Part 17 - Heart Beat
Ornamen-ornamen khas negeri ginseng bernuansa merah dan hijau terpajang apik di sudut-sudut ruangan. Sementara, furnitur berbahan kayu di dalamnya dan penghisap asap ditata tak kalah estetik untuk ukuran sebuah kedai makanan bertema Korea.
Suasana tersebut menjadi alasan untuk Gayoung mengajak Sunbae-nya berkunjung kembali‒pasca kesembuhan Chanyeol. Beralasan sebagai pelepas rindu terhadap negara asal keduanya.
"Astaga! Ternyata benar kalian berdua!" ujar wanita berwajah oriental yang cukup familier.
Lantas, Gayoung membungkuk dan memamerkan gummy smile sebagai respon ramahnya pada orang yang sudah sangat membantunya beberapa waktu lalu.
"Sekarang kekasihmu sudah benar-benar sembuh 'kan?"
Tanpa perlu berpanjang kata, Gayoung paham siapa yang dimaksud oleh bibi tersebut. Tak mengelak seperti biasa, gadis itu sadar, bukan salah siapapun untuk menduga hubungan keduanya sebagai pasangan kekasih. Bisa jadi, tindak tanduk keduanya memang terlalu akrab.
"Ah, iya. Dia sudah sangat sehat, Bi. Terima kasih untuk bantuan Bibi saat itu," jawab Gayoung sembari menerima teko yang terakhir diserahkan sang Bibi. Gadis itu reflek menuangkan teh jagung yang dipesannya ke gelas Chanyeol dan miliknya.
"Senang melihatmu sudah bugar. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi Bibi, ya. Orang tua kalian jauh, akan sangat senang kalau Bibi bisa membantu kalian," pungkas sang Bibi tiba-tiba. Menyadarkan Gayoung akan kedatangan Chanyeol.
"Baik, Bi. Anda benar-benar malaikat untuk saya hari itu. Rasanya kata terima kasih tidak cukup untuk membalasnya," jawab Chanyeol hiperbola sembari menyalami wanita yang makin sumringah melihat keakrabannya.
Selepas kepergian Bibi tersebut, Chanyeol segera mendaratkan pantatnya di kursi dan matanya menyipit, menatap Gayoung penuh selidik. Wajah ovalnya ditarik mundur seolah Gayoung sudah melakukan kesalahan fatal.
"Kau sehat?"
"Tentu."
Merasa tidak ada yang aneh, Gayoung tak menggubris. Ia justru meletakkan beberapa irisan daging beserta potongan bawang di atas panggangan dan menghirup aroma wangi yang menyeruak.
Sekalipun asap kian mengepul beberapa saat setelah itu, manik mata Chanyeol justru terpaku pada pemandangan di hadapannya. Kali ini, Gayoung tak memintanya melakukan apapun, gadis itu sibuk sendiri membolak-balik bulgogi yang akan mereka makan. Ini bukanlah hal yang langka. Namun, ada rasa yang tak dapat diungkapkannya dalam kata, menangkap keanggunan yang ternyata gadis itu pancarkan saat ini.
"Sunbae, lihat apa?"
"Bi-bibi itu melihat ke sini dari tadi," jawab Chanyeol sekenanya. Buru-buru ia menegak satu gelas teh jagungnya hingga tandas.
Sontak Gayoung menoleh dan mendapati sang Bibi yang dimaksud justru sedang melayani pelanggan di sudut lain. Ia pun tergelak.
"Belum malam. Jangan mengada-ada!"
Chanyeol mencibir membela diri kalau keduanya diperhatikan sejak tadi, yang tentu membuat Gayoung makin merasa tak nyaman. Di matanya, Chanyeol tak suka berbohong tapi pria itu pintar beralasan.
Seolah tak mengizinkan pikirannya menerka lebih jauh alasan sikap Chanyeol yang mencurigakan, Gayoung menuangkan kembali teh hangat ke gelas Chanyeol sampai Chanyeol sendiri yang menghentikannya, "Cukup."
"Ka-kau baik-baik saja?" celetuk Chanyeol terbata di awal. Baginya, Gayoung menuangkan minum untuknya di tempat umum adalah hal yang langka. Tak bersikap sinis tanpa memantik pertikaian sangat tidak wajar. Belum lagi...
Gadis itu yang dengan santainya meletakkan potongan pertama daging matang ke atas nasi Chanyeol.
"Aku sehat. Justru aku yang harusnya khawatir, dari tiba di sini kau sudah pergi ke toilet. Sunbae, tidak ada masalah pencernaan 'kan?"
Chanyeol mendelik tak terima.
"Kalau iya, aku saja yang makan bulgogi. Bumbunya pekat. Kau pesan yang lain saja," timpal Gayoung seraya memegang mangkuk nasi di seberangnya.
"Enak saja. Makan punyamu sendiri."
Tak membiarkan Gayoung merebutnya, Chanyeol menyantap nasi dan bulgoginya dengan sangat lahap. Bahkan, pria itu tak lagi protes ketika Gayoung menambahkan potongan daging yang sudah matang ke dalam mangkuknya.
Diam-diam Gayoung tersenyum samar. Ia selalu mengamati bagaimana sunbae-nya itu menghabiskan makanannya. Ini bukan pengamatan pertamanya. Hampir setiap keduanya bersantap di meja yang sama, gadis itu akan menaruh perhatian secara sadar maupun tidak. Seakan tidak menyadari risiko tindakannya kali ini, ia tertawa lepas.
"Kenapa kalau kau suka‒makanannya‒ harus makan dengan cepat sampai mulutmu penuh, sih?"
"Kau menertawakanku?"
"Maaf, kau lucu. Belum lagi, maaf, telinga lebarmu samar-samar ikut bergerak," kekeh Gayoung sebelum menutup mulutnya dan menyembunyikan tawanya.
"Apa lagi?"
"Kalau kehabisan kata, lidahmu jadi terlalu sering membasahi bibir," pungkas Gayoung enteng.
Chanyeol mengernyit hingga kedua alisnya hampir bertaut. Sedikit kesal dengan deskripsi Gayoung yang menyerupai gajah. Jiwon saja yang bertahun-tahun bersama, tak pernah mengatakannya.
"Hah, terima kasih sudah sangat perhatian. Ingat, kalau kau banyak bicara, nasimu semakin dingin," sindir Chanyeol.
***
Setelah makan malam di Kedai Korea, Gayoung berusaha untuk lebih mengontrol emosi dan berdamai dengan kondisi. Hingga Chanyeol sering tak habis pikir, hantu apa yang menempel padanya. Bukan hanya Chanyeol, Jongin dan Sunbin sangat hafal dengan sunbae-hoobae yang lebih sering tidak akurnya.
"Kau 'kan tahu itu sandwich tuna. Kenapa dibeli?"
Biasanya, tak lama dari mengeluhkan sikap Chanyeol, umpatan Gayoung akan terlontar dari bibir tebalnya. Namun, ketiga temannya harus menunggu lebih sabar ketika Gayoung tak kunjung mengatakannya.
"Berikan padaku."
Chanyeol menarik tubuhnya mundur dan bersembunyi di balik punggung Sunbin selagi membuka kemasan. Sementara Sunbin justru menyerahkan sandwich miliknya pada Gayoung. Berpikir bahwa gadis itu sedang sangat menginginkan makanan tersebut dan Chanyeol merebut stok terakhir.
Gayoung melambaikan tangan menolak pemberian Sunbin sementara Chanyeol sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Sunbae mau badanmu bentol-bentol. Cepat tukar dengan apelku! Eomma-mu 'kan sudah bilang, tidak ada seafood secuil pun," seru Gayoung sembari melompat berusaha menggapai sandwich milik Chanyeol.
"Tidak mau!"
Bukannya mengingatkan, Jongin justru menimpali, "Sudahlah, kenapa kau yang repot. Tidak ada Eomma-nya di sini. Paling kalau gatal, dia sendiri yang sakit di kamarnya."
Mata Gayoung melotot saking kesalnya. Tidak tahu apa Jongin kalau ia akan kewalahan juga saat giant baby itu sakit. Betapa menyusahkannya seorang Chanyeol yang mereka banggakan.
"Kau tidak tahu apa-apa!" ketus Gayoung.
"Memang ada apa?"
Di waktu yang bersamaan Chanyeol sedikit tersentak, menduga Gayoung akan membeberkan hubungan mereka sekarang.
"Hmmm. Sun-sun-sunbae akan merengek minta pulang ke Busan. Apa kau tidak takut ditinggal pulang?"
Jongin mendesah pelan, tak puas dengan jawaban mantan seniornya.
"Hah, terserahlah. Tapi, sebelum merecoki Hyung, kau urus dirimu sendiri sajalah," pungkas Jongin seraya menepuk bahu Gayoung.
Senyum asimetris Chanyeol terkembang. Senang saja melihat Gayoung gagal mencari alasan. Lantas, ia menyelipkan kudapan yang dipertahankannya sejak tadi ke telapak tangan Gayoung.
"Cepat habiskan."
Hanya Sunbin yang tak memberikan tanggapan. Ada hal tak kasat mata yang mencubit dadanya. Rasa curiga dan tak aman. Bagaimana bisa Gayoung terlalu mengenal Chanyeol?
***
"Oh, my God! Itu wajah atau pipa? Tirus sekali wajahmu Park Sodam. Apa kau baru saja operasi? " pekik Gayoung melihat perubahan wajah sahabatnya. Garis rahang Sodam terlihat tak setegas biasanya. Kalaupun efek make up, ia tak yakin semenakjubkan itu.
"Yah. Bisa kah kau tidak membahasnya sekarang? Banyak yang ingin menyapa Toulouse hot couple ," ucap Sodam seraya memutar layar ponsel ke sekitarnya.
Gayoung melongo mendapati wajah teman-teman kuliahnya yang berdempetan dalam layar. Sebagian besar Gayoung mengenal dekat, tetapi beberapa di antaranya mungkin hanya sesekali bertegur sapa. Menurut pengakuan singkat Sodam, Gayoung kini menjadi trending topic di acara reuni. Apalagi penyebabnya kalau bukan kenyataan bahwa ia menikah dengan Park Chanyeol.
Terlepas dari ketenaran pria itu di kampus, namanya seolah anjing penjaga yang terpampang di setiap sampul text book yang Gayoung miliki. Jelas dalam ingatan Gayoung tuduhan yang dilayangkan teman seangkatannya saat menemukan fakta tersebut.
Mau tak mau ia menyapa teman-temannya dengan ramah dan menanggapi pertanyaan yang sebagian besar justru menanyakan sunbae-nya.
"Kau membicarakanku dengan siapa?" tanya Chanyeol yang sejak tadi memperhatikannya dari kursi pantry.
"Tidak," sanggah Gayoung panik.
Bukannya pergi, Chanyeol justru menghampiri hoobae-nya dan mengintip dari balik sofa.
"Kalau tidak mau mengajak orang bicara, jangan asyik bicara sendiri di dekatnya," tegur Chanyeol tenang. Menegakkan kembali layar ketika Gayoung akan menelungkupkan ke bantal.
"Huwaaa! Sunbaeeee!"
Tak hanya Chanyeol yang terkejut, punggung Gayoung sampai membentur sandaran resbang.
"Hi, girls!" sapa Chanyeol dengan senyum lebarnya. Sudah lama ia tak disapa banyak wanita dengan antusias. Sedikit berbasa-basi menanyakan apa yang sedang teman-teman Gayoung lakukan dan pertanyaan retoris apakah mereka merindukan Gayoung saat ini.
Dialog singkat dengan Chanyeol membuat teman-teman Gayoung blingsatan. Sadar atau tidak, gadis di dekatnya pun mulai bergerak tak nyaman. Terlebih saat ia melompat ke depan untuk duduk di samping Gayoung dan memberikan pelayanan yang baik dengan melingkarkan lengan kanannya di bahu gadis itu. Sekalipun tak menyukai PDA, ia cukup mampu menangkap harapan teman-teman Gayoung, yang langsung berteriak histeris.
"Pipimu merah, Gayoung-ah," celetuk Sodam hingga Chanyeol menghentikan fokusnya untuk sekedar menoleh. Benar saja, pipi Gayoung sudah seperti tomat masak. Entah gadis itu juga menyadarinya, ia bangkit dari sofa dan berlari ke toilet.
***
Sodam sudah berjalan keluar kafe ketika ponsel di dalam tasnya bergetar. Gadis itu tak mengangkatnya mengingat tangannya penuh dengan kantung plastik berisi kotak makanan. Baru beberapa detik berhenti, ponselnya kembali bergetar, hingga ia berjalan ke arah mobilnya dengan tergesa dan meletakkan kedua kantung besar di tanah.
"Ya, Park Sodam!"
Refleks tangannya menjauhkan ponsel miliknya dari daun telinga. Dari sekian kontak di ponselnya, ia sudah curiga kalau Gayoung yang akan membabi buta menghubungi.
"Halo! Ada apa? Galak sekali sapaanmu," tegur Sodam basa-basi.
"Masih bisa bertanya ada apa? Astaga! Astaga! Kau bisa membuat Sunbae salah paham. Dia pikir aku kenapa sampai seperti itu—pipi bersemu. Awas saja kalau setelah ini dia mem-bully-ku, kau harus tanggung jawab," cerocos Gayoung panjang lebar.
Sodam menyelipkan ponselnya di antara telinga dan bahu sementara ia mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil.
"Apa salahnya sih terpesona dengan suami sendiri? Lagi pula, kenapa juga pipimu sampai merah? Sunbae tak sedang merayumu 'kan?"
Terdengar napas Gayoung yang mencelos.
"Kami tidak seperti pasangan lainnya."
Sebuah kalimat bernada kecewa membuat Sodam menaruh curiga. Ia tahu betul alasan pernikahan sahabatnya. Namun, ia tidak pernah menyangka kalau Gayoung akan senekat itu untuk mencapai tujuannya. Apa sahabatnya itu sedang menikah kontrak?
"Kalian tidak sedang main-main dengan Tuhan 'kan?" tanya Sodam retoris.
"Bukan bermain-main juga. Kau tahu sendiri hubungan kami sangat rumit. Sunbae baru patah hati sebelum kami menikah dan aku- aku sendiri belum tertarik untuk benar-benar terikat dengan orang lain. Anggap saja kami masih belajar menjadi sahabat. Seperti kau dan aku."
"Sampai kapan? Sunbae sering melaporkan tingkah konyolmu dan aku pikir tidak mungkin ia bisa melihat dirimu yang sebenarnya kalau kalian tidak dekat bukan?"
"Kalian membicarakanku di belakang?"
Pada akhirnya, bukan Sodam yang mencecar Gayoung tentang keseriusan pernikahan sahabatnya. Melainkan, Sodam sendiri yang harus menerima omelan Gayoung yang tak terima dijadikan bahan pembicaraan tanpa sepengetahuannya.
"Tidak ada salahnya untuk mulai mencintai teman hidupmu itu. Kalian itu suami istri, bukan sedang co-living," saran Sodam setelah Gayoung puas mengeluarkan semua uneg-unegnya.
"Aku masih waras untuk tidak bertepuk sebelah tangan."
"Oh, ya?"
Sodam yakin, sahabatnya belum menyadarinya saja. Gayoung tak semudah itu malu-malu kucing di dekat laki-laki seperti yang kerap kali ia tuduhkan. Hanya di depan dua orang, Sodam pernah melihat Gayoung tersipu.
"Terserah kalau kau tidak mau mengatakannya padaku. Tapi, jujurlah pada dirimu sendiri."
"Astaga! Berapa kali aku harus mengulangnya? Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Aku tidak punya perasaan apapun dan akan sulit untuk memiliki perasaan untuk lawan jenis. Aku hanya tak ingin kehilangan dia dan kami akan bersahabat."
Senyum Sodam terkembang mendengar penggalan kalimat yang didengarnya. Mungkin keduanya memang belum peka, ia harus menjadi cupid yang bijak untuk pasangan tersebut.
"Oke. Aku mengalah. Pesananmu sudah kukirim dan akan tiba minggu depan. Satu pesanku, jangan sampai Sunbae melihat paket tersebut kalau kau ingin rumah tanggamu baik-baik saja. Bye!"
***
Gayoung mencibir kesal akibat Sodam yang tak lagi mengangkat panggilannya dengan statement penutup yang tak jelas. Memang apa yang bisa mengancam hubungannya dengan Chanyeol?
"Akhir-akhir ini kau hobi bicara sendiri?"
Mata Gayoung membola dan refleks ia berbalik. Belum hilang rasa khawatirnya kalau Chanyeol menguping pembicaraannya, tubuhnya harus membeku mendapati pemandangan tak biasa. Chanyeol hanya mengenakan bathrobe dan berjalan menghampirinya. Rambut Chanyeol yang masih basah justru membuat pria itu tampak lebih mempesona.
"S-Sun- Sunbae kenapa hanya memakai bathrobe?"
Wajah pria itu yang kian mendekat dan tatapan dinginnya semakin memporak-porandakan pertahanan Gayoung. Jantungnya berdegup semakin kencang. Mengalahkan ritme saat Chanyeol merangkulnya tadi.
"Siapa yang bilang bersedia mengurus laundry tapi melewatkan pakaianku?" keluh Chanyeol seraya menunjuk rak lemarinya yang terbuka.
Benar juga, Gayoung belum membawa pakaian Chanyeol tadi pagi karena jadwal mengganti sprei. Tidak terpikir kalau pakaian pria itu sangat terbatas.
"Sunbae, tidak kedinginan hanya pakai itu?"
"Mau bagaimana lagi," jawab Chanyeol enteng dan melemparkan tubuh bidang pria itu ke atas kasur.
Gayoung tentu mendelik. Ia masih wanita normal dan sehampa-hampa perasaannya pada Chanyeol, posisi ini bisa membuatnya berprasangka yang tidak-tidak.
"Kenapa berbaring di kasur? Bathrobe-mu basah. Nanti kasurku bau. Bathrobe-mu lama-lama akan berjamur!" tegur Gayoung panik. Ia mengangkat selimut saking tidak tahu harus berbuat apa lagi.
"Galak sekali, sih. Terus aku harus tidur pakai apa? Tidak pakai baju sekalian?"
"Mesum!"
Bola mata Chanyeol berputar cepat. Ia terhibur setiap melihat hoobae-nya panik. Justru ini kesempatan untuknya menggoda, "Kenapa? Kau takut?"
"Siapa yang takut? Apa yang harus aku takutkan?"
"Aku."
Gayoung mendengus kesal walaupun ia tahu Chanyeol tak akan segila itu. Segera diambil sepasang sweater-celana oversized miliknya dan diletakkan di atas kasur.
"Cukup ataupun tidak, lebih baik kau pakai itu. Kau tak perlu membayarnya. Oke?"
***
Gayoung kenapa si sebenarnya?
Ditunggu ya komennya. Aku seneng banget lo setiap ada yang kasih komentar trus seakan masuk dalam kondisi Chan-Young.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro