Part 12 - Not Okay
'Mundur selangkah untuk melompat lebih jauh.'
Sebagian orang berpikir bahwa pesan dari kalimat di atas sangat tidak efisien dan kurang perhitungan. Namun, tidak untuk Park Chanyeol. Ia meyakini, ada kalanya, hidupnya berangsur mundur sebagai pijakan untuk melonjak dengan tujuan yang lebih tinggi.
Hal itu dibuktikan dengan keputusannya mundur dari posisi penting di perusahaan startup yang baru beberapa tahun didirikannya dan memilih bersiap melanjutkan studinya di negeri orang. Bahkan, ia rela mempelajari bahasa asing yang cukup menyita waktu.
Namun, sekali lagi, Chanyeol is always Chanyeol!
Menyadari bahwa energinya akan terisi ulang dengan bicara, ia berperan aktif di kelas. Bukan sebatas melatih pronunciation, melainkan berdialog hingga berdebat di depan kelas.
"Aku tidak menyangka kau seberbakat itu," puji Sunbin seraya mengacungkan kedua jempol.
"Maksudmu?"
"Skill bahasamu. Mungkin kau seharusnya kau tidak di sini."
Chanyeol tersenyum tipis. Ia tidak merasa sehebat itu. Tadi, ia hanya menikmati waktunya.
"Benarkah? Aku hanya menerima challenge."
"Apa kau memang suka linguistik? Maksudku, menikmati momen bicara dengan berbagai bahasa."
"Hmm... Tidak, tidak. Aku juga tidak ada pikiran untuk menjadi polyglot sama sekali. Hanya suka mengobrol dan di sini kita harus bisa Bahasa Perancis kalau tak mau kebosanan mendengar orang kumur-kumur 'kan?" canda Chanyeol mengingat bahasa negeri ini yang terdengar sengau dan tak jelas untuk orang-orang yang tak familier.
"Definitely true. Kau sama saja, ya," celetuk Sunbin dengan wajah jenaka. Menemukan orang dengan persepsi serupa bukanlah suatu hal yang mudah.
"Untung kita tidak di level dasar. Pasti, itu jauh lebih membosankan dari kelas ini."
"Benar. Tapi, tetap harus dilalui 'kan?"
Chanyeol menggeleng, tak sependapat. "Sebenarnya, sudah lama aku tak mempelajari—Bahasa Perancis. Lagi pula, ya, sekarang semua serba mudah dengan internet, untuk hal yang pasif, kita bisa mempelajarinya sendiri. Walaupun, aku juga tak serajin itu."
"Woo, jumawa sekali. Kau tak seserius yang kubayangkan, tadinya."
"Kau membayangkanku seperti apa memang?"
"Hmmm, tak banyak bicara, arogan, dan berkelas."
Lantas, Chanyeol tertawa lepas mendengar penuturan Sunbin tentangnya. Sedikit mengingatkannya akan seseorang yang dulu juga menjauhinya karena persepsinya sendiri.
"Itu sama sekali bukan aku. Mungkin temanmu yang asyik bercanda di luar."
Sunbin berdiri untuk melihat siapa yang dimaksudkan Chanyeol. Matanya menangkap sosok Gayoung yang sedang bercengkrama dengan teman-temannya.
"Gayoung? Ia tidak punya kesan cool dan arogan. Terlalu friendly. Bahkan untuk sebuah pertemuan pertama."
Chanyeol mengangguk paham, Gayoung memberikan image yang baik untuk orang di sekitarnya.
"Kau mungkin tak akan percaya, kalau aku bilang dia bisa sangat cool sekaligus menyebalkan. Lalu, tiba-tiba tertawa ceria dan kembali lagi seperti orang tak peduli. Mood swing," keluh Chanyeol jujur.
Sunbin mengerti apa yang dimaksudkan Chanyeol. Beberapa waktu lalu, ia sempat melihat bagaimana abainya Gayoung pada pria di sampingnya itu. Tak tahu ada masalah apa di antara keduanya. Namun, dalam pengamatannya, tak ada hal yang pantas menjadi alasan Chanyeol diperlakukan tak baik oleh Gayoung.
"Aku percaya."
Merasa kelepasan bicara, Chanyeol buru-buru meralatnya, "Aku rasa karena culture shock dan tidak punya teman, ia uring-uringan. Mungkin, setelah ini akan membaik."
"Santai saja bicara denganku. Aku bisa mengerti."
***
Pertemanan Gayoung yang tak terduga dengan teman-teman barunya sama sekali tidak mengurangi kedekatan Gayoung dengan Sunbin. Gadis itu justru merasa lebih bahagia dengan orang baru di sekelilingnya. Minus Park Chanyeol.
"Yaaah. Apa lagi yang dibicarakan dengan tutornya selesai kelas begini?" omel Gayoung kesal. Ia menghentak-hentakkan satu kakinya.
"Dengar-dengar, dia punya pertanyaan soal course yang akan diambilnya semester depan. Kekasih tutor kami alumni TBS*."
Mata Gayoung berotasi, ia merespon singkat, "Oooh."
"Aku kagum padanya," gumam Sunbin tiba-tiba. Namun, Gayoung bisa mendengar dengan sangat jelas.
"Bagaimana? Kau terpesona pada Sunbae?"
Tawa Sunbin terlihat kikuk. Senyumnya melebar, mendorong sedikit satu sisi pipinya hingga lesung pipinya terlukis.
"Ini gila. Kau akan menyesali perkataanmu setelah mengenalnya dalam beberapa bulan. Oh, tidak. Beberapa minggu mungkin," cerocos Gayoung tidak terima. Mau seberapa berkharismanya seorang Park Chanyeol, ia tidak akan sependapat dengan wanita-wanita yang mengagumi pria itu.
"Semoga kau tidak jatuh cinta pada pria seperti dia. Asal kau tahu, banyak pria yang lebih wow dibanding Sunbae," imbuh Gayoung kemudian.
Sunbin justru tertawa geli. Apa Gayoung sakit mata atau pria sekelas apa yang dikenalnya? Yang jelas, Sunbin tak sependapat, Chanyeol sangat menawan dengan kepribadian pun rupanya.
"Apa salah Chanyeol padamu memang?" tanya Sunbin ingin tahu. Tak mungkin ada asap tanpa api.
Bibir Gayoung mengerucut seperti bebek.
"Dia jahat tahu! Licik seperti rubah dan egois!" ucap Gayoung sekenanya.
Tawa Sunbin mengeras, menganggap celotehan Gayoung seperti anak kecil yang bermusuhan dengan kakaknya.
"Kalau kau mengomelinya terus, kau yang terlihat jahat."
Mata Gayoung membulat, tidak terima dengan keberpihakan Sunbin. Meskipun, ia tahu, Chanyeol memang terlalu lempeng untuk dianggap jahat.
"Apalagi hari ini wajahnya agak pucat, kau bisa dikira ibu tiri kalau terus bersikap begitu."
"Siapa pucat?"
"Chanyeol-ssi. Sepertinya dia sedang sakit."
"Memang orang seperti itu bisa sakit?" cibir Gayoung tak acuh. Namun, tindakan selanjutnya bertolak belakang. Mana ada orang tak peduli, melongok ke jendela untuk memastikan kondisi orang yang dibicarakan.
***
Gayoung adalah tipikal orang yang akan terlelap setelah beberapa saat tidur dan membuka mata keesokan harinya. Namun, malam ini menjadi tak biasa—diduga karena terlalu banyak mengkonsumsi olahan susu dalam sehari. Gadis itu terpaksa terbangun tengah malam saat tiba-tiba perutnya melilit.
"Brrr..."
Sekeluarnya dari toilet, ia baru merasakan suhu ruangan yang jauh lebih dingin dari kamar tidur dan bahkan toiletnya tadi. Menduga akibat perbedaan suhu yang signifikan, buru-buru ia masuk ke dalam kamar dan menyelimuti tubuhnya.
Tak berselang lama, ia membuka pintu perlahan sambil celingukan menyusur ruang tengah. Beberapa langkah berjalan menuju mesin pemanas, gadis itu bisa merasakan udara dingin yang menusuk dari segala arah. Terutama telapak kakinya yang telanjang.
Helaan napasnya terdengar jelas tatkala menemukan kabel yang masih menancap ke saklar sementara lampu indikator tak menyala. Lantas, dilihatnya widget Weather di ponsel yang menunjukkan angka 13 derajat Celcius untuk suhu Toulouse malam ini. Padahal, ini sudah di penghujung musim semi.
Sontak pandangannya terarah pada sofa tempat di mana Chanyeol terbaring dengan bibir kering dan wajah yang tak kalah pucat. Jaket tebal dan kaos kaki yang dikenakan pasti tak terlalu berguna.
"Sunbae ...."
Hati kecilnya tergelitik. Merasa bersalah mengabaikan peringatan Sunbin siang tadi. Tak lagi menggubris segala aturan yang dibuatnya, Gayoung memberanikan diri membandingkan hangat tubuhnya dengan kening Chanyeol—menggunakan punggung tangan. Masih belum percaya, tangannya berpindah pada kedua sisi leher pria itu.
"Eomma...."
Igauan Chanyeol semakin membuat Gayoung tak nyaman. Tanpa banyak bicara, ia membawa bantal dan selimutnya ke luar.
"Ayo bangun! Kau tidur di dalam saja. Hari ini, aku yang di sini."
"Eomma...," racau Chanyeol menjadi. Masih dengan mata terpejam.
"Heeeh. Apa kau mengigau? Kita tidak sedang di rumahmu, Sunbae," tegur Gayoung yang tampak cemas.
Pria itu tak menjawab dan tetap memanggil-manggil ibunya hingga Gayoung tak bisa lagi bersikap biasa saja.
"Ergh... astaga, kenapa tiba-tiba mengguncang tubuhku?" keluh Chanyeol terkejut.
Gayoung menatap kesal. Bisa-bisanya Chanyeol bertanya seperti itu setelah membuatnya panik. Bahkan ia sudah berpikir akan membawa pria itu ke UGD jika Chanyeol tidak segera tersadar.
"Cepat bangun! Bawa bantal dan selimutmu ke kamar!" titah Gayoung jauh dari kata lembut.
Meskipun masih linglung, Chanyeol tahu respon apa yang harus diberikannya.
"Apa-apaan kau ini? Kita sudah sepakat 'kan?"
Sebelum Gayoung memutuskan untuk tinggal bersama Chanyeol, mereka berdua sudah sepakat untuk membagi area di apartemen. Di malam hari, Gayoung berhak atas kamar tidur sedangkan Chanyeol akan tidur di sofa ruang tengah.
"Hanya malam ini, aku akan tidur di sini dan Sunbae tidur di dalam," perintah Gayoung sambil mendorong punggung Chanyeol untuk bangun.
"Kembalilah ke kamar, di sini dingin," tolak Chanyeol enteng.
"Lalu, kau akan tidur di sini walaupun kau sakit?"
Chanyeol menggeleng dan kembali menenggelamkan wajahnya ke dalam selimut.
"Oh, God! Aku sedang tidak ingin berdebat, Sunbae," rengek Gayoung kesal.
Suhu ruang tengah memang sangat dingin, sampai Chanyeol tak ingin lagi bergerak hanya untuk meladeni Gayoung. Kehangatan lebih diperlukan.
"Aku belum tentu akan berbaik hati besok. Jadi ... kumohon," pinta Gayoung, menekan harga dirinya.
"Aku sudah biasa dari kemarin."
Perasaan Gayoung mencelos. Sudah pasti ini alasan pria itu tampak pucat belakangan.
"Kalau Sunbae keras kepala, aku akan ikut tidur di sini," ujar Gayoung nekat mengacam Chanyeol. Percaya diri kalau Chanyeol tak akan tega. Ia menepuk-nepuk bantal di atas sofa lain dan membaringkan tubuhnya.
Satu detik. Dua detik. Bahkan beberapa menit pun tidak ada suara yang Chanyeol dengar, selain gesekan selimut dan sofa. Kepala pria itu menyembul dari balik selimut memperhatikan Gayoung yang agaknya tak bisa tidur.
"Ayo bangun! Aku mau tidur di dalam," ujar Chanyeol yang sudah beranjak.
Dalam selimutnya, Gayoung berujar, "Cepat masuk dan tidur—"
"Tapi ada syaratnya."
Malas-malas, Gayoung menurunkan selimut gadis itu dan menatap Chanyeol, isyarat meminta penjelasan.
"Aku mau kau tidur denganku."
Rahang Gayoung melemas hingga bibirnya tak lagi tertutup rapat. Matanya pun tertahan lebih lama untuk tetap terbuka. Tanpa sadar pipinya pun mulai menghangat. Meskipun dengan penerangan terbatas Chanyeol tak akan menangkap hal tersebut, Gayoung tetap memalingkan wajah.
"Kau gila? Kita 'kan sudah setuju untuk tidak sejauh itu."
"Janji pernikahan, susah senang ditanggung bersama 'kan?" ujar Chanyeol mencari jalan tengah. Baginya lebih penting sumpahnya di altar dibanding kesepakatannya dengan Gayoung yang tak punya kekuatan hukum apapun. Seperti dugaan Gayoung. Tidak akan mungkin pria itu membiarkan Gayoung mempertaruhkan kesehatannya sendiri.
"Kenapa bawa-bawa janji pernikahan? Kita juga punya kesepakatan untuk menjaga jarak."
Chanyeol mendengus, ingin tertawa kalau mengingat Gayoung yang tadi justru mengguncang dan mendorong tubuhnya. Jarak apa lagi yang gadis itu maksudkan? Kalau saja tubuhnya fit, mungkin ia akan mencecar Gayoung.
"Yang jelas, kalau aku masuk kamar, itu artinya aku tidur denganmu."
Bulu kuduk Gayoung merinding mendengar penekanan Chanyeol. Ia kira Chanyeol tak akan tertarik padanya. Bahkan perjanjian itu, Chanyeol yang memulai. Lalu, apa gunanya pertengkaran mereka selama ini kalau pria itu menagih haknya.
"Aku hanya tidak mau kau semakin sakit, bukan artian membawa hubungan kita layaknya suami istri sungguhan. Lagi pula, dari pada melakukan hal tidak berguna, sebaiknya kau istirahat dengan baik."
"Memang tidur tidak berguna?"
"Tidak," jawab Gayoung apa adanya.
Sekali lagi Chanyeol mendengus, ia baru sadar, Gayoung salah paham dengan ajakannya.
"Tenang, aku masih tidak tertarik padamu. Tidur itu, artinya adalah meluruskan tubuh dan memejamkan mata. Paham?"
Rona pipi Gayoung semakin merah bak tomat masak karena malu. Kali ini Chanyeol tak tahan lagi melihat ekspresi Gayoung yang menggemaskan. Diusapnya ubun-ubun gadis itu sebelum berlalu masuk ke dalam kamar.
"Ayo masuk! Jangan pura-pura kuat!"
Teguran Chanyeol setelahnya seolah perintah. Menjinakkan Gayoung yang selama ini selalu mau ambil kendali.
***
Kalau mengingat kejadian semalam, urat malu Gayoung rasanya putus. Tega-teganya Chanyeol membiarkannya salah paham sejauh itu. Hancur sudah citra yang dibangunnya selama ini.
"Sunbae, sudah minum penurun panas?" tanya Gayoung malu-malu.
"Hmm. Tidak perlu," jawab pria itu cemberut sembari memeluk bantal dengan tubuhnya yang bertudung selimut.
Gayoung menyodorkan tablet berwarna putih, "Ayo minum dulu! Semalam kau sudah menolak."
Bola mata Gayoung berotasi malas. Rasa malunya belum sirna, tapi ketidakpatuhan pria ini membuatnya khawatir dan mau tak mau berlama-lama di sana.
"Aku tidak ingin sedikit-sedikit minum obat."
"Ayolah. 'Kan tidak setiap hari. Mumpung kau baru menghabiskan sarapan. Ini parasetamol. Semalam aku sudah mengalah. Sekarang giliranmu," bujuk Gayoung dengan wajah memelas.
Selama ini, Gayoung selalu memilih menjadi singa betina yang galak. Sekalinya melemah pun, itu hanya tipu muslihat. Namun, kali ini Gayoung bisa tampak jinak seperti anak kucing.
"Iya. Iya. Diminum."
***
"J'oublie d'apporter mon argent.*"
"Vous pouvez l'acheter après avoir apporté votre argent*."
Perdebatan kecil terdengar tak jauh dari tempat Gayoung berdiri sekarang. Meskipun ia paranoid pada 'nada tinggi' —selain kerumunan—, ada rasa penasaran untuk mengetahui lebih jelas apa yang dipermasalahkan kasir dan seorang nenek renta di apotek.
"Puis-je le prendre maintenant? Je vais le payer dans l'après-midi*"
Hampir saja Gayoung menjatuhkan fever patch dan termometer yang baru diambilnya di etalase, saat mendengar permintaan sang Nenek untuk membawa suplemen mahal tanpa membayarnya. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa di negara sekaya Perancis ada orang bernalar seperti itu. Di toko kelontong dekat studionya di Seoul saja, ia harus membayar cash demi semangkuk ramen.
Lantas, gadis itu mendekat, mencuri dengar saran apoteker untuk mengkonsumsi suplemen lain yang lebih terjangkau dan dapat diberikan secara gratis. Mendengar sang Nenek yang justru berteriak dan tetap bersikukuh, Gayoung maju beberapa langkah tanpa menoleh, menaruh barang belanjaannya beserta satu botol amber berlabel sama dengan yang dibawa sang Nenek.
Tanpa pikir panjang, Gayoung menyela perdebatan untuk menyerahkan botol tersebut setelah menyelesaikan pembayaran. Meninggalkan pandangan kebingungan apoteker dan para stafnya, tak terkecuali nenek yang ditolongnya.
"Mademoiselle! Mademoiselle!*"
Teriakan itu sedikit mengganggu pendengaran Gayoung. Ia senang membantu orang, tapi sering tak nyaman menerima ucapan terima kasih dari orang tak dikenal. Ada rasa canggung yang sulit dijelaskan. Namun, teriakan yang ketiga kalinya mengetuk hati Gayoung.
Spontan, ia menoleh dan gummy smile-nya terkembang.
"Merci beaucoup.* Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya nenek itu bingung.
Bola mata Gayoung berputar lambat, sulit untuknya mengaku. Terlebih dengan pengalaman buruk yang dimilikinya saat pindah ke apartemen yang ditinggalinya sekarang.
"Astaga! Kau gadis yang mengumpat pada Paul dan membuat keributan di lantaiku beberapa hari lalu?"
Gayoung menahan senyum tipis di bibirnya. Terlalu berlebihan menganggapnya membuat kegaduhan. Waktu itu, ia hanya menyampaikan protes pada landlord-nya yang ingkar janji dan Chanyeol yang hanya menawarkan untuk berbagi apartemen.
"Ya! Ya! Kau gadis itu! Tidak ada yang berwajah oriental selain penghuni baru itu."
"Belum tentu kita tinggal di gedung yang sama juga 'kan?" dalih Gayoung.
Mata wanita baya yang kini berjalan beriringan dengan Gayoung menyipit. Matanya memindai dari ujung kaki sampa kepala Gayoung dan kemudian tertawa nyaring.
"Kau orangnya! Aku memang tua, tapi belum pikun."
Sementara itu, Gayoung hanya diam, tak mau dianggap sebagai pembuat onar. Meskipun, ia sadar, banyak tetangga yang melemparkan tatapan sinis setelah insiden perdebatannya dengan landlord.
"Aku tinggal di sebelah apartemenmu kalau kau lebih pikun dariku. Siapa namamu?" tanya sang Nenek menyindir.
Sudah kepalang basah, Gayoung hanya menunduk memperkenalkan diri, "Je suis Gayoung*. Moon Gayoung."
"Louise Pierre."
"Oui,* Madam Pierre," ucap Gayoung mengkonfirmasi.
Tak hanya sapaan bersahabat yang saat ini Gayoung peroleh. Madam Pierre tak segalak saat pertama kali ia bertemu —pindah rumah—, wanita itu sangat bersahabat. Meskipun, agak aneh. Coba saja ia sudah berkawan sejak kemarin-kemarin, mungkin Gayoung tak perlu repot-repot pergi ke apotek, ia bisa pinjam termometer milik nenek tersebut.
***
"Sunbae, apa kau sudah makan?"
Gayoung mendatangi Chanyeol yang justru asyik menonton Variety Show di Youtube. Sekalipun sakit, ternyata pria itu tidak bisa absen dari tontonannya.
"Hmmm."
Hanya dijawab dengan dehaman, Gayoung menyimpulkan, "Pasti belum. Kau ingin apa untuk malam ini?"
Pria itu tak melepaskan fokusnya dari layar kaca, "Nanti saja. Tidak lapar."
"Ini sudah sore. Kalau kau ingin sesuatu. Biarkan aku mencarinya. Biasanya makanan kesukaan akan membantu seseorang untuk sembuh," ucap Gayoung mencoba mengerti. Mungkin pria itu terlalu menikmati sampai lupa kalau ia sedang sakit.
"Tidak masuk akal," jawab Chanyeol tak acuh.
Merasa sudah cukup bersabar dan banyak mengalah, Gayoung tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak mengancam, "Jadi, Sunbae mau apa? Kalau kau tidak mau makan. Aku akan menyerahkanmu pada rumah sakit"
Chanyeol sudah makan bubur dan minum obat sementara suhu tubuhnya sore ini tak kunjung turun. Lalu, sekarang dengan santainya ia bilang tidak lapar? Sungguh Gayoung ingin murka.
Kemudian, Gayoung masuk kamar dan menyalakan lagu rock dengan volume luar biasa. Gadis itu meluapkan emosinya dalam lirik lagu tersebut.
Entah merasa tidak enak atau bagaimana, Chanyeol membuka sedikit pintu kamarnya dan menyembulkan kepala.
"Aku... ingin Seolleongtang."
Gayoung mengecilkan volume musiknya. "Apa?"
"Seolleongtang ... Kau bisa membuatnya?"
Saat meminta makanan begini, Chanyeol terlihat seperti anak kecil yang lemah. Namun, hal ini tak menghilangkan fakta bahwa Gayoung tak bisa membuat makanan seperti itu di Perancis. Tidak. Tidak. Di Seoul ataupun Busan pun, ia tidak pernah memasaknya.
"Akan kucarikan. Kau mau menunggu sampai jam 7 malam 'kan?"
Apa kini Gayoung yakin akan keluar malam-malam sendiri di Toulouse? Agaknya untuk kesembuhan Chanyeol, dia akan mempertaruhkan keberaniannya.
***
"Hueeek..."
"Ga... Young... Kembali —"
Belum selesai Chanyeol mengatakan kalimatnya. Ia sudah muntah-muntah lagi. Sepertinya pria itu belum bisa mengonsumsi seolleongtang. Padahal, ini adalah makanan berkuah yang sejak tadi diminta.
"Sunbae, bisakah kau sedikit menahannya—muntah? Perutmu akan kosong," ujar Gayoung sambil menepuk pelan punggung Chanyeol.
"Hueeek..."
"—kembalilah, makananmu belum habis."
Chanyeol bisa menyelesaikan kalimatnya setelah mengeluarkan semua isi perutnya. Melihat hal ini nafsu makan Gayoung sirna. Meskipun sudah bertindak semena-mena, Chanyeol satu-satunya orang yang paling bisa dipercaya di tempat ini.
"Kita ke UGD saja, ya, Sunbae."
"Kalau kau memintaku ke UGD, aku akan pulang ke Seoul besok pagi!" ancam Chanyeol.
"Bagaimana orang sepertimu bisa lolos dari imigrasi?" desis Gayoung tak mau kalah.
Selama di perjalanan menuju kedai tadi, Chanyeol memang bercerita, Ia sering mengalami hal seperti ini jika tinggal di tempat baru. Bahkan, saat ia menginap di rumah bibinya di Ulsan, ia demam tinggi. Eomma-nya datang menjemput dan langsung membawanya ke Busan untuk mendapat perawatan. Tidak mungkin kan sekarang Eomma-nya akan menjemput.
Lagi pula, Gayoung tidak ingin sendiri.
Saking hebohnya perdebatan keduanya, pemilik kedai datang menghampiri, "Apakah kekasihmu baik-baik saja?"
"Dia mengeluarkan semua makanannya," keluh Gayoung sembari memapah Chanyeol meninggalkan toilet.
"Mau minum teh hangat? Bagaimana kalau kalian menginap di sini saja? Aku tidak tega melihat kalian pulang malam."
"Terima kasih. Kami akan segera ke Rumah Sakit. Aku takut dia dehidrasi," tolak Gayoung halus. Bersyukur masih ada orang baik yang memedulikan mereka.
"Ya! Aku baru muntah sekali bagaimana aku bisa dehidrasi," protes Chanyeol.
Gayoung menatap Chanyeol frustasi. Pria ini sangat sulit dinasehati. "Tapi kau sudah demam seharian."
"Tunggu sebentar. Aku ada obat herbal dari Korea. Kuharap kau akan lebih baik dengan ini," ucap sang Pemilik kedai. Bahkan, ia menambahkan satu bungkus makanan untuk mereka.
Meskipun Gayoung menolaknya, Bibi pemilik kedai bersikukuh, "Tidak apa-apa. Segeralah sembuh anak muda, dan makan di sini lagi."
***
Jika Gayoung pernah merencanakan Sabtu dan Minggu paginya untuk lari pagi. Tentu hari ini masih menjadi wacana. Ia tidak akan bisa meninggalkan Chanyeol setelah kejadian kemarin. Apa lagi mengingat ulah Chanyeol yang mengomel terus di Taxi dan tidak mau dibawa ke Rumah Sakit. Untung saja supir Taxi itu begitu sabar pada mereka sampai menolak tips yang Gayoung berikan.
"Berapa derajat?" tanya Chanyeol penuh harap.
"Tiga puluh tujuh."
Chanyeol mengepalkan kedua tangannya ke udara dan sedikit berteriak, "Yeeeeees!" .
"Tapi tubuhmu masih hangat."
"Nanti juga turun. Aku menang!"
Karena Chanyeol semalam bersikeras untuk tidak pergi ke rumah sakit. Mereka bertaruh, jika pagi ini suhu tubuh Chanyeol 37.5 derajat celsius atau lebih, ia tidak boleh menolak untuk ke rumah sakit. Jika sebaliknya, maka ia akan tetap di rumah dan menerima perawatan dari Gayoung.
"Kau akan malu jika kemarin tetap membawaku ke UGD," ejek Chanyeol tak tahu diri.
"Sayangnya, aku tidak punya malu," bantah Gayoung sembari menyerahkan mangkuk buburnya pada Chanyeol.
"Kenapa bubur lagi?" keluh Chanyeol kecewa.
"Ini bubur gandum. Aku rasa perutmu belum bisa mencerna makanan yang terlalu keras. Seolleongtang saja kau muntahkan. Aku tidak mau mengurus Sunbae yang muntah lagi."
"Baik, Eomma," sindir Chanyeol.
Dipanggil 'Eomma', Gayoung mencibir dan beranjak pergi.
"Gayoung-ah, tutorku bilang kalau besok para tutor akan ada rapat terpusat di Paris. Jadi aku tidak perlu masuk. Apa kau juga libur?" tanya Chanyeol.
Gayoung mengangguk. Ia juga mendengar informasi ini beberapa waktu lalu.
"Kau menyukai fotografi 'kan?"
"Ya."
"Ayo kita pergi ke Festival MAP!"
***
Catatan Kaki:
J'oublie d'apporter mon argent: Saya lupa membawa uang
Vous pouvez l'acheter après avoir apporté votre argent: Anda bisa membelinya setelah mengambil uang Anda
Puis-je le prendre maintenant: Bisa ku bawa dulu sekarang
Je vais le payer dans l'après-midi: Saya akan membayarnya sore
Merci beaucoup: Terima kasih
Je suiz désole: Saya minta maaf
Mademoiselle: Nona
Je suis Gayoung: Saya Gayoung
Oui: Ya
***
Cheesy nggak, sih? Tapi jujur sih, scene sakit itu romantis banget buat aku secara pribadi. Hahaha.
Tujuan scene ini semata-mata agar mereka bisa lebih memahami.
Sekian.
Festival MAP itu nama salah satu festival fotografi di Toulouse yang digelar di bulan Mei.
Ditunggu komentar dan likenya ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro