Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Uno: Lorenzini Bersaudara dan Kakek Pembuat Boneka

Hetalia© Himaruya Hidekaz
Feliciano Vargas x OCs

👦

Collodi, Italia, awal abad 19

Pertunjukan boneka adalah hiburan termewah yang bisa di harapkan dari sebuah desa kecil. Walau kadang kami harus puas karena cerita yang mereka bawakan hanya itu-itu saja.

Di kota besar, katanya ada yang namanya pertunjukan opera, yang dimainkan oleh para pemeran, juga diiringi musik-musik indah. Aku ingin melihatnya, tapi tiket pertunjukan opera itu mahal. Gaji Papa sebagai juru masak saja, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami.

Ah, pada akhirnya, aku dan Carlo harus puas dengan boneka-boneka kayu seukuran lengan yang digerakkan tangan.

Tapi, hei, segalanya mulai sedikit lebih menyenangkan waktu Carlo iseng bertanya pada si pementas, suatu hari selepas pertunjukan. Dia bertanya darimana si pementas mendapatkan boneka-boneka kayu yang dia gunakan dalam pertunjukan. Si pementas menjawab, dia membeli boneka-boneka itu dari seorang tukang kayu tua yang tinggal di ujung desa.

Dan itulah awal mula kami bisa bertemu Kakek Geppeto.

Kakek Geppeto bukan tukang kayu biasa. Di tangan ajaibnya, gelondongan kayu yang terlihat tidak berguna bisa disulap jadi bermacam benda menarik. Dia membuat banyak boneka dan menjualnya kepada para pementas. Dia juga sering memberi mobil-mobilan kayu pada anak-anak kecil di desa.

Terlebih, Kakek Geppeto sangat baik. Kali pertama kami berdua datang ke rumahnya, dia menyambut kami dengan sekaleng biskuit dan susu hangat, dia juga membuatkan kami patung anak anjing dari kayu, masing-masing satu.

Kakek Geppeto bilang, dia suka anak-anak. Hanya dalam waktu singkat, Kakek memperlakukan kami seperti cucunya sendiri. Sekali waktu, dia bahkan mengajari kami bagaimana cara menggunakan alat ukir.

Begitulah, pertemuan dengan Kakek Geppeto membuat kehidupanku di desa kecil jadi lebih menyenangkan. Kalau saja Kakek punya cucu betulan yang sepantaran dengan kami ....

"Chiara, gaunmu bakal robek kalau kau terus berlari seperti itu. Ingat apa kata Mama waktu terakhir kali kau pulang dengan gaun robek?"

Aku menoleh. Carlo berdiri agak jauh di belakang, lengannya bersidekap.

Aku mencibir. "Tidak akan. Kali ini aku akan hati-hati," janjiku. "Ayolah, kau hanya sedang kesal karena tidak bisa mengejarku, 'kan?"

Carlo cemberut. "Masa bodo, nanti juga aku bakal membalapmu kalau kita sudah lebih besar," katanya sambil berjalan mendekat.

Aku hanya mengangkat bahu. "Coba saja. Ah, tapi kalau kau terus-menerus kalah dariku, bisa-bisa wibawamu sebagai kakak hilang, ya," candaku.

Aku kembali berlari, meninggalkan Carlo yang mengomel di belakang. Setiap kali kami jalan berdua, kakak lelakiku itu selalu mengomel soal hal yang sama, dia bilang, anak perempuan itu harusnya lebih manis. Tapi sebetulnya dia hanya kesal karena tidak pernah menang lomba lari melawanku.

Tujuan kami sudah kelihatan. Rumah Kakek Geppeto yang terletak di ujung desa, dekat bukaan hutan.

Kakek Geppeto hanya tinggal sendirian di rumah kecil yang penuh balok kayu itu. Makanya, walaupun kami sering berkunjung, kami tidak akan mengganggu siapapun. Begitu sampai, kuketuk pintu tiga kali.

Terdengar suara berat dari dalam rumah. Sesaat kemudian, Kakek Geppeto keluar dengan senyum ramahnya.

"Chiara, Carlo, selamat datang. Pas sekali, aku baru akan mencari kalian." Kakek Geppeto bergeser sedikit, memberi tempat pada kami untuk masuk.

"Kakek mau pergi?" tanya Carlo. Memang ada koper besar yang terbuka di ruang tengah, juga tumpukan baju dan perlengkapan lain di sebelahnya.

Kakek Geppeto menggaruk belakang kepalanya. "Iya, semalam aku mendapat surat berisi tawaran pekerjaan di Pisa. Mendadak sekali, jadi aku belum sempat memberi tahu kalian," jelasnya.

Aku tidak terlalu memperhatikan percakapan itu. Pikiranku sepenuhnya tertuju pada boneka kayu di ujung ruangan. Boneka itu berbeda dari yang lain, karena ukurannya besar, barangkali sama besarnya denganku.

"Chiara, kau mendengarkan?"

Lamunanku langsung buyar waktu Carlo memanggil. Dia dan Kakek Geppeto menatapku.

"Ehm, jadi begitulah." Kakek berdeham. "Selama dua minggu ke depan, kutitipkan rumah ini pada kalian. Silakan datang kapanpun kalian mau, nanti akan kuberikan kuncinya padamu, Carlo."

Aku dan Carlo mengangguk bersamaan. Ah, Kakek Geppeto mau pergi, artinya rumah ini bakal terasa sepi sepanjang dua minggu ke depan. Tiba-tiba, aku kembali teringat pada boneka kayu unik di ujung ruangan.

"Eh, Kakek, sebetulnya aku penasaran pada sesuatu," kataku. Aku menunjuk boneka kayu besar di ujung ruangan. "Itu boneka apa?"

Kakek tersenyum ketika melihat apa yang aku tunjuk. Dia mengajak kami ke ujung ruangan.

"Lihat, inilah boneka spesial buatan Geppeto." Kakek mengangkat boneka itu dari tempatnya didudukkan. Dari jarak sedekat ini, aku baru menyadari kalau boneka itu lebih besar dari kelihatannya. Besarnya sama seperti anak laki-laki betulan, lengkap dengan pakaian, sepatu, serta topi. Bahkan wajah dan rambutnya pun terlihat hidup. "Namanya, Felicchio."

Tidak ada yang berkomentar. Ada perasaan geli waktu kutatap mata boneka itu, seolah boneka kayu itu dapat melompat bangun dan berjalan-jalan keliling rumah.

"Dia ... nampak hidup ...." Carlo berkomentar.

Kakek Geppeto kembali meletakkan boneka itu di dudukan. Dia menghembuskan napas berat, wajahnya terlihat sedih. "Hidup sendiri itu ... lama-lama sepi, sih. Seandainya aku punya cucu ...."

Hening. Kami tidak berani menyela, tapi Kakek Geppeto terlihat sangat sedih. Sudah lama dia tidak punya keluarga atau kerabat lain.

"Oke, kupercayakan rumah ini pada kalian." Dengan cepat, Kakek Geppeto mengubah nada bicaranya. Dia menepuk kepala kami berdua. "Sekarang, bisa tolong bantu aku berkemas? Nanti kalian kubawakan oleh-oleh dari kota."

Sisa siang itu kami habiskan dengan membantu Kakek Geppeto berkemas. Meski begitu, pikiranku masih terpaku pada boneka unik itu. Tapi aku tidak ingin membahasnya lebih lanjut, itu hanya akan membuat Kakek tambah sedih.

Kami ikut mengantar Kakek Geppeto sampai ke ujung desa, berhenti sebentar di kedai terdekat untuk membeli permen sebagai tanda terima kasih. Kakek menyerahkan kunci rumahnya pada Carlo, kemudian melompat naik ke kereta kuda yang akan membawanya ke Pisa. Kami terus mengawasi sampai kereta kuda itu hilang di belokan.

Dua minggu ke depan bakal terasa sedikit sepi.

-----

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro