Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Quattro: Kebohongan Felicchio

Ini hari ke sepuluh. Jika semuanya lancar, Felicchio akan menjadi manusia betulan besok.

Untunglah tidak ada insiden yang lebih parah dari tertelan paus tempo hari. Yah, walaupun Carlo jadi lebih cerewet pada kami.

"Hari ini kita mau main apa?" tanyaku pada Felicchio, segera setelah kami berkumpul di rumah Kakek Geppeto.

Felicchio nampak sedang berpikir keras. "Huuum ... karena ini hari terakhir, aku ingin melakukan banyak hal," katanya.

"Katakan saja," seruku. "Dan apa maksudmu hari terakhir, Felicchio? Bukankah kau akan jadi manusia esok hari?"

Felicchio hanya menjawab dengan senyuman.

"Maksudmu hari terakhir kau jadi boneka kayu?" tambah Carlo.

"Bagus, dong," kataku. "Masih banyak yang belum kita lakukan. Hei, mungkin kau bahkan bisa pergi ke sekolah."

"Chiara, Carlo." Felicchio tiba-tiba memanggil, yang membuatku agak kaget.

Dia tersenyum lebar. "Maaf karena mendadak. Tapi apa kalian mau menginap malam ini? Semalam saja."

Aku dan Carlo saling pandang. Jarang sekali Felicchio meminta sesuatu dengan nada serius seperti itu. Membuat kami bertanya-tanya apa yang sedang dia pikirkan.

Carlo menjawab, "Eeh ... aku akan tanya Mama dulu, tapi kurasa tidak masalah kalau cuma semalam."

"Sungguh? Terima kasih!"

Felicchio jadi jauh lebih bersemangat hari itu, walaupun sebelumnya memang dia yang paling aktif di antara kami. Tapi hari ini, si bocah kayu itu terasa lain, dia seperti ingin menikmati setiap detik yang dia lewati dengan sepenuh hati, seolah dia tidak akan bisa merasakan kesenangan ini esok hari.

Tapi kenapa? Bukankah Felicchio akan jadi manusia?

Menjelang senja, kami membawa selimut dan keranjang berisi makan malam ke rumah Kakek Geppeto. Untung Mama memperbolehkan kami menginap, dia bahkan membawakan kue-kue tambahan seandainya kami kelaparan di malam hari.

Kami menggelar selimut dan bantal di ruang tengah. Ini pertama kalinya aku tidur di rumah orang lain.

"Tengah malam nanti, kau akan jadi manusia?" tanyaku.

Lagi-lagi, Felicchio hanya tersenyum.

Malam itu sepi. Hanya ada suara binatang malam dan hembusan angin dari celah-celah jendela. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, tetapi sedari tadi mataku tidak kunjung menutup juga. Kami sudah mematikan lentera, tapi dari suara gesekan di sebelahku, aku tahu Carlo juga belum tidur.

"Felicchio, kau tidur?" bisikku pelan. Ada gerakan pelan di sebelahku, lalu bisa kurasakan si bocah kayu itu menatapku.

"Chiara enggak tidur?" tanyanya.

Aku menggeleng, walau dia tidak bisa melihatku. "Aku belum ngantuk."

"Tidur, dong." Perlahan, Felicchio memainkan ujung rambutku. "Soalnya aku enggak mau Chiara melihat ini."

"Melihat apa?" tanyaku.

Ada jeda beberapa detik sebelum Felicchio menjawab.

"Maaf, ya." Nadanya yang terdengar sedih itu, membuat perasaanku tidak enak. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu-waktu terakhirku bersama kalian berdua. Maaf, mulai besok, kita enggak bisa main bareng lagi."

Rasanya perutku seperti habis ditonjok. Tapi, apa maksud kata-kata itu?

Gesekan di sebelahku makin keras. Carlo bangun dan merangsek ke arah Felicchio. "Maksudmu apa?" desisnya.

Aku tidak bisa melihatnya karena gelap, tapi aku yakin Felicchio sedang tersenyum. "Betul, kok. Mulai besok, aku bakal kembali jadi boneka kayu."

Kuubah posisiku jadi duduk. "Tapi kenapa, Felicchio? Bukankah kau bilang, kau bakal jadi manusia betulan setelah sepuluh hari, atau kau ...."

Kata-kataku terputus. Tidak, hidung Felicchio tidak memanjang. Dia jujur.

"Maaf." Felicchio berujar pelan. "Betul waktu tempo hari kubilang kalau aku ingin jadi anak manusia. Tapi setelah sepuluh hari yang kuhabiskan bersama kalian, aku sadar kalau jadi manusia enggak sesederhana itu."

Angin seolah berhenti bertiup, hanya suara Felicchio yang terdengar. "Betul, Kakek Geppeto membuat aku karena dia kesepian. Tapi boneka kayu yang hidup berada di luar perkiraannya, Kakek enggak akan siap."

Dia berhenti sebentar. Saking sepinya, aku sampai bisa mendengar hembusan napasku. "Walaupun nantinya Kakek akan memperlakukanku seperti cucunya sendiri, hal-hal lain enggak akan berjalan lancar. Kakek harus menyediakan biaya makan dan pakaian untuk dua orang, keperluan sekolah, juga yang lainnya. Kakek sudah tua, aku cuma bakal jadi beban."

"Atas semua yang diberikan Kakek padaku, aku enggak yakin apa bakal bertahan kalau ...."

Felicchio membiarkan kata-katanya menggantung. Tapi aku tahu apa yang dia maksud.

Si bocah kayu benar. Tidak ada jaminan hidup Kakek Geppeto akan membaik dengan adanya Felichio. Menyuruh anak itu bekerja? Mustahil, dia masih terlalu kecil. Rintangan terberat adalah, kita tidak tahu umur manusia sampai mana.

"Itu keputusan akhirmu?" Carlo tiba-tiba memecah keheningan. "Kau bakal kembali jadi boneka kayu, tidak ada penyesalan?"

Felicchio menggeleng kuat-kuat. Hidungnya tidak memanjang. "Hmm ... sebentar lagi tengah malam. Kurasa, waktunya selamat tinggal?"

Kupeluk Felicchio erat-erat. "Sepuluh hari ke belakang sangat menyenangkan, kami tidak akan pernah melupakamu," kataku pelan.

Felicchio menepuk-nepuk punggungku. "Hehe ... aku juga senang, kok."

Sesaat kemudian, cahaya terang memenuhi sudut ruangan. Aku langsung menutupi wajah dengan jari tangan, tapi tetap mengintip melalui celah jari untuk melihat apa yang menimbulkan cahaya itu. Perlahan, cahaya itu menyusut jadi menyerupai tubuh manusia, hingga peri biru yang kami lihat tempo hari berdiri di depan kami.

Sang peri melihat kami, dia tersenyum. "Chiara dan Carlo Lorenzini, benar? Terima kasih sudah menjadi teman Felicchio selama sepuluh hari terakhir ini," katanya lembut.

Tatapan sang peri beralih pada Felicchio. "Walau singkat, kau telah menjalani hidup yang hebat. Aku bangga padamu."

Perlahan, Felicchio melepas pelukanku. "Aku juga senang, sudah diberi kesempatan buat hidup seperti anak-anak lain," katanya.

"Waktunya sudah tiba, tidak ada penyesalan?" tanya sang peri.

Felicchio menatap kami berdua. "Makasih atas sepuluh harinya," katanya. "Aku pergi dulu, ya, addio."

Sang peri mengangkat tongkat sihirnya. Dari ayunannya, tampak kelap-kelip kecil seperti bintang yang jatuh ke atas kepala Felicchio. Detik berikutnya, si bocah kayu roboh. Dia masih tersenyum, senyum kaku dan tanpa emosi, seperti senyum boneka.

Aku mengangkat bahu Felicchio, sekarang dia hanya boneka kayu biasa.

"Sungguh keputusan yang amat berani." Kuangkat wajahku, sang peri memandang boneka Felicchio dengan tatapan sayang. "Dia ingin jadi manusia, tapi dia tahu yang terbaik untuk Geppeto. Dan dia memilih pilihan kedua."

"Felicchio ... berbohong ...." kataku lirih.

Kening Carlo berkerut. "Mananya?"

"Tidak akan jadi masalah kalau dia bilang ini dari awal," ucapku setengah berteriak. "Felicchio tidak bilang apa-apa, dia tidak bilang kalau dia bakal kembali jadi boneka kayu. Bukankah itu sama saja dengan kebohongan?"

Aku tidak peduli walau sikapku terlihat kurang sopan di hadapan sang peri. Tapi ini tentang Felicchio, pilihannya amat bijak, tapi dia tidak mengatakannya di awal.

"Kalau begini kan ... kita jadi tidak bisa mengucapkan selamat tinggal dengan baik padanya." Suaraku bergetar. Ah, tidak, jangan menangis sekarang, dong.

Carlo tidak mengatakan apa-apa. Aku tahu, dia pasti juga berpikir demikian.

Sang peri berdeham. Itu sudah cukup untuk mengalihkan perhatian kami padanya. "Sebelum kalian menyalahkan Felichio lebih jauh, tolong dengarkan aku."

"Keputusan anak itu sudah bulat. Dia tidak ingin menjadi manusia. Tapi, dia pasti juga merasa bersalah pada kalian. Namun, dia pikir, jujur dari awal hanya akan membuat teman-temannya sedih. Nyatanya, inilah yang terjadi."

Sayap sang peri mengepak pelan. Dia memberi jeda pada penuturannya. "Membuat keputusan yang kurang tepat, bukankah hal itu biasa dialami manusia?"

Sang peri ada benarnya. Rasanya aku bisa sedikit memahami perasaan Felicchio. Jika aku berada di posisinya, barangkali aku juga akan melakukan hal yang sama.

"Kalian anak-anak hebat." Pujian tiba-tiba dari sang peri itu menyadarkanku dari lamunan. "Meski hanya sekedipan mata, kalian telah menjadi teman terbaik bagi Felicchio. Kuharap, kalian juga tidak akan melupakan anak itu."

Aku tersenyum lemah. "Terima kasih, juga, karena telah menghidupkan Felicchio."

Sang peri menjentikkan jarinya. Sesaat kemudian, dia menghilang, menyisakan percikan-percikan cahaya kecil di udara.

Kembali ditelan kegelapan. Aku masih memeluk Felicchio erat. Kutekankan pada diriku untuk tidak berharap si bocah kayu akan membalas pelukanku jika aku melakukannya sepanjang sisa malam.

Carlo menepuk pundakku. "Felicchio mungkin tidak bisa hidup di kenyataan. Tapi, dia bisa hidup dalam dongeng."

Gantian aku yang dibuat bingung olehnya.

Carlo melanjutkan. "Kau ingin Felicchio hidup bahagia bersama Kakek Geppeto, kan? Oke, akan kuwujudkan. Akan kutulis dongeng tentang dia!"

Jujur saja, kata-kata Carlo membuatku geli. "Kau ... menulis dongeng?"

Carlo cemberut. "Tidak percaya? Lihat saja dua puluh tahun lagi."

Aku tidak bisa menebak dia serius atau hanya sedang mencoba menghiburku. Tapi dia berhasil membuatku tersenyum.

"Oke, kutunggu dongengmu, Tuan Penulis."

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro