Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 26 - Truth

"Kau bisa mendengarku?"

Seorang pria bermata elang tampak cemas sekaligus lega ketika gadis yang dikenalnya mulai menggerakkan kelopak mata dan jari-jarinya.

"Ergh," rintih si Gadis, merasakan ngilu di beberapa bagian tubuhnya walaupun sudah diinjeksi analgesik.

Sesuai pesan dari perawat, pria tersebut segera menekan nurse call untuk memanggil tenaga medis yang berjaga. Tak lama, seorang dokter dan perawat datang untuk memeriksa kondisi vital gadis tersebut.

"Saya lihat, kesadarannya sudah membaik. Mungkin, pagi nanti kami bisa melanjutkan pemeriksaan menyeluruh," tukas sang Dokter sebelum pamit pergi.

Pria itu tersenyum samar atas rasa syukur yang tak bisa dijelaskannya. Ia tak pernah tahu kalau keputusan yang diambilnya kemarin malam akan membuatnya menjadi satu-satunya orang yang menjaga gadis itu. Dohwan hanya berencana menginap di plant bersama temannya untuk melanjutkan penelitian. Ketika ia baru tiba, koleganya menghubungi, meminta bantuannya akibat tidak sengaja menabrak seorang gadis Asia. Tak disangka, gadis itu adalah sahabatnya, Moon Gayoung.

"Young-ie, mana yang sakit?"

Gayoung mengerjap pelan sebelum menelisik tempatnya berada. Dinding berwarna kebiruan dengan aroma antiseptik, membuatnya tak bisa untuk tak bertanya, "Aku di mana?"

"Kau sedang dirawat di rumah sakit. Ada beberapa luka di tubuhmu yang harus diobati."

Pandangan gadis itu mendadak panik. Seingatnya, ia ada dalam bahaya.

"Sooyoung, Sooyoung, selamatkan Sooyoung. Mereka menyerang kami," ucap Gayoung meracau. Gadis itu meraba-raba sekitar dan kepalanya menoleh bingung. Lantas, ia menutup mulut, berlanjut menutup wajah dengan kedua tangannya. Muncul kata-kata lain yang sulit untuk Dohwan mengerti maksudnya sehingga pria itu kembali memanggil dokter.

Kondisi Gayoung yang tak stabil membuat Dohwan memutuskan untuk benar-benar tak menghubungi siapapun. Sampai saat ini, ia belum tahu penyebab pasti luka fisik dan batin yang Gayoung alami. Ia hanya tahu kalau gadis ini menghantam sisi samping mobil koleganya. Dengan sangat terpaksa, ia mengizinkan tim medis untuk mengambil tindakan segera demi menenangkan Gayoung, meskipun gadis itu harus tak sadarlagi.

***

Langit mulai gelap. Sinar mentari bersembunyi digantikan lanskap bintang-bintang kecil yang menghiasi angkasa. Seharusnya pria bertubuh tegap itu menikmati keindahan malam, tapi baginya semua tampak gulita. Pont Neuf yang tentram pun terasa sebaliknya. Kedua tangannya menggenggam pagar jembatan dan menatap siluet samar-samar di permukaan Sungai Garonne. Tak peduli kalau rambut dan pakaiannya berantakan.

Drt drt drt.

Lamunannya buyar tatkala getar ponsel di saku terasa. Besar harapannya kalau panggilan tersebut akan menjawab rasa cemasnnya dua hari ini. Kenyataannya, ia belum boleh merasa lega.

"Chan, kenapa video call-nya tidak diangkat?"

"Eomma, aku sedang di luar. Tidak memungkinkan," jawab Chanyeol mencari alasan. Ia tidak ingin membuat orang tuanya sedih dengan melihat kondisinya.

"Suaramu terdengar tidak bersemangat. Apa kau bertengkar lagi?"

"..."

"Kalian ini, ya. Walaupun masih muda, jangan mudah tersulut emosi. Ingat janjimu pada Eomma, kau harus sering mengalah dengan istrimu. Kau pria, tanggung jawabmu menjaga Gayoung, termasuk perasaanya," nasihat Chanyeol Eomma.

Seketika pikiran Chanyeol melayang, mengingat percakapan dengan ibunya beberapa tahun lalu. Jauh sebelum pertemuannya kembali dengan Gayoung, eomma meminta dengan kesungguhan pada ketiga anaknya untuk berkeluarga dan hidup dengan baik. Dengan alasan noona-nya akan menjadi biarawati dan hyung-nya tidak berminat untuk berkomitmen, Chanyeol menawarkan diri untuk mewujudkan impian ibunya. Berharap mantan kekasihnya —Jiwon— bersedia menghabiskan sisa hidup bersama. Nahas, cincin pernikahan yang dipilihnya tak kunjung disematkan di jari manis Jiwon. Selama itu pula, ia hadir di setiap acara perjodohan, hanya untuk mengulur waktu. Ia yakin, tak akan ada seorang wanita pun yang dianggap layak hingga Chanyeol sendiri yang memilih.

Hingga saat itu tiba, eomma menyukai Gayoung dan Chanyeol tak lagi punya pilihan. Apakah ia harus menyalahkan ibunya sekarang sebagai penyebab nestapanya?

"Meskipun kau dulu sempat tak menginginkannya, Gayoung adalah sosok terbaik yang bisa Eomma temukan untukmu."

Tanpa sadar, eomma mendorongnya mengingat momen di mana ia mengutuk pertemuannya kembali dengan Gayoung. Tidak ada yang salah pada gadis itu, tapi saat itu Chanyeol merasa rencana hidupnya menjadi kacau ketika Gayoung hadir dalam hidupnya. Pernikahan dengan Gayoung adalah satu-satunya pilihan untuk kabur dari kenyataan pahit di Seoul.

"Benarkah, Eomma? Bukankah aku juga terbaik untuknya?" canda Chanyeol mengalihkan.

"Tentu, anak Eomma yang terbaik untuk menantu Eomma. Kalian tidak salah memilih satu sama lain."

Chanyeol terdiam. Ibunya seolah menjawab apa yang bergejolak dalam batinnya. Bukannya ia tak punya pilihan. Selalu ada pilihan dalam hidupnya dan dulu, ia memilih untuk lari. Bukan salah siapa-siapa, kini, ia harus menghadapi konsekuensi dari pilihannya sendiri.

***

Pandangan Gayoung tertuju pada halaman rumah sakit yang terhalang jendela. Bukan pepohonan ataupun burung jalak yang terbang di langit yang diamatinya. Pandangannya kosong. Dohwan sendiri memang pernah mendengar titik nol Gayoung saat gadis itu diserang di Paris, tetapi sama sekali ia tak menyangka kondisi Gayoung akan semengkhawatirkan ini.

"Kau belum makan beberapa hari ini. Satu suap dulu, Young-ie," pinta Dohwan lembut. Pria itu takut kondisi fisik Gayoung memburuk.

"Dohwan, bagaimana aku bisa makan? Aku sudah mengulang kesalahanku.... Aku meninggalkan Sunbin ...."

Belum sekalipun Dohwan mendengar siapa Sunbin dari bibir Gayoung. Namun, ia yakin, ini ada kaitannya dengan kejadian yang dialami Gayoung baru-baru ini. Pria itu mengusap punggung tangan Gayoung, menenangkan.

"A-aku saja dikejar salah seorang dari mereka, bagaimana dengan Sunbin? Bagaimana kalau hal yang terjadi pada Sooyoung terjadi padanya? Atau, mungkin lebih buruk."

Dohwan sedikit terhenyak. Tak ingin hanya menerka, Dohwan meletakkan makanan Gayoung dan mulai bertanya, "Young-ie, aku tidak tahu apa yang baru kau alami. Apa bisa kau ceritakan kejadian apa yang terjadi padamu?"

Gayoung membuang muka. Sama sekali ia tidak lupa dengan apa yang dialaminya. Hanya saja, terlalu mengerikan untuk mengulang setiap detail kejadian. Butuh waktu hingga Gayoung bisa menceritakan keseluruhan yang dialaminya.

Tangan Dohwan mengepal keras tatkala Gayoung menyelesaikan ceritanya. Ia tahu siapa yang harus dipersalahkan dari semua ini. Akan tetapi, pria itu tersenyum tipis dan bicara, "Baiklah. Kudengar Sunbin baik-baik saja meskipun tak dirawat di tempat ini."

"Sunbin selamat? Syukurlah."

"Ya. Jadi, kumohon kau tenang dan fokus pada pengobatanmu. Pihak berwajib sudah meringkuk mereka."

Secercah harapan muncul dan Gayoung bisa tersenyum lega. "Dohwan, kalau kau mendengar berita tentang Sunbin, apa kau juga bertemu dengan Sunbae? Maksudku ... suamiku," tanya Gayoung ragu.

Dohwan menghela nafas keras. Tidak salah kalau Gayoung memanggil suaminya. Namun, semua menjadi salah ketika pria tersebut menjadi penyebab semua ini dan membiarkan istrinya pergi. Chanyeol memang tak melakukan penyerangan seperti yang diduga Dohwan. Hanya saja, mengapa semua terjadi saat Gayoung bersamanya?

"Kumohon, jujur padaku. Apa kau bahagia dengan pernikahanmu?" tanya Dohwan tanpa menjawab pertanyaan Gayoung.

"..."

"Aku malas menyebut namanya sebenarnya—," ucap Dohwan gamang,"—Park Chanyeol tak menjagamu dengan baik?"

Gayoung masih terdiam. Ia ingat senyum pria itu saat mengumumkan hubungan mereka. Akan tetapi, tidak hanya sebuah pengakuan yang Gayoung perlukan. Mana bukti yang pria itu janjikan?

"Aku anggap diammu sebagai tidak."

Tak ada sanggahan yang keluar dari mulut Gayoung. Dalam hati, ia membenarkan kalau Chanyeol tak pernah berdiri untuknya. Hari itu pun, Gayoung hanya tampak sebagai sebuah tameng untuk pria itu dari Sunbin.

"Dia pikir, kau ini siapa. Berarti, dia memang tidak pernah serius. Apa pantas dia masih bersamamu?" geram Dohwan.

"Tidak semua orang menganggapku berarti dalam hidup mereka. Lagi pula, itu hak mereka. Aku tidak harus menjadi spotlight dalam kehidupan orang lain."

Dohwan mengusap wajahnya frustasi. Di matanya, Gayoung berusaha melipur lara gadis itu sendiri.

"Kenapa membelanya? Ini bukan masalah spotlight atau apalah. Dia yang mengambilmu dari orang tuamu. Tanggung jawabnya padamu sangat besar."

Kening Gayoung mengernyit, ia yakin Dohwan pasti menganggap pernikahannya normal.

"Kalau kau ingin menyalahkan seseorang. Itu aku. Aku yang memintanya menikahiku, aku yang memerlukan namanya sebagai kartu pass ke Perancis. Aku tahu konsekuensinya dan aku siap. Sebenarnya, tak banyak keuntungan yang bisa didapatkannya dari pernikahan ini," ucap Gayoung jujur.

"Ya, tak banyak memang. Tapi, tak pantas kau disetarakan dengan uang-uang itu."

"Maksudmu?"

"Tidak dengan 100 juta won, dia bersedia menikahimu untuk menyuntikkan dana pada perusahaannya. Lantas, memperlakukanmu dengan seenaknya karena dia tak pernah mencintaimu."

Bukan Dohwan yang dibuat terkejut akan fakta dibalik pernikahan Gayoung, melainkan dirinya sendiri. Dada Gayoung kembali sesak. Ia pikir, semua ini dalam kendalinya. Lantas, kenapa ia tidak tahu kalau Chanyeol menjadikan pernikahan mereka sebagai alasan investasi?

***

Tak ada satupun kabar tentang Gayoung yang Chanyeol terima. Selebaran yang dipasang di halte-halte bus di kota ini maupun media sosial tak kunjung membuahkan hasil. Alhasil, dua hari ini Chanyeol selalu terjaga sampai dini hari dan tanpa sadar tertidur saat tubuhnya sudah tak sanggup. Hari ini, ia bahkan baru memejamkan mata setelah jam empat pagi dan sekarang tubuhnya terkapar tak berdaya di atas sofa ruang tengah tanpa sempat berganti pakaian. Satu kakinya menjuntai ke lantai dan satu lagi tertekuk di atas.

Ting tong ting tong.

Chanyeol tersadar akibat suara ketukan di pintu apartemennya. Meskipun wajahnya kusut, ia bergegas untuk membuka pintu tanpa membasuh wajahnya terlebih dulu.

"Bonjour*!"

Seorang wanita berusia senja yang Chanyeol kenali sebagai Madam Piere berdiri di depan pintu unitnya dengan wajah khawatir.

"Bonjour, Park. Aku bawa buah-buahan untuk kalian. Apakah Gayoung baik-baik saja?"

Chanyeol melengos,"Merci, Madam. Sayangnya Gayoung belum kembali."

Madam Piere menghela nafas. Ia baru saja pulang dari makan malam dengan suaminya di Le Busca dan matanya melihat sosok Gayoung pada perjalanan pulang. Ia pikir, Gayoung telah ditemukan.

"Tak banyak wajah Asia di kota ini. Aku yakin, gadis di depan St. Georges tadi adalah Gayoung-mu."

Chanyeol bersyukur. Setidaknya Gayoung selamat jika Madam Piere benar melihat gadis itu. Saat ini, yang terpenting adalah bagaimana ia bisa menemukannya. "Kau melihat Gayoung? Apa ia baik-baik saja?"

Untuk beberapa saat Madam Piere terdiam. Ia tak yakin mengapa Gayoung tak kunjung tiba di apartemennya.

"Aku pikir ia terluka dan sudah ditangani karena ada perban di kepalanya. Kurasa sebaiknya kau menghubungi kantor polisi untuk menelusur keberadaannya sekarang."

***

"Kau tahu? Aku mengenalimu dari jam tangan itu beberapa waktu lalu."

Dohwan mengambil jam tangan yang tadinya diletakkan di atas dashboard dan memperhatikan benda tersebut dengan seksama. "Benarkah? Padahal ini bukan satu-satunya di dunia."

Gayoung tersenyum simpul. Jam tangan tersebut diproduksi secara masal. Mungkin ada lebih dari sepuluh ribu yang tersebar di seluruh dunia. Belum lagi, produk tiruannya. Akan tetapi, ia bisa mengenali milik sahabatnya.

"Aku tidak yakin, ada lagi yang menggambar bintang dengan cat putih di strap bagian bawah," ucap Gayoung berkomentar. Gambar tersebut dibuat oleh Gayoung, ketika pria itu berkomitmen untuk menjadi simbionnya.

"Hahaha ... Aku akan jadi bintang untukmu. Selalu," ujar Dohwan seraya memasang jam tangan tersebut di pergelangan tangan kanannya.

Mata Gayoung ikut mengamati benda tersebut. Dulu mereka sempat berdebat saat Dohwan minta ditemani membeli jam tangan. Meskipun pada akhirnya, pria itu memutuskan pilihannya sendiri, Gayoung lah yang menyeleksi sekian jam yang terpampang di etalase toko.

"Kenapa tidak kau ganti saja strap-nya? Atau, beli—jam— yang baru. Bukannya sudah mulai usang, ya?" tanya Gayoung, mendapati beberapa serabut yang mencuat dari sisi-sisinya.

Dohwan bergeming, ia punya alasan sendiri, untuk kembali mengenakan benda tersebut meskipun sudah sempat dipensiunkannya bertahun-tahun. Baru beberapa bulan ini, pria itu menggunakan jam tersebut lagi. Tanpa ada satupun yang diubahnya.

"Memang, kau mau menggambarkan bintang untukku?" tanya Dohwan dengan senyum manisnya.

Gayoung membuang muka ke jendela, membiarkan wajahnya diterpa angin malam. Lantas, ia menatap temannya yang mengemudi. "Aku tidak bisa menjadi simbionmu lagi. Buat apa?"

"Kenapa tidak bisa?"

"..."

"Apa kau meragukan keputusanmu?"

"Entahlah."

Dohwan menyugar rambutnya. Tidak seharusnya Gayoung keberatan menjadi simbionnya jika memang ia lelah dengan Chanyeol, "Aku harap kau tak berubah pikiran."

Gayoung menarik nafas dalam-dalam. Masih ada keraguan untuk keputusan besar yang Dohwan sarankan. Meskipun, keputusan tersebut yang terbaik untuknya, Chanyeol, dan orang-orang di sekitarnya, apakah ia tak terlalu gegabah?

***

Dengan petunjuk Madam Piere semalam, tidak berarti Chanyeol sudah bersama dengan Gayoung pagi ini. Rekaman CCTV di jalan tersebut tidak menangkap keberadaan hoobae-nya. Chanyeol harus menemukan cara lain untuk memastikan bahwa Gayoung benar-benar selamat. Hari ini ia berencana mengunjungi rumah sakit di sekitar St. Aubin atau jika perlu ia akan mendatangi setiap rumah sakit di radius 5 km dari lokasi Madam Piere menemukan Gayoung. Ia yakin, Gayoung tak akan pergi terlalu jauh kalau gadis itu benar terluka.

Semesta seakan mendukungnya, baru beberapa detik sejak ia menekan tombol elevator, pintu elevator terbuka dan sosok yang selama ini dinantikan ada di dalamnya.

"Gayoung-ah."

"..."

"Kupikir aku akan kehilanganmu," ucap Chanyeol kalut. Pria itu melangkah maju, memegang pundak Gayoung dan mendekap gadis itu erat, seperti takut kehilangan.

Gayoung sedikit terkesiap. Pertama kalinya ia melihat Chanyeol yang benar-benar mencemaskannya. Walaupun, ada rasa ragu, apakah Chanyeol sungguh-sungguh.

"Aku takut ...."

"Kenapa takut?" tanya Gayoung menarik mundur tubuhnya. Wajahnya menengadah, menatap Chanyeol bingung.

Pria itu menunduk, tak sanggup menatap wajah pucat Gayoung. Ia begitu kalut beberapa waktu ini. Bayangan Gayoung yang tak kembali membuatnya tertekan.

"Aku ... aku ... takut kau tak akan kembali."

Suara desahan yang cukup keras lolos dari bibir pria yang berdiri tegap di samping Gayoung. "Jadi ini kualitas sandiwaramu?" sindir pria itu tanpa peduli, "sebaiknya kita segera masuk, Gayoung tak suka jadi tontonan."

Dohwan menarik tangan Gayoung menuju lorong. Membiarkan tatapan bingung beberapa orang di elevator, termasuk Chanyeol.

***

Chanyeol sadar, cepat atau lambat ia akan bertemu dengan sosok bernama Woo Dohwan yang diceritakan oleh Sodam. Namun, tidak dalam posisi terintimidasi seperti sekarang. Pria itu tak menggubris keberadaannya, bahkan tak melepaskan tangan Gayoung hingga mereka masuk ke unit apartemen milik Chanyeol. Tentu, banyak pertanyaan yang muncul dalam benak Chanyeol akan keberadaan pria ini.

"Ada yang ingin kubicarakan. Sebaiknya Anda duduk dulu," tutur Chanyeol menahan diri.

Manik mata Dohwan masih terarah pada pintu kamar yang terbuka seakan tak ingin melepaskan perhatiannya dari Gayoung. Hal ini membuat Chanyeol cukup terganggu.

"Sebelumnya, maaf kalau kami merepotkanmu. Terima kasih banyak telah menolong Gayoung."

Kali ini Dohwan merespon dengan baik. Ia menatap Chanyeol serius dan berujar, "Tidak perlu berterima kasih, sudah kewajibanku untuk menjaganya."

"..."

Refleks Chanyeol tersenyum masam. Kata-kata Dohwan menyentil hatinya. Kewajiban? Siapa di sini yang berkewajiban untuk menjaga Gayoung?

"Aku sangat bersyukur Gayoung bisa bertemu kembali dengan teman lamanya. Kudengar kau adalah orang yang baik. Kau punya jiwa sosial yang tinggi untuk menolong orang lain."

"Ya, aku tak sebaik Young-ie yang senang menolong siapa saja. Aku berada di sisi Gayoung karena memang sudah sepantasnya aku melakukan hal tersebut. She has been my priority for a long time," tegas Dohwan tak ingin kalah. Sejak mendapati Gayoung terluka, Dohwan bersungguh-sungguh untuk menjaga gadis itu lagi.

Belum lama mereka berbicara, tapi Chanyeol merasa pria itu tak dapat diajaknya bicara. "Sekali lagi, kuucapkan terima kasih. Aku tidak tau seberapa jauh kau mengenal Gayoung tapi kumohon, posisikan dirimu di tempat yang semestinya."

Dohwan mendengus, "Aku masih menahan diri ketika kau menikahinya. Tapi, setelah kejadian ini, kau pikir aku hanya bisa menonton kau yang tak becus menjaga wanita yang kusayangi? Bisa-bisanya kau membiarkannya diserang pria-pria gila di dalam hutan. Kau ingin traumanya semakin parah?"

"Trauma?"

"Jangan bilang kau tidak tahu!"

Wajah Chanyeol mendadak pias. Ia sadar, ada yang tak wajar dengan sikap Gayoung selama mereka di Perancis. Namun, ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. "Trauma apa?"

Dohwan menggeleng. Pria itu menatap Chanyeol dengan tatapan meremehkan.

"Cari tahu saja sendiri."

Chanyeol tak bisa lagi mengendalikan emosinya, ia menarik kerah baju Dohwan dan menghardik pria itu, "Kau!"

Postur tubuhnya yang lebih rendah, tak lantas membuat Dohwan lemah, pria itu dengan mudah melepaskan cekalan Chanyeol dan merapikan pakaiannya.

"Tak perlu bertindak kasar. Sudah seharusnya kau tahu kondisi Young-ie, apalagi bersamanya di negara tempat malapetaka itu terjadi. Aku tak berhak bercerita banyak karena itu adalah privasinya. Satu saja pesanku, berapapun investasi yang kau peroleh dari menikahinya, perlakukan dia dengan baik dan hargai Young-ie."

"Apa maksud kata-katamu? Kau tak menjawab pertanyaanku."

Tak peduli dengan gertakan Chanyeol sebelumnya, Dohwan berbisik tepat di telinga Chanyeol, "Aku tahu kau menikahinya karena 100 juta won yang disuntikkan orang tuamu pada perusahaanmu. Mungkin dana itu sekarang tak seberapa untukmu, tapi bisa kau jaga Young-ie-ku selama aku tak bersamanya?"

"Berengsek!" amuk Chanyeol yang siap menghantamkan kepalan tangannya pada wajah Dohwan.

Bug!

Dohwan dengan sigap menghindar hingga kepalan tangan Chanyeol mengenai dinding. Chanyeol sadar, Dohwan bukanlah kawan, tapi lawan. Ia tak bisa memaksa pria itu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Gayoung.

***

Pertikaiannya dengan Dohwan tak membuat Chanyeol menyerah, pria itu lantas menghubungi Sodam untuk mendapatkan informasi yang tak pernah diketahui sebelumnya. Sayang, Sodam tak bisa bicara banyak karena sebenarnya pun Gayoung tak seterbuka itu akan pengalaman buruknya.

Chanyeol sendiri belum berani untuk bicara, ia hanya mengantarkan makanan dan obat ke dalam kamar.

"Eommaaaa!"

Teriakan Gayoung dari dalam kamar mengejutkan Chanyeol. Chanyeol yakin gadis itu pasti mengigau karena beberapa jam lalu gadis itu sudah terlelap. Segera, ia membuka pintu untuk melihat kondisi hoobae-nya.

"A-Aku ti-dak apa-apa," ucap Gayoung terbata sementara peluh mengalir dari kenining dan tubuhnya bergetar. Bukannya meminta perlindungan, Gayoung justru pura-pura tenang.

Chanyeol tak bisa diam saja di ambang pintu. Meskipun tak memberikan kejelasa, Dohwan sudah mengatakan bahwa kesehatan Gayoung tak sebaik yang disangka. Lalu, apakah Chanyeol masih akan diam ketika jelas-jelas Gayoung berusaha menyembunyikannya lagi?

"Sun-bae, ma-af, kau bisa kembali," ujar Gayoung sembari mengibaskan kedua tangannya, menginstruksikan Chan Yeol untuk pergi.

Namun, Chanyeol justru menutup pintu kamar perlahan dan berjalan mendekat. Pria itu duduk di sisi ranjang dan mendekap tubuh Gayoung hingga tubuh Gayoung meremang. Tangan besarnya mengelus lembut ubun-ubun gadis itu. Tak peduli jika Gayoung akan berontak, ia hanya ingin menenangkan gadis itu.

"A-ku ta-kut," ucap Gayoung parau. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Chanyeol.

"Kau bersamaku Gayoung-ah."

Tidak ada suara yang terdengar, hanya keheningan yang melingkupi keduanya. Namun, pakaian Chanyeol basah, Gayoung menangis dalam diamnya.

"Kumohon, percayalah padaku. Aku akan benar-benar menjagamu mulai sekarang."

Dalam tangisnya, Gayoung tersenyum getir. Mengapa Chanyeol harus bersikap begitu tulus? Rasanya tak mungkin kalau pria itu menikahinya karena uang. Atau mungkin, pria itu hanya sedang mengiba padanya?

***

Catatan kaki:

Bonjour: Selamat pagi



Gaje ya? Maapin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro