Part 30 - Boom
Dapur di rumah Keluarga Park berukuran sangat luas, 3 kali luas pantry apartemen yang disewa Gayoung dan Chanyeol di Toulouse. Peralatan masaknya pun begitu lengkap dengan bahan makanan berkualitas. Menurut Gayoung, dapur ini serupa dengan milik Eomma-nya. Satu hal yang berbeda, tidak ada teriakan ketika ia melangkah masuk ataupun mengakuisisi pekerjaan di dapur tersebut.
Bibi Yoon sebagai satu-satunya asisten di rumah Keluarga Park bersikap sangat hormat dan kooperatif. Ayah mertuanya bahkan memintanya untuk menyiapkan sarapan yang enak. Sungguh, menjadi impian Gayoung menjadi menantu dari keluarga yang bersahabat seperti keluarga ini.
"Nona, apakah ada bahan yang akan ditambahkan?" tanya Bibi Yoon setelah menyiapkan sayuran dan daging yang akan dimasak.
"Menurutku cukup untuk sarapan pagi ini. Kalau menurut Bibi ada yang kurang, ditambahkan saja. Aku tidak biasa memasak dalam jumlah besar," ujar Gayoung jujur.
Tak ada bahan makanan yang diambil lagi dari lemari pendingin. Gayoung mulai memotong sayur sementara Bibi Yoon menghangatkan kaldu yang akan mereka buat menjadi sup. Menurut informasi dari asisten rumah tangga yang sudah mengabdikan separuh usianya di rumah ini, sup adalah menu wajib yang terhidang di meja setiap paginya. Sungguh berbeda dengan menu yang Gayoung sajikan untuk Chanyeol di apartemen mereka.
Greb!
Gayoung tersentak ketika ia merasakan sepasang tangan melingkari perutnya dan sesuatu yang tiba-tiba bertumpu pada pundaknya. Tanpa menoleh pun, Gayoung bisa mengenali aroma yang menguar dari tubuh sosok raksasa di belakangnya.
"Kenapa kau tidak membangunkanku?" ucap Chanyeol dengan nada manja.
"..."
"Kau tahu 'kan kasurku di sini jauh lebih nyaman, pasti aku 'kan kesiangan."
Gayoung menggerakkan tubuhnya ingin dilepaskan. "Justru itu. Karena kasurmu nyaman, sebaiknya lepaskan tanganmu dan kembali ke kamar."
Pria itu justru mengeratkan pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Gayoung. Memberikan desiran aneh yang tak pernah sekalipun Gayoung rasakan.
"Aku tidak mau. Kau belum menjawab permohonan maafku dari semalam."
"Astaga. Sunbae ..." keluh Gayoung yang tak nyaman. Apalagi Bibi Yoon tampak salah tingkah dan curi-curi pandang.
"Aku tahu, aku salah, tapi aku hanya tidak ingin mengganggu rencanamu yang sudah kau susun dengan matang."
Kalimat itu sudah berulang kali Chanyeol sampaikan semalam. Hanya saja, Gayoung belum ingin memaafkan pria itu. Selain memang tersinggung, ia tak ingin saja Sunbae-nya bersikap seenaknya.
"Kita bisa bicarakan ini nanti, situasinya tidak tepat," tegas Gayoung.
"Oh, ayolah. Hidupku tidak akan tenang."
Sayangnya, sulit bagi Gayoung mengatakan kata 'memaafkan'. Tak peduli ada Bibi Yoon yang menguping, ia merasa harus menghentikan semua keributan ini dengan caranya.
"Sunbae pilih aku peringatkan dengan ucapan atau kita gunakan cara ini?" ancam Gayoung sembari mengangkat pisau dapur.
***
Yoona tahu, hubungan Chanyeol dan Gayoung sedang tidak baik. Interaksi keduanya semalam lebih dari cukup untuk menjelaskan. Meskipun, Eomma-nya belum mengeluhkan apapun, ia yakin ini akan menjadi beban untuk ibunya cepat atau lambat. Yoona sadar, ia tidak bisa tiba-tiba ikut campur tanpa tahu duduk permasalahannya. Sekalipun Chanyeol adalah adiknya sendiri.
"Ini dia pasangan mesum sudah datang."
Mata Chanyeol melotot, siap menyerang kakak perempuannya kalau saja ia lupa daratan. "Kenapa sih pagi-pagi sudah melantur?"
"Melantur? Tidak. Aku dapat laporan dari mata-mataku di rumah kalau ada yang berpelukan di dapur seperti pengantin baru. Astaga, kasihan mata Bibi Yoon yang suci," omel Yoona menggebu-gebu.
Chanyeol ingat dengan baik apa yang dimaksud kakaknya dan itu membuat pipinya sedikit memerah.
"Jadi, Bibi Yoon yang melapor?"
Yoona menutup mulutnya, sadar ceroboh mengungkap narasumbernya. "Ups, jangan marahi Bibi Yoon! Aku yang minta dia untuk mengawasi rumah."
Chanyeol pura-pura tuli dan menggandeng Gayoung masuk untuk memberi salam pada Eomma-nya.
"Mereka sudah menikah, tidak apa-apa. Eomma justru senang," tukas Eomma seraya membalas pelukan anak dan menantunya.
Yoona tersenyum simpul. Setidaknya ini bisa mencegah Eomma berpikir macam-macam tentang adiknya. Padahal, ia tahu pelukan itu bukanlah hal yang berakhir romantis.
"Besok-besok juga, jangan di tempat umum kalau bukan di rumah sendiri."
"Rumah Eomma 'kan rumahku. Dasar tukang iri! But, we'll get a room—"
Krieeet.
Ucapan Chanyeol terhenti akibat suara pintu yang terbuka. Suara tadi berhasil menghentikan pertikaian Kakak beradik itu. Semua orang yang berada di dalam ruangan sontak menoleh ke arah pintu, mendapati seorang wanita bergaun pendek kuning tampak kepayahan membawa bucket bunga.
"Selamat pagi, maaf mengganggu kalian semua."
"..."
Semua orang di dalam ruangan tersebut mendadak terdiam. Eomma dan Yoona yang berusaha mengingat sosok wanita bersurai panjang yang berdiri di ambang pintu. Serta, Chanyeol dan Gayoung yang tak menyangka wanita itu akan datang menemui Nyonya Park.
"Jiwon-ah," sapa Chanyeol pada akhirnya. Menyisakan tatapan terkejut keluarganya.
Chanyeol membeku di tempatnya. Ia tidak habis pikir bagaimana Jiwon bisa sampai di sini. Pertama, wanita itu masih memerlukan perawatan intensif. Kedua, kehadiran Jiwon di tengah keluarganya berisiko membuat prasangka yang tidak-tidak.
Jiwon menyerahkan bucket bunga rose berwarna merah muda dan menyapa Chanyeol Eomma, "Apa kabar, Ahjumma?"
"Lama tidak bertemu. Sudah lebih baik. Bagaimana denganmu? Maaf, aku pangling tadi."
"Aku sehat. Semua berkat Chanyeol. Ia datang di saat yang tepat untuk menolongku dan bayiku," ucap Jiwon memberikan penekanan pada pernyataan 'berkat Chan Yeol'. Tak mengindahkan keberadaan Gayoung.
"Bagaimana? Bagaimana? Adikku berbuat apa?" tanya Yoona yang tidak bisa tidak curiga.
"Chan mengurus perawatanku dan semua keperluanku di rumah sakit saat kandunganku bermasalah dan tidak ada seorang pun yang bisa menyempatkan."
Eomma tercenung. Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya. Apa benar kabar angin yang sebelumnya didengar? Putranya ternyata masih menjaga hubungan baik dengan wanita yang pernah dicintainya. Terlebih, bukan rahasia di keluarganya, kalau putra terakhir keluarga Park ini sering terlalu peduli pada orang lain sampai terkadang mengesampingkan apa yang menjadi tanggung jawabnya.
"Ouch, baik sekali adikku yang tampan. Baru-baru ini? Tapi, dari mana kau tahu kalau Chanyeol sedang di Korea dan minta bantuannya?" cecar Yoona mendapati plester yang masih terpasang di tangan kiri Ji Won.
Jiwon masih tampak pucat, ia menunduk. Namun, hal ini tampak seperti sebuah kepura-puraan di mata Gayoung.
"Bukan Jiwon yang menghubungi. Saudaranya. Kebetulan aku juga berniat pulang untuk menemui Eomma."
Tanpa sadar, tatapan Gayoung menghujam pada Sunbae-nya. Setahunya, Chanyeol sudah berencana pulang semenjak panggilan itu. Lalu, rencananya semakin bulat sehari setelahnya, yang akhirnya diketahui sebagai hari di mana Eomma-nya jatuh sakit.
"Bagaimana kondisimu sekarang?" tanya Eomma pada Jiwon, mengalihkan hal sensitif untuk dibicarakan.
"Jauh lebih baik. Mulai kemarin cukup dengan rawat jalan."
"Jadi langsung berkunjung ke mari, ya. Kau sangat perhatian pada keluarga kami. Terima kasih," ucap Yoona sarkas. Ia tidak bisa berpura-pura baik di tengah kecanggungan ini dan Yoona sudah mengambil sisi di mana ia akan berpihak.
"Syukurlah. Sudah berkenalan dengan istri Chanyeol? Harusnya kalian sudah mengenal, ya. Namanya Moon Gayoung, dia hoobae kalian di kampus. Aku harap kau juga bisa bersahabat dengan Gayoung seperti dengan putraku. Ia anak yang sangat baik," terang Chanyeol Eomma lembut. Ia tak sefrontal Yoona dalam bicara, tapi ia tahu bagaimana memposisikan diri sebagai seorang ibu mertua.
Jiwon tersenyum hambar. Bukannya tak tahu, ia hanya tidak mau tahu apapun tentang Chanyeol. Lagi pula Chanyeol masih menyayanginya. Apakah ada hal lain yang lebih penting dari perasaan mereka berdua? Meskipun keberadaan Gayoung membuatnya merasa terancam, ia tak ingin ambil pusing. Walaupun dicampakkan berkali-kali pun, Chanyeol tak pernah berpaling darinya.
***
Panggilan di ponselnya tadi menjadi alasan Gayoung untuk undur diri dan menyendiri di sebuah kafe, tak jauh dari rumah sakit. Pihak tempatnya mengambil kelas Bahasa Perancis menghubungi untuk memastikan jadwal ujiannya, apakah Gayoung tetap akan menunda atau bersedia mengikuti ujian secara online. Ujian ini tak akan terlalu sulit untuknya, ia siap ujian kapan pun dan di mana pun, tetapi ujian hidupnya tentu berpotensi mendistraksi.
"Sepertinya, kau memikirkan sesuatu."
Gayoung terkesiap. Apalagi, dilihatnya Chanyeol menarik kursi di depannya dan ikut duduk. Tak ada yang mengenal mereka dan akan berbisik di sini. Namun, gadis itu sungguh-sungguh butuh waktu untuk menjaga jarak.
Chanyeol yang sudah datang dengan segelas kopi, menyesap minumannya. Pria itu memperhatikan gelas minuman Gayoung yang telah tandas.
"Mau pesan lagi?"
"Tidak usah. Nanti aku sulit tidur," tolak Gayoung tak banyak bicara.
"Bukan kopi, tentunya. Kau itu ... kuliah bertahun-tahun. Apa hanya karena sekarang akan belajar manajemen jadi kurang waras? Efek benzodiazepin*-mu bisa berkurang karena minumanmu."
Tatapan kesal Gayoung layangkan. Buat apa Chanyeol harus peduli apa yang dikonsumsi dan pengaruh terhadap kesehatan gadis itu?
"Terima kasih untuk ceramahnya. Aku permisi," pamit Gayoung, menjinjing tas tangannya.
Kini, Chanyeol yang menatapnya kecewa.
"Kau masih menghindariku?"
"..."
"Kenapa?"
Wajah Gayoung semakin tak bersahabat. Tak seharusnya Chanyeol menaruh perhatian padanya. Hal ini akan semakin menyiksanya dari hari ke hari.
"Tidak. Kau berpikir negatif saja," kilah Gayoung beranjak pergi.
***
Berdebat dengan ibunya selalu menjadi hal sulit untuk Gayoung. Bukannya senang membantah, karakter mereka tak jauh berbeda, tapi prinsip hidup keduanya bagai bumi dan langit. Dalam rangka menjenguk besan yang sakit di hari berikutnya, Nyonya Park membawa berkotak-kotak makanan, untuk pasien dan keluarganya. Dari jumlah yang mereka bawa, sesungguhnya Gayoung merasa ini terlalu berlebihan.
"Besan itu keluarga kita. Masa dengan fakir miskin saja kita peduli, tapi pada keluarga sendiri tidak," oceh Nyonya Moon ketika Gayoung mengeluhkan mereka yang menjadi tontonan pengunjung lain di rumah sakit.
"Tapi mereka tak bisa menghabiskan ini dalam sehari."
"Ya, tidak untuk sehari. Nyonya Park masih akan di rumah sakit seminggu ke depan. Setidaknya makanan ini cukup untuk keluarganya yang berjaga. Lagi pula, menantuku sangat menyukai galbi," jelas Nyonya Moon tak ingin kalah.
Gayoung melirik adik laki-lakinya yang tangannya penuh dengan dua kantung makanan. Jaemin berkedip, mengisyaratkan Noona-nya untuk tak lagi mendebat atau ibu mereka akan kesal.
"Sebentar," ujar Gayoung Eomma tiba-tiba. Langkah wanita itu terhenti hingga putrinya menubruk tubuh wanita itu dari belakang. "Menantuku panjang umur."
Gayoung dan Jaemin ikut melihat ke mana arah ibunya sedang menatap.
"—Chanyeol 'kan?" tanya Gayoung Eomma pada putrinya.
Di antara kerumunan, keduanya hanya berjarak tak lebih dari 5 meter. Namun, Gayoung merasa begitu jauh dari pria itu. Belum lagi, sosok lain yang tak ingin ditemuinya di sini. Dalam kondisi ini.
"Eomma— kita ke mobil—Eomma, ada yang tertinggal," ucap Gayoung gelagapan. Bola mata gadis itu bergerak cepat. Ia panik.
"Noona, kenapa?"
"A-Aku lupa ponselku," jawab Gayoung pada Jaemin.
Jaemin menggeleng bingung. Jelas, ia melihat ponsel Gayoung ada di genggaman gadis itu sendiri. Pria itu memegang pergelangan tangan Noona-nya dan menunjukkan letak benda persegi yang sejak tadi tak pernah dilepaskan Gayoung.
Tanpa menunggu lama, Eomma meninggalkan kedua anaknya dan berjalan ke arah pria muda yang diyakini sebagai menantu kesayangannya.
"— waktunya tidak tepat," ucap Chanyeol terdengar jelas di telinga Eomma.
Beberapa detik kemudian, Gayoung Eomma tersentak melihat gelagat perempuan yang berdiri di samping Chanyeol. Mata Eomma memicing saking tidak mau percaya apa yang dilihatnya.
Seorang wanita hamil tengah menahan tangan Chanyeol dan menatap mata pria itu dalam. "Aku yang kurang bersungguh-sungguh atau kau yang tidak peka?"
"Aku— menginginkanmu. Kami memerlukanmu, Chan," imbuh wanita itu dengan suara gamang.
Eomma tak beranjak dari posisinya, ia memperhatikan dari jarak yang cukup dekat.
"Sekarang semua sudah tidak seperti dulu," ujar Chanyeol dengan suara lesu.
"Kenapa? Apa karena aku hamil, kau sudah tidak menginginkanku? Apa karena aku gendut dan tidak cantik lagi?"
Ucapan gadis itu berhasil menyentil emosi Chanyeol hingga pria itu spontan memeluk tubuh Jiwon. "Tidak. Kau tetap cantik Jiwon-ah.—"
Bug!
Tak lagi bertahan di posisinya berdiri, wanita yang sejak tadi menjadi saksi dua insan yang tampak memadu kasih menghantamkan tas tangannya pada keduanya.
"Memalukan!" teriak Nyonya Moon murka.
Jiwon tampak terkejut, ia menatap Nyonya Moon dengan wajah bingung. "Saya salah apa sampai Anda memukul saya?"
Menyadari situasi ini membuat dirinya, Jiwon, dan ibu mertuanya sendiri menjadi bahan tontonan, Chanyeol menyembunyikan Jiwon di belakang tubuhnya. Meskipun tak ingin situasi ini semakin memanas, ia justru membuat Nyonya Moon semakin emosional.
"Chanyeol, kau melindungi wanita itu? Kau ... keterlaluan!"
Sebelum Eomma kembali menghajar pria itu dengan tas tangan, Gayoung membisikkan sesuatu dan menarik tangan Eomma-nya untuk beranjak pergi. Wanita berusia lebih dari setengah abad itu tampak tak kooperatif dengan putrinya.
"Lepaskan! Aku ingin bicara dengan wanita ini," tolak Gayoung Eomma dengan menghempaskan tangan putrinya.
Jiwon menatap Nyonya Moon dingin. Sudah kepalang kalau ia mundur. Dirinya sudah tertangkap basah. Bisa jadi, setelah ini ia akan menemukan wajahnya di media sosial akibat banyaknya pengunjung yang ikut menonton.
"Apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?" ujar Jiwon, berhenti bersembunyi dari balik punggung Chanyeol.
Nyonya Moon merasa Jiwon menantangnya dan wanita itu semakin kesal. "Kau tahu kalau pria yang sedang bersamamu adalah suami orang?"
"Ya. Saya pun juga menikah. Tapi, apa sebegitu pentingnya status jika orang yang terikat itu tidak memiliki perasaan untuk pasangannya?"
Satu alis Nyonya Moon menukik, lirikannya lantas terarah pada pria menjulang yang masih berdiri di samping Jiwon. Wanita untuk berucap sini, "Benar begitu, Chanyeol?"
"..."
"Kau tak punya perasaan pada anakku? Lalu, ini jadi alasan untuk melanggar komitmenmu?" cecar Nyonya Moon tak kuasa.
Plak!
Bagi Nyonya Moon, diamnya Chanyeol sudah bicara banyak. Ia tak pernah sabar dengan reaksi semacam ini. Tidak tegas dan lemah. Berkali-kali Nyonya Moon mengutuk dalam hati, apa dosanya hingga kejadian ini terjadi pada keluarganya.
"Orang yang benar-benar berkomitmen, tidak akan pernah menggunakan alasan perasaan untuk berkhianat. Kau tidak sedang mengandung anak Chanyeol 'kan?" cecar Nyonya Moon lagi, menatap tajam pada Chanyeol dan Jiwon bergantian.
"Eomma ..."
Gayoung termangu. Hatinya hancur. Ia tak sampai hati berpikir sejauh itu. Selama ini, ia mati-matian menyimpan kecurigaannya untuk melindungi dirinya maupun Chanyeol. Namun, saat ini, pria itu justru menghancurkan semua. Bahkan, membuat keluarganya ikut terluka.
"Eom-"
Bug!
Sebelum Chanyeol menjelaskan, satu pukulan berhasil mendarat di pipi hingga pria itu tersungkur di lantai.
"Berengsek!" umpat Jaemin tidak sabaran. Ia bosan sejak tadi hanya menonton drama di depan mata. Ia jengah menonton semua ini. Lantas, ia kembali menarik kerah baju Chanyeol dan bersiap menghantamkan tinjunya lagi.
"Hentikan!" teriak Gayoung frustasi. Berada di antara Chanyeol dan keluarganya adalah pilihan sulit. Ia tidak bisa memihak siapapun selain melerai mereka semua.
Pihak security datang untuk mengamankan Jaemin dan Chanyeol. Sementara itu, orang-orang yang berkerumun dan mengabadikan kejadian tadi mulai bubar. Ketika diseret pergi, pandangan Chanyeol tak lepas dari Gayoung. Ia memperhatikan Gayoung yang kini berusaha kuat meskipun sorot matanya begitu sedih. Benar kata Sodam, gadis itu hanya selalu berusaha.
***
"Astaga, Noona!"
"Diam, Hyun. Jangan semakin merusak mood-ku," ucap Gayoung dingin menanggapi pekikan adik laki-laki yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Jaehyun tak biasanya ada di Busan. Pria itu sedang menghabiskan sisa liburan musim panasnya di kampung halaman. Seharusnya, ini akan menjadi relaksasi untuknya. Ya, sebelum prahara di keluarga mereka terjadi.
Jaehyun menarik satu kursi di kamar tersebut, dan duduk dengan menyilangkan kaki. Matanya menatap tajam kakak perempuan yang sama sekali tak melihat ke arahnya.
"Aku tidak ingin Noona kembali dengan pria itu. Jaemin sudah menceritakan dengan sangat jelas. Setelah kejadian tadi, apa aku bisa percaya kalau pria itu tidak akan mengkhianati Noona lagi?"
"Moon Jaehyun, aku sangat menghargai perhatianmu. Tapi, bisakah kau biarkan ini jadi urusanku sendiri."
Pria di awal 20 tahun itu berdesis. Tak peduli kalau dianggap terlalu ikut campur. Lagi pula, ia memang tak pernah bisa lepas tangan dari apapun yang terjadi pada keluarganya.
"Noona, sebentar lagi aku lulus, aku bisa pindah ke Toulouse dan mencari kerja di sana untuk menemanimu," ucap Jaehyun serius. Ia belum memikirkan ini masak-masak. Namun, ia tak suka mendengar kabar Noona-nya tidak dihargai.
"Urus saja urusanmu dulu sebelum memikirkan aku," tandas Gayoung yang lantas duduk di atas ranjang dan menarik selimutnya hingga menutup seluruh tubuh.
"Please, jangan marah. Aku sudah tahu alasan licik pria itu menikahimu. Dohwan Hyung, mengatakan semuanya sebelum ia terbang ke Paris."
Refleks Gayoung menurunkan selimut dan melemparkan tatapan tajam pada adik laki-lakinya. Bagaimana bisa adiknya mengenal Dohwan sementara ia tak pernah mengenalkan keduanya?
Jaehyun tak menangkap tanda tanya yang ada di kepala Gayoung. "Aku tidak sempat bertemu dengan pria itu—Chanyeol— di hari pernikahan kalian. Jadi, wajar kalau aku mencari tahu. Begitu juga dengan Dohwan Hyung. Sahabatmu sudah bilang ini sangat merugikanmu, tapi aku masih mencoba berprasangka baik sampai akhirnya ini terjadi. Noona, hubungan ini tidak sehat sejak awal."
"Tapi sebelum kau bicara panjang lebar, aku sudah paham konsekuensinya dari awal."
Jaehyun berdecak, memainkan pena di meja kakak perempuannya. Fokusnya seakan tertuju pada pena itu, sebelum lanjut bicara, "Termasuk menyakiti Eomma sekarang?"
"..."
"Eomma sangat terpukul, meski belum mengetahui semua yang terjadi padamu," ujar Jaehyun mantap. Dohwan menceritakan banyak hal tentang Gayoung yang tak pernah didengarnya dari siapapun.
Jaehyun melangkah mendekati Noona-nya. Sudah terlalu lama ia pura-pura bodoh dan tidak terlibat dalam kehidupan kakak perempuannya, tapi sekarang sudah bukan waktunya. Ia duduk di ujung ranjang dan bicara, "Lakukan saja apa yang sudah menjadi niatmu sejak awal. Kata hatimu tak pernah bohong. Aku bangga padamu yang mandiri dan selalu tahu apa yang menjadi tujuanmu. Jadi, kumohon, jangan mudah gentar hanya karena kenyamanan yang orang lain tawarkan."
Gils, lama nggak nulis. Thanks ya buat yang sudah mentrigger part ini. Ngedraft ulang sih, soalnya draft yang dulu kaya super maksa buat diakhirin. Emang pingin ditamatin. Semoga nggak males fiksasi draft selanjutnya.
Welcome buat input kalian dan selamat membaca ♥️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro