Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 • Guardian Angel

Sebelum baca, alangkah baiknya kalian tekan bintang di sebelah kiri dulu.

Gimana? Sudah?

Nah, kalau warna bintangnya udah jadi oren, baru deh lanjut baca.

Alceena, gadis yang menyedihkan. Tidak pernah punya teman dekat di hidupnya. Hanya kesengsaraan dan kesedihan yang ia rasakan. Hanya satu orang yang menyayanginya di dunia, ibunya, Rianna.

Walau kehidupan Alceena sangat keras dan kejam, ia tetap berusaha kuat untuk bertahan meski rapuh. Seperti saat ini mata cantik Alceena tertutup rapat, belum ada tanda-tanda dirinya akan sadar dari pingsan.

Terlihat seorang laki-laki menatap benci gadis yang masih terbaring lemah itu. Tatapannya terus bergantian melihat Alceena lalu ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangannya.

Tidak lama dari itu, jari-jari Alceena bergerak sebagai tanda bahwa gadis itu telah sadar. Kedua matanya bergerak.

"Saya semakin heran sama kamu. Semakin dewasa kok semakin nyusahin orang saja." Terdengar suara papa yang pertama kali masuk ke gendang telinga Alceena.

Alceena mengerjapkan matanya dengan pelan, mengatur cahaya yang masuk ke pupil matanya.

"Akhirnya sadar juga kamu?" Derga tersenyum devil ke arah Alceena. Baginya sudah makanan sehari-hari jika papanya bersikap seperti itu. Hanya padanya, ingat. Lain dengan kedua adiknya. Sangat manis.

"Kok Alceena bisa ada di rumah, Pah? Bukannya tadi Al masih di sekolah, ya?" tanya Alceena, memberanikan diri walau tatapan sang papa terus menatapnya tajam layaknya pisau yang siap mencolok mata.

"Tadi kamu pingsan. Papa yang jemput kamu di sekolah. Kenapa sih hidup kamu selalu aja nyusahin? Hah!?"

"Al tadi--"

"Alceena, sayang. Kamu udah siuman? Nih makan dulu Mama bawain bubur kesukaan kamu." Syukurlah mama datang sehingga memotong pembicaraan Alceena dengan papanya. Karena jika gadis itu bercerita apa yang ia alami di sekolah maka papanya tidak akan percaya padanya dan tidak peduli.

Alceena tersenyum melihat mamanya berjalan mendekat ke arahnya. Sejurus kemudian papa keluar dari kamar dan menutup pintu dengan kuat sehingga menimbulkan bunyi yang keras. Untung Alceena dan mamanya tidak memiliki riwayat jantung.

"Ma--makasih, Ma. Al boleh gak di suapin Mama?" tanya Alceena dengan suara pelan. Baru kali ini ia meminta untuk disuapi, sebelumnya belum pernah sama sekali.

Melihat mamanya yang diam saja, Alceena langsung mengambil mangkuk bubur dari tangan Rianna.

"Gak papa, Ma. Al bisa sendiri kok. Maaf ya Ma aku bisanya cuma nyusahin Mama sama Papa doang," ucap Alceena.

Rianna kembali merebut mangkuk bubur yang ada di tangan Alceena dan tersenyum. Menyuapi gadisnya.

"Gak kok sayang, kamu gak pernah sama sekali nyusahin Mama. Mama sayang banget sama Al,  Mama tadi agak bingung gak biasanya Al minta suapin, biasanya gak mau Mama suapin walaupun lagi sakit."

Alceena mengunyah bubur dengan semangat. Sampai-sampai tangan Alceena terangkat menghapus air mata yang tiba-tiba keluar dari mata Rianna.

"Mama kenapa? Kok tiba-tiba nangis? Bilang sama Al, Ma. Mama sakit atau Mama lagi ada masalah?"

"Mama gak apa-apa, Al. Mama cuma terharu aja, ternyata anak gadis Mama udah sebesar ini sekarang."

Alceena memeluk Rianna dengan erat, seperti tak mau kehilangan sosok malaikat pelindungnya.

***

"Mama mana?" tanya Alceena saat kedua kakinya sudah menapak di ruang tamu. Adik-adiknya sedang menonton televisi dan tertawa bersama. Namun, tidak terlihat Rianna dan Derga di sana.

"Ngapain kakak nanyain Mama?" tanya adik Alceena yang paling kecil sambil bersedekap dada, Fieta.

Alceena mengerutkan dahinya, apa salah ia bertanya di mana mamanya. Terakhir ia lihat mamanya saat Rianna menyuapinya.

"Aku cuma mau tau di mana Mama. Apa salah?"

"Hmm gak juga sih," jawab Fieta.

Banyak sampah-sampah makanan di sekitar mereka. Membuat Alceena menjadi jijik namun ia berusaha menahan rasa kesalnya, siapa yang akan membersihkannya, pasti dirinya. Apa lagi jika tidak ada Rianna di rumah, pasti kedua manusia di depannya ini akan menyuruh-nyuruh Alceena layaknya pembantu.

"Mama lagi pergi sama Papa. Ada urusan penting yang lebih penting dari ngurus lo!"

Mata Alceena terpejam saat adiknya yang satunya berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajahnya, Eveline.

"Dengar Alceena, lo itu cuma jadi beban buat keluarga kita. Hidup lo sama sekali gak berguna, gak pernah buat Mama sama Papa bangga!"

Alceena hanya terdiam, air matanya luruh membasahi kedua pipi. Lagi-lagi ia disebut sebagai beban keluarga, sungguh Alceena tidak tahan setiap hari harus mendengar kata-kata itu.

Kaki Alceena mulai lemas, bibirnya bergetar hebat. Kepalanya seperti berputar-putar.

Plakk. Tamparan keras mengenai pipinya yang putih seketika menjadi merah. Perih yang ia rasakan dihati ditambah lagi dengan sakit pada fisiknya.

"Udah gak usah cengeng, mending sekarang lo bersihin sampah-sampah bekas makanan kita yang berantakan di lantai," ucap Eveline seperti tidak ada dosa. Seenaknya.

Alceena mengangguk. Tak mau jika masalah ini semakin rumit jadi ia memutuskan untuk mengiyakan saja.

"Yang bersih!"

***

Setelah beberapa menit berkutat di ruang tengah, Alceena kembali ke kamarnya. Gadis itu mengambil buku-buku pelajaran dan membawanya ke dekat jendela yang terbuka. Membiarkan angin masuk dan menerpa kulit dan rambut panjangnya.

Malam ini sangat sejuk, banyak bintang kerlap-kerlip di langit. Menambah kesan indah di mata Alceena. Tangan Alceena membuka perlahan halaman demi halaman buku berjudul Gadis Seribu Luka.

Yang pertama ia baca adalah tulisan yang membuatnya tersadar bahwa tulisan itu mewakili perasaanya saat ini.

Dia ada di antara orang-orang terdekatnya. Namun, ia merasa asing dan berbeda dari yang lainnya.
Bulan diantara Bintang

Memang benar, Alceena seperti orang asing di keluarganya. Walaupun Rianna tidak pernah membeda-bedakan dirinya dengan adik-adik, tapi tetap saja semua terasa lain. Alceena seperti merindukan sosok yang tidak pernah ia temui.

Perlahan bintang-bintang mulai menghilang, berganti manjadi kilatan-kilatan terang di langit. Nampaknya hujan akan turun, Alceena segera menutup bukunya dan mengunci jendela kamar. Bersamaan dengan itu ia melihat mobil papanya masuk ke ke halaman rumah.

Mata Alceena tertuju pada ponselnya yang berbunyi, menandakan ada notifikasi chat. Saat ia membuka aplikasi chat Alceena tersenyum miris, mana mungkin gadis aneh sepertinya mendapat chat dari seseorang. Yang ada hanya notifikasi grup sekolah saja.

Kontak di ponselnya saja hanya keluarga dan guru-guru. Tak ada teman dan tak ada yang spesial.

Suara dari luar kamar membuat Alceena kaget,  Mamanya tiba-tiba sudah ada di depan kamar setelah beberapa menit sampai rumah. Hanya untuk menyuruhnya segera tidur.

"Al, Mama tau kamu belum tidur. Tidur sekarang, jangan begadang. Kamu kan tau kalo  kamu gak bisa kurang tidur, jangan buat Mama marah, Al."

Alceena tersenyum, mamanya sangat perhatian. Ia selalu berdoa agar Tuhan selalu melindungi Rianna.

***

Pagi-pagi sekali, Derga membanting pintu kamar Alceena dengan kasar. Suara baritonnya terdengar sangat menggelegar dan menyiratkan amarah yang begitu besar hingga mengagetkan Alceena yang tengah berada di alam mimpi.

Alceena langsung berdiri begitu sang papa menatapnya nyalang. Hampir saja badannya limbung kalau saja ia tidak segera berpegangan pada dinding di belakang kasur. Matanya terasa berkunang-kunang hingga ia tak dapat melihat dengan jelas wajah sang papa. Kepalanya terasa seperti ada yang meremas-remas, bahkan dunianya seolah berputar seperti akan terjadi gempa bumi.

Mungkin ini akibat dari bangun dalam keadaan terkejut, ditambah lagi keadaan kepalanya yang belum pulih karena kejadian kemarin.

Namun, sepertinya bukan itu yang ada di benak Alceena saat ini, melainkan alasan sang papa yang terlihat begitu marah padanya.

Apa salahku sekarang?

Terimakasih sudah membaca😉

Kalau kalian jadi Alceena, kalian bakal ngapain nih?

Ditulis bersama chynthiach

See u next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro