Chapter 16 • Attempted Suicide
Siap-siap say goodbye untuk Alceena gais!😭
Sebelum ending yang sesungguhnya, coba vote dulu yaak. Kalau ada krisar juga boleh🙈
Bu Nawa dan Alceena berjalan beriringan menuju rumah sederhana milik Bu Ratih. Perasaan gelisah Bu Nawa lihat di dalam diri Alceena saat ini.
Wajar saja, rasa percaya Al pada seseorang sudah tidak sebesar dulu. Bisa dibilang ia sekarang sangat berhati-hati dengan orang baru yang baru saja ia kenal.
Alceena dan Bu Nawa akhirnya sampai di rumah Bu Ratih. Al mempersilahkan Bu Nawa untuk masuk dan duduk di kursi ruang tamu.
"Duduk dulu, Bu. Mau Al buatkan minuman apa? Atau Bu Nawa mau makan?" tanya Alceena dengan sopan. Bu Nawa tersenyum, matanya terus menatap Al seperti mencari tau apa yang sedang gadis itu alami lewat tatapan matanya.
"Minum saja, Al. Terserah minum apa, yang penting enak."
Setelah mendengar jawaban Bu Nawa, Alceena pergi ke dapur untuk menyiapkan jus jeruk. Ya, mungkin itu yang bisa Al buat. Sedangkan di lain tempat Bu Nawa membuka ponselnya sekadar melihat-lihat chat yang masuk.
Di rasa tidak ada chat yang terlalu penting, kembali Bu Nawa memasukkan ponselnya ke dalam tas hitam yang ia bawa.
Alceena datang membawa nampan berisi dua jus jeruk. Ia duduk di depan Bu Nawa.
"Ini Bu, diminum. Maaf kalau rasanya kurang enak, hehe," kekeh Alceena.
Bu Nawa meminum jus buatan Al sampai tandas tinggal setengah gelas.
"Al bisa ceritakan semua masalahmu pada Ibu, Ibu memang psikolog tapi Ibu juga hanya manusia biasa. Tugas Ibu memeriksa, mendiagnosis, serta merawat pasien yang menderita masalah kesehatan mental dan tekanan psikolog, menggunakan psikoterapi dan konseling."
"Ibu bisa melihat jika kamu punya banyak beban yang belum terangkat sepenuhnya," lanjut Bu Nawa.
"Ternyata doa-doa Al selama ini dikabulkan oleh Tuhan, ya," ucap Alceena kemudian.
"Memangnya apa permintaan Al pada Tuhan?"
"Al selalu berdoa agar Al dipertemukan oleh seseorang yang bisa menjadi tempat berbagi cerita Al. Dan Al rasa Bu Nawa adalah orang yang tepat," jawabnya. Bu Nawa tersenyum lega mendengarnya, artinya Alceena sudah mempercayai Bu Nawa.
"Selama ini Al gak pernah merasa bahwa hidup Al normal seperti gadis-gadis lain. Al tidak pernah sama sekali mempunyai teman bahkan sahabat di sekolah. Papa yang selalu jahat dengan Al, dia selalu pilih kasih pada Eveline dan Fieta. Jika melihat Al, tidak pernah sama sekali tersenyum, hanya ada tatapan kebenciannya."
Tubuh Al melorot ke bawah, ia terduduk di lantai yang tidak beralaskan apa pun. Ingatan buruk yang pernah terjadi padanya kini kian berputar terus menerus di otak. Rasa ingin teriak timbul dalam dirinya, namun masih bisa ia tahan.
Bu Nawa mendekati gadis lemah itu, mengelus-elus pundak Alceena dengan gerakan pelan. Berusaha menyalurkan ketenangan yang mungkin bisa mengurangi rasa emosi Alceena.
"Teruskan," instruksi dari Bu Nawa.
"Di sekolah Al selalu terima teman-teman membuli, karena Al sadar gak bisa membela diri sendiri. Juga, Al tidak pernah sedikit pun dihargai oleh kedua adik, Bu. Setiap hari Al selalu di perlakukan layaknya budak mereka tanpa sepengetahuan Mama."
"Hanya Mama yang baik sama Al. Hanya Mama yang selalu membela dan melindungi Al, sampai akhirnya semua Al mengetahui yang sebenarnya." Alceena menjeda ceritanya. Tangannya mengepal seolah ingin memonjok meja yang ada di hadapannya saat ini.
"Apa yang kamu ketahui?"
"Mereka bukan keluarga kandung Al, Bu!" teriakan Alceena menggema di seluruh ruang tamu. Burung-burung yang bertengger di atas atap terbang entah ke mana setelah mendengarnya.
"Ya ampun, tapi dari mana kamu tau kalau mereka bukan keluarga kandungmu?" Rasa penasaran Bu Nawa meletup-letup bagaikan kayu yang terbakar.
"Semua itu karena Al lihat sebuah foto pasangan suami istri di dalam gudang bawah tanah, awalnya Al mengira bahwa itu foto Papa sama Mama saat masih muda. Ternyata dugaan Al salah, mereka adalah orang tua kandung Al. Semuanya terbongkar saat Al mendengar pertengakaran Papa dan Mama bahwa dulu Al hanyalah seorang anak pancingan."
"Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah--"
"Ayah dan Bunda kandung Al sudah di bunuh dan semua harta milik mereka di ambil oleh Papa Derga tanpa terkecuali," lanjutnya.
"Satu kesalahan terbesar yang pernah Al perbuat, Al membunuh seorang laki-laki yang berniat jahat pada Al. Tapi Al gak sengaja, Bu!" Alceena menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat menatap Bu Nawa, tangannya terus menjambak rambut sendiri.
"Mungkin benar kata Papa bahwa Alceena hanya gadis bodoh yang tidak berguna sama sekali. Al gadis yang lahir ke dunia membawa kesialan, ya kan, Bu? Bilang kalau Al ini gadis pembawa sial! Bilang Bu!"
"Al, Alceena tenang, Nak. Tidak ada seorang anak yang lahir dengan membawa kesialan ke kehidupan orang terdekatnya. Tuhan beri kamu ujian karena Tuhan sayang sama kamu," kata Bu Nawa. Ia membantu Alceena untuk membaringkan tubuhnya di kamar.
"Yuk, Ibu bantu ke kamar. Sekarang kamu istirahat dulu, tenang fikiran. Ibu akan merawat kamu sampai kamu sembuh, Ibu janji."
"Gak, Bu. Al tidak butuh semua itu, Al ingin mati saja. Sudah tidak ada lagi yang Al harapkan, sudah tidak ada lagi tujuan Al hidup di dunia ini." Tiba-tiba Alceena berlari ke dapur, Bu Nawa mengikuti arah langkah Al dengan tertatih. Perasaan cemas melanda dirinya.
Matanya melotot kala melihat gadis itu mengambil sebuah pisau bekas Al memotong buah jeruk tadi. Sedetik kemudian tangan Al sudah tepat di depan perutnya sendiri.
"Al! Apa yang mau kamu lakukan?! Sadar Al, sadar. Kamu harus ingat Tuhan, ingat Mamamu. Ingat Bu Ratih!"
"Alceena!" Bu Nawa melihat Bu Ratih datang berlarian ke arah Alceena.
"Mundur, Bu. Al hanya ingin mati saja, Al sudah lelah menghadapi semuanya. Al ingin bertemu Ayah dan Bunda saja," lirihnya. Seketika Bu Ratih berhenti melangkah, baru kali ini ia melihat Alceena selemah ini.
1 detik
2 detik
3 detik
"Aaaaaa!"
"Alceena!"
"Al!"
Semua terjadi begitu cepat sampai-sampai Bu Nawa dan Bu Ratih tidak sempat menghentikan Alceena. Kini gadis itu sudah terjatuh mengenaskan dengan darah yang mengalir di sekitar perut ratanya.
"Bu Ratih cepat hubungi ambulans, kita harus segera bawa Alceena ke rumah sakit di kota," perintah Bu Nawa. Bu Ratih segera mengeluarkan ponselnya dari saku rok.
Setelah menunggu dengan rasa gelisah karena darah yang keluar semakin banyak, kini mereka bertiga sudah ada di dalam ambulans.
"Bu, biarin Al pergi ya. Tolong beri tahu Mama Rianna bahwa Al sangat menyayanginya, terima kasih Mama sudah menjadi malaikat pelindung Al selama ini." Nafas Alceena semakin lama semakin lemah. Bu Ratih menggelengkan kepalanya.
"Apa yang kamu katakan, kamu pasti bisa melewati ini semua Alceena."
Bu Nawa menggenggam tangan gadis itu. "Kamu harus kuat, kebahagiaan ada di depan mata, Al. Semua hal menyakitkan yang sudah kamu lewati akan segera berlalu," tambahnya.
Tiiit
Suara alat yang terpasang di tubuh Alceena tiba-tiba terhenti.
***
Seorang wanita paruh baya berdiri di sebuah taman yang indah. Tubuhnya membelakangi Alceena, sehingga gadis itu tidak tahu siapa dia.
Pakaiannya putih bersih, jari-jarinya lihai memetik bunga dan memasukkannya ke dalam bakul bambu.
Mata Al menyapu seluruh taman, tidak ada siapapun selain mereka berdua.
"Kamu siapa?" Alceena berjalan mendekati si wanita. Suara rerumputan bergesekan dengan kakinya yang tidak beralaskan apa pun.
Perlahan wanita itu mengalihkan wajahnya ke arah Alceena yang berdiri di sampingnya.
"Alceena?" tanyanya.
"Kamu tau namaku? Dari mana kamu bisa tau namaku? Bukankah kita tidak saling mengenal?"
"Tapi tunggu sepertinya aku pernah melihatmu, tapi di mana ya?"
"Ini Bunda, Al. Ini Bunda kandungnya Alceena, yang sudah mengandung dan melahirkan kamu. Bunda senang bisa bertemu dengan anak gadis Bunda, apa Al tidak rindu Bunda?" Gracia meneteskan air mata untuk yang pertama kali di depan putrinya.
"Bunda? Apa benar ini Bundanya Al?" Saat Gracia mengangguk tersenyum, Alceena langsung memeluknya dengan erat.
Wanita paruh baya itu mengusap rambut putrinya yang dengan sayang. "Al ngapain ada di tempat ini?"
Pelukan keduanya terlepas. "Al mau nyusul Bunda sama Ayah," jawabnya.
Gracia menggeleng kuat. Ia genggam kedua tangan putrinya.
"Ini bukan waktunya, Alceena. Perjalanan kamu masih panjang, masih ada yang selalu menyayangi kamu. Kamu tau siapa orangnya."
"Mama?"
"Ya, dia masih menunggu kamu untuk kembali ke pelukannya, sayang."
"Tapi Bun--"
"Gracia."
Alceena terkejut saat seorang lekaki yang ia yakini Ayahnya kini tengah menggenggam tangan sang bunda.
"Ayah?" Alceena memeluk Damian dengan erat, kini air matanya tak bisa ia bendung lagi. Baik sekali Tuhan mempertemukan ia dengan kedua orang yang belum pernah ia temui.
"Alceena rindu Ayah," lirihnya.
"Ayah juga rindu Al. Tapi saat ini bukan waktu yang tepat, Ayah dan Bunda harus pergi, Al. Kami mohon jaga diri baik-baik, ya. Suati saat nanti kita pasti akan bertemu lagi." Damian membawa Gracia untuk ikut pergi bersamanya, lama-kelamaan mereka berdua menjauh dari hadapan Alceena.
Hilang, Damian dan Gracia hilang bak ditelan cahaya.
Satu chapter lagiiii, aaa gemassh aku tuu😭
Jangan bosen-bosen yaa🤧
See u next chapter!
Ditulis bersama chynthiach
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro