Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4 • Trash Mouth

Tolong dingatkan ya temen-temen kalau terdapat typo atau ketidaklogisan dalam cerita.

Jangan lupa tinggalkan jejak!🌟

"Lo tinggal tunggu, besok video ini bakal tersebar ke seantero sekolah." Setelah mengucapkan ancaman itu, Geo meninggalkan Alceena yang semakin termenung di tempatnya.

Belum sempat Alceena kembali melanjutkan langkah, Lidya datang dari arah berlawanan dengan kedua antek-anteknya sambil membawa makanan di masing-masing tangan mereka.

"Hai gadis autis," ujar Lidya bersamaan dengan pundaknya yang menabrak pundak Alceena.

"Aku gak autis," tekan Alceena menatap garang mereka bertiga. Siapa yang tidak marah jika setiap saat ia selalu dipanggil gadis autis. Setiap panggilan itu keluar dari mulut seseorang, hatinya selalu sakit seperti dipukul dengan benda besar.

"Oh ya? Gak autis? Coba deh lo ngaca dulu dan liat diri lo, pasti pantas disebut gadis autis. Sering bicara sendiri, gak bisa berkomunikasi dengan baik sama orang lain. Seperti itu masih gak sadar juga? Hm?" Lidya menginjak kaki kanan Alceena lalu mendorong gadis itu sampai jatuh tersungkur ke lantai koridor.

Sedangkan kedua teman Lidya hanya menjadi penonton kekejaman Lidya dan kemalangan Alceena tanpa mau campur tangan. Tetapi, jangan lupakan senyum devil mereka.

Masih dalam posisi yang sama, Alceena kemudian bangkit. Awalnya ia akan pergi ke kantin untuk membeli makanan, tapi mengingat uang di sakunya tinggal lima ribu rupiah, akhirnya ia mengurungkan niat.

Alceena berjalan ke toilet wanita dengan langkah pelan. Tak dipungkiri bahwa kakinya sakit. Gadis itu melotot saat sampai depan toilet.

MAAF, TOILET SEDANG RUSAK.

Alceena kembali melanjutkan langkahnya. Yang ada di pikirannya saat ini adalah ia harus ke toilet perempuan yang ada di dekat gudang.

Posisi toilet tersebut ada di lantai dua, maka dari itu Alceena harus melewati tangga. Walaupun saat ini ia tengah menahan rasa sakit di kakinya, ia tetap memaksakan. Baru setengah tangga ia lewati, adiknya, Eveline menghadang langkah Alceena.

Wajah Alceena masih menunduk, dari bawah bisa ia lihat siapa yang ada di depannya, lalu ia mendongak.

"Enak gak berangkat sekolah sendiri? Makanya jadi orang jangan lemot. Kasihan banget si jadi lo gadis au--"

"Cukup," potong Al sebelum mendengar lanjutan dari mulut Eveline.

Eveline tertawa. "Kenapa wajah lo terlihat kesal? Dendam sama gue?" tanyanya.

Alceena tak menjawab lagi ucapan sampah yang keluar dari mulut adiknya. Ia sungguh muak dengan semua ini.

Saat sampai di toilet, Alceena langsung masuk ke salah satu bilik. Menutup pintunya, tak lupa mengunci. Alceena duduk dengan air mata bercucuran. Banyak sekali yang jahat dengannya. Banyak sekali yang tidak menginginkannya.

Al mengusap lembut pipi kanannya, menghapus air mata yang terus berjatuhan. Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki mendekat ke arah toilet. Awalnya samar, lama-kelamaan semakin jelas terdengar.

Tiba-tiba langkah kaki seseorang itu berhenti di depan pintu, tempat Alceena sekarang. Jantungnya berdegup lebih cepat, siapa yang ada di dalam toilet selain dirinya.

Alceena berpikir positif, mungkin saja itu adik kelasnya yang masuk. Namun, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Alceena sontak kaget dan membekap mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara.

"Al, kamu ada di dalam?"

Alceena bisa bernafas lega saat mendengar suara itu, ternyata El. Huh, dia membuat jantung Alceena hampir lepas dari tempatnya. Alceena mengerjap beberapa kali lalu membenarkan letak rambutnya yang sedikit berantakan.

"Ternyata kamu, El. Kamu dari mana saja? Kenapa kamu tadi tiba-tiba menghilang? Aku nyariin kamu." Alceena membuka pintu toilet, seketika wajahnya dan wajah El bertemu.

El melihat Alceena yang berjalan ke arah cermin, seperti sedikit menghindari tatapan matanya.

"Jangan marah dong, aku gak bisa lihat kamu marah, Al. Maaf aku tadi ngilang karena ada urusan mendadak, udah dong jangan marah," bujuk El menggoyang-goyangkan bahu Alceena pelan.

"Oke aku maafin kamu, yang penting kamu gak lupa sama janji kamu yang kamu ucapkan tadi saat di koridor."

"Oke siap," balas El.

***

Alceena menatap sekeliling. Teman-temannya sudah bersiap untuk pulang. Membereskan alat-alat tulis mereka masing-masing. Sedari kejadian tadi, Geo tidak kembali mengganggunya. Alceena bersyukur saat ini ia bisa terbebas dari Geo dan Lidya. Walau sementara saja.

Kedua tangannya mulai aktif memasukkan barang-barang miliknya ke dalam tas berwarna hitam. Satu per satu siswa-siswi mulai keluar dari kelas menyisakan dirinya sendiri. Tatapan matanya kian mengosong.

Sedari kecil Al selalu merasa bahwa dirinya seperti sedang hidup di atas kebohongan. Seperti takdir sedang mempermainkannya. Bagaimana bisa, Alceena tidak pernah merasakan jika dirinya saat ini sedang benar-benar hidup di dunianya.

Hatinya selalu mengatakan ada yang menunggunya di alam lain tanpa ia tahu itu siapa.

Gadis itu menggelengkan kepalanya mengusir pikiranan negatif yang membuat dirinya semakin bingung. Kakinya mulai melangkah keluar kelas. Saat sampai di lapangan, Al melihat Eveline yang juga tengah berjalan dengan satu temannya, laki-laki.

Sebelum Al mendekati adiknya, laki-laki tadi pergi terlebih dahulu menjauhi Eveline ke arah parkiran motor sekolah.

"Eveline," panggil Alceena. Eveline yang memakai aerphone di telinganya tak mendengar panggilan dari sang kakak.

Alceena berdecak. Adiknya ini kebiasaan selalu memakai benda itu jika sedang berjalan kaki. Bagaimana jika ada seseorang yang memanggilnya seperti ia saat ini. Apakah semua orang akan ia acuhkan?

"Tunggu!" seru Alceena sembari menahan bahu Eveline agar tidak kembali berjalan. Eveline sontak melihat ke arah samping. Matanya berputar malas.

Eveline berdecak kesal. "Ada apa?" tanyanya. Lagi lagi matanya melihat ke arah ponsel lalu kembali melangkah. Membuat Alceena mau tak mau mengikutinya.

"Aku pulang bareng sama kamu, kan? Aku gak punya uang lagi untuk naik angkutan umum, Line," lirih Alceenq menatap adiknya dengan raut wajah berharap. Berharap adiknya mau berbaik hati.

"Ya."

"Yey, terima ka--"

"Di dunia ini gak ada yang gratis, sampai rumah nanti lo harus beresin kamar gue, cuciin baju kotor gue, dan satu lagi. Lo harus kerjakan pr gue, oke?

Baru saja Alceena mau menyanggah permintaan sang adik. Eveline sudah terlebih dahulu berucap, "kalau lo gak mau, siap-siap aja kaki lo bakalan pegal karena pulang jalan kaki," ucap Eveline lalu gadis itu berjalan cepat meninggalkan Alceena. Di depan gerbang sudah ada Pak Mantee, supir pribadi mereka.

Eveline membuka pintu depan di mana kursi yang langsung berdampingan dengan kemudi. Alceena terdiam menatap Eveline yang langsung masuk dan duduk tanpa melirik ke arahnya lagi.

Tin ... tin ... tin ....

Alceena tersadar dari lamunannya dan melihat wajah adiknya yang sudah merah bersiap meluapkan amarahnya.

"Loo mau kami tinggal atau gimana? Duduk di belakang, cepat!"

Al mengangguk cepat lalu membuka pintu belakang, ternyata sudah ada adiknya yang paling kecil di sana. Al tersenyum, namun senyumnya kembali hilang saat tak dapat balasan.

"Kalian berdua harus tau, aku sayang sekali dengan kalian. Aku tidak ingin hal banyak dari kalian. Aku hanya ingin kalian menganggapku seperti adik menganggap kakak pada umumnya."

Terimakasih sudah membaca!

Ditulis bersama chynthiach

See u next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro