Part 21 - Memories
2011, Seoul
Angin musim gugur bertiup semilir. Menghempaskan dedaunan kemuning yang berguguran dari belasan pohon maple di sepanjang pedestrian. Dedaunan yang memenuhi sepanjang jalan menuju gedung serbaguna di jantung salah satu universitas terkemuka di Kota Seoul.
"Bagaimana persiapannya?" tanya seorang pria berkaca mata pada juniornya yang tampak serius memikirkan sesuatu.
"Sedang dalam perjalanan, Sunbae. Lokasinya sepertinya sudah siap," jawab seorang gadis bermata bulat dengan surai lurus berwarna hitam.
"Baiklah, kabari aku jika sudah siap, Gayoung. Satu jam lagi acara harus mulai."
Karena ini adalah kali pertama Gayoung melibatkan diri sebagai panitia, gadis itu begitu antusias sekaligus cemas. Selama sekolah, ia hanya berkawan dengan buku-buku pelajaran, tanpa aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah.
"Minumlah. Sejak tadi, kau tampak lelah," ujar seorang pria seraya menyerahkan sebotol air mineral padanya.
"Thanks."
Mendapati Gayoung yang tak banyak bicara dan hanya fokus pada timnya yang sedang bekerja, pria tadi lanjut bicara,"Aku percaya, acara ini akan berhasil. Kau melakukannya dengan sangat baik."
Gayoung tersenyum samar. Sekedar sopan santun pada teman yang tak dikenalnya. Pikirannya masih tersita pada orang-orang yang dihubunginya lewat handy talky. Bahkan, hingga acara usai.
"Terima kasih banyak untuk hoobae-hoobae-ku yang telah bekerja keras. Aku sangat mengapresiasi kerja keras kalian selama hampir sebulan ini. Dan, sebagai perwakilan dari teman-temanku. Aku ingin menyampaikan 'Sekali lagi, Selamat bergabung di Klub Jurnalistik'!"
Suara itu disambut dengan tepuk tangan riuh dari panitia acara, sekaligus anggota baru club jurnalistik. Senyum Gayoung pun tersungging. Ia merasa telah menyelesaikan satu tantangan besar dalam hidupnya.
"Ga Young. Bukannya kau tidak tinggal di asrama. Ini sudah malam. Bagaimana kau akan pulang?" tanya salah seorang temannya, mengingat Gayoung tinggal di hasukjib*.
"Aku akan berjalan pulang sekarang, Minjae," jawab Gayoung santai. Ia sudah mempertimbangkan ini sedari tadi. Tidak masalah sepertinya untuk pulang seorang diri. Lagi pula, ia sudah membawa payung, bubuk cabe dan parfum untuk berjaga.
Temannya menggeleng gusar. Tak habis pikir dengan nyali gadis manis itu. "Kau tinggal di Inheon-dong 'kan?"
Gayoung mengangguk.
"Mad Dog, bisa kau antarkan Gayoung pulang? Ia tinggal di distrikmu!" teriak teman Gayoung pada sosok jangkung bemata elang yang memberikannya minum tadi.
Tak ada keinginan untuk membantah,
"Woo Dohwan. Kau bisa memanggilku Dohwan," ucap pria yang dipanggil Mad Dog mengenalkan diri. Pria itu menyunggingkan senyum hingga kedua mata elangnya membentuk garis lurus. Hal yang Gayoung sukai dalam pandangan pertama.
Dohwan menjabat tangan Gayoung ramah hingga gadis itu terpaku.
"Kau tidak keberatan kan kalau kita berjalan dulu ke parkiran? Kau tau, kendaraan mahasiswa tidak akan boleh masuk ke area ini," imbuh Dohwan yang hanya dibalas satu anggukan oleh Gayoung. Lantas, gadis itu mengekor berjalan di belakangnya.
Ini adalah pertemuan pertamanya, tapi degup jantungnya langsung tak berkawan. Sepanjang jalan, tak ada kata-kata yang terlontar. Gayoung sampai berinisiatif menginisiasi percakapan untuk sekedar mencairkan keheningan ketika mereka sudah tiba di tempat parkir, "Di mana kau tinggal?"
"Nangseokdaeyeok 10-gil."
"Di depan 7 eleven?" tanya Gayoung terkejut. Ia tahu mereka tinggal di distrik yang sama tapi ada puluhan jalan di sana.
Dohwan mengangguk seraya menyerahkan helm teropongnya. "Kau?"
Masih terkejut, Gayoung mengenakan helm dan menjawab, "Naekseongdaeyeok 3-gil. Rumah tingkat warna abu."
Dru dru dru.
"Kau tidak bercanda 'kan?"
Gayoung menggeleng. Ada perasaan aneh, apakah ia pernah bertemu sebelumnya? Dalam insiden yang memalukan misalnya. Bagaimana ia bisa menjaga image setelah ini?
"Tetangga, kalau kau tidak nyaman memeluk pinggangku. Kau pegang jaketku saja ya! Bahaya pegang besi", ujar Dohwan mengacaukan lamunan Gayoung.
***
Setelah beberapa bulan tergabung di Klub Jurnalistik, Gayoung dan teman seangkatannya mendapatkan proyek angkatan, membuat majalah kampus untuk mahasiswa baru. Ia memilih untuk bergabung di Tim Layout. Betapa kagetnya Gayoung setelah pengumuman, ia harus menerima kenyataan bahwa semua anggotanya adalah pria-pria jurusan-jurusan teknik.
Dan, salah satunya adalah Woo Dohwan.
Baginya tidak mudah bekerja dalam tim yang hanya berisikan para pria. Cara kerja mereka cenderung santai dan efisien. Segala hal yang bersifat administratif dan renik akan otomatis menjadi tanggung jawabnya. Namun, keberadaan Dohwan menjadi dukungan tersendiri untuk membuatnya bertahan. Bahkan, pertemanan itu berlangsung lebih lama.
"Bisa kah kau tidak kencang?" teriak Gayoung yang duduk di kursi belakang. Sesekali ia memukul helm pengemudi motor.
"Tidak bisa. Aku suka dipeluk dari belakang," canda Dohwan.
Kesan pertama Gayoung tak meleset. Dohwan adalah pria kharismatik yang penuh pesona. Ketika sudah berkawan, banyak bonus kerecehan yang diperolehnya dari candaan pria itu. Bahkan, tak jarang ia mendapat insight dari sudut pandang seorang mahasiswa engineering.
"Sudah sampai! Wah, kau sudah tidak menutup mata. Terapiku berhasil," ujar Dohwan mengomentari gadis di boncengannya.
"Terapi apanya," gerutu Gayoung yang tidak terima karena Dohwan selalu mengejeknya yang tidak pernah tenang setiap naik motor.
Gayoung turun dari motor untuk menemui salah seorang senior yang tinggal agak jauh dari tempatnya. Ia sudah janji akan mengambil satu boks buku kuliah untuk tahun mendatang. Namun, tidak mungkin ia mengangkut barang sebanyak itu dari satu halte ke halte lain.
"Gayoung, ini buku-bukunya. Aku tidak yakin, beberapa buku masih relevan karena sudah ada edisi terbarunya. Tapi, cukuplah untuk belajar. Nanti kau bisa berdiskusi dengan teman-temanmu," ucap senior Gayoung menyerahkan satu kotak besar.
"Terima kasih, Chanyeol Oppa."
"Kau, jadi naik taksi? Atau bagaimana?" tanya Chanyeol mencari mobil yang mungkin dinaiki Gayoung, "Mau kubawakan atau bisa bawa sendiri?"
Gayoung menggeleng, ia menunjuk Dohwan yang berdiri di depan pagar. Lantas, ia mengambil boks yang menjadi alasannya datang.
"Oh, pacarmu?
"Bukan, Oppa. Hanya teman. Aku pulang dulu. Permisi," pamit Gayoung seraya sedikit berlari ke arah pagar, tak menggubris kalimat terakhir yang Chanyeol ucap.
Dohwan menerima box tersebut dan meletakkan di antaranya dan kemudi. Lantas, sedikit menunduk, memberi salam pada pemilik rumah.
"Lain kali kau jangan sungkan-sungkan. Jika kau butuh bantuan lagi, apalagi ke tempat yang jauh. Aku akan mengantarmu," tawar Dohwan tulus.
"Apa kau tidak punya malu?"
"Aku senang menemanimu. Lagi pula, ini ucapan terima kasihku karena kau sering menemaniku makan malam," jawab Dohwan membuat jantung Gayoung berdesir.
Namun, buru-buru perasaan itu dienyahkan, kembali pada realita. "Bagaimana bisa aku harus meminta tolong pada temanku yang harus meneror teman-temannya untuk pinjam motor? Lebih buruknya, sekarang ia meminjam motor kakek pemilik hasukjib*-nya."
***
2018, Toulouse
Merelakan sesuatu yang kita miliki memang bukanlah hal mudah. Bahkan mungkin, untuk sekedar sesuatu yang masih diharapkan. Namun, terkadang takdir sering bercanda. Ketika kita belajar ikhlas untuk melepaskan, 'sesuatu' itu datang kembali seperti tak berdosa.
"Aku masih saja penasaran alasan kau menyukai ice cream hitam ini— Black Sakura frozen yoghurt," komentar pria bermata elang pada dessert yang dipesan Gayoung di etalase. Gayoung saja baru tahu kalau ada makanan manis favoritnya di tempatnya tinggal.
"Enak, tahu."
Saking gemasnya, pria itu mencubit pipi Gayoung yang dibalas dengan tatapan menghunus.
"Jangan pegang-pegang, Dohwan!"
"Kita sudah lama tidak bertemu. Kau sombong sekali sekarang."
Pria itu berucap sambil masih memerhatikan sososk perempuan berdagu lancip yang hampir setengah tahun tak bertukar kabar dengannya.
"Jangan pura-pura bodoh! Dari dulu 'kan aku tidak suka. Perut lagi, kau gila?" gerutu Gayoung tak peduli berapa lama ia pernah merindukan pria itu. Tak ada kata canggung, mereka lebih terlihat seperti tidak pernah berpisah. Mau seberdebar apa jantungnya tadi, ia tak peduli.
"Maaf, nona. Padahal, dulu aku yang marah kalau kau tahu-tahu menarik tanganku."
Gayoung mendelik. Ia dulu memang suka mengerjai Dohwan yang juga sering menjailinya. "Tangan dan perut itu jauh berbeda. Aku curiga kau jadi pervert setelah bergaul dengan Parisien*. Ke mana saja kau selama ini?"
"Hmmm. Kalau panjang masih mau dengar, Youngie?" tanya Dohwan dengan mimik serius. Pria itu hampir tak pernah serius di depan Gayoung meskipun itu adalah tampilan default-nya.
"Come on!"
Tentu Gayoung tak ingin pengorbanannya untuk waktu yang direncanakan berdiskusi dengan Chanyeol tak membuahkan hasil.
"Korea Selatan."
Mata Gayoung memicing. Kesal. Di Korea Selatan, tapi menghilang saat ia mengirim SOS beberapa bulan lalu. Apa memang pria itu sengaja menghindarinya untuk bersama wanita yang dicintai?
"Jahat sekali. Tak ada satupun pesanku yang kau balas setelah aku bilang dapat beasiswa. Takut aku mengejarmu?"
"Justru aku berharap kau mengejarku. Sayangnya, aku justru terdampar di —pulau— Sindo."
"Kau? Ke Sindo? Buat apa? Tidak mungkin kegiatan sosial 'kan? Atau, penelitian?" tebak Gayoung. Di matanya, Dohwan adalah seorang pria dengan ambisi besar dalam bidang aeronautika. Kalaupun ada hal nekat yang berani dilakukannya, pasti tak jauh dari alasan misi besarnya.
Wajah pucat Dohwan membuat Gayoung meragu, tapi ia masih penasaran untuk bertanya, "Kau tidak sampai hilang di sana 'kan?"
Lantas, tawa Dohwan menggelegar hingga beberapa pasang mata mencuri pandang. "Ya. Hampir mati."
"Apa-apaan sih? Tidak lucu, tahu. Kau tidak punya bakat melawak."
Seketika, Gayoung menyadari kebodohan dalam bertutur. Matanya membelalak sempurna. Bertahun-tahun mengenal Dohwan, tak akan ada candaan kematian dari mulut pria itu.
Pria itu menengadah, menahan air mata untuk tak meluncur dari pelupuk mata. Gayoung hanya bisa membeku melihatnya.
"Rencananya, aku akan menguji kode unik ICAO*. Dalam proses trial, aku ikut terbang melintasi semenanjung Korea. Namun, terjadi kerusakan pada pesawat yang kutumpangi sehingga kami harus melakukan pendaratan darurat di kawasan Congjin. Kami terdampar di pulau itu selama seminggu, sebelum bantuan datang," cerita Dohwan mengingat mimpi buruknya.
"Seminggu? Apa pihak bandara tak mencarimu?"
Dohwan menggeleng samar dan lanjut bercerita, "Tak banyak yang tahu rencana penerbangan itu dan salah seorang agen mensabotase pesawat. Mereka tak ingin penelitian kami berlanjut. Ada beberapa oknum yang merasa terancam."
Gayoung merinding mendengarnya. Membayangkan dalam kondisi darurat di atas pesawat saja sudah mencekam. Apalagi dialami orang terdekatnya.
"Kau tidak mungkin baru tahu 'kan kalau proyekmu ditentang?" tanya Gayoung ingin marah. Sekali lagi, ia merasa Dohwan bertindak nekat dan fokus pada idealismenya.
Pria itu bergeming. Ia tak segila itu. Dulu memang ia sangat tertarik pada penelitian tersebut. Namun, mengingat risiko besar yang menantinya, ia lebih takut kehilangan orang-orang di sekitarnya.
"Aku berhenti. Lagi pula, aku sempat koma dan lumpuh," imbuh Dohwan enteng.
Wajah Gayoung yang lagi-lagi terkejut membuat pria itu mau tak mau terbuka bahwa ia keracunan akibat makanan beracun yang —terpaksa—dikonsumsi di tengah hutan.
"Maaf, kalau aku bertanya terlalu banyak. Kau jadi harus mengingat kejadian tak menyenangkan ini," sesal Gayoung.
"Tidak apa-apa. Aku senang kau masih perhatian. Hampir saja aku putus asa menjalani terapi yang melelahkan. Tapi, saat melihat foto kita, kuingat ceritamu dulu. Aku merasa punya alasan untuk bangkit. Here I am!"
Saat itu, Dohwan merasa menjadi manusia paling tidak berguna di dunia. Lelah dan bosan dengan beragam terapi yang dilalui. Kehilangan rasa percaya diri untuk bersama orang-orang terkasih.
"Kau berhasil melaluinya, Dohwam—," ujar Gayoung nyaris menangis. Tak kuasa membayangkan derita Dohwan.
"—aku bangga padamu."
Senyum Dohwan kembali terukir hanya dengan mendengar ucapan Gayoung. Gadis itu selalu bisa menjadi pelipur laranya. Tak hanya dulu, tapi juga sekarang.
***
2015, Seoul
Resmi menyandang Bachelor of Science, Gayoung memulai internship di salah satu holding company klinik kecantikan di Divisi Marketing. Tuntutan yang tinggi mengharuskannya sering pulang di atas pukul 8 malam.
"Aku bingung, ada... saja... orang-orang yang mencintai pekerjaan," ungkap Dohwan menyindir Gayoung. Pria itu memutar setirnya ke kanan, membelokkan mobilnya keluar area parkir di sebuah kawasan pusat bisnis di Cheondam-dong.
"Mencintai benda mati memiliki peluang lebih tinggi untuk mendapatkan dan tak kehilangannya," jawab Gayoung meledak-ledak.
"Ya... Kau terbawa perasaan."
"Bukankan cinta harus memiliki?" tanya Gayoung penuh arti. Realita yang sering orang sanggah. Sulit mencintai sesuatu tanpa hak milik.
Kali ini Dohwan tidak tahu harus merespon apa. "Malam ini kita makan di mana?"
Gayoung melempar pandang pada trotoar. Ia tidak ingin terlalu lama menunggu Dohwan memahami maksud kalimatnya. Kalau ia mengerti syukur. Kalau tidak, mungkin memang belum waktunya.
"Kau ingin apa?"
"Terserah kau saja."
"Beri tahu lokasi penjual makanan tersebut," sindir Dohwan sedikit menaikkan nada bicaranya. Jika kesal Gayoung mudah mengatakan kata pasrah tak pasrah tersebut.
"Galbi?"
"Kau tidak ingin ramen?"
Gayoung tetap pada pendiriannya, "Kita butuh suasana baru. Aku ingin galbi."
Salah sendiri Dohwan basa basi menanyainya. Hari ini,Gayoung ingin sedikit membangkang. Menyukai seseorang bukan berarti selalu mengikuti semua kemauan orang tersebut. Unconditional love does not mean unconditional tolerance, right?
Sementara itu, pikiran Dohwan masih tertuju pada beberapa menit yang lalu. Kenapa Gayoung terlalu sering bermain teka-teki dengannya?
"Aku ingin sekali menyampaikan kabar bahagia. Profesorku tertarik pada penelitianku."
Setelah lulus, Dohwan tidak langsung bekerja ataupun mengambil internship, pria itu lebih memilih melanjutkan studi dan penelitian di kampus yang sama. Hasil bujuk rayu dari sonsaengnim nya, yang mengatakan kalau ia sangat berbakat bahkan berpotensi menjadi seorang expertise.
"Akankah kau mentraktirku karena ada kesempatan untuk publikasi internasional?"
"Ia akan membawanya ke Konferensi di Perancis. Kenapa bukan Amerika? Perancis lebih terkenal dengan makanannya bukan?"
Gayoung berdecak, "Kau bagaimana sih? Pabrik Airbus 'kan di Toulouse. Sekali-kali kau harus menghentikan obsesimu pada USA."
Dalam hati, Gayoung begitu bahagia. Banyak mimpi yang dibagikan satu sama lain dalam setiap percakapan mereka dan Gayoung menggarisbawahi hal itu sebagai 'Relationship Goals'. Bukan untuk sepasang kekasih, tapi sahabat.
"Kau harus mengajarkanku Bahasa Perancis. Aku tidak suka mengambil kelas bahasa," tukas Dohwan mengingat aktivitas Gayoung semenjak kuliah.
"Kau butuh praktik langsung. Aku tak sehebat itu."
"Aku percaya padamu," ucap Dohwan yakin.
Seyakinnya ia dengan kemampuan perempuan di sebelahnya yang lebih sering tidak mempercayai kemampuannya sendiri. Hal ini yang menjadikan Gayoung sulit menjauh dari Dohwan. Kepercayaan memiliki nilai yang tak terhingga untuk Gayoung. Dohwan memang pintar membuatnya merasa lebih berarti sekalipun ia sering kehilangan kebebasannya.
"Sonsaengnim-ku itu ... juga ingin mengenalkan aku pada putrinya," ucap Dohwan ingin memecah suasana.
"Wah, kau mencuri hati ibu-ibu," sarkas Gayoung, menutup kecemasan yang menyerang.
"Bagaimana menurutmu? Sepertinya ini akan serius. Aku jadi bimbang."
Selama ini, Dohwan belum ada niat serius dalam menjalin hubungan. Selalu bermain-main dengan alasan yang dibuat-buat. Entah sikap kekasihnya kurang cocok atau bahkan tidak ada chemistry. Hal ini juga yang membuat Gayoung selalu ragu untuk menunjukkan perasaannya. Ia takut pertemanan mereka akan kehilangan nilainya saat hubungan percintaan 'sementara' berakhir.
***
"Aku menerima tawaran itu—perjodohan," ujar Dohwan datar.
Gayoung meringis walaupun ia ingin sekali berlari pergi sejauh-jauhnya. "Cepat sekali. Selamat!"
"Aku juga merasa begitu. Bahkan, kami sudah dua kali bertemu."
Yang benar saja, ini baru seminggu dari hari Dohwan bercerita dan sekarang mereka sudah sesering bertemu.
"Jika saja aku mengatakan yang sejujurnya, apa semua akan berbeda?" batin Gayoung.
Entah pria itu peka atau tidak, ia mulai bercerita, "Dia sangat perhatian. Kau tahu, dia memiliki golongan darah A. Itu sangat cocok denganku. Aku bisa melindunginya dengan baik."
Mitos kecocokan berdasarkan golongan darah memang menjadi kepercayaan favorit masyarakat Korea Selatan. Bahkan banyak beredar artikel-artikel yang membahas hal itu. Namun, apakah seorang Woo Dohwan yang intelektual bisa dengan mudahnya percaya?
"Coba golongan darahku A. Apa kau akan secepat ini menyukaiku?" batin Gayoung mulai tidak waras.
Belum puas menceritakan perasaannya, Dohwan mengambil satu langkah besar dengan menunjukkan jepretan gambar beberapa hari lalu.
"Bagaimana? Cantik tidak? Sepertinya aku jatuh cinta padanya."
Gayoung terdiam, ia mengenal wajah oval dengan poni tipis itu dengan baik. Gadis yang sama yang berlari dengannya untuk bertahan hidup. Bagaimana bisa?
"Cantik. Sekali," jawab Gayoung jujur.
"Kau harus menjaganya baik-baik. Jangan main putus!" ucap Gayoung mengingatkan Dohwan.
Meskipun, ia tulus berharap Dohwan akan bahagia dengan pilihannya, ia hanya ingin menyampaikan kekecewaannya untuk terakhir kali. Gayoung tidak peduli pendapat Dohwan nanti.
"Pasti setelah ini, kita sudah tidak bisa pergi bersama lagi."
Bagaimanapun status mereka berdua hanya teman. Jika gadis di foto itu memiliki hubungan lebih dekat dengan Dohwan, bisa saja ia meminta Dohwan tidak dekat lagi dengan Gayoung.
"Moon Gayoung, jangan berpikir seperti itu! Hubungan kita tidak akan pernah berubah sampai kapanpun."
Dohwan sungguh tidak ingin ada yang berubah dari hubungan mereka. Jika diibaratkan sebagai obat, dosis selama ini sudah tepat. Rasio risk - benefit-nya sudah yang terbaik.
"Tapi prioritasmu akan berubah."
"Tidak. Aku berjanji, kau akan selalu menjadi prioritas pertamaku setelah keluargaku. Di manapun dalam kondisi apapun," janji Dohwan sungguh-sungguh.
Bukankah itu janji yang berat?
***
Catatan kaki:
Hasukjib: semacam rumah kos.
Parisien: orang Paris
ICAO: International Civil Aviation Organization, agensi khusus penerbangan milik USA
***
Wadidaaaw, clear ya yeorobun sedekat apa pertemanan Gayoung sama Dohwan. Ada nggak yang pernah kaya gini? Jangan sampai ya shy shy cat terus kebablasan. Bye bye deh.
Btw, lebih suka hubungan Do-Young atau Chan-Young?
Pas lihat muka Chan Yeol yang ini gemes banget. Pingin nyulik. Kaya gini kali ya ekspresi dan gesturenya waktu pertemuan keluarga, minta dijadiin menantu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro