Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9 • Lost Control

Apaa kabar mantemann?

Sudah siap baca kelanjutan dari penderitaan Alceena? Let's go!

Kaki kecil itu membawa langkah Alceena menuju antah berantah. Ia melangkah dengan lunglai menyusuri tepi jalan yang diselimuti hutan lebat. Kemudian, terhenti saat ia telah berada jauh dari rumah kosong yang mengerikan itu.

Pakaiannya yang berwarna merah serta berbau anyir, pasti membuat orang di sekitar semakin menyangka bahwa dia adalah orang gila.

Ya, mungkin dia memang gila. Gila karena telah berani membunuh orang. Ingat, orang. Bukan sekedar semut merah ataupun nyamuk yang suka menghisap darah.

Beruntung, di daerah itu tak ada siapapun yang melihatnya. Jalanan lengang dengan keheningan yang mencekam, menjadi saksi bisu kehancuran Al.

Alceena masih tak habis pikir, bagaimana bisa tubuh ringkih dan lemah sepertinya ini bisa membunuh orang? Ya meskipun Al akui, laki-laki itu bodoh karena melupakan peluru untuk membunuhnya.

Namun, pembunuhan sadis yang ia lakukan secara mendadak tanpa rencana itu benar-benar di luar kesadaran.

Tangannya seolah-olah bergerak dan melukai dengan sendirinya. Ia terlalu kalut dan takut, sehingga reflek untuk melindungi diri berjalan dengan tidak rasional.

"Bagaimana bisa?" lirihnya seraya menatap tangan yang masih terdapat bekas darah.

"A--aku pembunuh." Berbeda dengan dirinya saat selesai melakukan hal keji tadi, kini kakinya lemas dan langsung terhempas ke tanah.

"Maafkan Al, Ma. Al telah mengambil nyawa seseorang hari ini," sesalnya.

Setetes air luruh dari pelupuk matanya. Disusul dengan bulir-bulir bening lain hingga membentuk anak sungai di kulitnya yang putih.  Dalam sekejap, wajah itu berubah jadi lesu. Isak tangisnya terdengar pilu. Bagaimana mungkin ia bisa pulang dengan keadaan seperti ini?

"A--aku pembunuh," lirihnya lagi di sela-sela tangisan.

Bayangan saat ia menusuk laki-laki itu seolah berputar-putar di benaknya. Membuat Al semakin kehilangan akal untuk berpikir jernih.

"KENAPA AKU MEMBUNUHNYA, TUHAN? KENAPA?!" Ia mengerang frustrasi. Tak lama kemudian, gadis itu menjerit seperti orang kesetanan.

"ARGH!!! APA YANG SUDAH AKU LAKUKAN?!" Al memejamkan mata. Kemudian menjambak rambutnya sendiri untuk meluapkan rasa frustasi yang seharian ini telah ia pendam sendiri.

"Al," panggil seseorang yang tiba-tiba ada di hadapannya.

Al yang masih terduduk di tepi jalan itu tak menggubris. Tangisnya belum juga mereda, meskipun telah berteriak berulang kali untuk melepaskan rasa penyesalannya.

"Maafin aku, Ma," lirih Alceena lagi.

"Al, ini aku," ucap gadis itu lagi hingga menyadarkan Alceena.

Al langsung menatap gadis di depannya itu dengan nyalang. Kilatan amarah tergambar jelas di manik matanya. Tangisnya mendadak terhenti setelah mengetahui siapa yang berani mengganggu waktu kesendiriannya.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Alceena dingin.

"Al," panggil gadis itu lagi. Kali ini nada suaranya jauh lebih lembut dari sebelumnya.

"Aku tanya El, kamu ngapain di sini?!" bentak Al dengan nada tinggi.

Mendapatkan respon yang sangat mengejutkan itu membuat El tersentak.

"Al, maaf ...," lirih El penuh rasa bersalah.

Alceena berdecak kesal. "Kamu juga benci aku kan, El?" tanyanya dengan tatapan yang tak mampu El mengerti.

"Enggak, Al. Aku gak pernah benci kamu," jawab El.

"Bohong!" bantah Al cepat. "Kalau kamu gak benci aku, mana mungkin kamu ninggalin aku begini."

"Aku gak ninggalin kamu, Al," ucap El pelan.

"Terus semua ini apa, El? Kamu ninggalin aku seharian ini! Kamu menghilang dari kamera, kamu gak bantuin aku dari bully-an mereka," seloroh Al dengan emosi yang mulai memuncak.

"Semua ini gara-gara kamu! Kalau bukan karena kamu, aku gak mungkin dianggap gila. Aku gak mungkin berakhir dengan membunuh orang seperti ini," lanjut Alceena lagi. Kini tatapannya beralih pada kedua tangan yang memerah setelah ia gunakan untuk menekan tanah.

"Bunuh—A ... apa?" tanya El shock.

"Aku sudah membunuh orang hari ini. Puas kamu?" sindir Alceena.

Tubuh El runtuh seketika. Ia terduduk tepat di hadapan Al. Mulutnya terbuka bersamaan dengan matanya yang melebar. Tatapannya masih menatap manik mata Alceena tak percaya.  Kini ia ikut merasakan kesedihan yang sejak tadi Al rasakan.

"Semua ini gara-gara kamu, El! Harusnya kamu muncul di video itu. Harusnya kamu juga ada saat aku diculik. Tapi, memang ini yang kamu mau bukan?!" bentak Alceena dengan emosi yang telah meledak-ledak.

"Al, aku gak pernah berpikir gitu," sanggah El lemah.

"Kamu berpikir begitu El! Kamu juga mau aku mati!" bentaknya tepat di depan wajah El. Urat di pelipis Alceena timbul, pertanda amarahnya benar-benar telah di puncak.

"SEMUA ORANG MAU AKU MATI, EL!" pekiknya keras. Bahkan El sampai memundurkan wajahnya karena wajah Al yang begitu menyeramkan.

"Semuanya. Tak terkecuali mama, papa, bahkan kamu," desisnya masih belum bisa meredakan emosi.

Tak ada yang bisa El lakukan. Ia merasa sangat bersalah. Namun, ia juga tak mampu melakukan apapun untuk memperbaikinya.

"Al, maafin aku. Aku gak bermaksud buat kamu jadi begini," lirih El masih mengulang kata-kata yang sama. Setetes air matanya mengalir saat tatapan itu, tatapan mengerikan yang Alceena berikan padanya, menghunus manik matanya dengan tajam.

"ARGHH! SEHARUSNYA AKU BIARKAN SAJA LAKI-LAKI ITU MEMBUNUHKU!" teriakan frustasi itu semakin lama terdengar sangat menyakitkan untuk El.

"Al, tenangin diri kamu dulu," ucap El berusaha menyentuh Al. Namun langsung ditepis dengan kasar.

"Jangan sentuh aku, El. Aku pembunuh. Aku bisa saja membunuhmu sekarang," Hardik Al.

"Aku sahabatmu, Al," ucap El dengan sisa keberanian yang ia miliki. "Aku tahu kamu gak mungkin melakukan itu."

"Aku telah membunuhnya, El! Dia mati di tanganku!" Senyuman miring tiba-tiba muncul di wajah Alceena yang telah kusam. Rambutnya semakin berantakan setelah berulang kali ia jambak.

"Kamu juga mau membunuhku kan, El? Kamu juga benci aku. Memangnya salah aku pada dunia ini apa?" tanya Alceena sambil menahan lengan El dengan keras.

"Apa karena aku punya kelainan, El? Atau karena aku berbeda dari teman-teman?" tanya Al putus asa.

"Nggak, Al. Kamu yang terbaik buat aku," balas El memberi kekuatan untuk Al.

"Lalu, sebenarnya kamu itu apa? Kenapa orang-orang tidak mempercayaimu? Apa sepertinya, kata orang-orang itu benar? Kehadiranmu itu memang tidak benar-benar nyata." Alceena melepaskan cengkramannya dari lengan El. Kemudian kembali terduduk lemas.

El terdiam seribu bahasa. Lidahnya terasa kelu. Bahkan tak ada satupun jawaban yang terlintas di benaknya.

"Lihat, bahkan kamu saja tidak bisa menjawabku." Al menyerah. Menyerah dengan keadaan yang tak pernah berpihak padanya.

"Lupakan aku, Al," ucap El tiba-tiba.

Terlalu tiba-tiba sampai Alceena merasa bola matanya hampir saja lepas karena sangat terkejut.

"Hah? Bercanda kamu?" tanya Al tak percaya. Sedetik kemudian, gadis dengan rambut yang telah berhamburan itu tertawa kencang. Sangat kencang. Seolah ia tak pernah menangis dan mengamuk sejadi-jadinya.

Namun, tawa itu semakin lama terdengar semakin sumbang. Terlalu menyayat hati hingga menyesakkan hati pendengarnya.

"Lucu sekali kamu, El. Setelah membuatku hancur seperti ini, sekarang kamu menyuruhku melupakanmu begitu saja?" tanya Al miris. Ia menatap kosong pada gadis berpakaian merah muda itu.

"Kehadiranku justru akan menghancurkan hidupmu, Al," ucap El pelan.

Tawa yang sempat menggelegar itu langsung menghilang. Memikirkan ucapan yang baru saja ia dengar. Mengingat banyak ya kenangan buruk yang terjadi karena sahabatnya sendiri. Padahal ia tak tahu apa yang salah dari sahabatnya ini.

"Aku mau kamu bahagia tanpa aku, Al. Lupakan aku." Tetes air mata itu kembali mengalir di wajah El.

Melihat El seperti itu justru membuat Al merasa seperti ditikam dengan puluhan pisau. Antara merasa sedih, kecewa, dan juga kehilangan menjadi satu. Al memejamkan mata, bertingkah seolah tidak peduli dengan apa yang El katakan.

"Aku mau kamu bahagia, Al." Kalimat itu terdengar seperti bisikan di telinga Al. Saat Al membuka mata, yang ia lihat hanyalah jalanan lengang dengan hutan di kedua sisinya.

Al mengerjapkan mata berulang kali. Namun, sosok El tak juga ia temukan.

"EL!" panggilnya sambil mengedarkan pandangan ke sekitar.

"EL, AKU MOHON KEMBALI. BANTU AKU, EL!" raungnya sambil terus memutar tubuh mencari keberadaan El di sekitarnya.

"ARGH, AKU BENCI KAMU EL!"

Sekali lagi, ia mengalami kejadian buruk dalam satu hari yang sama. Sepertinya hari ini, ia merasa jauh lebih emosinal. Terus berubah bagai permainan rollercoaster yang mengobrak-abrik akal sehatnya.

Kasian Al, kapan ya dia bahagia?😭

Thanks for reading❤️

See u next chapter!

Ditulis bersama chynthiach

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro