Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prolog

Hallo, Sudah siap dibawa ke dalam belenggu kegelapan? Selamat menikmati✨

Cerita ini ditulis bersama chynthiach.

Wajah bahagia terpancar dari seorang lelaki yang sebentar lagi akan berganti status dari suami menjadi seorang ayah. Sudah lama ia menanti sang malaikat kecilnya lahir.

Suara derum mobil berhenti di depan halaman rumah megah. Ia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Tangan kanannya menenteng plastik putih berukuran besar berisikan pesanan sang istri.

"Kok kamu udah pulang jam segini?" tanya sang istri, Gracia. Tidak biasanya suaminya pulang saat sore hari, karena setiap pulang kerja suaminya akan pulang larut malam.

Damian menjawab dengan senyuman, ternyata sang istri sedang membereskan kebutuhan bayi di kamar baru untuk bayi mereka. Perutnya sudah membesar, tinggal menghitung hari saja.

"Iya, aku kangen kamu dan anak kita. Oh ya, aku juga udah bawain pesanan kamu, nih." Damian mengangkat sedikit plastik putih yang ada di tangannya. Gracia tersenyum dan langsung memeluk Damian.

"Makasih, sayang."

***

Saat ini Damian sedang di ruang kerjanya. Matanya fokus menatap laptop miliknya, memantau keuangan yang masuk dari perusahaan peninggalan ayahnya yang sudah lama ia kelola.

Fokusnya teralihkan saat tiba-tiba mendengar suara, seperti barang besar yang jatuh. Tak lama terdengar suara Gracia merintih kesakitan. Sontak Damian langsung menutup kasar laptop di depannya.

"Gracia! Kamu kenapa? Ya Tuhan darah!" teriakan Damian mengundang para pekerja di rumahnya.

"S--sakit, Damian. Aku gak kuat," rintih Gracia. Damian tak kuasa menahan tangis. Tanpa fikir panjang ia langsung menyuruh sang supir pribadi untuk menyiapkan mobil mereka untuk segera melesat ke rumah sakit.

"Sabar ya, sayang. Aku mohon, kamu harus kuat. Demi aku dan anak kita," ucap Damian saat mereka sudah ada di dalam mobil.

"Sakit b-banget," rintih Gracia.

***

Dengan segala perjuangan akhirnya telah lahir seorang anak perempuan bernama Alceena Eleanor. Tanda nama itu terpasang cantik di kaki mungil Alceena.

Gracia memeluk erat sang putri pertamanya. Wajahnya sangat cantik, kulitnya putih seperti butiran berlian. Hidung mancung, bibir merah muda, dan alis yang berwarna coklat samar.

"Terima kasih, sayang. Kamu sudah berjuang dan bertahan demi anak kita, aku sayang banget sama kamu. Kita akan bahagia dan membesarkan anak kita bersama-sama." Damian mengelus rambut tipis Alceena yang masih di gendongan Gracia.

"Iya, aku juga sayang sama kamu. Terima kasih juga kamu udah sabar ngadepin aku yang menyebalkan ini selama hamil."

Damian tertawa mendengarnya, istrinya ini sangat lucu. Bukankah memang itu sudah kewajiban suami untuk membahagiakan istrinya.

***

Suasana hening di dalam ruangan serba putih. Terdapat tiga orang manusia yang sedang duduk bertatap-tatapan, menunggu apa yang akan diucapkan selanjutnya oleh salah satu dari mereka.

"Jadi gimana, Dok?" tanya laki-laki salah satu dari mereka, Derga. Sembari terus menggenggam tangan wanita yang sangat ia sayangi.

"Maaf, Pak. Hasilnya masih sama seperti yang sudah-sudah, bahwa istri Bapak belum bisa hamil. Saya minta maaf, tapi hasil ini sudah sangat akurat. Saya sudah memeriksanya tiga kali, Pak."

Derga menatap marah pada sang dokter di depannya. Genggaman di jari Rianna pun juga sudah terlepas.

"Bagaimana bisa istri saya tidak bisa hamil?! Ini kau yang bodoh atau memang alat di rumah sakit ini tidak berfungsi dengan baik?! Hah?!" teriakan kencang dari Derga membuat dokter tersebut sontak memundurkan tubuhnya, sangat terkejut.

"Maaf, Pak. Kenapa Anda berbicara seperti itu? Saya ini dokter terkenal di rumah sakit ini. Semua pasien sudah saya tangani dengan baik, kalau saja Bapak lupa." Dokter itu berusaha terlihat tenang walau tadi ia sempat terkejut mendengar nada bicara Derga.

"Cih! Kau sangat sombong, lihat saja apa yang akan terjadi nanti, akan ada balasan untuk orang yang sombong sepetimu!" Derga berdiri lalu menarik tangan Rianna untuk keluar dari ruang periksa.

Sang dokter hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tidak menyangka ia akan bertemu pasien sekeras Derga. Sangat menjengkelkan. Ia tahu bahwa Derga berperilaku seperti itu karena belum menerima kenyataan yang sesungguhnya.

Sepasang manusia itu berjalan di koridor rumah sakit. Masih dengan wajah Derga yang menyeramkan seolah-oleh siap untuk memangsa. Sedangkan istrinya, Rianna, masih diam tak bersuara setelah mendengar kata-kata dokter tadi.

"Kenapa berhenti?" tanya Derga kepada Rianna yang tiba-tiba mengentikan langkah kakinya dan terfokus pada satu objek. Derga mengikuti arah pandangan Rianna.

Derga menghembuskan nafasnya pelan. Ini yang ia takutkan, bila mereka berdua datang ke rumah sakit pasti Rianna akan melihat bayi-bayi lucu yang baru saja lahir.

"Cantik sekali bayi itu," gumam Rianna sambil tersenyum ke arah bayi yang digendong dengan ibunya. Terlihat sang ayah yang mendorong kursi roda tersebut.

Rianna berjalan mendekat. Saat sudah di depan kursi roda, ia berjongkok dan mendekatkan wajahnya pada Alceena.

Tangan Rianna yang menyentuh kulit lembut Alceena terlempar keras ke samping saat Damian memukulnya.

"Jauhkan tangan kotormu itu dari anakku! Berani sekali kamu menyentuhnya tanpa seizinku!" cerca Damian dengan sorot mata penuh kebencian, sedangkan Gracia hanya diam, jauh dalam hatinya ia tak tega melihat wanita di depannya.

Derga tak tinggal diam di tempat. Ia berdiri dan langsung menarik istrinya untuk pergi dari Damian dan Gracia. Sebelum berlalu pergi Derga mengatakan satu kalimat sambil tersenyum devil.

"Wait for my revenge!"

***

Udara malam yang dingin menusuk indra peraba siapa pun pada malam ini. Namun, tidak berlaku untuk Damian. Sedari tadi yang ia rasakan hanyalah kegelisahan tiada henti. Tak tahu apa penyebabnya.

Matanya melirik ke sana dan ke sini seperti mencari sesuatu. Jika bukan karena untuk memenuhi keinginan Gracia, ia tak akan mungkin ada di tempat ini. Menunggu tukang sate keliling langganan mereka. Di taman yang sepi tanpa kendaraan sama sekali karena jarak dari rumah mereka ke taman sangatlah dekat.

Di lain tempat namun tak terlalu jauh, terdapat tiga orang lelaki berpakaian serba hitam dengan wajah yang ditutupi dengan topeng merah menyala.

"Ingat, jangan sampai pekerjaan kalian kali ini meninggalkan jejak sedikit pun. Jika semuanya tidak berjalan sesuai keinginanku--" Lelaki tersebut menjeda ucapannya dan mengarahkan pisau yang ia genggam ke arah dua lelaki lainnya.

"Kalian yang akan mati!" lanjutnya. Sedikit lagi pisau mengkilat itu akan mengenai leher Marcho, salah satu anak buahnya.

"Ba--baik, Tuan. Kami akan berkerja dengan baik dan sesuai keinginan Tuan Derga," ucap Marcho.

"Bagus. Sudah sana pergi! Pastikan istri Damian itu mati tanpa bisa hidup kembali!"

Ia menatap mangsa di depannya dengan senyum devil yang tak pernah hilang sedikit pun. Tangannya memegang pisau kecil dan sepasang kapak berukuran sedang di belakang punggungnya.

"Aku akan mengambil semua yang kamu miliki, Damian. Karena perbuatanmu pada istriku tadi siang, membuat aku sadar bahwa manusia sepertimu tak pantas hidup di dunia," ucap Derga. Tak ada yang bisa mendengar ucapannya selain dirinya sendiri.

Sedangkan Damian, ia masih setia menatap ke kanan berharap penjual sate keliling datang ke arahnya.

Beberapa detik kemudian, tubuh Damian terlempar kuat ke arah kanan dan terjatuh dengan posisi terlentang. Matanya melotot melihat sosok serba hitam di depannya.

"Aghhh!"

"Oh shit! Apa yang kau lakukan!" teriak Damian sambil memegang perutnya yang tiba-tiba di tusuk dengan pisau kecil. Pelaku hanya diam. Tersenyum puas di balik topeng.

"Ini belum seberapa, brengsek!"

"Ke--kenapa kau lakukan ini padaku, apa salahku!" tanya Damian, darah Damian keluar deras membasahi seluruh perutnya.

Derga menarik pisau yang masih menancap dan kembali menusuk-nusuknya ke bagian tubuh Damian lainnya, sampai lebih dari sepuluh kali.

Dirasa Damian sudah tak bergerak, Derga mengambil kapak yang ia letakkan di balik tubuhnya. Perlahan tangan kekarnya mengarah ke bagian kaki Damian yang sudah tak bergerak. Awalnya ia hanya memotong jari kaki.

Sampai sudah selesai dengan bagian kaki, Derga beralih ke bagian wajah Damian. Mengupas kulit wajahnya dengan pisau kecil kesayangnya sampai tinggal tersisa bola mata. Sepertinya Derga sangat menikmati permainannya kali ini, sudah lama ia tak menjalankan aksi membunuhnya.

Derga menatap perut mangsanya yang sudah hancur terkoyak. Isi di dalamnya keluar berceceran, sangat menjijikan. Lelaki itu mengelap tangannya yang penuh darah ke baju dan menyimpan kembali peralatan sakralnya.

"Good job."

Gimana, nih, prolognya? Baru pembukaan saja sudah menegangkan, apalagi nanti?

Makanya supaya gak ketinggalan, jangan lupa buat masukin cerita ini di library kalian ya✨

See u next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro