Tre: Petualangan Felicchio
Namaku Chiara, aku berteman dengan seorang boneka kayu.
Ini tentang Felicchio. Dia memang boneka kayu, tapi dia hidup. Dia bisa berjalan dan bicara seperti anak-anak lain. Dan dia sangat mudah berteman.
Mungkin karena Felicchio itu tidak biasa, bermain dengannya jadi sangat menyenangkan. Bahkan Carlo juga sudah menurunkan kewaspadaannya pada hari ketiga.
Aku juga senang, kini hari-hari tanpa Kakek Geppeto tidak akan terasa sepi lagi.
Lalu, ada satu hal lagi yang menarik dari diri Felicchio.
Bocah kayu itu sudah bercerita pada kami, tentang pertemuannya dengan sang peri hari itu. Nyawa yang sang peri berikan pada Felicchio adalah hadiah untuk Kakek Geppeto yang amat mendambakan cucu. Sang peri memberi syarat, jika Felicchio berhasil melewati "masa ujian" yang diberikan sang peri, dia akan diubah menjadi manusia betulan, bukan bocah dengan tangan dan kaki kayu seperti saat ini.
"Dan berapa lama masa ujian yang diberikan peri itu?" tanyaku. Saat ini kami bertiga tengah duduk-duduk di tepi sungai, makan apel yang dipetik dari pohon dekat sini.
Felicchio merentangkan semua jarinya. "Sepuluh hari."
"Apa tepatnya yang harus kau lakukan agar lulus?" tanya Carlo.
Ada jeda agak lama, sambil si bocah kayu mengangkat bahu. "Tidak tahu, peri itu cuma bilang kalau aku harus bersikap seperti anak-anak pada umumnya," jelasnya.
"Itu membingungkan," sambungku. "Kukira harus ada syarat-syarat tertentu, seperti dalam buku-buku cerita."
"Tapi kurasa itu bagus juga, kau jadi tidak repot." Carlo menambahkan. "Jadi ini hari ... keempat?"
"Hari keempat," ulang Felicchio.
Tersisa tujuh hari hingga masa ujian Felicchio berakhir. Itu membuatku bertanya-tanya, apakah dengan bersikap seperti anak-anak pada umumnya, sudah cukup untuk membuat bocah kayu itu dinyatakan lulus? Lalu bagaimana rupanya waktu sudah menjadi manusia nanti?
"Hei, Felicchio, kalau kau sudah jadi manusia, apa penampilanmu juga ikut berubah?" tanyaku.
"Jelas, dong," kata Felicchio. "Aku bakal jadi jauh lebih tinggi ketimbang Carlo, lalu rambutku juga bakal jadi lebih bagus. Aku pasti jadi rebutan cewek-cewek, deh!"
Baru saja Felicchio menyelesaikan bualannya, sesuatu terjadi. Hidungnya memanjang sejengkal, jelas hal itu membuat si bocah kayu panik.
Carlo tertawa. "Ha! Makan itu, kau masih mau coba-coba bohong lagi?"
Satu lagi hal unik yang dimiliki Felicchio. Jika dia berbohong, hidungnya akan memanjang, lalu kembali ke ukuran semula beberapa saat kemudian. Menurutku itu lucu.
Felicchio menangis sambil meraba-raba ujung hidungnya. "Huwe ... hidungku jadi jelek banget. A-aku janji enggak bakal bohong lagi!"
Perlahan, hidungnya menyusut. Felicchio masih menggosok hidungnya, seperti takut kalau ujung hidung itu bakal menyembul lagi. Kemudian dia membersit hidung dan menghembuskan napas lega.
"Waktu sudah jadi manusia nanti, jangan-jangan hidungmu juga bakal memanjang seperti itu?" candaku.
Felicchio cemberut. "Tidak mau, jelek banget!"
Kami bertiga tertawa.
"Oh, aku tahu!" Felicchio berdiri tiba-tiba. "Aku bosan, ayo main di pantai!"
"Eh? Kenapa tiba-tiba ...." Sebelum kata-kataku selesai, Felicchio sudah berlari meninggalkan kami.
Kuakui, larinya sangat cepat untuk ukuran boneka kayu. Tanpa sadar, kami sudah tiba di pantai yang terletak di luar hutan, dekat deretan tebing. Napasku terengah, tapi Felicchio nampaknya baik-baik saja.
"Kenapa kau ... tiba-tiba ... lari begitu, sih?" tuntut Carlo terengah.
Felicchio tidak menjawab. Dia hanya berdiri diam menatap bibir pantai. Kuduga, ini kali pertama dia melihat laut.
"Karena sudah di sini, kita main, yuk," ajakku.
Felicchio sepertinya masih agak kaku. Jadi aku menariknya menuju tepian ombak. Dia kelihatan senang waktu sapuan ombak menggelitik kaki kayunya.
"Jangan berdiri terlalu jauh, kalian berdua." Carlo memperingati dari belakang.
Aku melambai pada Carlo. "Tenang saja, kami hanya akan main di pinggir--WAH!"
Hampir saja aku terpeleset waktu Felicchio tiba-tiba menarikku lebih ke tengah. Aku memperingatinya kalau akan berbahaya jika kami berjalan lebih jauh lagi, tapi sepertinya dia tidak mendengarkan.
Felicchio baru berhenti waktu air laut sudah mencapai paha kami. Dia menoleh padaku dan tertawa. "Ini menyenangkan! Untung kita ke sini."
Aku juga ikut tertawa. "Ini pertama kalinya kau melihat laut, ya?"
Saat itu, kudengar teriakan Carlo dari pantai. Dari sini, kami tidak bisa mendengar apa yang dia katakan dengan jelas, tapi dia melambaikan tangan dengan panik.
"Apa yang--"
Ombak bergulung di depan kami. Aku hanya berdiri mematung waktu sosok yang menimbulkan deburan ombak itu muncul ke permukaan. Seekor paus. Seekor paus yang amat besar.
Ketika si paus membuka mulutnya, aku seperti tidak merasakan apa-apa. Teriakan Felicchio lewat begitu saja di telingaku. Lalu, semuanya gelap.
"Chiara!"
Teriakan itu menyadarkanku. Waktu kubuka mata, wajah cemas Felicchio memenuhi pandangan. Aku langsung bangkit dari posisi berbaring dan melihat sekeliling.
Di sini gelap, baunya juga aneh. Aku dan Felicchio sedang duduk di atas papan kayu yang sudah agak lapuk. Kami dikelilingi genangan menggelegak berwarna aneh dengan benda-benda aneh yang mengambang di atasnya.
"Kita di dalam perutnya," kata Felicchio.
Aku mengerutkan kening. Perlu waktu beberapa detik sampai aku mengerti perut siapa yang dia maksud.
"Paus itu, dia menelan kita?" tanyaku.
"Iya," jawab Felicchio. "Maaf, ya, kamu jadi ikut tertelan. Habis ini akan kupikirkan cara untuk mengeluarkan kita dari sini."
Seketika aku merinding. Berada di dalam perut paus bukan pengalaman yang ingin aku rasakan. Kalau kami tidak cepat, hanya tinggal menunggu waktu sampai tubuhku hancur seperti benda-benda aneh yang mengapung di sekeliling itu. Ih, membayangkannya saja aku tidak mau.
Kondisi Felicchio sepertinya tidak lebih baik. Tadi dia memang bilang akan mencari cara untuk mengeluarkan kami berdua. Tapi jika dilihat dari ekspresinya, nampaknya dia belum juga menemukan ide bagus.
Felicchio juga pasti ketakutan. Aku juga harus mulai berpikir.
Kulihat sekeliling. Dinding perut paus itu kelihatan lembek, barangkali bisa dipotong dengan sekali tebas. Tiba-tiba aku dapat ide.
"Felicchio, bisa bantu aku mendorong papan kayu ini ke pinggir?" pintaku.
Bocah kayu itu sedikit terlonjak. "Eh, iya, oke." Dia mengamati sekeliling dan memungut sesuatu yang terlihat seperti tongkat panjang. Dia menggunakan tongkat itu sebagai dayung.
"Itu ada batang kayu," kataku.
Felicchio mengarahkan papan kayu ke arah yang kutunjuk. Segera kuraih batang kayu yang cukup panjang itu. Semoga cara ini berhasil.
Kami tiba di dinding perut. Betul dugaanku, perut paus sangat lembek. Perlahan, aku menusuk dinding di depanku dengan batang kayu.
"Apa yang kamu lakukan, Chiara?" tanya Felicchio.
Aku mengangkat bahu. "Cuma ini cara yang terpikirkan. Felicchio, tolong teruskan mendayung sepanjang dinding, ya."
Sepertinya si bocah kayu sudah mengerti maksudku, dia terus mendayung. Sambil bergerak, aku terus menusuk-nusuk dinding perut. Aku agak merasa bersalah dengan si paus, tapi hanya ini satu-satunya cara.
Perkiraanku tepat. Lama-kelamaan cairan di sekeliling kami berguncang, dinding perut juga bergerak-gerak. Ketika cairan itu mulai menggelegak dengan begitu kuat, Felicchio menyambar tanganku.
Aku menutup mata waktu cairan itu meledak. Rasanya seperti disiram air berbau aneh. Aku menahan napas, kupeluk Felicchio erat-erat, kami terdorong.
Meskipun air di sekelilingku jadi terasa dingin, dan meskipun dadaku mulai sesak, aku tak berani membuka mata. Baru saat kurasakan Felicchio mendorong tubuhku ke atas dan aku menabrak permukaan air, langsung kuhirup udara banyak-banyak.
Ah, langit biru.
"Hehe ... idemu hebat." Felicchio menyambutku dengan senyum ramahnya. Laut begitu tenang, barangkali si paus langsung pergi setelah memuntahkan kami.
Carlo sudah setengah jalan menuju tempat kami. Bisa kubayangkan betapa paniknya dia waktu melihat kami di telan, semua terlihat dari raut mukanya.
Petualangan kami hari itu berakhir dengan pakaian basah dan omelan Carlo.
"Berkali-kali kubilang tengah laut itu bahaya, kenapa, sih, kalian tidak pernah mendengar--"
"Tadi itu menyenangkan!" seruku, berusaha menutupi omelan Carlo.
Felicchio hanya tertawa melihat kami. Setelah semua yang terjadi, dia sama sekali tidak terlihat kelelahan, pasti karena tubuhnya terbuat dari kayu. Aku jadi sedikit iri.
Aku menggenggam tangan Felicchio. Tangan kayunya dingin dan keras. "Nanti kalau kau sudah jadi manusia, kita bisa melakukan lebih banyak hal menyenangkan lagi."
Felicchio tidak menjawab. Dia hanya menatapku sambil tersenyum seperti biasa.
"Walau cuma sebentar, aku senang kita bisa jadi teman seperti ini."
Hm? Sepertinya tadi Felicchio mengatakan sesuatu?
-----
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro