami di Toulouse karena aku tak pernah melihat keduanya berkirim pesan ataupun menelpon," jelas Gayoung menahan diri. Tak henti merutuki keberanian Jiwon untuk mengacaukan hubungannya dengan Chanyeol. Bahkan, hubungan Keluarga Moon dan Keluarga Park.

"Memperlakukanmu dengan baik? Tapi ... kenapa sampai ada obat penenang lagi di mejamu, Gayoung-ie?" selidik Eomma mengutip informasi yang Jaehyun dapatkan di kamar Gayoung.

Gayoung tersentak, ia menatap kedua orang tuanya bergantian. "Oh, itu. Memang Perancis sangat berisiko untuk kesehatanku. Seperti yang Eomma dan Appa tahu sejak awal, tapi Sunbae menjagaku. Ia menemaniku untuk berkonsultasi dengan dokter untuk mengatasi gejalaku."

"Lalu, sekarang bagaimana? Benar 'kan kata Eomma dulu. Seharusnya kau kuliah saja di Korea. Tidak perlu jauh-jauh terbang ke Perancis."

"Eomma ... tolong jangan ungkit-ungkit. Pengobatan justru sangat membantuku. Tidak mungkin selamanya aku lari," jelas Gayoung tak ingin mengkhawatirkan kedua orang tuanya.

Eomma tampak gusar, ada penuturan Gayoung yang tak bisa dipercayanya. "Baik. Tapi, Chanyeol, benar-benar mendampingimu 'kan?"

Gayoung mengangguk yakin. Setidaknya, setelah pria itu tahu kondisinya dan sebelum Jiwon hadir di antara mereka.

Appa menatap Gayoung serius. Cerita istrinya tentu membuatnya berpikir kalau Chanyeol sudah mengkhianati kepercayaannya. Namun, mendengar Gayoung sendiri mengatakan bahwa ia tak pernah melihat Chanyeol berhubungan dengan Jiwon dan selalu mendampingi putrinya di negeri orang, ia percaya ini adalah bagian masa lalu yang mungkin bersemi kembali.

"Semua, Appa kembalikan padamu, Gayoung-ie. Tidak ada salahnya kau bicara dengan Chanyeol tentang hubungan kalian. Kalau rumah tanggamu memang masih bisa diselamatkan, kau harus memperjuangkannya. Tapi, kalau memang tidak ada harapan untuk kalian, sebaiknya akhiri sebelum semua terlambat."

Tak sependapat dengan suaminya, Nyonya Park angkat bicara, "Satu saja pesan Eomma. Sekali seseorang berkhianat, selamanya dia tak layak dipercaya. Kau harus belajar dari Imo-mu."

"Semua kembali pada Gayoung. Kami percaya padamu, Nak," tutur sang Appa.

Gayoung mengangguk mengerti, ia sudah tahu jawabannya sejak dulu. Semua kejadian yang dialami ataupun ucapan orang tuanya hanya memperkuat alasan bahwa keputusannya tak akan pernah salah.

***

Chanyeol masih menemani Eomma di rumah sakit. Rasanya begitu sedih melihat tawa bahagia yang selama ini menjadi pemandangan favoritnya, tak lagi tampak di wajah ibunya.

"Kapan kau akan mengunjungi Keluarga Moon?" tanya Eomma khawatir.

Tangan Chanyeol berhenti mengupas apel. Pria itu beralih melihat ibunya dan menjawab, "Aku sudah menghubungi Gayoung. Hari ini kami belum bisa bertemu. Gayoung mengajak kami untuk bertemu besok."

Ia menyadari bahwa Gayoung memerlukan waktu untuk menenangkan diri setelah keributan yang terjadi kemarin. Tentu, keluarga gadis itu memberondongnya dengan banyak pertanyaan, tapi Chanyeol percaya, Gayoung mampu menyelesaikannya sampai mereka kembali bersama.

"Syukurlah. Gayoung mau bertemu denganmu, berarti masih ada harapan."

Chanyeol tersenyum samar. "Gayoung pasti kesal, tapi aku yakin kalau ia akan percaya padaku. Kami sudah sangat mengenal satu sama lain dan aku nyaman bersamanya."

"Nyaman saja? Memang kau tak mencintainya?"

Tubuh Chanyeol membeku beberapa saat, meresapi pertanyaan ibunya. Ketika sadar, refleks ia menyodorkan potongan apel pada ibunya.

Pria itu mulai bicara ketika Chanyeol Eomma menyantap apel hijau potongannya. "Jujur. Aku tidak tahu, Eomma. Bukankah terlalu cepat jatuh cinta dengan waktu yang terbilang singkat dan masa lalu kami. Kurasa, nyaman adalah kata yang paling tepat. Kami tidak langsung mengerti satu sama lain, tapi kami selalu berusaha memahami."

Eomma menatap manik mata Chanyeol mencari kejujuran dalam pandangan anak bungsunya. Ia tahu, hubungan putranya dengan Jiwon meninggalkan luka yang begitu dalam. Pantas, sulit bagi putranya untuk jatuh hati kembali. Ya, asalkan sekarang Chanyeol mengerti makna tanggung jawab, semua sudah cukup.

Drt drt drt.

"Sebentar ada telepon," izin Chanyeol ketika sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

"Gayoung?"

Chanyeol menggeleng samar. Raut wajahnya menyiratkan hal yang sebenarnya tak ingin didengar ibunya.

"Di sini saja. Eomma ingin dengar."

Sebagai anak yang begitu berbakti, tak mudah bagi Chanyeol menolak permintaan ibunya. Pria itu batal beranjak dan duduk kembali di samping Eomma. Sekalipun melibatkan ibunya dalam percakapan nanti, ia tak masalah.

"Chan," terdengar jelas suara Jiwon karena Chanyeol menekan tombol loudspeaker.

"Jiwon-ie."

Suara Jiwon terdengar parau, seperti habis menangis. "Maafkan sikapku kemarin. Aku tahu, aku terlalu mendesakmu. Tapi, satu hal yang harus kau tahu. Aku jujur."

Wajah Eomma dingin. Wanita itu terlihat tak suka mendengarnya. Jiwon berani bicara seperti itu pada pria yang pernah dicampakkan dan sudah menjadi milik orang. Menurutnya, anaknya tak punya kewajiban apapun pada wanita itu. Atau mungkin, untuk sekedar membantunya.

"Bagaimana kondisimu? Dohee merawatmu dengan baik 'kan?" respon Chanyeol dengan nada cemas.

Terdengar tawa hambar Jiwon. "Begitulah. Tapi ... Aku kembali dirawat. Kupikir, Nyonya gila itu cukup keras memukul punggungku."

Chanyeol mendesah keras. Mau keluarganya memperingatkan apapun, tidak semudah itu ia mengabaikan Jiwon.

"Dohee sudah kembali bekerja jadi aku sendirian di rumah sakit. Kau bisa menemaniku 'kan? Atau, kita bicara saja sampai Dohee datang?" ajak Jiwon dengan nada penuh harap.

Tanpa peringatan, Eomma menekan tombol merah di ponsel Chanyeol. Menyisakan tatapan terkejut putranya.

"Bilang saja nanti, Eomma ada di dekatmu jadi kau tak bisa bicara dengannya."

Drt drt drt.

Sebelum sempat Chanyeol mengangkatnya, telunjuk Eomma kembali mematikan ponsel Chanyeol. Wanita tua itu menatap putranya penuh kesungguhan. Tatapan yang sangat jarang ditunjukkannya.

"Eomma, tidak begitu caranya. Jiwon bisa panik. Kalau terjadi sesuatu padanya, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri."

"Eits, jaga ucapanmu! Eomma mendukung kebaikanmu, tapi Eomma minta pahami batasannya. Di antara dua pilihan memang sulit, tapi tak punya pilihan jauh lebih sulit. Ketika kau sudah membuat pilihan, bertanggungjawablah. Hargai pilihanmu. Salah satunya, dengan tidak meladeni wanita yang jelas-jelas masih mengharapkanmu kembali padanya," tegas Eomma. Wanita itu bisa menjadi sahabat, teman bercanda, sekaligus orang yang selalu mencintainya, tapi tetap saja, Eomma punya peran untuk mendidik Chanyeol menjadi pria yang tahu cara menghargai.

***

Jika Chanyeol pernah bicara kalau ia sulit jatuh cinta, Gayoung akan berkata ia lebih sulit mengaku menyayangi atau bahkan mencintai seseorang. Gadis itu belum pernah memiliki pengalaman yang begitu indah tentang hal abstrak yang diagungkan banyak orang.

Baginya, dalam sebuah hubungan, membiarkan dirinya terbawa perasaan apa lagi sampai jatuh cinta adalah hal paling berbahaya karena cinta dan patah hati bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Ada yang bilang, rasa cinta akan meningkatkan hasrat hidup seseorang. Namun, Gayoung lebih yakin pada risiko di balik itu semua. Cinta membuat seseorang menjadi lebih rentan dan bias akan sumber kebahagiannya sendiri.

Ia merasakannya, jatuh cinta kali ini membuatnya kacau dan lalai pada tujuan hidup sebenarnya. Hanya sibuk menilai dirinya sendiri yang lebih sering dipandangnya tak sempurna. Tak pantas dan tak sebanding. Lebih buruknya, perasaan tersebut membuat gadis itu bergantung.

Karena itulah, ia berani mengambil langkah besar. Hal yang tak pernah dipikirkannya akan terjadi secepat ini.

"Aku tak ingin berlama-lama. Ini salinan berkas yang kuajukan ke pengadilan. Kuharap kau bisa segera menandatangani," ujar Gayoung memulai percakapannya dengan Chanyeol. Keduanya bertemu di apartemen milik keluarga Gayoung untuk mencegah ancaman dari adik-adik Gayoung.

Chanyeol yang baru saja mendaratkan tubuhnya di atas sofa terkejut. Ia tak datang untuk sebuah perpisahan. Ia ingin meyakinkan Gayoung dan keluarganya kalau Jiwon bukan ancaman dalam hubungan mereka.

"Apa-apaan kau ini ?! Kita menikah belum sampai setahun dan kuliahmu saja belum apa-apa."

"Aku tahu, tapi sebentar lagi itu bukan masalah Sunbae lagi. Sunbae bisa fokus menyelesaikan urusan Sunbae," jawab Gayoung dingin. Gadis itu meletakkan salinan dokumen perceraian di atas meja.

Chanyeol mengehela napas dalam dan mata bulatnya menatap Gayoung kecewa. "Jujur. Aku merasa beberapa waktu belakangan semua begitu gelap. Banyak hal yang tak disangka terjadi di hidupku seperti hujaman. Namun, entah mengapa, aku justru bisa merasa tenang dan lega dengan melihatmu."

Dada Gayoung sesak ketika Chanyeol ada bersamanya. Apalagi dengan penuturan pria itu barusan. Ia seperti punya harapan.

"Aku pikir kau hanya bias. Ingat, aku lebih sering membawa masalah untukmu."

"..."

"If you say everything is dark, just remember that I asked you to come to this darkness —unconsciously. Aku mengatakan ini sebagai orang yang paling dekat denganmu beberapa waktu terakhir. Kau menyetujui ajakankumenikah karena kau sendiri sedang hilang arah waktu itu. Tapi sekarang, kau sadar 'kan, manusia tidak bisa berjalan tanpa arah. Ketika arah itu hilang semua menjadi gelap dan kau tak bahagia."

"Justru aku menemukan kebahagiaan lain."

"Just for a while. A distraction. Ingat, sebenarnya, kau punya mimpi besar yang ingin kau raih dan keberadaan kita hanya membuatmu lebih jauh dan ... berantakan."

Chanyeol mengernyit, tak memahami maksud ucapan Gayoung. Mengapa gadis ini menghubungkan hubungan mereka dengan impian Chanyeol. Menurutnya, kedua hal tersebut tidak berkaitan.

"Aku pikir, semakin hari semua semakin jelas sekarang. Komitmen ini sudah tak lagi saling menguntungkan tapi meracuni kita berdua ... We don't deserve each other."

Lantas, Gayoung beranjak, tapi Chanyeol menarik tangan gadis itu hingga tubuhnya berbalik. Pria itu memeluknya tanpa permisi. Pelukan tersebut mengerat seperti akan meremukkan tulang, hingga membuat Gayoung berontak, mendorong tubuh Chanyeol menjauh.

"Lepaskan aku!" pekik Gayoung jengah.

Tak ada satupun pergerakan yang menunjukkan Chanyeol mendengarkan gadis itu. Hembusan napasnya justru bertiup di telinga Gayoung. "Tak bisa kah kau tetap bersamaku, atau ... mendengarkanku dulu sekali lagi?"

Gerakan tangan Gayoung semakin kuat. Ia tampak tak ingin mendengar apapun lagi.

"Are you that insane? Apa kau mau cari ribut dengan menahanku—lebih lama?"

Meski tak rela, Chanyeol bersedia melepaskan pelukannya. Ia duduk kembali dan mengusap wajahnya frustasi. Dia seperti orang yang kalut dan kebingungan.

"Jangan buat aku tersiksa seperti ini ..." lirih Chanyeol.

Gayoung menatap pria itu bingung. Bukankah seharusnya kalimat itu terlontar dari bibirnya?

"Semudah ini kau minta kita berpisah. Apa ... apa sudah tidak ada lagi sedikit pun perasaanmu untukku?

Pertanyaan Chanyeol menggelitik hati Gayoung. Akan sesuatu yang selalu berusaha Gayoung hancurkan. Namun, semua terdengar mudah meluncur dari mulut Chanyeol.

"Apa pentingnya?"

"Gayoung-ah, aku memang tak bisa menjanjikan hatiku untukmu. Namun, bukankah itu tak kau perlukan? Perasaanmu, kebersamaan kita, rasa nyaman terhadap satu sama lain, bukankah itu lebih penting?"

Gayoung tersenyum masam. Ucapan Chanyeol terdengar nyata. Entah bagaimana, Chanyeol akhir-akhir ini lebih pandai berbohong hingga Gayoung tak dapat menilai kejujuran di mata pria itu. Apakah Sunbae-nya benar-benar masih menginginkan Jiwon atau dirinya?

"Apakah Sunbae tak sadar, semua ini justru mengacaukan kita?"

Chanyeol bangkit dan menatap mata Gayoung sungguh-sungguh. Entah bagaimana, ia harus menjelaskan posisinya, ia hanya ingin meyakinkan Gayoung bahwa tidak ada yang salah dari semua ini.

"C'est la vie*, Gayoung-ah. Kekacauan pun adalah bagian dari hidup. Hal yang wajar, tak ada hidup tanpa masalah dan kita sedang menghadapinya. Kita akan menyelesaikannya. Lagi pula, kau tidak sendiri."

"..."

"You have me."

Hati Gayoung terketuk. Mata hazelnya menatap Chanyeol hingga pandangan mereka bertemu. Sekarang ia tahu, mengapa menatap mata lawan jenis yang bukan pasangannya dilarang oleh sekelompok orang. Pandangan itu membuat mereka menyelami jiwa satu sama lain. Bicara tanpa bibir. Mendengar tanpa telinga. Mencinta tanpa kata.

Wajah keduanya mendekat hingga napas mereka beradu. Pipi Gayoung memanas dan ia merasa sebuah tangan membelai wajahnya lembut. Sentuhan itu membuat jantungnya berdegup kencang. Kemudian, jemari panjang itu naik membelai surai Gayoung. Jantung gadis itu yang awalnya berdegup kencang justru menjadi tenang.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, tapi tiba-tiba bibir Chanyeol sudah mendarat tepat di atas milik Gayoung dan menyapu permukaan bibir gadis itu dengan lembut. Perlahan kecupan itu berubah menjadi lumatan hingga Gayoung memberikan respon akan apa yang dilakukan oleh Chanyeol.

"Sunbae ... " lirih Gayoung mendorong tubuh Chanyeol hingga pria itu terduduk di sofa. Menyisakan napas keduanya yang masih menggebu.

Mata sayu gadis itu kembali menatap Chanyeol dalam. Sebelum semua ini menjadi terlalu jauh, ia perlu mencari kesungguhan dan ketulusan. Setidaknya untuk malam ini.

"Kau pernah bilang, aku hoobae-mu. Apakah ini yang dilakukan oleh seorang sunbae pada hoobae-nya?"

Ucapan Gayoung memiliki nilai humor tersendiri untuk Chanyeol. Pria itu menyelipkan beberapa helai rambut Gayoung ke belakang telinga. "No. Not ever."

"Kalau begitu, apa lagi yang mungkin terjadi?" tanya Gayoung tanpa mendorong tubuh Chanyeol menjauh.

"Do you wanna know? But, promise me that you won't leave me."

Mata Gayoung terpaku pada milik Chanyeol dan gadis itu tersenyum samar mendengar penuturan Sunbae-nya. "Just treat you better. Perhaps."

Pria itu menggeleng meski matanya masih sama menyelami pandangan Gayoung. "How about loving me only?"

Seakan terbius pada dalamnya tatapan Chanyeol, Gayoung hanya mengangguk, membiarkan hidung pria itu menyentuh ujung hidungnya. Lalu, berganti dengan bibir tipis Chanyeol yang kembali mendekat pada bibirnya yang mulai membengkak. Namun, segera Gayoung tahan dengan sebelah tangannya.

"Tunggu, Sunbae," ucap Gayoung lembut.

"Gayoung-ah, kau tahu? Malam ini kau terlalu banyak bicara."

"Tapi ..."

Chanyeol tak mengizinkan bibir Gayoung untuk lebih jauh membantahnya. Pria itu melumat bibir Gayoung tanpa ampun hingga gadis itu kesulitan bernapas saking terkejutnya. Mata Gayoung mulai basah. Ia takut. Ia takut terbangun dari mimpi ini.

***

Catatan kaki:

C'est la vie: Inilah hidup

Udah gitu aja. So sorry, it was cheesy or clingy. Hopefully, it meets your expectation. Kalau yang like sama komen rame, aku double update. Kalau nggak, see you when I see you😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro