Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 16 - Stabbed

6.15 CEST

Tirai salah satu kamar di tengah Kota Toulouse masih tertutup rapat. Cahaya mentari pun belum berani mengintip masuk, hanya sinar lampu tidur yang menyala remang-remang di satu sudut. Namun, kamar tersebut sudah terlihat berantakan. Bantal-bantal bergeletakan di lantai. Jauh lebih kacau dari pada biasanya.

Drt... drt... drt....

Pria berkaus abu terbangun dengan mata yang masih tertutup. Tangannya meraba-raba ke arah nakas, mencari keberadaan ponsel yang sudah mengganggu jam tidurnya. Dengusan kesal terdengar jelas tatkala tak ada tulisan apapun di ponsel miliknya. Malas-malas, ia mendudukkan tubuhnya dan mendapati ponsel di sisi nakas lain sedang bergetar.

"Ponselmu berbunyi," keluhnya, "bangun sebentar dan matikan dulu. Aku masih mau tidur."

Karena gadis di sampingnya tak terbangun, ia terpaksa menendang kaki gadis itu untuk membangunkannya. Bukannya terbangun, gadis itu justru meraba-raba mencari sesuatu dan menarik satu bantal di lantai. Lalu, menyembunyikan wajahnya.

"Biarkan saja. Kau berisik, tahu."

"Heee. Ponselmu yang lebih berisik," geram pria tersebut kesal.

'Meomutgeoriji ma Move on ja shigani eopseo.'

Tak hanya getar, kali ini ponsel tadi berbunyi nyaring. Musik EDM memang kesukaan pria itu tapi bukan untuk mengganggu jam tidur yang sangat terbatas. Sudah tak bisa menahan kesabaran, tangan panjangnya mengambil ponsel tersebut, berniat mematikan.

"Ya, Eommonim menelpon!" ucapnya terkejut hampir melempar ponsel di tangannya. Refleks, ia mengguncang tubuh si Pemilik ponsel.

"Angkat saja."

Buru-buru, ia menaikkan selimut yang sudah tersampir di ujung ranjang hingga menutupi tubuh gadis tersebut. Saking kesalnya. Menaikkan beberapa bantal yang terjatuh di sisinya agar tak nampak terlalu berantakan.

"Benar-benar, ya. Bagaimana bisa aku hidup dengan gadis yang kalau tidur seperti babi," keluhnya kesal.

"Pagi, Eommonim."

"Pagi, Chanyeol. Di mana istrimu?"

"Mana Gayoung? Lama aku tak melihat wajah menantuku yang cantik," sapa Chanyeol Eomma bersama ibu mertuanya. Jarang-jarang mereka mendapat telepon dari keduanya bersamaan.

"Masih tidur," jawab Chanyeol bingung.

"Sudah jam berapa ini? Kami saja sedang makan siang. Masa suaminya yang bangun duluan?"

Gayoung Eomma selalu kesal saat putrinya bangun kesiangan. Bahkan, jauh sebelum Gayoung menikah, Eomma selalu mengeluhkan hal tersebut setiap harinya. Apalagi sekarang, di hadapan besannya, putrinya terlihat seperti istri yang pemalas.

Chanyeol melirik Gayoung sekilas. Gadis itu belum menurunkan selimiutnya. Ia yakin, Gayoung kembali tertidur pulas. Padahal, Chanyeol sengaja mengangkat telpon di atas kasur agar Gayoung tersadar.

"Di sini masih terlalu pagi. Semalam Gayoung harus begadang, mungkin sebentar lagi dia bangun," bela Chanyeol sebelum ibu mertuanya semakin mengeluh. Sesekali masih melirik Gayoung yang justru merapatkan selimutnya Seperti tak ada niatan sedikitpun untuk bangun.

"Memang apa yang dia lakukan semalam?" gerutu Gayoung Eomma.

Bola mata Chanyeol berputar lambat. Bisa-bisa nanti Gayoung yang mengomelinya kalau ia bilang gadis itu menonton drama sampai larut. Lantas, ia hanya meringis, memamerkan deretan giginya.

"Sudah jangan ditanya. Anakku tidak akan berani menjawabnya di depanmu," tegur Chanyeol Eomma yang tak dibantah sekalipun oleh Chanyeol sendiri.

Kedua wanita baya di layar saling melirik dan lantas terkikik.

"Oh, maaf, ya, Anakku. Eommonim tak bermaksud memarahimu. Sungguh. Tapi, jangan dengarkan kata-kata kerabat yang menjadikan anak sebagai tolak ukur keberhasilan menikah. Kalian masih sekolah, jangan terburu-buru," tutur Gayoung Eomma salah paham.

"Padahal, aku sendiri juga sudah tidak sabar, tahu," goda ibunya.

Chanyeol mengusap wajahnya menahan malu. Sungguh imajinasi kedua ibunya sangat jauh dari realita. Mengingat wajah murka Gayoung saat Baekhyun menuduhnya hamil saja sudah mengerikan. Mana mungkin ia berani menyentuh gadis itu.

"Sebaiknya kita tidak membahas ini," ucap Chanyeol menetralisir. Bisa-bisa, Gayoung merajuk lagi seperti dulu padanya.

"Euh, anakku sangat pemalu. Ia tak mau membicarakan urusan ranjang bersama orang tuanya. Pesan Eomma, jangan ditunda. Itu tidak baik. Kalau kau bingung mengurusnya, nanti Eomma terbang ke Toulouse mengurus rumah kalian. Santai saja," perintah ibunya membuat Chanyeol pasrah. Kalau ia masih membantah, ibunya bisa menyumpahinya durhaka. Lagi pula, ia yang paling tahu apa yang diinginkan ibunya.

"Siap, Eomma! Soal itu akan kubicarakan dengan Gayoung lain waktu."

"Bukan dibicarakan! Tapi dilakukan! Nanti akan Eomma kirimkan suplemen dari sini —Busan."

Berharap panggilan ini berakhir dengan sendirinya adalah hal yang mustahil. Tak ada tanda-tanda Gayoung juga akan menggantikannya meladeni kedua ibunya.

"Eomma, Eommonim. Maaf sebelumnya, tapi aku juga masih mengantuk sebenarnya. Bolehkah aku kembali tidur?"

Chanyeol Eomma berdecak kesal melihat kelakuan putranya. Ia jadi tak bisa berbangga di depan besannya. Mana ada menantu mengaku lemah seperti itu. Namun, berkat kemurahan hati Gayoung Eomma, panggilan tersebut bisa segera diakhiri.

"Bicara apa kau tadi?"

Suara Gayoung terdengar jelas ketika Chanyeol baru saja meletakkan kepalanya di atas bantal. Terdengar jernih tak seperti orang yang baru bangun. Perasaan Chanyeol mulai tak enak.

"Siapa yang suruh Sunbae mengangkat teleponku?" cecar Gayoung.

"Kau. Kau yang tak mau bangun jadi aku yang mengangkatnya."

"Apa yang kau katakan pada Eomma?"

Bug.

Gayoung memukulkan bantalnya dengan kedua tangannya ke lengan Chanyeol.

"Ya ya ya! Jangan seperti anak kecil!"

Bug.

Chanyeol melompat mundur dari tempat tidur dan berlari ke arah pintu sambil menghalau bantal yang siap dilemparkan Gayoung lagi. Ia curiga Gayoung sudah menguping sejak tadi.

"Jangan lagi tidur seranjang denganku!" marah Gayoung.

"Siapa yang mau? Maaf saja, badanku terlalu bagus untuk kau tendangi."

"Itu pasti karena kau akan macam-macam. Bantal-bantal ini siapa yang menjatuhkan?"

Lantas Chanyeol tergelak. Jelas dalam ingatannya, Gayoung yang tak bisa diam. Entah apa yang dimimpikan gadis itu sampai begitu agresif semalam. Ia curiga Gayoung menonton film action semalam.

"Asal kau tau, berapa kali kau berusaha menempel di tubuhku. Ini buktinya, kau lihat pulau yang kau buat di kausku," ujar Chanyeol menunjuk bekas air liur di pakaiannya.

Mata Gayoung melebar, ia membayangkan apa yang dikatakan Chanyeol. Alam bawah sadarnya tidak segila itu.

"Rasanya tak mungkin kita bisa tidur seranjang dengan damai setelah ini," keluh Chanyeol serius.

Bibir Gayoung ditarik ke satu sisi, "Tentu. Sepertinya kau lupa ingatan, bukannya kau sudah bisa kembali ke singgasanamu di ruang tengah?"

Bug!

***

Bus kota pagi ini cukup berdesakan. Apa lagi alasannya selain Chanyeol dan Gayoung yang bangun sedikit terlambat dari biasanya. Tak mungkin keduanya bebas memilih kursi favorit mereka. Kalaupun nanti bisa duduk, itu adalah hal yang patut disyukuri.

"Wah, Ant Man !" ucap Gayoung mendapati poster salah satu film favoritnya di papan reklame, Ant Man and The Wasp.

"Sunbae, aku sudah lama tak berjalan-jalan. Bagaimana kalau minggu depan kita ajak yang lainnonton?" ajak Gayoung masih terpaku pada iklan tersebut karena bus yang berhenti di halte lain.

"Aku tidak suka nonton film bersambung," tolak Chanyeol yang mengaku tak menyukai rangkaian film Marvel.

Bola mata Gayoung berotasi, teringat acara Halloween beberapa tahun lalu di kampusnya. Chanyeol dengan percaya diri menjadi salah satu karakter dalam Avengers dan membanggakan tokoh favoritnya itu. "Lalu, kenapa kau mau jadi Iron man dulu? Ayolah! Aku mau pergi dengan siapa lagi?"

Chanyeol tak menjawab ajakan Gayoung, ia membalikkan tubuh Gayoung menghadapnya. Mendorong gadis itu sedikit hingga membentur tepi bangku, ketika kerumunan orang semakin memenuhi bus yang sudah berdesakan.

"Ya mengapa kau tiba-tiba—"

Gayoung kembali dikejutkan dengan sikap Chanyeol yang tidak terduga, pria bermata bulat itu menarik jemari tangan Gayoung ke dalam genggamannya. Sempat Chanyeol melirik tajam ke sudut lain sebelum menatap Gayoung dalam.

"Sun—"

"Sudah, diamlah. Jangan menoleh ke mana-mana."

Jujur, Gayoung sangat membenci keadaan ini. Mereka tidak dalam hubungan di mana ditatap penuh arti oleh seorang pria adalah hal yang lumrah. Buatnya, ini sangat mengganggu kenormalannya.

"Kau hanya boleh menatapku. Oke?"

"What? Menatapnya dan hanya diam? Setidaknya, izinkan aku bicara," batin Gayoung tak berani melawan. Perasaannya ikut tak enak.

Ketika bus berhenti di halte selanjutnya, dua penumpang di belakang Gayoung turun sehingga Chanyeol mendorong gadis itu untuk duduk sementara Gayoung sudah tak bisa tinggal diam, "Kau aneh sekali. Ada apa? Jangan membuatku takut."

Chanyeol menoleh ke belakang. Matanya bersirobrok dengan mata sipit seorang pria bertopi hitam dan berpakaian serba hitam yang berdiri di tiang bus paling ujung. Pria tersebut masih memperhatikan mereka, lebih tepatnya mencuri pandang ke arah Gayoung sejak masuk ke dalam bus.

"Bisa kau lepaskan pegangan tanganmu? Ingat, aku bisa mendendamu sekarang. Atau, kau jelaskan ada apa?" paksa Gayoung, yang masih merasakan hangat tangan Chanyeol.

Chanyeol mendengus. Ia tak yakin Gayoung akan biasa-biasa saja setelah mendengar hal ini. Setelah mengenal Gayoung, Chanyeol tahu semudah apa gadis ini panik. Tak setenang yang diperkirakannya sebelum mereka menikah.

"Apa kau janji untuk tidak akan memekik kalau aku menjelaskannya?"

"Janji!" ucap Gayoung sungguh-sungguh.

"Baiklah. Ada seorang pria bertopi hitam di belakang. Sejak tadi, ia memperhatikanmu. Aku pikir apa ada yang aneh dari penampilanmu, tapi tidak sama sekali. Kau baik-baik saja. Sehingga tak ada alasan selain pria itu penguntit atau entahlah—"

Gayoung sontak membalikkan wajahnya ke sela-sela kursi. Karena tak terlihat, ia mencoba berdiri, tapi Chanyeol menarik tangannya.

"Ya, aku ingin lihat. Apa dia masih seberani itu kalau aku melotot padanya?"

Tak habis pikir Chanyeol dengan pemikiran Gayoung. Gadis ini selalu nekat. Ia harus punya cara untuk mengatasinya. "Kalau kau tak menoleh, bisa kupertimbangkan untuk menemanimu nonton. Meskipun ... mungkin aku akan tidur."

Bibir Gayoung mengulum senyum. Namun, gadis itu mencoba mencuri pandang ke sela-sela kursi. Sebegitunya Chanyeol tak ingin ia tahu. Tepat ketika ia menangkap siluet yang mirip deskripsi Chanyeol, pria itu menariknya keluar. Tak kurang akal, Gayoung sengaja berjalan mendahului Chanyeol agar bisa melihat siapa pria yang dimaksud dari luar. Ia tidak takut sama sekali. Lagi pula, kenapa harus takut jika ada Chanyeol bersamanya?

"Gayoung-ah, jangan berlari, pijak anak tangganya!" teriak Chanyeol saat melihat gadis itu tergesa-gesa.

Bukannya rasa terima kasih, Gayoung justru melemparkan tatapan kesal karena ia tak menangkap seorang pun bertopi hitam di dalam bus. Ia benar-benar penasaran. Jangan-jangan, ia mengenal pria tersebut.

***

Tak hanya komunikasi antara Chanyeol dan Gayoung yang semakin intens, begitu juga Sunbin dan keduanya. Mereka hampir selalu menghabiskan waktu bersama di kampus, terutama Sunbin dan Chanyeol.

"Oh, iya. Semalam, aman 'kan?"

"Kupikir, kau akan menemaniku, tapi terima kasih. Setidaknya, kau sudah sangat membantu," jawab Sunbin sedikit kecewa.

Chanyeol menggaruk lehernya yang tak gatal. "Maaf, aku harap, setelah kepindahanmu, tidak ada yang mengancammu lagi."

Senyum simpul Sunbin tersungging. Bagi gadis itu, Chanyeol adalah pahlawannya. Tak nyaman melihat Chanyeol yang berperangai tak nyaman, ia mengalihkan pembicaraan, "Hari ini, kau akan menunggu Gayoung lagi, Chan?"

Pria itu mengangguk mengiyakan sambil mengemasi alat tulis dan bukunya.

"Dia itu bookworm sekali, sih. Baru sekali ini aku punya teman yang menggilai buku," komentar.

Chanyeol tersenyum samar. Ia tahu betapa ambisiusnya gadis itu, Gayoung sudah mulai mempelajari text book yang akan digunakannya saat kuliah. Seolah tak ingin tertinggal selangkah pun.

"Katanya ada buku karya Kotter atau ... Kettle? Aku lupa namanya. Yang jelas ada edisi terbarunya di perpustakaan kita," jelas Chanyeol yang ingin menyebutkan buku Marketing milik Kotler Keller.

"Serius? Kupikir dia tak seambisius itu."

"Dulu kupikir juga begitu. Tapi, ini sudah jadi cita-citanya. Ia sangat berkomitmen."

Keduanya berbicara sambil berjalan ke arah perpustakaan. Chanyeol menolak saat Sunbin mengajaknya mampir ke kafe terdekat, beralasan ia menyukai senja dari koridor perpustakaan.

"Maaf, kalau aku lancang. Aku merasa kau memperlakukan Gayoung dengan spesial. Kenapa sampai menunggu Gayoung setiap harinya padahal kau bisa pulang lebih cepat?" tanya Sunbin hati-hati.

Chanyeol mengernyit. Ia tak merasa mendedikasikan dirinya untuk Gayoung. Hanya menemani gadis itu.

"Maksudku... apa kalian sedang dalam hubungan? Seperti, kau menyukainya?"

"Sebagai hoobae-ku, tentu."

Hampir saja, Sunbin menuduh Chanyeol yang tidak-tidak. Senyum gadis itu merekah.Meskipun Chanyeol dan Gayoung begitu dekat dan semakin dekat, ia tidak mau kalau Chanyeol sampai menaruh hati pada temannya itu. Gayoung adalah milik pria lain seperti yang dikatakan Jongin. Terlepas, tak sekalipun Gayoung mengiyakan ataupun mengenalkan mereka pada sosok pria yang dimaksud.

Sunbin pun tak ragu menemani Chanyeol. Ia mengambil tempat di bangku kosong di samping Chanyeol. Mereka seakan tidak kehabisan topik pembicaraan, mulai dari office boy yang tebar pesona pada Sunbin sampai cover lagu terbaru di Youtube.

"Kau harus menonton Machine Gun Kelly saat menyanyikan Numb milik Linkin Park. Arasemennya sangat luar biasa!"

"Sebentar," tahan Sunbin seraya mengeluarkan ponselnya, berniat membuka channel Youtube yang Chanyeol maksud.

Belum sempat Sunbin membuka channel yang dimaksud, Jongin sudah ada di hadapannya. Menunjukkan jam tangan yang terpasang di lengan pria itu.

"Ini sudah sore. Kapan kau akan pulang?" tanya Jongin pada Sunbin.

"Sebentar lagi."

"Rumah bibimu cukup jauh dari sini. Kau perlu waktu lebih dari satu jam sampai di sana. Nanti terlalu gelap," ucap Jongin mengingatkan.

Ini hari pertama Sunbin akan pulang ke tempat bibinya yang berada di remote-area. Cukup berbahaya untuknya melalui perjalanan jauh seorang diri dan tentu saja Jongin khawatir.

"Ini musim panas, langit masih terang sekalipun sudah pukul 6 sore," bantah Sunbin masih ingin tinggal.

Kali ini, Chanyeol ada di pihak yang sama dengan Jongin, ia pun turut mencemaskan keselamatan temannya, "Kau belum terbiasa dengan kondisi di sana Sunbin. Lebih baik kau pulang cepat. Nanti, kalau kau sudah mengenal daerah tersebut, tak masalah pulang lebih malam."

Ada guratan kekecewaan dalam mata Sunbin. Ia mengeluh, "Jadi, kau mau mengusirku?"

Jongin menatap tajam ke arah Chanyeol. Meskipun Chanyeol sudah membelanya, Jongin merasa ucapan Chanyeol menyakiti Sunbin.

"Sungguh. Ini untuk keamananmu."

Sunbin mengerti meskipun ada rasa tak rela kalau Chanyeol akan tinggal berdua saja dengan Gayoung.

"Kabari aku kalau kau sudah pulang dan sampai dengan selamat," pamit Sunbin sebelum berlalu.

Chanyeol mengangguk. Kemudian, ia memasang headset dan memutar playlist andalannya. Langit senja begitu indah dan pasti akan lebih terasa tentram dengan musik yang tepat di telinganya.

***

Gayoung tertegun menangkap pemandangan di hadapannya. Pria bertubuh jangkung tengah menyandarkan tubuhnya pada bangku kayu menghadap langit senja. Sementara matanya terpejam nyaman. Sepertinya, ia begitu larut dalam musiknya sampai tidak menyadari kedatangan Gayoung.

Ingin membuat pria itu kaget, Gayoung mengambil pasangan headset yang terlepas. Mencuri dengar apa yang dinikmati pria itu sampai terlelap.

'Mushimhan maltue seoro apeul ttaemyeon

Chagaweojin saiga

Gyeondil su eopseo mianae

Buranan jigeumirado

Yeongweonago shipdago'

Meskipun tak tahu judul lagunya, Gayoung menyukainya. Musiknya begitu lembut dan liriknya ... ia tak tahu harus berkata apa untuk menggambarkannya.

Ia hanya mengingat satu hal, betapa takutnya ia kehilangan pria di sampingnya kemarin. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan mengepalkan tangannya. Terlintas pertengkaran kecil keduanya dari hari ke hari. Bagaimana Chanyeol mencoba mengerti kegilaannya selama ini. Mulai Chanyeol yang dengan sabar menemaninya mencari apartemen, rela tidur di luar padahal dia yang menyewa apartemen, diabaikan terutama saat PMS, selalu menemaninya pergi atau setidaknya memastikan Gayoung baik-baik saja saat tak bersamanya. Bukankah Chanyeol mau menikah dengannya saja sudah bentuk kebaikan yang tidak ternilai?

Benar, kata Appa-nya, ia tak punya siapapun sebaik itu di Toulouse, selain Chanyeol. Namun, setelah ulahnya selama ini, apakah benar pria itu masih mau bertahan sampai batas yang sudah disepakati?

Gayoung mendesah keras, hingga Chanyeol terbangun mendengarnya.

"Sejak kapan kau di sini?"

"Baru saja," jawab Gayoung menyunggingkan gummy smile-nya, "aku pikir kau sudah pulang dari tadi."

"Siapa yang tidak mau jauh-jauh dariku?" goda Chanyeol sembari menggantungkan tasnya.

Pipi Gayoung perlahan bersemu. Ia mengulum senyumnya sendiri. "Terima kasih."

Mungkin ini terdengar egois, tapi ia tak ingin Chanyeol meninggalkannya. Apapun yang terjadi. Meskipun tampak bodoh, ia akan mempertahankan Chanyeol mulai sekarang. Ia harus menjamin bahwa pria ini benar-benar akan di sisinya selama mereka di Toulouse.

"Sunbae, masih ingat kedai makanan Korea waktu itu?"

Chanyeol mengangguk. "Mau mengajakku ke sana?"

"Kau harus mentraktirku," ajak Gayoung seraya menarik lengan Chanyeol pergi.

***

Kaget nggak kalo jadi Gayoung? Katanya mau ditinggalin, bangun-bangun ada di sampingnya. 😇

Part ini tuh aku baca berulang-ulang sebelum publish. Tapi masih ada chance tidak bisa diterima di logika readers. Kindly leave your like and comment yaaa. Biar ku bisa improve juga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro