Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 13 - Unease

Dear Sunbae,

Aku pamit pergi dulu.

Hari ini aku harus menemui temanku. Kami sudah lama tidak bertemu. Aku akan sampai di apartemen siang nanti.

Istirahatlah. Setelah makan, jangan lupa minum obatmu!

.

"Hah. Dia benar-benar pergi!" keluh Chanyeol gusar ketika membaca post it yang ditempel Gayoung di pintu kamar. Tempat paling tepat untuk mendapat perhatian pria itu ketika terbangun.

Chanyeol berjalan gontai keluar kamar, menggaruk punggungnya yang tak gatal. Merasa kecewa lantaran ditinggalkan seorang diri. Dia kira Gayoung tak akan seberani itu pergi tanpanya di tempat asing. Ia saja masih takut tersesat.

Padahal, tadinya, Chanyeol begitu bersemangat membuka mata. Mengabaikan rasa laparnya untuk segera bersiap mandi. Ia sudah mengincar musik yang dipentaskan saat malam Festival MAP. Mungkin, kini semua tinggallah rencana.

"Baiklah, kuanggap sandwich ini adalah permohonan maafmu," komentar Chanyeol saat melihat sepiring sandwich di atas meja pantry.

***

Di lain tempat Gayoung sedang menikmati udara segar di halaman Place du Capitole bersama seorang wanita berambut pirang. Wanita itu juga yang menjemput Gayoung di apartemennya. Kebetulan lokasinya tak terlalu jauh dari tempat Gayoung tinggal. Mereka butuh waktu tak lebih dari 15 menit untuk tiba di sana dengan kendaraan pribadi.

"Aku selalu merindukan saat-saat kita bertualang di Champs-Élysées dulu," tukas wanita berambut pirang, setelah memarkirkan mobilnya di tepi jalan.

"Ya. Itu sangat berkesan, Allete. My first experience."

"Dan, ini adalah pengalaman pertamamu di pusat kota Toulouse juga 'kan? Denganku?"

Gayoung mengangguk pasti. Selalu menjadi pilihan yang tepat mengajak sahabatnya satu ini berjalan-jalan di negeri orang. Mereka saling mengenal saat mengikuti summer school di Perancis beberapa tahun lalu. Saat itu, Allete adalah gadis Montpellier yang terpilih untuk menjadi guide sekolah musim panas di Paris. Pertemuan mereka terbilang singkat untuk menjadi teman. Allete yang supel dan santai menjadi kelabakan saat bertemu Gayoung. Gadis konvensional kaku yang menolak ajakan minum bir beralasan belum berusia legal. Bahkan melarang teman-temannya untuk kabur ke kelab tengah malam.

"Kita bicara di bangku sebelah sana saja, sepertinya teduh," ajak Allete.

Keduanya duduk di salah satu sudut yang memungkinkan untuk menikmati keindahan bangunan tua bergaya Eropa klasik yang sudah berdiri sejak abad ke 12. Berbeda dengan Champs-Élysées, di sini tak banyak pepohonan rindang dan tentunya Arc de Triomphe. Akan tetapi, nuansa klasik Perancis yang Gayoung sukai sama kentalnya.

"Aku sangat terkejut. Akhirnya, kau kembali ke Perancis. Kupikir, kau tak akan mau lagi. Meskipun, tetap saja kau lebih memilih —jalan— pagi dibandingkan malam."

"Kenapa? Karena kau selalu mem-bully-ku dengan panggilan grand mére*-mu itu?" celetuk Gayoung.

Allete membungkuk sambil tertawa. "Astaga! Kenapa masih mengingat hal itu. Aku jadi merasa jahat kalau kau mengatakannya."

"Memang kau jahat 'kan?"

"Merde*! Berani kau mengataiku sekarang? Aku selalu menyukai keberanianmu," ujar wanita itu sembari mengangkat kedua ibu jarinya. Sebenarnya, Gayoung remaja tentu tak seberani sekarang. Ia lebih tepat disebut nekat karena selalu menekan rasa takutnya sekuat tenaga.

"Masih sering berkumpul dengan teman-teman—summer school?"

"Jarang sekali. Mungkin, terakhir di Paris beberapa bulan lalu. Kalau kau mau, aku bisa mengundang mereka untuk ke sini saja. Suasana baru. Kau tak perlu ke Paris lagi," tawar Allete bersemangat.

"Tidak, perlu.—"

"—Aku sudah ke Paris lagi."

Mata Allete melotot mendengarnya. Jauh lebih mengejutkan dari fakta Gayoung yang kembali ke negaranya.

"Ça va pas, non*! Karena itu kau memintaku untuk mencarikan dokter? Apa ada hubungannya dengan insiden itu?"

Gayoung menggeleng tegas. Keputusannya memang sering membuat orang tak habis pikir.

"Itu sudah lama, Allete. Hampir sepuluh tahun."

"Tapi, sekarang kau tidak baik-baik saja 'kan? Tidak mungkin kau ke psikiater kalau sehat," cecar Allete cemas. Meskipun karakter mereka bertolak belakang, ada satu momen dalam hidup keduanya yang membuat mereka bisa mengerti satu sama lain.

"Seperti yang kau lihat. Aku tenang 'kan? Ini tak seburuk yang kau pikirkan. Aku hanya sedang mencegah hal lebih buruk terjadi padaku."

***

"Mademoiselle*, sudah berapa lama Anda merasa ketakutan hingga kesulitan bernapas?"

"Hmmm. Mungkin... sekitar sebulan, Dok. Tapi frekuensinya dan polanya juga tidak tentu. Dalam kondisi lebih ringan, saya hanya merasa tubuh saya tidak nyaman, detak jantung saya meningkat, dan sulit berpikir jernih," jawab Gayoung pada psikiater yang direkomendasikan Allete untuknya.

Dokter tersebut tampak serius membaca rekam medis terakhir yang dimiliki Gayoung.

"Kalau saya baca dari sini— rekam medis—, Anda pernah menjadi pasien PTSD dan menjalani terapi di Paris dan Seoul. Benar begitu?" tanya sang Psikiater memastikan.

Lantas, psikiater tersebut mengajak Gayoung berdiskusi terkait korelasi gejala yang ia alami selama ini dan riwayat depresinya. Tak berhenti di situ, Gayoung juga menceritakan kembali bagaimana ia bisa mengalami depresi yang membuatnya harus mendekam di rumah saat liburan kenaikan kelasnya di bangku sekolah menengah. Sedikit menyiksa kepalanya, tapi ia masih bisa mengontrol hal itu.

"Mungkin banyak pasien merasa cukup untuk tak berkonsultasi ketika merasa sembuh. Padahal, ada beberapa gangguan kejiwaan yang masih berisiko kambuh atau lebih mudah mengalami gangguan anxietas lainnya. Apalagi, kembali mendekati pencetusnya, tanpa pemantauan dokter. Sebaiknya, Anda melanjutkan terapi, akan mudah memantau perkembangan kejiwaan Anda setelah kembali terpapar."

"Tapi, saya sudah dinyatakan sembuh bertahun-tahun lalu," sanggah Gayoung tak terima.

Dokter tersebut mengangguk mengerti, terapi masalah kejiwaan memang memerlukan kesabaran yang luar biasa. "Tentu kondisi di Korea sangat berbeda dengan di Perancis bukan? Saya yakin, ras negroid tak sebanyak yang ada di sini. Maka dari itu, untuk mencegah kembalinya symptom* yang Anda sampaikan tadi, saya menyarankan hal tersebut."

"Diagnosis sementara saya, Anda mengalami panic attack. Anda jangan terlalu khawatir. Saya optimis ini bisa diobati. Akan ada beberapa obat yang saya resepkan," imbuh sang Dokter.

Sekalipun Gayoung sudah menyiapkan mentalnya untuk kondisi terburuk, ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Allete berusaha menenangkan Gayoung. Ia tau kalau temannya pasti mengharapkan kesembuhan total setelah menjalani proses terapi yang tak mudah.

Drt... drt... drt....

Sunbae

Di mana? Kapan kau akan pulang?

Gayoung ingin merespon tetapi ia perlu menyelesaikan proses pembayaran terlebih dahulu.

"Sepertinya ada yang penting. Ponselmu berbunyi terus dari tadi," sela Allete mengingatkan.

"Benar, akan kuperiksa lagi setelah ini."

Sunbae

Kau bilang kau akan pulang siang ini. Kapan kau akan tiba?

Kita masih bisa datang ke MAP sore nanti.

Gayoung

Sunbae maafkan aku. Aku akan sampai sore.

Ada urusan dengan temanku🙏.

Sunbae

Sepertinya akan turun hujan

Kau benar belum mau pulang?

Kalau tidak membawa payung, pulanglah sekarang!

👿👿👿

Gayoung melengos membaca pesan Chanyeol. Ia mengintip cuaca di luar dari jendela kaca klinik. Benar saja, langit begitu gelap. Bahkan tetesan air sudah mulai menempel di permukaan kaca. Bukankah semakin tidak mungkin ia pulang sekarang?

***

Suara musik menggema di setiap penjuru ruang bangunan bergaya modern.Lagu-lagu yang diperdengarkan pun tidak jauh dari genre pop-rock. Tentu, ini adalah favorit Chanyeol. Baru sekarang ia menemukannya di Toulouse. Pesan terakhir Gayoung cukup menjelaskan bahwa ia tak bisa menunggu gadis itu.

"Dari mana kau tahu tempat ini?" tanya Chanyeol selepas menyesap kopi hangatnya.

Pria di sebelah Chanyeol mengernyitkan kening, "Orang Austria di kelasku ah... Siapa namanya ... Aku tak terlalu ingat."

Chanyeol menimpali, "Kau sungguh tidak bersahabat. Pelajar internasional adalah wajah negaranya di sini."

Sunbin hanya bisa berdecak, "Sungguh memalukan."

"Ingatanku terhadap nama sangat buruk. Lebih baik aku mengingat unsur-unsur dalam tabel periodik," jawab Jongin menyerah, diikuti dengan cengiran kocaknya.

Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak. Bisa saja Jongin mengaku tak hafal nama orang, tetapi justru menghafal nama unsur tak kasat mata, yang jauh lebih menyeramkan. Pantas saja, Jongin sudah menghabiskan empat tahun untuk mempelajari Teknik Metalurgi. Tentu, unsur logam jauh lebih familier dibandingkan nama orang.

Ketiganya terlibat dalam obrolan santai mulai dari masa kuliah mereka hingga hal-hal yang mereka gemari. Dari kesekian minatnya, Sunbin juga menunjukkan ketertarikan yang sama dengan Chanyeol pada musik beraliran pop-rock. Terbukti dengan Sunbin yang sesekali melantunkan lagu-lagu yang ia dengar dalam gerakan-gerakan halus bibirnya.

'I don't like my mind right now

Stacking up problems that are so unnecessary'

"Ini kesukaanku," tukas Sunbin, menanggapi latar musik yang berganti dengan Live Music dari sekelompok remaja yang diduga band lokal Toulouse.

"Kau menyukainya juga?"

Sunbin melirik dengan wajang bingung, "Harusnya aku yang bertanya begitu Park Chanyeol-ssi. Aku mengoleksi hampir semua album Linkin Park."

"Wow! Kau LP Underground*?"

"Tentu!" jawab Sunbin membuat Chanyeol dan Jongin melongo. Entah wanita macam apa yang sebenarnya mereka kenal sekarang.

"LPU!" pekik Chanyeol sembari melayangkan telapak tangannya yang disambut milik Sunbin.

Jongin berdeham, "Yang di sini juga."

Mata Sunbin membulat, menyadari ketiganya memiliki korelasi dalam selera musik juga. Bertemu dengan orang yang memiliki selera atau latar belakang yang sama memang bisa menjadi angin segar. Seperti menemukan dirinya dalam sosok lain.

"Karena kita semua LPU, bagaimana kalau kita ikut menyanyi?" tawar Chanyeol antusias pada kedua temannya. Matanya berbinar. Sudah lama ia tidak unjuk kebolehan di depan umum, bukan?

"Kau saja Chanyeol-ssi. Aku dengar dari Gayoung, kau jago bernyanyi dan bermain gitar."

Chanyeol menyunggingkan senyum asimetrisnya. Kesal juga mendengar nama Gayoung di saat seperti ini.

"Ayolah! Kalau Sunbin tak mau, kau harus ikut Jongin!" paksa Chanyeol.

Hanya dalam hitungan detik, Chanyeol dan Jongin sudah berdiri di atas panggung berukuran 9 meter persegi. Dengan percaya diri Chanyeol menggenggam mikrofon, seakan dia bintangnya hari ini.

https://youtu.be/VdtIiPLJS3I

Ternyata pesona Chanyeol di atas panggung tak luntur dalam beberapa tahun ini. Terbukti, pengunjung kafe ikut terpesona akan penampilannya. Mereka bertepuk tangan meriah, termasuk Sunbin.

Walaupun suasana yang dibawakan lagu ini jelas-jelas menyayat hati, Chanyeol yang dari tadi tertawa bisa membawakan lagu ini dengan penuh penghayatan, seakan ia sedang terluka dalam.

"Woooow! Mengerikan sekali Chanyeol-ssi!" puji Sunbin dengan tepuk tangan meriah. Bahkan ia memberikan standing applause.

"Kau tidak sedang patah hati 'kan?" sindir Jongin. Melihat wajah Chanyeol tadi, penghayatannya tak main-main.

Chanyeol menatap bingung. "Memang ini lagu patah hati? Bukannya lagu putus asa?"

"Kau tak salah tafsir, ini memang lagu putus asa," ujar Sunbin menengahi.

Chanyeol meninju lengan Jongin. Ia baru sadar kalau Jongin mengerjainya. Mengapa juga, ia harus mudah percaya.

"Balas dendam?" ketus Chanyeol.

"Putus asa banyak sebabnya bisa jadi patah hati," dalih Jongin menjengkelkan, "aku pikir kita akan menyanyikan In The End , Papercut, atau lagu lain yang lebih bahagia."

Bicara soal bahagia, Sunbin jadi teringat seorang lagi yang tak terpisahkan dari mereka, "Coba ada Gayoung bersama kita. Pasti ini akan lebih ramai. Siapa tahu, dia LPU juga seperti kita"

"Ia sudah punya janji," ucap Chanyeol singkat. Mana mungkin Gayoung menyukai Linkin Park seperti mereka. Hipotesis yang tak masuk akal di telinga Chanyeol.

"Jangan-jangan kau yang tak mau mengajaknya agar kalian tidak berseteru di sini," goda Sunbin yang mendapati wajah kesal Chanyeol.

Jongin ikut menimpali, "Tanpa bermaksud membela Hyung. Jangan berekspektasi berlebih pada Gayoung. Aku yakin, ia sedang menghabiskan waktunya dengan si Berengsek itu."

"Si Berengsek?" gumam Chanyeol tak suka.

Tatapan Jongin berubah serius pada kedua temannya, "Aku akan menceritakan sebuah rahasia pada kalian."

"Aku mengenal Gayoung sejak kuliah. Dia dekat dengan seorang pria yang juga kenalanku. Aku pikir, mereka akan menikah setelah lulus. Namun, aku justru dijodohkan dengan Gayoung—"

Chanyeol tersedak air liurnya sendiri. Cerita macam apa ini, kenapa Gayoung tak pernah mengatakannya?

"—karena menghormati seniorku, mau tak mau aku datang. Kalian tahu? Seorang pria menerjangku saat itu. Aku dianggap perebut calon istrinya," ungkap Jongin hiperbola.

"Lalu?" tanya Sunbin ikut penasaran.

"Kudengar dari seniorku itu, Gayoung tak akan diizinkan ke Perancis tanpa seorang yang mendampinginya. Kalau sekarang ia ada di sini, berarti ia sudah lolos dari syarat itu. Dengan kata lain, ia sudah hidup bersama pria tersebut," lanjut Jongin menutup ceritanya.

"Apa masalahnya?" respon Chanyeol.

Jongin kembali menatap kedua temannya serius, "Masalahnya adalah pria berengsek yang sekarang tinggal bersama Gayoung itu. Aku bingung kenapa Chanyeol Hyung tak tahu hal ini. Kupikir kalian cukup dekat karena selalu bersama-sama. Tapi, mungkin kalian tak lebih dari tetangga yang tak tahu apa yang terjadi di unit kalian masing-masing."

"Oh, itu. Ya, aku mengenal Gayoung dengan baik dan setahuku tak ada pria berengsek yang tinggal bersamanya," koreksi Chanyeol menggaris bawahi umpatan yang diselipkan Jongin.

"Bisa jadi, mereka terlalu pintar menutupinya. Aku tidak tahu mereka sudah menikah atau belum karena seniorku berhenti menghubungi setelah itu. Tapi, kupikir, pria ini juga menjadi alasan Gayoung berpisah dengan teman dekatnya saat kuliah dulu. Pria ini terkenal gila dan posesif pada pasangannya."

Chanyeol melotot karena merasa penjelasan yang merujuk padanya sangat tidak masuk akal

"Yang jelas, jangan terlalu dekat pada Gayoung! Apalagi kau, Hyung," ucap Jongin mewanti-wanti, "temanku pernah patah tangannya karena dituduh mendekati kekasih pria itu saat SMA. Semoga itu tak terjadi padamu."

Mendengar hal ini, perut Chanyeol tergelitik. Siapa lagi yang disangka menjadi teman hidup Gayoung?

"Memang, siapa namanya? Mungkin, aku kenal," tanya Chanyeol.

"Oh Sehun," jawab Jongin mantap. Ia masih kesal dengan ulah Sehun mengacaukan blind date-nya dengan Gayoung.

Chanyeol sontak menahan tawa. Ia teringat cerita Sehun beberapa minggu lalu, tapi saat itu ia tak acuh. Bagaimana bisa ia melewatkan hal ini dari Gayoung dan sahabatnya? Drama macam apa yang sebenarnya mereka ciptakan tanpa sepengetahuannya?

Sunbin jadi ingin tahu mengapa Chanyeol bisa sampai tertawa mendengarnya. "Ada apa? Kau mengenalnya?"

"Ten-tu. Dia—," jawab Chanyeol di sela tawanya, "—rekan kerjaku."

***

Pada akhirnya, Gayoung menghabiskan waktu seharian bersama Allete. Banyak hal yang ingin ia bagikan dan menurutnya hanya Allete yang bisa mengerti. Meskipun, itu artinya ia tak akan pulang siang ataupun sore. Gadis itu baru kembali menginjakkan kaki di unitnya pukul 8 malam.

Ada rasa bersalah meninggalkan Chanyeol sendirian, Gayoung membawa satu kotak lasagna. Menurut Gayoung ini makanan yang tepat karena Chanyeol kurang menyukai escargot ataupun hati angsa. Pria itu sangat pemilih soal makanan, belum lagi alasan alerginya.

"Sunbae, ada lasagna untukmu," sapa Gayoung setelah melepas sepatunya.

"Aku sudah makan," teriak Chanyeol yang tak berkutik dari laptopnya. Sepertinya ia sedang bergelut dengan pekerjaan. Tapi ia lebih terlihat pura-pura sibuk di mata Gayoung.

"Sunbae, memang makan apa selain sandwich?"

"..."

"Jadi pergi ke MAP?" selidik Gayoung kemudian. Teringat acara yang Chanyeol gembar gemborkan kemarin.

"..."

"Sendirian?"

Chanyeol masih saja diam sementara jarinya bergerak dengan sangat cepat di atas keyboard.

"Kalau kau tidak mau menjawab terserah!" kesal Gayoung. Ia masih sedih setelah mendengar hasil diagnosis dokter tadi dan diabaikan oleh Chanyeol membuatnya semakin kesal. Bukankah seharusnya ia yang menginjak-injak pria itu?

Baiklah. Gayoung masih sedikit ingin bersabar karena pria itu baru pulih. Betapa kesalnya Gayoung melihat Sunbae-nya ingin kembali tidur di luar. Pengahangat ruangan mereka saja belum kembali berfungsi.

"Sunbae, malam ini jangan tidur di luar dulu. Aku tidak mau kau sakit" titah Gayoung yang mau tak mau bicara lagi.

Chanyeol berlalu melewatinya dan menata bantal dan selimut di atas sofa. Ia sudah membaringkan tubuhnya dan meletakkan laptopnya di atas bantal. Menganggap Gayoung angin lalu dan akan kembali fokus pada pekerjaannya.

"Berhenti mendiamkan aku!"

Tidak sulit untuk Gayoung kembali meledak-ledak untuk meluapkan emosi. Meskipun, lebih sering ia yang berakhir mendiamkan Chanyeol. Kini, ketika Chanyeol bertindak serupa, rasanya sangat melelahkan.

"Aku 'kan sudah bilang kemarin kalau aku punya janji," jelas Gayoung membela diri.

Dengan bibir mengerucut, Chanyeol mulai menanggapi, "Tapi hanya sampai siang."

"Aku bertemu teman lama."

"Harusnya kau bilang dari awal, jangan buat aku menunggu," tandas Chanyeol kesal.

"Aku tidak meminta kau menungguku!"

Mereka bertikai seakan langit masih cerah. Saling mendebat dan belum ada yang mau mengalah. Di saat mereka yakin yang mereka lakukan sama-sama benar, mereka akan bersikukuh dengan pendirian masing-masing.

***

Catatan Kaki:

grand mére: Nenek

Merde: Tahi

Ça va pas, non?: Apa kau gila?

Mademoiselle: Nona

Symptom: gejala

LP Underground/ LPU: Fandom Linkin Park

***

Well, I was stucked in this part. So sorry. Jadi berhenti lama revisinya. Mau sekalian revisi 14 dan 15, tapi ku tak sanggup.

Sampai kapan-kapan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro