Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23


[Warning: Profanities and a little bit of violence]


Sang manajer menghela nafas panjang sembari memasukkan kembali bola-bola yang berserakan menuju keranjang. Meskipun hari ini adalah hari Jum'at, yang berarti akhir minggu telah tiba dan (Name) bisa mendapatkan waktu istirahatnya, dia tidak merasakan semangat yang biasa ia rasakan saat akhir minggu tiba.


Mungkin karena (Name) terlalu lelah, mungkin juga karena kecanggungan yang masih saja terasa ketika kegiatan klub berlangsung—atau bahkan ketika (Name) bertemu dengan salah satu seniornya di lorong saja sudah terasa canggung. Gadis itu tidak bisa menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri dan kekerasan kepalanya.


Meskipun belum lama kecanggungan antara sang manajer dan kelas tiga terjadi, tetap saja suasana klub menjadi kurang nyaman—tidak nyaman sedikit pun bagi (Name) sendiri. Anggota lainnya hanya bisa diam saja, sementara Pelatih Saitou berusaha untuk memperbaiki kecanggungan tersebut, meskipun sayangnya tidak membuahkan hasil apa pun.


Dengan berat hati, (Name) menghela nafas lagi. Tangannya menggenggam erat bola voli di tangannya saat ini, sebelum dia menundukkan kepalanya. 'Aku perlu meminta maaf lagi,' pikirnya. 'Tapi sepertinya yang ada hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri,' ia menggertakkan giginya kesal, sebelum memasukkan bola di tangannya dengan lesu.


(Name) hanya diam sembari menatapi isi keranjang di hadapannya. Untuk beberapa saat dia tidak melakukan apa pun, sebelum dia perlahan kembali memungut bola-bola yang berserakan. 'Ini memang salahku. Aku tetap harus mencoba memperbaikinya,' batinnya. 'Para pelatih tidak akan suka kalau ini berlangsung lama. Akan lebih mengkhawatirkan kalau ini mempengaruhi latihan—tapi sepertinya itu tidak mungkin.'


Ia perlahan meraih bola terakhir yang perlu ia pungut, namun terhenti ketika ada tangan lain yang mengambilnya terlebih dahulu. (Name) menatapi tangan tersebut untuk sesaat, sebelum beralih menatapi wajah pemilik tangan. Dia tidak tahu kalau dia terkejut atau tidak merasakan apa pun ketika Shirabu-lah yang berada di hadapannya.


"Kau hanya membuat yang lainnya khawatir," tegur Shirabu ketus. "Sampai kapan kau akan terus seperti ini? Seharusnya kau tahu kalau kau tidak boleh seperti ini terlalu lama," dia menambahkan. Meskipun Shirabu berbicara dengan penuh kekesalan, (Name) merasakan ada kekhawatiran di matanya.


(Name) tidak ingin berargumen lebih lama, sehingga dia hanya mengangguk dan memperhatikan Shirabu memasukkan bola yang ia pegang ke keranjang. "Aku akan gunakan akhir minggu untuk mendapatkan istirahat yang cukup, sebagai informasi untukmu kalau kau khawatir," katanya perlahan.


Shirabu memperhatikan sang manajer dengan heran untuk sesaat, sebelum dia mengalihkan pandangannya sejenak. "Apa-apaan kau ini?" gerutunya. "Tentu saja aku khawatir padamu," ucapnya tanpa menatapi (Name). "...Siapa yang tidak akan khawatir kalau kau keras kepala seperti ini? Beruntung masih ada yang bertahan meskipun kau begitu keras kepala."


Gadis itu menatapi Shirabu untuk sesaat, terkejut dengan kata-katanya—jarang dia melihat setter reguler itu jujur di hadapannya seperti saat ini. Pada akhirnya (Name) hanya bisa tertawa pelan, sebelum mengusap matanya sendiri. "Maaf," katanya. "Kalau begitu aku akan pergi sekarang, aku masih perlu menjemput adikku."


Sang setter terdiam sembari memperhatikan manajer itu mendorong keranjang bola menuju gudang dengan menyeret kakinya. Dia hanya terdiam untuk beberapa saat, sampai akhirnya tersadar kalau Kawanishi mendekatinya dan berdiri di sebelah Shirabu sembari ikut memperhatikan sang manajer. Keduanya terdiam untuk beberapa saat, tidak mengucapkan apa pun. Setidaknya sampai sang manajer meninggalkan gym.


"Apa kalian yakin membiarkannya berjalan pulang sendirian?" tanyanya tanpa pikir panjang. "Melihat keadaannya, sepertinya dia tidak hanya mengalami gangguan di Shiratorizawa saja. Tebakan terburukku adalah ada pengganggu lain di Seijoh," dia menjelaskan teorinya sembari mengusap kepalanya.


Seisi gym menjadi hening untuk beberapa saat. Shirabu sendiri hanya bisa mengerutkan keningnya, memikirkan kembali tebakan middle blocker tersebut. Detik berlalu, menjadi menit, hingga akhirnya tiga menit terlewat dalam keheningan. Setelah berpikir cukup lama, barulah Shirabu dan Kawanishi menengok menuju para senior—yang terlihat tersadar akan sesuatu, sementara Semi dan Tendou terlihat lebih pucat dari biasanya.


"Sial."


⌠ ᴸᵎᵇᵉʳᵒˢᵎˢ⌡


(Name) mengusap rambut (h/l)nya dengan perlahan. Sembari melangkah menuju Aoba Johsai, dia hanya bisa berharap tidak akan berpapasan dengan tim voli sekolah tersebut atau Shinju tidak akan bertanya banyak hal ketika melihat keadaan kakaknya—mengingat dia sudah menyadari memar di pipi (Name) dan betapa kelelahannya gadis itu belakangan ini.


'Issei mulai mencoba untuk mengecek keadaanku di rumah, sementara Iwaizumi-san dan Oikawa-san juga sudah mulai menelpon dan mengirim berbagai pesan,' dia menghela nafas pendek dan mengusap pipinya yang sudah mulai sembuh. 'Aku ingin sekali menjelaskan apa yang terjadi agar mereka berhenti, tetapi rasanya yang ada aku hanya akan memperburuk keadaan,' tambahnya, kemudian membayangkan apa yang akan Iwaizumi dan Oikawa rasakan ketika tahu mereka adalah penyebab utama (Name) mengalami keadaan ini.


Gadis itu hanya terdiam untuk sesaat, sebelum perhatiannya teralihkan menuju sekumpulan perempuan yang berjalan mendekatinya dari gerbang Aoba Johsai—sekitar enam sampai tujuh siswi, melangkah dengan berani namun juga masih terlihat was-was. (Name) mengerjapkan manik (e/c)nya, sebelum ia akhirnya menghentikan langkahnya sendiri, sementara siswi-siswi di hadapannya ikut berhenti.


Keduanya hanya menatapi satu sama lain, sementara siswi yang berdiri paling dekat dengan (Name) menatapi manajer tim Shiratorizawa itu dengan sinis. "Kau, siswi Shiratorizawa," panggilnya kesal, kemudian dia menyibakkan rambut cokelat mudanya. "Kami perlu berbicara denganmu, terutama tentang Oikawa-san yang terlibat drama yang kau ciptakan itu."


(Name) tidak terkejut. Dia hanya melihat sekelilingnya, sebelum tersadar kalau kebanyakan murid Aoba Johsai hanya menjauh atau menonton saja. (Name) sendiri juga tidak melihat tanda-tanda kalau tim voli akan keluar—yang membuat (Name) berpikir kalau ini sudah direncanakan oleh siswi di hadapannya.


Pada akhirnya gadis itu hanya mengangguk singkat. "Aku tidak keberatan memberikan penjelasan untukmu," katanya. "Terutama mengenai aku tidak memiliki hubungan romantis macam apa pun dengan Oikawa-san dan aku hanyalah teman Iwaizumi-san," dia menjelaskan, dengan sengaja memberikan penekanan pada kata "tidak".


Hanya saja siswi berambut cokelat muda di hadapannya itu mendengus, manik gelapnya menatapi (Name) dengan sinis. "Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Mengingat kau juga punya rumor kalau kau banyak menggoda para laki-laki untuk uang dan nilai yang bagus," ledeknya.


(Name) mengerutkan keningnya. "Aku tidak pernah mendengar itu. Kau pasti hanya membuatnya dari sedikit rumor yang kau dengar dari Shiratorizawa," katanya pelan. "Tapi, sepertinya gosip itu cepat sekali beredar ya..."


"Jangan berlagak sok heroik!" seru salah satu pengikut siswi tadi dengan kesal. "Kau hanyalah perempuan rendahan, jangan berpikir karena kau berasal dari Shiratorizawa kami akan takut!" dia menambahkan.


Sang manajer membalas dengan mengangkat bahunya. "Aku tidak menakutimu, kalian saja yang dengan mudahnya terintimidasi karena nama sekolah yang berbeda saja," balasnya ketus. Dia tidak peduli sedikit pun kalau siswi-siswi di hadapannya marah atau tidak. "Yang pasti, kalau kalian marah karena aku... 'mengambil' Oikawa-san milik kalian, aku tidak memiliki hubungan macam apa pun dengannya."


Siswi di hadapannya mendecih kesal. "Aku tidak mau mendengar hal lain tentang hubungan kalian, hanya saja kau perlu tahu kalau sudah saatnya kau mundur dan menjauhi Oikawa-san sekarang!" serunya. "Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan, tetapi tidak akan membiarkanmu menghancurkan kehidupannya seperti yang pernah kau lakukan dulu!"


(Name) terdiam. Dia hanya bisa menatapi gadis itu dengan heran untuk beberapa saat, sebelum dia mulai lebih ragu untuk membalas kata-katanya. Dari ujung matanya, gadis itu melihat ada beberapa orang yang mulai menonton dengan khawatir, di sisi lain juga ingin tahu apa yang sedang terjadi.


Sebelum sang manajer bisa mengucapkan apa pun, siswi tadi melanjutkan kata-katanya. "Aku tahu apa yang telah kau perbuat dulu. Aku sendiri juga punya teman dari SMP Nekoma, kau tahu," desisnya. "Tentunya aku tahu cerita bagaimana kau menghancurkan karir rekan satu timmu sendiri karena kedengkian yang kau rasakan. Tentang bagaimana kau menghancurkan kehidupan orang lain tanpa merasa bersalah."


Semakin lama kalimat tersebut tertuang, semakin kaku (Name) berdiri. Gadis itu sendiri hanya mengalihkan pandangannya, kedua tangannya dikepalkan dengan erat. Meskipun dia ingin menyanggahnya, (Name) tahu kalau itu sulit dan nyaris tidak mungkin. Mengambil resiko juga hanya akan buang-buang tenaga nantinya.


"Aku tidak peduli kau dengar dari siapa, tetapi kau seharusnya tahu kalau kau tidak perlu ikut campur. Terlebih lagi, itu sudah terlewat dua tahun yang lalu," gerutu (Name) kesal. Keningnya mengerut ketika dia melihat siswi itu terlihat puas ketika (Name) semakin kesal.


Senyuman meledek terukir di bibir siswi itu. "Lalu apa yang akan terjadi nantinya? Kau akan terus berusaha menghancurkan hidup orang lain agar kau tetap menjadi nomor satu? Oh, tentu saja tidak perlu. Lagipula kau itu jenius! Kau hanya perlu menyingkirkan yang tidak perlu dan hanya mengganggumu nantinya!"


(Name) diam untuk beberapa saat. Perlahan dia menarik nafas dalam-dalam, masih berusaha untuk menahan dirinya. "Jangan sebut aku dengan kata-kata pembawa malapetaka itu," desisnya. "Dan kalau kau terus bercerita tentang bagaimana aku menghancurkan hidup orang lain, bagaimana denganmu?" tanyanya balik. "Apakah ini yang kau lakukan pada setiap gadis yang menjadi penghalang ketika kau berusaha mendekati Oikawa-san? Menakuti mereka dan mengancam mereka dengan rahasia terdalam mereka? Kemudian menghancurkan hidup mereka dengan perlahan? Bercerminlah, kita tidak terlalu berbeda."


Siswi tersebut tersentak kaget. "K-Kau—apa yang kau tahu tentang diriku?!" serunya. "Aku tidak seperti dirimu! Aku tidak akan menghancurkan kehidupan orang lain, aku tidak mau menghancurkan kehidupan orang lain!" sanggahnya, nafasnya menjadi tidak tertatur seiring berjalannya waktu.


"Aku memang tidak tahu apa-apa tentangmu," balas (Name). "Sama sepertimu, aku hanya mengutarakan apa yang kupikirkan tentang dirimu. Sepertinya kita memang tidak terlalu berbeda, Nona," balasnya sembari memperhatikan gerak-gerik gadis itu. "Karena kita tidak terlalu berbeda, bagaimana kalau kita ber—"


Namun, sebelum (Name) bisa menyelesaikan kalimatnya, siswi itu sudah menamparnya.


(Name) melangkah mundur sembari merintih pelan. Pipinya memang sudah membaik, namun belum sembuh total. Dengan tamparan tadi—meskipun tidak sekuat tamparan dari siswi Shiratorizawa yang pernah ia terima—tentunya (Name) yakin kalau pipinya akan memar lagi dalam hitungan waktu. Gadis itu hanya diam saja, sesekali melihat sekeliling yang menjadi lebih sepi—penonton tadi segera kabur ketika pertikaian terlihat semakin memanas, takut kalau mereka akan terlibat.


"Keparat!" seru siswi itu kesal. "Kau tidak tahu apa-apa tentangku, jadi diam saja mulut kotormu itu!" bentaknya. "Kau pikir aku takut, hah? Tentu saja tidak! Siapa yang takut denganmu?! Kau hanyalah perempuan kotor yang menjual tubuhmu sendiri!" dia menambahkan dengan kesal. Teman-temannya terlihat semakin bersiaga, entah untuk apa.


Decihan yang membalas gadis itu, sebelum (Name) meludah menuju tanah. "Bagaimana kalau kita selesaikan saja perbincangan kita dengan damai dan segera melupakannya? Aku sudah terlalu lelah untuk meladeni kalian..."

"Oh, aku tahu... pasti keberadaan kami sama sekali tidak penting untukmu!" seru siswi itu kesal. "Menganggap dirimu memiliki derajat yang lebih tinggi, ya? Menjijikkan sekali, sama seperti teman-temanmu dari Shiratorizawa. Sombong dan egois. Aku sama sekali tidak terkejut kalau keluargamu tidak jauh berbeda darimu," ledeknya lagi. "Aku juga tidak akan terkejut kalau ternyata ibumu tidak jauh berbeda darimu—buah tidak jatuh jauh dari pohonnya—mungkin dia juga wanita yang bekerja sebagai—" (Name) segera memotong ucapannya dengan menampar pipi gadis itu dengan keras.


Seisi jalanan menjadi hening, jauh lebih hening dari sebelumnya. Sementara gadis itu terjatuh ke tanah karena tamparan tadi, (Name) hanya menatapinya sinis—tidak peduli seberapa keras ia menamparnya tadi.


Perlahan (Name) menarik nafas dalam-dalam, sebelum dia menundukkan kepalanya. "Kau tahu, sebenarnya aku tidak terlalu keberatan dihina olehmu. Toh, aku sudah terbiasa," katanya. "Kau bisa memanggilku dengan nama sejelek apa pun yang kau tahu, atau meledekku seakan-akan aku adalah badut jelek yang tidak bisa melakukan apa pun. Tetapi, satu hal yang perlu kau ketahui adalah..." (Name) mengangkat kepalanya lagi, menatapi siswi-siswi Aoba Johsai di hadapannya dengan penuh amarah dan dendam.


"...kalau kau berani sekali lagi menghina keluarga dan teman-temanku, aku akan menghancurkan wajahmu kalau perlu," ancamnya.



Siswi-siswi tersebut hanya bisa membatu di tempat, merinding ketika suara (Name) jatuh beberapa oktaf dengan ancamannya. Mereka tidak bisa menebak kalau itu hanyalah ancaman kosong atau sebuah ancaman serius, namun mereka segera membantu teman mereka berdiri dan membalas tatapan (Name)—berusaha untuk tidak kalah darinya.


"Kau... dasar bedebah!"


Meskipun (Name) sudah tahu dia akan diserang lagi, dia sama sekali tidak menyangka kalau siswi tadi akan menyerang bersamaan dengan teman-temanya. Untuk beberapa saat (Name) bisa menghindar dan melindungi dirinya, namun seiring berjalannya waktu sudah terlihat jelas kalau dia tidak bisa terus diam saja.


Tidak perlu waktu lama sampai akhirnya siswi-siswi itu berhasil mendominasi pertengakran tersebut. Mereka memukul, menendang, mencakar, bahkan menarik rambut tanpa pikir ampun. (Name) sendiri tidak diam saja, meskipun dia masih menahan dirinya untuk tidak membuat masalah yang lebih besar dengan melukai salah satu dari mereka dengan cukup parah. Pada akhirnya dia hanya bisa mencakar beberapa wajah dan memukul tangan yang baru saja akan memukulnya atau membalas tendangan yang diarahkan ke perutnya—namun dia tetap saja kalah.


Setelah beberapa saat, siswi Shiratorizawa itu berakhir jatuh tersungkur di tanah. Para siswi Aoba Johsai tidak berhenti, namun tetap menendangnya dengan penuh amarah—seakan-akan untuk membalas tamparan dan ledekan dari (Name)—sembari tertawa. Sang manajer hanya bisa diam dan menggulung tubuhnya menjadi bulat untuk melindungi dirinya. Dia tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sampai akhirnya dia mendengar suara yang familiar mendekati mereka.


"JAUHI KAKAKKU, SIALAN!"


(Name) tersentak kaget ketika siswi-siswi tadi segera melangkah mundur. Dia membuka matanya dengan perlahan, sebelum menatapi adiknya sendiri sudah berdiri di depannya dengan salah satu tangannya terkepal erat—jelas-jelas baru saja memukul wajah salah satu perempuan dari penyerangnya. Mereka baru saja akan membalas, ketika suara langkah kaki lain terdengar mendekat. Panik membanjiri tubuh mereka, sebelum tanpa pikir panjang segera kabur dari tempat itu.


Untuk beberapa saat (Name) hanya bisa terdiam. Dia masih duduk di tanah—rasa sakit datang dari sekujur tubuhnya, dan di sisi lain ada juga rasa malu karena dia tetap saja gagal melindungi dirinya sendiri. Tetapi, (Name) tetap menghela nafas lega, sebelum dia menatapi Shinju yang sudah mengulurkan tangannya—matanya jelas-jelas menunjukkan rasa takut dan khawatir, bahkan (Name) yakin dia akan menangis di tempat dalam hitungan menit.


"Jangan menatapiku seperti anak anjing yang akan kehilangan pemiliknya," gumam (Name), setidaknya untuk bergurau saja. Dia menerima uluran adiknya untuk berdiri, merintih ketika menggunakan kaki kanannya sebagai tumpuan. "Tetapi, terima kasih Shin. Memalukan sekali kau harus melihat kejadian tadi."


Shinju tidak mengucapkan apa pun, melainkan hanya menggenggam tangan kakaknya semakin erat. Dia terlihat kebingungan untuk beberapa saat, sebelum pada akhirnya hanya bisa menghela nafas berat dan mengalihkan pandangannya menuju gerbang sekolahnya. (Name) sendiri hanya memperhatikan adiknya keheranan, sebelum dia menengok menuju arah sebaliknya ketika melihat seragam yang familiar berlari dari sana.


"Astaga! (Surname)! Apa yang baru saja terjadi?!"


"(Surname)?! Apa yang terjadi padamu?! Padahal kami baru saja meninggalkanmu beberapa saat!"


(Surname) bersaudara tersentak kaget bersamaan dengan kehadiran dua tim voli tersebut. (Name) yang hanya bisa menatapi kedua tim dengan terkejut, sementara Shinju hanya bisa terdiam. Untuk beberapa saat, (Name) hanya bisa menatapi kedua tim keheranan—tidak mempedulikan pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan dengan cepat, sampai-sampai (Name) tidak bisa mengerti apa pun.


"T-Tunggu dulu!" seru (Name), secara tidak langsung menghentikan kedua tim dan mendiamkan mereka. "A-Aku menghargai kekhawatiran kalian. Hanya saja... bagaimana ceritanya kalian bisa di sini? Terutama kalian!" (Name) menatapi tim Shiratorizawa dengan keheranan, sementara timnya hanya bisa diam di tempat dan mengalihkan pandangan mereka.


Tidak ada yang menjawab untuk beberapa saat, sampai akhirnya Shinju menghela nafas panjang dan mengusap kepalanya. "Aku memanggil tim Seijoh ketika melihatmu dikerumuni untuk berjaga-jaga, hanya saja ketika aku datang lagi kau sudah dihajar habis-habisan," jelasnya. "Aku tidak tahu tentang timmu. Mungkin mereka adalah penguntitmu."


"Adikmu tidak jauh berbeda darimu, ya~" gumam Tendou tanpa pikir panjang. Dia tersentak kaget ketika (Surname) bersaudara segera menatapi middle blocker berambut merah itu dengan sinis, sebelum Tendou tertawa canggung. "Maaf, maaf. Tetapi, kami tidak bisa berhenti khawatir dengan keadaanmu, (Name)-chan!" serunya.


(Name) hanya bisa menatapinya keheranan, sebelum akhirnya Leon memilih untuk angkat bicara. "Kami semua khawatir kalau ada sesuatu yang terjadi di Seijoh sehingga kau masih terlihat kelelahan. Karena itu yang lainnya memilih untuk berkunjung sejenak untuk memastikan keselamatanmu," jelasnya. "Aku tahu kalau kami tidak pantas untuk melakukannya, tetapi kami khawatir dengan keadaanmu."


Kata-kata tersebut membuat (Name) tertegun. Dia hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam, sebelum menghela nafas panjang, sekaligus merilekskan bahunya. Perlahan (Name) melangkah mendekat menuju adiknya, sebelum bersandar pada bahu adiknya. "Terima kasih atas kebaikan kalian, aku menghargainya," gumamnya. "Untuk sekarang... aku hanya ingin pulang."


"Aku tahu itu, Nee-san. Tetapi, tolong ketahui kalau kau itu cukup berat. Jangan sandarkan semua bebanmu padaku," kata Shinju sembari berusaha menahan tubuh kakaknya. Beberapa anggota dari tiap tim langsung tertawa mendengarnya, namun ada yang hanya menggeleng pelan.


"Kalau aku tidak kelelahan, aku tidak keberatan memukul kepalamu," gumam (Name), sebelum dia mengalihkan pandangannya. Dia baru saja akan menutup matanya, ketika sepasang tangan besar menahan bahunya dan menjadikan dirinya sebagai tumpuan (Name).


Ketika gadis itu menengok, dia hanya bisa terdiam saat bertatapan langsung dengan Iwaizumi. Rasa khawatir terlihat jelas dari mimik wajahnya, namun begitu juga kekesalan dan waspada. (Name) tidak bisa menebak apa alasannya dan memilih untuk diam saja. "Untuk sekarang, ayo kita pergi ke klinik terdekat untuk mengobati luka-lukamu," katanya lembut, sebelum dia melingkarkan salah satu lengan (Name) pada lehernya.


Untuk beberapa saat (Name) hanya terdiam, sebelum dia mendengar tiap orang mulai memberikan berbagai saran dan tips mengenai keadaan (Name) saat ini. Gadis itu hanya bisa menutup matanya dan bersandar pada tubuh Iwaizumi—secara tidak langsung berusaha menyembunyikan wajahnya sendiri yang perlahan mulai memerah.


"Terima kasih banyak," bisiknya, meskipun hanya Iwaizumi dan Shinju yang berhasil mendengarnya.


⌠ ᴸᵎᵇᵉʳᵒˢᵎˢ⌡  


Hoiyoy!

Karena ujian telah usai, tibalah chapter baru Liberosis! Holleeeeh!

Demy memang berkata mau hancurin (Name) ketika waktunya tiba dan sebenernya ini chapternya tapi sejujurnya terasa kurang

Ah ya, ngga cuma ini sih, mungkin nanti Demy tambahin juga yang lainnya biar (Name) bisa berubah //woi

Sejujurnya, memakai profanities atau kata-kata kasar itu lebih nyaman digunakan dalam bahasa Inggris karena kalau bahasa Inggris kata-katanya lebih banyak dan ada banyak slang sedangkan dalam bahasa Indonesia rasanya sesuatu dan kebanyakan mungkin juga bahasa daerah ya? Demy berusaha meminimalisir dan berkali-kali ganti kata-kata kasar yang ada dalam chapter ini, dan mohon maaf kalau itu membuat kalian para pembaca tidak nyaman, Demy janji kata-kata kasar paling banyak hanya ada di chapter ini dan meminimalisir kata-kata seperti itu di chapter selanjutnya UvU)


Thank you for reading! See you next time!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro