Chapter 13 • Destruction
Punten, coba tebak hari ini bakal ada apa?
Sebelum baca, jangan lupa tinggalkan jejak🌟
Alceena mendudukkan dirinya di atas kursi kayu yang tersedia di ruang tamu. Ia terus mengedarkan pandangan menyusuri tiap sudut rumah. Meskipun rumah ini telah berumur cukup tua, terlihat sang pemilik yang begitu menjaganya. Tak ada sarang laba-laba di atapnya, justru lampu gantung yang berwarna jingga terpasang manis di sana.
Tak ada tanda-tanda kehidupan lain sepertinya. Hanya seorang wanita paruh baya yang kini tengah membawakannya secangkir teh di atas nampan bermotif bunga. Sepertinya Bu Ratih adalah sosok pecinta bunga karena rumah ini didominasi dengan corak indah dari tanaman-tanaman yang berbau harum itu.
Bu Ratih duduk di kursi lain yang tak jauh dari Alceena. Ia tersenyum tipis, kemudian mempersilahkan Alceena untuk mencicipi teh buatannya. Sedangkan Alceena, ia menatap ragu pada teh yang kini telah terhidang di atas meja.
Kepulan asapnya menciptakan aroma yang menggelitik indra penciuman. Campuran manisnya gula dengan wanginya teh hijau jelas menggoda Alceena untuk segera menandaskannya dalam sekejap. Namun, segera ia urungkan karena perasaan ragu yang terus mendominasi pikiran.
Hidupnya baru saja kacau. Semua orang -bahkan orang yang dicintainya sekalipun- menghancurkan kepercayaannya. Jadi, wajar saja jika kepercayaannya pada dunia semakin lama semakin memudar. Bahkan selama ia hidup, rasanya ia seperti tak mengenal apa itu kepercayaan. Terakhir kali ia mencoba untuk percaya, hidupnya menjadi hancur berantakan.
"Diminum, Al," ucap Bu Ratih menyadarkan lamunan Alceena. Melihat Alceena yang nampak masih ragu dengan teh yang ia berikan, wanita itu segera berucap lagi, "tenang, ibu sudah terlalu tua untuk membunuh seseorang."
Mendengar kata 'membunuh' membuat tubuh Alceena menegang. Ingatannya akan kejadian buruk itu kembali merasuki pikiran. Membuat pelipisnya langsung berkeringat. Bayangan betapa mengenaskannya laki-laki tak dikenal itu terus menghantui Alceena hampir di setiap malam.
Jelas Alceena merasa bersalah, tapi saat itu Alceena hanya mencoba untuk melindungi diri saja. Jika dipikirkan lebih lanjut, laki-laki itu juga bersalah karena telah merencanakan pembunuhan. Namun, apalah daya. Dunia tak pernah berpihak pada Alceena.
"Al banyak pikiran ya? Ya sudah kalau gitu, saya antar ke kamar aja ya," tawar Bu Ratih lembut.
Alceena buru-buru menggeleng. Ia baru saja teringat sesuatu. Hidupnya sebatang kara sekarang. Tidak ada jaminan baginya untuk tetap bisa bertahan hidup dalam beberapa waktu ke depan. Ia tidak punya uang, harta, atau bahkan pakaian ganti untuk kesehariannya. Jadi, bagaimana bisa ia membayar uang sewa?
"Bu Ratih ada kerjaan untuk saya?" tanya Alceena tiba-tiba, membuat Bu Ratih heran.
"Maksudnya gimana, Al?" tanya Bu Ratih bingung.
"Saya butuh uang untuk membayar sewa, Bu. Uang yang sekarang saya punya mungkin hanya cukup untuk bertahan satu bulan ke depan. Jadi, saya butuh uang untuk membayar sewanya," jelas Alceena. Tatapannya kosong memandang lurus pada lorong yang temaram.
Bu Ratih mengangguk mengerti. Ia tersenyum tipis. Lalu berkata dengan lembut, "Nanti kamu bisa bantu ibu berkebun dan berjualan di pusat desa."
Setelah mendengarnya, sebuah senyum terbit di bibir Alceena. Hidupnya akan ia mulai kembali, di desa yang entah ada di mana ini. Tanpa keluarga, tanpa teman sekolah, tanpa bayang-bayang kepalsuan dunia.
***
Rianna menaiki anak tangga dengan perasaan was-was. Ini sudah tengah malam, tapi gadis itu tak kunjung turun untuk mengambil makanan. Suaminya pun sejak tadi telah sibuk di ruang kerja, entah apa yang ia lakukan. Rianna merasa, laki-laki itu tau sesuatu dan membuat hati Rianna terasa seperti ada yang mengganjal.
Setibanya di depan pintu kamar Alceena, ia segera mengetuk dan memanggil gadis itu dengan lembut.
"Al, makan dulu yuk sudah malam," ajaknya.
Hening. Tak ada jawaban sama sekali dari belakang. Perasaan Rianna semakin cemas. Ia ketuk lagi pintu itu sedikit keras.
Mungkin saja Alceena sudah tidur, pikirnya.
"Al, bangun sayang. Makan dulu yuk, setelah itu kamu bisa tidur lagi," ajaknya lagi.
Masih tak ada sahutan. Perasaan Rianna semakin khawatir. Saat ia mencoba untuk menekan knop pintu, pintu itu langsung terbuka. Menampakkan ruangan dengan barang yang tak beraturan. Pasti Alceena merasa sangat terpukul tadi.
Matanya langsung beralih pada kasur yang berhamburan. Tak nampak ada manusia yang bergelung di atas sana. Ruangan itu terasa hampa.
"Al! Kamu di mana?" tanya Rianna bertambah khawatir.
Ia berlari kecil menuju kamar mandi, setelah itu membuka pintunya dengan kasar. Namun, nihil. Gadis remaja itu tak lagi ada di kamarnya. Bagaimana ia bisa kecolongan begini?
"Al, jangan sembunyi dari Mama. Ini gak lucu!" teriaknya mulai frustasi. Wanita itu sibuk membuka kolong kasur. Kemudian lemari baju. Setelah itu balkon kamar. Tidak ada satu pun tempat yang menampakkan batang hidung putri tirinya itu.
"Al, Mama mohon jangan pergi dari Mama," lirihnya lemah. Tubuhnya lemas. Ia terduduk di atas kursi belajar milik anak gadisnya itu.
Air mata membanjiri pipinya yang mulai memiliki kerutan wajah. Hidungnya memerah. Terdengar isak tangis dari mulutnya untuk yang kesekian kalinya.
Dengan sisa penglihatannya yang telah mengabur, ia menemukan secarik kertas berwarna biru yang tergeletak di atas meja. Meskipun jarang melihat tulisan Alceena, tapi Rianna tau ini adalah tulisan Al.
Ia segera mengambil dan membacanya.
Ma, maafin Al karena selama ini selalu membebani Mama dengan kehadiran Al.
Al bersyukur kepada Tuhan karena telah menjawab doa mama dengan menjadikan Al sebagai pancingan, sehingga Eveline dan Fieta bisa lahir ke dunia.
Tapi Ma, aku kecewa. Aku kira Mama benar-benar menyayangi Aku. Ternyata tidak.
Tak apa Ma, Al sudah sering menerima ketidakadilan hidup. Doakan saja, semoga Al bisa terbiasa dengan ketidakadilan itu.
Al pamit pergi ya, Ma. Semoga Mama bahagia dengan keluarganya.
Tangis Rianna pecah seketika. Tubuhnya yang bergetar itu langsung memeluk erat kertas yang telah lusuh di tangan. Isakannya semakin menjadi tatkala sosok Alceena terlintas di pikirannya.
"Al, Mama sayang kamu. Ma--maafin Mama, Al," ucapnya terbata. Wanita itu beranjak dari sana menuju kasur milik Alceena. Memeluk bantal kesayangan sang anak kemudian terbawa alam bawah sadar hingga terlelap di sana.
***
Pagi-pagi sekali, Derga mendapat telepon dari sekretaris pribadinya untuk segera tiba di kantor. Katanya ada masalah genting yang harus diselesaikan dengan segera.
Raut wajah laki-laki itu tampak seperti biasanya. Rahang yang kokoh, otot yang terbentuk di balik jasnya, serta tatapannya yang tajam menyorot tiap objek yang ada di hadapannya. Aura ketegasan dan kebringasan pun tak luput dari sosoknya yang terkesan menyeramkan.
Laki-laki itu menghempaskan diri di kursi kekuasaannya. Matanya melirik sebuah berkas yang baru saja Marcho bawa. Ya, dulu laki-laki itu adalah salah satu anak buah Derga yang turut menghabisi Damian, Ayah Alceena. Kini ia diangkat menjadi sekretaris pribadi karena kesetiaannya.
"Apa ini?" tanya Derga dingin. Nampak jelas di wajahnya kalau pria itu enggan membuka berkas tersebut.
"Surat gugatan, Tuan," jawab Marcho pelan. Ia takut atasannya itu akan segera marah dan melampiaskannya begitu saja.
Mata Derga melirik Marcho tajam. Tak lupa kerutan di dahi yang menandakan bahwa pria itu tak mengerti. "Surat gugatan?"
"Iya, Tuan. Putri pertama anda telah melakukan tindakan pembunuhan, jadi pihak korban mengajukan gugatan kepada kita," jawab Marcho seraya membuka Map itu.
"APA?!" bentak Derga langsung naik pitam. Tatapannya menggelap bersamaan amarahnya yang mulai terbakar.
"ANAK ITU BENAR-BENAR PEMBAWA SIAL!" hardiknya. Tangannya langsung merampas berkas dari Marcho. Kemudian dibukanya dengan kasar.
Tertera jelas di sana nama Alceena sebagai terdakwa. Lengkap dengan biodata sekaligus alamat rumahnya. Tak lupa bukti-bukti yang menyatakan bahwa gadis itu bersalah.
Derga langsung melemparnya dengan kasar. Berkas-berkas itu menghantam dinding hingga jatuh berhamburan. Marcho hanya bisa diam menyaksikan kemarahan atasannya itu.
"ANAK SIALAN!" pekiknya sambil menggebrak meja. Buku-buku jarinya mulai memutih. Urat di pelipis pun ikut menyembul hingga tercetak jelas di sana.
"Cepat bereskan masalah ini! Lakukan apa saja agar mereka mau mencabut tuntutannya. Jika tidak mau juga, lenyapkan mereka dari muka bumi!" perintah Derga dengan satu kali tarikan nafas. Mata merahnya langsung menatap Marcho garang.
"Jangan biarkan berita ini menyebar ke media. Kalau tidak, perusahaan ini bisa hancur dan kau bisa mati," ancamnya lagi.
"Baik, Tuan," jawab Marcho patuh.
Tak lama kemudian, dering telpon Marcho menghentikan percakapan keduanya. Pria itu pamit sebentar untuk meninggalkan ruangan, sedangkan Derga mulai membanting gelas dengan kasar.
"Sial! Bahkan setelah pergi pun, kamu tetap membawa sial Alceena!" desisnya penuh kebencian.
Marcho kembali masuk ruangan dengan wajah tegang. Derga menangkap sinyal tidak bagus dari raut wajah itu. Bersiap untuk hal lainnya, pria itu berdiri di depan Marcho dengan pandangan menusuk lawan bicaranya.
"Ada apa?" tanyanya dingin.
Marcho masih diam merasakan aura mengintimidasi dari bossnya itu.
"KATAKAN, APA YANG TERJADI?!" bentaknya murka.
"Beberapa investor membatalkan investasi mereka di perusahan ini, Tuan." Mata Derga membola. Tangannya langsung mengepal bersiap meninju apa saja.
"Berapa investor?" tanyanya menahan murka.
"Li--lima, Tuan," jawab Marcho terbata.
"SHIT!" Sebuah gelas terbanting dengan kencang di lantai. Marcho pun langsung tersentak kaget.
"Jadi, bagaimana Tuan?" tanya Marcho was-was. Derga mengusap wajahnya kasar.
"Tugasmu hanya mengurus surat gugatan dan liputan media. Biarkan para investor menjadi urusan saya," ucapnya final.
"Baik, Tuan." Setelah itu, Marcho pamit undur diri dari ruangan yang mencekam itu.
Terimakasih sudah membacaaa!
See u next chapter😉
Ditulis bersama chynthiach
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro