Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10 • Reality

Punteeen, Alceena udah lanjut nihh.

Jangan lupa tinggalkan jejak manteman✨

Masih dengan keadaan yang sangat kacau. Baju seragam kotor, rambut acak-acakan, dan kaki yang sedikit pincang sehabis terjatuh benar-benar membuat Alceena persis seperti gadis gila.

Tatapan mata indah yang biasa terlihat sudah berubah menjadi tatapan yang kosong. Al terus berusaha berjalan mencari bantuan agar bisa cepat sampai di rumah.

Pikiran negatif berkecambuk di kepala Al, bagaimana cara ia menyembunyikan apa yang telah ia lakukan kepada keluarganya di rumah.  Semua orang akan curiga dengan keadaannya yang seperti ini.

Langit mulai berubah menjadi gelap, angin malam membuat Al terus memeluk dirinya. Bunyi gemuruh dan kilatan cahaya di langit menandakan akan turun hujan. Dan benar, tidak lama dari itu hujan pun turun dengan deras.

"Mama pasti lagi panik banget di rumah karena aku belum pulang," lirih Alceena pelan. Rianna adalah tipe orang tua yang panik jika salah satu anak gadisnya belum pulang sampai larut malam.

Tubuh Alceena basah kuyup, warna darah di pakaian lama-kelamaan sedikit hilang akibat air hujan. Gadis itu sedikit lega, setidaknya warna darah itu bisa mengurangi kecurigaan orang rumah.

Banyak pasang mata yang memperhatikan gadis itu sepanjang jalan. Tetapi ia tidak peduli. Tujuannya saat ini hanyalah rumahnya.

***

Alceena memandang gedung bercat putih di depannya, rumah itu terlihat damai dan tentram. Gadis itu berusaha membuka gerbang, namun tidak berhasil. Ia lupa jika posisi gerbang jika sudah malam akan di kunci.

Ia memikirkan bagaimana ia bisa masuk dengan mudah tanpa membuka kuncinya. Akhirnya Alceena memanjat tembok tinggi yang membatasi halaman dengan jalan perumahan. Syukurlah tembok itu masih bisa ia takluki.

Dengan memberanikan diri, Alceena mengetuk pintu rumahnya. Tak lama, suara derap langkah terdengar mendekat ke arah pintu. Matanya menatap sepasang mata di depannya, apa yang ia harapkan benar terjadi. Yang membuka pintu adalah Bi Jeni, asisten rumah tangga yang baru Rianna pekerjakan seminggu lalu.

"Non Al kenapa baru pulang, Non? Dan ini juga kenapa bajunya terlihat kotor begini, apa yang sudah terjadi dengan Non Al?" tanya Bi Jeni panik melihat keadaan Alceena. Gadis itu menempelkan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan bibi untuk berbicara pelan.

"Al tidak apa-apa, Bi. Al tadi ada kerja kelompok melukis di rumah teman Al. Ba--baju Al ketumpahan pewarna merah, ja--jadi kotor, Bi," jawab gadis itu dengan sedikit terbata-bata. Jujur ia merasa sangat berdosa hari ini.

"Ya ampun, Non. Ya sudah cepat ke kamar dan langsung bersih-bersih ya, biar gak masuk angin." Setelah Alceena masuk, Bi Jeni langsung menutup kembali pintu.

Saat naik tangga menuju kamar, gadis itu mengedarkan pandangannya. Keadaan rumah seperti biasa tak ada suara-suara tawa seperti keluarga pada umumnya.

***

Setelah selesai dengan membersihkan tubuh, Al duduk di depan cermin. Menatap pantulan dirinya di sana. Ya, sekarang seorang pembunuh ini masih terbayang bagaimana ia bisa merenggut nyawa seorang lelaki yang tidak ia kenal sama sekali.

Entah sampai kapan ia akan di hantui oleh rasa bersalahnya. Hidup Alceena sudah hancur bertambah hancur karena ulah tangannya sendiri.

Suara petir menyambar di telinga Alceena, matanya tertutup seketika.

Suara ketukan pintu kamar membuat ia membuka matanya perlahan.

Tok tok tok.

"Alcena."

Gadis itu segera membuka pintu, terlihat Rianna dengan wajah lelahnya menatap bahagia sang putri. Alceena merasakan pelukan hangat mamanya yang jarang sekali ia rasakan.

"Kamu dari mana aja, Mama khawatir sama kamu. Kata Bi Jeni kamu baru pulang sejam yang lalu, bener?"

"Iya, Ma. Maafin Al. Al gak bilang ke Mama kalau Al mengerjakan tugas di rumah teman Al, Ma."

"Lain kali kamu harus bilang sama Mama, sayang. Mama takut kamu kenapa-kenapa, kamu sudah makan?" tanya Rianna lagi.

"Be--belum."

"Ya sudah sekarang kamu turun, di dapur Bi Jeni sudah menyiapkan makan malam untuk kamu, ya."

Alceena mengangguk sambil tersenyum, Rianna kembali ke kamarnya dengan perasaan lega. Karena putrinya sudah pulang dengan keadaan baik-baik saja. Ia sama sekali tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Alceena.

Alceena makan dengan lahap, sampai-sampai Bi jeni merasa kasihan dengan anak dari majikannya ini.

"Non Al mau nambah nasi lagi? Biar Bibi ambilkan ya?"

"Hmm, gak usah, Bi. Al sudah kenyang, maaf ya Bi. Malam-malam Al merepotkan Bibi. Seharusnya jam segini Bibi sudah tidur," ringisnya.

"Bibi sama sekali gak merasa direpotkan, Non. Ini kan sudah kewajiban Bibi. Ya sudah sekarang Non kembali ke kamar dan tidur, sudah tengah malam ini," ucap Bi Jeni sambil membereskan meja makan.

Al memperhatikan Bi Jeni yang tengah mencuci piring. Ada satu hal yang ingin ia tanyakan, setelah berfikir akhirnya gadis itu memberanikan diri untuk bertanya.

"Bi."

"Iya, Non?"

"Hmm, Papa kenapa dari tadi gak keliatan? Dia ke mana, Bi?" tanya Alceena penuh dengan rasa penasaran.

"Tuan Derga hari ini lembur di kantor, Non. Mungkin pulangnya besok pagi, tadi Bibi dengar dari Nyonya," jawab Bi Jeni.

"Oh begitu ya, pantas dia gak kelihatan dari tadi. Ya sudah Al ke kamar ya, Bi."

Bi Jeni mengangguk lalu ia juga berjalan ke kamar miliknya.

***

Pagi ini terdengar suara burung-burung berkicau. Alceena membuka matanya menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Kaki jenjangnya melangkah ke arah jendela kamar. Saat membuka gorden, saat itu juga mobil mewah berwarna hitam masuk ke halaman rumah.

Ya, Derga sudah pulang.

Entah mengapa saat ini jantung Alceena berdetak lebih cepat. Wajah seram Derga keluar dari mobil, matanya menatap Al yang juga sedang menatap ke arahnya. Selalu tak pernah tersenyum.

Hari ini hari minggu, yang artinya sekolah libur. Termasuk Alceena. Tiba-tiba ia teringat ponselnya yang ia cas dari tadi malam dikarenakan mati total.

Perlahan notifikasi di ponsel gadis itu masuk satu per satu. Banyak nomor tidak dikenal yang mengirimnya pesan, ada juga puluhan panggilan tak terjawab.

Siapa mereka?

Salah satu chat yang masuk ada yang membuat Alceena merasa terancam.

+628216553××××
Sialan lo gadis autis!

Di mana lo sekarang! Hah!?

Apa yang sudah lo lakukan? Lo sudah membunuh saudara gue!

Liat aja, hidup lo gak bakalan tenang! Gue bakal buat hidup lo bertambah menderita lagi!

Kalau perlu, gue akan laporin lo ke polisi, Alceena!!!

Runtuh sudah pertahanan Alceena. Bagaimana jika seseorang yang mengirimnya pesan ini benar-benar akan melaporkan dirinya ke polisi. Alceena tidak ingin di penjara.

Di saat-saat seperti ini, ia jadi teringat dengan sahabatnya, El.

El, kamu di mana? Aku butuh kamu, El.

***

Sudah dua jam lebih Alceena tidak keluar dari kamar setelah ia bangun dari tidurnya. Dua jam itu juga ia hanya berdiam diri di dalam kamar dengan pikiran kosong.

Kakinya melangkah menuruni tangga, tanpa sengaja dirinya berpapasan dengan kedua adiknya. Eveline menatap sengit ke arah Alceena, ada apa dengan gadis itu. Padahal Al tidak membuat masalah dengannya.

"Enak banget ya hidup lo! Baru bangun jam segini? Hah?" tanya Eveline dengan nada tak santai.

"A--aku tadi--"

"Udah deh gak usah banyak alasan, emang dasarnya lo itu pemalas, gadis autis," tekan Eveline di dua kata terakhir.

"Udahlah kita berdua mau ke mal dulu, enek lama-lama lihat wajah lo di rumah ini. Bye!"

Alceena berusaha tegar, menahan amarahnya yang akan meledak-ledak. Ia melanjutkan langkahnya ke dapur untuk mengambil minuman. Belum sampai di dapur, gadis itu mendengar suara yang berasal dari kamar Rianna dan Derga.

Al semakin memfokuskan pendengarannya.

"Mama kenapa nangis?" monolognya. Terdengar juga suara Derga yang sedikit membentak. Sepertinya mereka berdua sedang bertengkar.

Entah keberanian dari mana gadis itu semakin melangkah ke arah kamar. Ia mengintip dari sela pintu yang tidak sepenuhnya tertutup rapat.

"Hiks, ini semua salah kamu. Seharusnya dulu kamu tidak membunuh mereka." Rianna menatap Derga dengan air mata yang terus mengalir.

"Jadi kamu menyalahkan aku? Iya?"

"Ya, semua ini salahmu. Beberapa hari yang lalu Alceena melihat foto kedua orang tuanya yang ada di dalam gudang! Kamu tau? Dia bertanya padaku, aku bingung harus jawab apa," ucap Rianna.

Mata Alceena membulat seketika. Otaknya masih mencerna apa yang keluar dari mulut mamanya. Berarti apa yang ia takutkan benar terjadi, selama ini ia bukanlah anak kandung dari Riannna dan Derga.

Tubuhnya melemas tak berdaya, kepalanya terasa sakit dan pengelihatannya mengabur. Air mata menetes deras membasahi pipi.

Brak.

Hihiii see u next chapter guys!

Jangan bosan-bosan buat baca cerita ini yaa!

Ditulis bersama chynthiach

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro