Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

"Hari ini benar-benar melelahkan..."


(Name) menghela nafas panjang sembari berjalan menuju kamar asramanya. Dia menutupi kepalanya sendiri dengan handuk miliknya, sementara kedua tangannya memeluk tas berisi perlengkapan mandi yang dia bawa sendiri. Sembari melangkah menyusuri lorong—serta mengabaikan orang-orang yang ia lewati—dia kembali mengingat kejadian sore hari ini.


Pertama latihan ditiadakan, itu bukanlah hal yang buruk, kemudian Tendou mengajaknya untuk makan bersama-sama—lagi, itu juga tidak buruk. Sejujurnya (Name) tidak terlalu membenci team bonding, dia senang mengenal lebih jauh tentang teman-temannya, di sisi lain dia juga bisa menghemat uang karena Tendou senang mentraktirnya.

Kedua, di luar dugaannya tim sekolahnya berakhir bertemu dengan tim Aoba Johsai—yang lebih parah lagi adalah dia juga bertemu Iwaizumi yang membuat semuanya lebih canggung lagi. Rasanya usaha (Name) untuk menyembunyikan pernyataan cinta dari Iwaizumi berakhir sia-sia karena akhirnya semuanya terkungkapkan pada hari itu juga. (Name) masih bisa mengingat kehebohan yang terjadi karena pertemuan mereka.


Lagi-lagi gadis tersebut menghela nafas panjang. Dia memasuki kamarnya dengan sedikit lesu, seakan-akan kesegaran setelah mandi tadi hilang saat mengingat kekacauan—setidaknya bagi (Name) itu kekacauan—tadi sore. Ditambah (Name) sendiri juga mendapatkan nomor ponsel sang Oikawa Tooru, beberapa siswi di sekolahnya bisa heboh dan mengejarnya karena itu.


(Name) menggantung handuknya di lehernya sendiri, sementara dia duduk di ranjangnya sembari menggapai hair-dryer miliknya. Dia diam menghadap cermin yang tersedia di kamarnya sembari mengeringkan rambutnya sendiri, setidaknya tidak sampai manik (e/c)nya melihat notifikasi pesan di layar ponselnya sendiri. Dia hanya diam untuk sesaat, sebelum mengambil ponsel tersebut.


Dia diam untuk beberapa saat, satu tangan membuka pesan yang ia dapat dan satunya masih menggenggam hair-dryer-nya. Kedua matanya mengerjap ketika dia melihat nama Iwaizumi tertera pada pesan yang ia terima. Tanpa pikir panjang lagi dia membaca pesan itu—setidaknya bukan Oikawa yang berniat untuk memberikannya spam yang aneh-aneh saja.


[Iwaizumi-san]

Sore, (Surname).

Maaf mengganggu soremu, aku ingin meminta maaf atas kejadian tadi

Secara tidak langsung kami mengganggu kegiatan kalian, kuharap Oikawa tidak mengganggumu dengan spam atau sebagainya. Dia sangat keras kepala untuk mendapatkan nomormu, entah apa alasannya.


Tanpa (Name) sadari, dia tersenyum melihatnya. Dia membaca sisa pesan yang Iwaizumi kirimkan, tidak banyak dan semuanya hanya untuk menjelaskan kelakuan Oikawa agar (Name) memaafkannya. 'Iwaizumi-san memang teman yang baik,' pikir (Name) sembari meletakkan ponselnya dan lanjut mengeringkan rambutnya.


Matanya masih terfokus pada layar ponselnya. Dia hanya diam untuk sesaat, sebelum kembali menggapai ponselnya dan membalas pesan tersebut. Beberapa kali ia terus menghapus pesannya sendiri dan kembali mengetik, sampai-sampai (Name) sendiri bertanya-tanya kepada dirinya apa yang membuatnya ragu untuk menjawab.


Dia berpikir lagi untuk beberapa saat, sebelum mematikan hair-dryer-nya dan meletakkannya di meja terdekat. Ia diam menatapi ponselnya lagi dalam diam, sebelum mulai mengetik lagi—kali ini tidak ia ulang sampai berkali-kali.


[(Surname)]

Selamat sore, Iwaizumi-san

Justru aku juga ingin meminta maaf sudah menyusahkanmu dan mengganggu kegiatan kalian

Dan aku juga tidak dendam kepada Oikawa-san karena kelakuannya atau apa pun itu, mungkin memang sedikit kurang nyaman...


(Name) diam lagi. Dia perlahan mengusap kepalanya dengan handuk yang menggantung di lehernya dan melihat pesan-pesan lain yang ia terima. Dari Matsukawa yang bertanya-tanya tentang hubungan (Name) dan Iwaizumi, Tendou yang merengek meminta (Name) untuk tidak beralih ke Aoba Johsai, dan satu dari salah satu adiknya yang menanyakan keadaannya.


Gadis itu baru saja akan membalas pesan dari adiknya. Namun dihentikan oleh layar ponselnya yang berganti dan nada dering panggilan telepon yang mulai berbunyi nyaring. (Name) hanya bisa menatapi ponselnya dengan heran, sebelum dia membaca nama Iwaizumi sebagai orang yang meneleponnya. Entah mengapa (Name) berakhir menerima panggilan tersebut dan mendekatkan ponselnya di telinganya.


"Halo, Iwaizumi-san?" panggilnya keheranan. Dia bergeser sedikit agar bisa bersandar pada dinding sembari menatapi langit-langit kamarnya. (Name) mendengar beberapa benda yang terjatuh dari seberang sana, diikuti oleh rintihan pelan dari sang penelepon—(Name) hanya bisa berasumsi dia terjatuh atau menabrak sesuatu. "Iwaizumi-san, apa kau tak apa?"


"A-Aku tak apa," kata Iwaizumi. "(Surname), maaf sudah meneleponmu—aku tidak sengaja, sungguh. Mungkin ini salahku karena menjawab pesanmu sambil berjalan..." gumamnya, diikuti dengusa pelan. "Kalau kau keberatan, kau bisa menutup panggilan ini—atau aku akan melakukannya, maaf sudah mengganggumu—"


"Aku tidak keberatan," (Name) memotongnya, dia diam sesaat sebelum mengusap keningnya. "M-Maksudku... sudah terlanjur, kita lanjutkan saja," dia menambahkan. "Lagipula berbicara lebih mudah dibandingkan mengetik, setidaknya bagiku," tambahnya.


Untuk beberapa saat Iwaizumi hanya diam di seberang sana. Selama Iwaizumi masih diam, (Name) hanya bisa memainkan ujung rambutnya sendiri. Sesaat dia berpikir kalau Iwaizumi akan memilih untuk menutup teleponnya dan lanjut mengetik saja, namun di luar dugaan Iwaizumi tertawa pelan.


"Benar juga," katanya. "Maaf kalau aku menyusahkanmu. Aku tidak mengganggumu, 'kan? Mungkin saja kau sedang belajar atau bahkan masih bersama teman-temanmu..."


(Name) hanya bisa tersenyum kecil. "Aku sedang di kamarku, hanya berdiam diri," katanya sembari mengambil buku terdekat dari ranjangnya, setidaknya agar dia bisa memegang sesuatu agar tidak merasa sangat canggung. "Bagaimana denganmu? Sepertinya kau sedang sibuk di sana," tanyanya balik.


Iwaizumi hanya tertawa pelan. "Tidak, aku baru selesai mandi tadi. Aku tersandung di kamarku saat menjawab pesanmu dan tidak sengaja memencet tombol telepon... jadi, maaf," katanya lagi.


"Tidak perlu meminta maaf, itu tidak disengaja 'kan?" (Name) memastikan. "Lagipula, aku sedang tidak melakukan apa pun. Kupikir berbicara dengan seseorang tidak akan salah," tambahnya sembari membuka buku di pangkuannya. "...Jadi, apa yang akan kita bicarakan?"


Lagi-lagi Iwaizumi terdiam lagi, namun kali ini tidak selama sebelumnya. "Sejujurnya aku berniat meminta maaf padamu lagi. Maksudku, sepertinya karena kedatangan kami kau benar-benar tidak nyaman dan gugup. Ditambah Oikawa sepertinya mencari masalah dengan Ushijima—anak itu tidak pernah belajar," gerutunya kesal.


(Name) mengingat lagi kejadian tadi sore. "Aku tidak terlalu terkejut. Dari cerita senior-senior di sini dan apa yang pernah kulihat sebelumnya, sepertinya Oikawa-san memang benar-benar tidak menyukai Ushijima-san," katanya. "Dan kalau boleh jujur, aku terkejut kau tidak ikut sinis kepada Ushijima. Sebelumnya kau sepertinya kesal dengan kelakuan Ushijima yang terlalu jujur," jelasnya.


Tawa canggung terdenagr dari seberang sana. "Sebenarnya aku memang kurang menyukai sifat jujurnya itu dan aku memang kurang menyukainya," katanya. "Tapi rasanya kekanak-kanakan sekali kalau bertengkar di restoran. Lagipula, kami hanya musuh di lapangan saja... mungkin saja, setidaknya mungkin kalau dia..."


(Name) mengerjapkan matanya keheranan. "Mungkin kalau dia apa?" tanyanya keheranan.


"Ah, tidak. Lupakan saja, hanya bergumam," kata Iwaizumi. "Bagaimana harimu?"


Untuk beberapa saat (Name) diam saja, dia merasa Iwaizumi berusaha mengalihkan topiknya begitu saja. Meskipun ada rasa ingin tahu yang menginginkan jawaban dari pemain voli itu, (Name) hanya mendengarkan pertanyana Iwaizumi dan menjawabnya, "Baik-baik saja. Tendou-san merengek karena tahu kalau kau yang menyatakan perasaanmu."


Iwaizumi bergumam. "Oh, begitu—tunggu. Tendou tahu tentang pernyataanku?!" jerit Iwaizumi dari seberang. (Name) menjauhkan ponselnya sedikit dari telinganya. "S-Siapa saja yang tahu?! Apa kau menceritakannya pada timmu?!"


"Ha?! Mana mungkin! Tendou-san saja heboh saat mengetahuinya! Dan Ushijima-san beranggapan kalau aku akan pindah sekolah karena itu!" pekiknya. Dia diam untuk beberapa saat, sebelum menghela nafas. "Aku menceritakannya pada dua temanku. Tetapi, mereka tidak bisa menjaga rahasia," tambahnya. "Setidaknya mereka tidak menyebutkan namamu. Jadi, timku hanya tahu kalau ada siswa Seijoh yang menyatakan perasaannya padaku."


"Itu pilihan yang buruk," kata Iwaizumi. "Bukan bermaksud untuk mengataimu kau itu bodoh atau apa. Tapi itu memang pilihan yang salah," dia menambahkan. "Matsukawa dan yang lainnya menjahiliku karena kata mereka aku menyatakan perasaanku terlalu tiba-tiba."


(Name) tertawa pelan. "Begitu ya," gumamnya. "Mungkin memang tiba-tiba. Maksudku, aku tidak pernah sadar kalau kau memikirkanku seperti itu..." tambahnya, wajahnya menghangat dengan perlahan.


Iwaizumi menjadi diam. Keduanya hanya diam dan menunggu satu sama lain untuk berbicara. (Name) kembali terfokus pada bukunya, meskipun tidak membaca buku itu, dia menggunakannya agar pikirannya teralihkan dari betapa canggungnya dia saat ini.


Setelah waktu berlalu, akhirnya Iwaizumi mulai terbata-bata. "(Surname), a-aku... itu, uh... t-tentang... um," (Name) mengangkat salah satu alisnya keheranan, tetapi dia diam saja. "Mengenai pernyataanku itu... maaf..."


"Maaf?" (Name) berhenti memainkan halaman bukunya. "Maaf kenapa?" dia bertanya lagi. "Apa mungkin kau merasa bersalah karena berakhir ada rumor-rumor aneh di sekolahmu atau sekolahku? Tenang saja, tidak ada rumor apa pun di sekolahku—kalau kau khawatir ada sesuatu yang mengkhawatirkan di sekolahku," dia menjelaskan.


Iwaizumi menghela nafas. "Itu ada benarnya juga, tapi di sini tidak terjadi apa-apa," katanya. "Tapi, maaf. Mungkin sebaiknya aku tidak mengungkapkannya begitu saja, rasanya aku terlalu egois dan tidak memperhatikanmu. Kau juga tidak nyaman di sekitarku karena itu bukan? Mungkin hanya perasaanku saja, tapi aku merasakannya saat kita bertemu di toko buku bersama Oikawa..."


(Name) tersentak kaget mendengarnya. Dia diam lagi untuk beberapa saat, sebelum menggeleng—meskipun tahu Iwaizumi pasti tidak akan tahu. "Tidak perlu meminta maaf," katanya. "Justru... maaf karena aku menolakmu seperti itu. Rasanya kasar sekali, menolakmu saat kau sudah sangat tulus dengan perasaanmu begitu," jelasnya.


"...Oikawa pasti menjelaskan itu padamu ya?" Iwaizumi tidak perlu mendengar jawaban dari (Name), hanya dengan mendengar nafas gadis itu tercekat saja dia sudah mengerti. "Kau tahu, apa pun yang dia katakan itu benar. Tetapi kuharap kau tidak merasa bersalah karena itu. Dia memang ingin yang terbaik, mungkin saja dia juga sinis padamu karena kau menolak terus... tapi, jangan dengarkan dia kalau dia macam-macam padamu."


(Name) diam. Dia mencibir kecil. Perlahan buku di pangkuannya ia singkirkan agar bisa mendekap lututnya di depan dadanya. "Iya," balasnya pelan sembari menidurkan kepalanya di lutunya sendiri. "Tetapi, jangan salahkan Oikawa-san. Dia dalah teman yang pengertian dan peduli padamu. Mungkin memang sedikit menyebalkan."


Iwaizumi tertawa pelan. "Baiklah," katanya. Dia diam untuk beberapa saat lagi, sebelum menarik nafas dalam-dalam. "(Surname), aku hanya akan mengingatkan saja... aku tidak bercanda mengenai perasaanku," katanya. "Dan semisalnya aku memiliki rival... aku tidak akan kalah."


Jantung (Name) terasa berhenti berdetak saat mendengarnya. Dia hanya diam saja dan mengeratkan genggamannya pada ponselnya sendiri. "Apa maksudmu?" gumamnya pelan, wajahnya terasa semakin panas. "Rival? Rasanya tidak mungkin. Memangnya ada orang yang memikirkanku seperti itu? Yang kutahu hanyalah kau yang sepertinya memiliki perasaan seperti itu..."


Hanya ada keheningan untuk beberapa saat, sampai akhirnya Iwaizumi tertawa lagi. "Ya, mungkin saja? Kalau boleh jujur kau adalah seorang perempuan yang hebat, (Surname)," jelasnya. "Hanya saja... maafkan aku kalau aku terlalu kasar, kau itu terlalu tidak peduli dengan sekitarmu. Sehingga kau tidak menyadari kalau ada yang memikirkanmu sebagai seseorang yang spesial."


(Name) terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapi pantulannya pada cermin yang tidak jauh dari ranjangnya, sebelum menunduk lagi. "Mungkin memang begitu," gumamnya. "Entah kenapa... aku berpikir kalau terkadang tidak peduli itu lebih baik."


Iwaizumi menghela nafas pendek. "Aku tidak akan memaksamu untuk merubah cara berpikirmu itu. Tetapi..." dia diam untuk sesaat, memberi jeda antara kata-katanya. (Name) sendiri hanya bisa menunggu dalam diam. "...aku akan melakukan yang terbaik... untuk membuatmu peduli padaku," tambahnya. "Ayo kita lanjutkan lain waktu, sampai jumpa."


(Name) belum sempat membalas ketika telepon sudah terputus begitu saja. Ia menatapi layar ponselnya dengan terkejut, tangannya juga mulai bergetar saking kagetnya mendengar ucapan dari Iwaizumi tadi. Ia meletakkan ponselnya dengan perlahan, sebelum mengusap wajahnya sendiri.


Kalimat yang pemuda itu ucapkan terngiang di kepalanya, semakin lama hanya membuat (Name) merasa semakin malu. Rasanya ia ingin bertanya kalau Iwaizumi tidak punya rasa malu karena telah mengatakannya, namun dia mengurungkan niatnya untuk bertanya dan membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja.


Gadis itu berbaring di ranjangnya sendiri dan menatapi langit-langit. Dia hanya mendengar keheningan kamarnya saja, sembari menenangkan dirinya sendiri. Ia tarik nafasnya dalam-dalam, sebelum berdiri dan menggapai ponselnya lagi.


"Ada yang perlu kubeli..." gumamnya perlahan. Dia segera berdiri dari ranjangnya dan mengambil jaketnya sendiri serta mengambil dompet miliknya. Setelah memastikan kalau dia membawa uang yang cukup, dia segera keluar dari kamarnya dan berjalan cepat meninggalkan asrama.


⌠ ᴸᵎᵇᵉʳᵒˢᵎˢ⌡


"Hm, mungkin sebaiknya aku membeli roti lagi sebelum yang ibu berikan habis," gumam (Name) sembari melihat ponselnya. "Selain itu... pasta gigi, hand sanitizer, tas plastik, tisu, dan beberapa hal lainnya," sesekali ia melirik jalan di depannya sembari melangkah.


Dia membaca memo yang dia buat berulang kali, masih memastikan barang-barang yang perlu ia beli dari minimarket nantinya. Setelah yakin kalau dia benar, ia segera memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya sendiri sembari mempercepat langkahnya menuju gerbang sekolah. Setidaknya matahari masih terlihat, berarti ada lebih banyak waktu.


"(Surname)!"


(Name) menghentikan langkahnya saat mendengar namanya sendiri terpanggil. Saat berbalik, dia sudah mendapati Ushijima dan Leon menghampirinya. Perhatian (Name) bukanlah tertuju pada wajah kedua seniornya tersebut, melainkan adalah pakaian olahraga yang tengah mereka kenakan saat ini.


Gadis itu mengerjapkan matanya, sebelum menatapi Leon keheranan. "Apa yang kalian lakukan dalam seragam olahraga?" tanyanya. "Kalian tidak melakukan latihan personal, bukan? Pelatih sudah mengingatkan kalian untuk istirahat satu hari saja, jadi aku juga berharap kalian tidak berlatih terus sampai cedera atau kenapa-napa," tegurnya sembari melipat lengan di depan dadanya.


Leon hanya tertawa mendengarnya, sementara Ushijima menggeleng pelan. "Tenang saja, kami hanya berniat untuk jogging sore. Rute yang kami ambil juga rute lari biasa dengan jarak paling pendek, jadi kau tidak perlu mengingatkan kami untuk tidak memaksakan diri. Aku tidak akan memaksakan diriku," katanya dengan tegas.


(Name) menghela nafas. "Oh, karena kau dilarang memasuki gym kau beralih untuk lari agar tetap bisa bergerak?" tanyanya. "Bukan berarti itu buruk atau apa, tetapi menurutku istirahat untuk sejenak memang tidak salah. Setidaknya jangan beristirahat sampai otot-ototmu kendur," dia menambahkan, sesaat maniknya terfokus pada kakinya sendiri.


Dua pemuda yang lebih tua dari gadis itu hanya mengangguk pelan. "Kau sendiri... ke mana kau akan pergi?" tanya Leon, matanya tengah memperhatikan pakaian yang (Name) kenakan—celana training dari sekolah serta jaket (f/c).


"Apa mungkin kau juga berniat untuk jogging?" tanya Ushijima, meskipun terbilang asal saja. (Name) menatapinya sesaat, sebelum menggeleng pelan.


"Hanya pergi ke minimarket terdekat. Ada yang perlu kubeli," katanya sembari mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya. "Lagipula aku rasa aku tidak akan bisa mengejar kalian kalau kita pergi jogging bersama. Langkah kaki Ushijima-san sangat lebar, dia selalu berakhir meninggalkan yang lainnya."


Ushijima mengerutkan keningnya. "Maaf," katanya sembari menunndukkan kepalanya. Leon hanya tertawa melihatnya, sementara (Name) menggeleng pelan.


"Bukan berarti itu salah, kau tidak perlu khawatir," kata (Name). "Kalian mulai saja lari kalian, tolong berhati-hatilah di jalan. Nikmati lari kalian," dia melambai pelan kepada kedua seniornya, sebelum berjalan keluar gerbang.


Namun, Leon memanggilnya lagi. "Kenapa tidak kita pergi bersama-sama?" usulnya. "Maksudku, jalur yang kami pilih melewati minimarket terdekat. Kita pergi bertiga saja, kami akan mengantarkanmu menuju minimarket," jelasnya sembari tersenyum ramah.


(Name) menatapinya kurang yakin. Sebelum dia bisa menjawab Ushijima sudah mendahuluinya. "Itu bagus untukmu bukan? Kau juga perlu lebih banyak bergerak," katanya. "Bukan berarti aku menganggapmu malas untuk olahraga atau apa, tetapi kekuatan dan kecepatanmu sebenarnya bisa kau latih lagi. Jangan lupakan tentang staminamu itu..."


Gadis itu terdiam di tempat. Dia menatapi Ushijima dengan terkejut, sebelum tertawa pelan. "Oh, baiklah kalau begitu," katanya. "Ayo berangkat bersama-sama. Lari sedikit tidak ada salahnya," tambahnya sembari berlutut sedikit untuk meregangkan kakinya.


"Katakan saja kalau kami terlalu cepat, ya," Leon mengingatkan sembari memperhatikan manajer tersebut menyelesaikan perenggangannya. "Kau bisa mulai terlebih dahulu," tambahnya sembari mengayunkan tangannya.


(Name) mengangguk. Tanpa mengatakan apa pun dia berlari kecil-kecilan keluar sekolahnya sendiri. Dia tetap mengingatkan dirinya untuk tidak lari terlalu cepat—meskipun dia tahu kalau Ushijima dan Leon bisa mengejarnya dengan mudah. Gadis tersebut masih terfokus untuk mengatur langkah dan nafasnya sendiri, sampai-sampai tidak sadar dua seniornya sudah berhasil mengejarnya dalam hitungan detik dan berlari berdampingan bersama sang manajer.


Perjalanan mereka terbilang hening, semuanya lebih terfokus pada lari mereka. (Name) terkadang memperhatikan sekitarnya, mulai dari jalanan, orang yang mereka lewati, atau kadang kucing liar yang sedang tidur di atas atap. Beberapa kali ia mempercepat langkahnya agar bisa mengejar Ushijima dan Leon ketika dia sadar mereka semakin menjauh, Leon sendiri hanya bisa terkekeh geli melihatnya.


"Maaf," kata Ushijima menyadari (Name) yang sempat tertinggal dan memelankan langkahnya agar sesuai dengan (Name). "Aku hampir meninggalkanmu," tambahnya sembari melirik (Name).


Gadis itu tersentak kecil. "T-Tidak perlu meminta maaf," katanya di tengah nafasnya.


Mereka diam lagi sampai akhirnya minimarket tujuan (Name) sudah terlihat. Ketiganya memelankan langkah mereka dan berdiri di dekat minimarket tersebut, juga mengambil nafas mereka. Ushijima dan Leon sendiri masih memiliki nafas yang teratur—tidak ada tanda-tanda kelelahan, sedangkan manajer tim mereka berusaha menenangkan nafasnya sendiri, sudah merasa sedikit kelelahan untuk jogging yang kurang dari lima belas menit tersebut.


"Ahh, aku memang perlu lebih banyak lari," gumam (Name). Secara refleks tangan kanannya mengurut lutut kanannya. "Terima kasih banyak sudah menemaniku, meskipun sebenarnya kalian tidak perlu melakukannya," katanya.


Ushijima hanya mengangguk, sedangkan Leon tersenyum. "Tidak perlu di pikirkan," katanya. "Kalau begitu sampai jumpa, (Surname)," dia melambai sebelum melanjutkan larinya bersama Ushijima.


(Name) hanya memperhatikan keduanya berjalan menjauh, sebelum menghela nafas panjang. Tanpa pikir panjang lagi dia segera memasuki mini market tersebut dan kembali terfokus pada tujuan utamanya.


⌠ ᴸᵎᵇᵉʳᵒˢᵎˢ⌡


"Oke, sudah semua..." kata (Name) dengan bangga sembari menatapi keranjang belanjaannya. Dia tersenyum simpul dan melangkah meninggalkan lorong bagian roti. "Aku terkejut ada roti melon dijual di sini. Sepertinya ada banyak yang tidak kusadari," gumamnya sembari mengecek ponselnya lagi.


Matanya terlalu terfokus pada ponsel miliknya sendiri, sampai tidak menyadari orang yang berjalan ke arahnya—sayangnya juga tidak terfokus pada jalan. Hanya dalam beberapa saat keduanya bertubrukan hingga (Name) terjatuh ke lantai bersama barang-barangnya—beberapa keluar dari keranjang yang ia bawa.


"Ugh—hey, lihatlah jalan kalau kau sedang berjalan. Jangan melihat ponsel terus," geram orang tersebut. (Name) hanya mengusap bahunya sendiri dan menatapi orang tersebut dengan kesal—seorang pemuda yang sepertinya seumuran dengannya. Rambutnya pirang, ada dua garis cokelat pada dua sisi kepalanya. Matanya juga tajam, menatapi sinis (Name) yang berdiri sembari membawa barang-barangnya. Ketika dia berdiri tegak barulah (Name) sadar tinggi mereka tidak jauh. "Perhatikan sekitarmu, atau tidak itu akan menyusahkanmu," tegurnya dengan kesal.



Sejujurnya (Name) merasa malu—dua kali dia menabrak orang yang berbeda, meskipun di waktu yang berbeda juga. Dengan semburat merah menghiasi wajahnya, dia membisikkan maaf dan segera melangkah pergi meninggalkan pemuda itu.


Naasnya dia dipanggil lagi—oleh suara yang sama pula. Dengan kesal (Name) berbalik untuk menatapi pemuda itu, di luar dugaan gadis itu dia melihat ekspresi malu dari pemuda itu. Keduanya hanya menatapi satu sama lain, sampai akhirnya (Name) melihat apa yang sedang diulurkan oleh pemuda itu.


"Kau... menjatuhkannya," gerutunya. "Lebih telitilah, bagaimana kau bisa bertahan hidup kalau kau seceroboh ini?" tanyanya sembari menyodorkan benda di tangannya pada (Name) lebih dekat lagi, sebungkus sanitary pads.


(Name) nyaris menjerit, bahkan dia sudah memekik ketika melihat benda itu di tangan pemuda asing. "M-Maafkan aku! Aku berjanji tidak akan mengulanginya!" serunya sembari merenggut benda itu dari tangan pemuda di hadapannya. "Sekali lagi maaf! Sampai jumpa!" dia menambahkan, sebelum berbalik dan mencoba melanglah pergi.


Sayangnya berakhir tersandung pada kakinya sendiri dan jatuh.


Dalam keadaan panik, dia berusaha untuk berdiri sendiri. Sebisa mungkin dia mengabaikan rasa sakit di kaki dan wajahnya—bukan berarti terjatuh dengan wajah menghantam lantai sangat menyakitkan, (Name) sudah pernah terkena spike salah satu pemain voli tepat di wajah, bisa dikatakan dia terbiasa.


Sembari berpegangan pada salah satu rak terdekat, dia berdiri kembali. Rasa kesal dan malu bercampur aduk, sampai-sampai dia tidak menyadari tatapan dari pemuda yang sama. Dia mengusap hidungnya sesaat, sebelum menepuk lututnya sendiri dan berjalan menuju kasir dengan sedikit terpincang-pincang. 'Bagus, aku baru saja mempermalukan diriku. Kerja bagus, (Name),' gerutunya dalam hati.


Dia segera membayar pada kasir, mengabaikan tatapan khawatir dan keheranan Matsumoto-san, sementara suaminya yang duduk di sebelah wanita tersebut terkekeh—kebetulan dia melihat segalanya. Tanpa mengucapkan kata-kata lain selain terima kasih dan memberi uangnya, dia segera berjalan keluar dari mini market, yang hanya berakhir dihentikan lagi.


"Tunggu."


⌠ ᴸᵎᵇᵉʳᵒˢᵎˢ⌡


"Kau menyedihkan."


"Aku serius akan mematahkan hidungmu kalau kau mengulangi itu lagi," desis (Name) sembari menerima sekaleng (f.drink) dari pemuda berambut pirang tersbut. Dia menatapi pemuda itu untuk beberapa saat, sebelum bergumam pelan. "Hmph, siswa Seijoh rupanya..."


"Tidak kusangka ada siswi Shiratorizawa juga di sini," katanya sembari duduk di sebelah (Name). Ketika gadis itu menatapinya heran, dia hanya mendengus sembari membuka kaleng sodanya. "Hanya Shiratorizawalah sekolah yang punya celana training dengan warna itu di dekat sini. Aku tidak bodoh," tambahnya sebelum menegak minumannya.


(Name) menatapinya kesal, sebelum meminum minumannya sendiri. Manik (e/c)nya melihat sekelilingnya untuk beberapa saat, sebelum beralih pada kakinya sendiri. "...Oh, sepatu voli..." gumamnya ketika melihat sepatu pemuda di sebelahnya itu. "Tapi kurasa aku tak pernah melihatmu di tim Seijoh. Siapa namamu?"


"Aku punya alasanku sendiri," balas pemuda tersebut. "Lagipula untuk apa aku berteman denganmu? Kau mungkin hanya akan mencari informasi tentang sekolahku," tambahnya sembari menatapi kaleng sodanya.


Untuk beberapa saat (Name) hanya diam saja. "Aku tahu beberapa hal tentang sekolahmu, aku kenal seseorang dari sana," katanya dengan datar sembari menghabiskan minumannya dengan cepat. "Lagipula, mengenal nama satu sama lain tidak berarti kita juga menjadi teman, bukan?" tambahnya.


Pemuda itu diam untuk beberapa saat, sebelum menggertakkan giginya. "Terserahlah," katanya. "Kyoutani, kalau kau masih ingin tahu," tambahnya sembari menghabiskan minumannya sendiri.


"Aku (Surname), salam kenal Kyoutani-san," katanya sebelum meremas kaleng di tangannya sampai sedikit tidak berbentuk. "Senang berbicara denganmu, tapi kurasa lebih baik aku pergi sekarang. Terima kasih sudah membelikanku minuman, meskipun itu hanya karena kau menganggapku menyedihkan," tambahnya sebelum dia berdiri dari tempat duduknya. "Selamat sore."


(Name) baru saja akan berjalan pergi setelah membuang kalengnya di tempat sampah untuk kaleng, namun membeku di tempat ketika mendengar ucapan Kyoutani. "(Surname) yang dirumorkan sebagai 'pujaan hati' Iwaizumi-san?" tanyanya, meskipun terbilang pelan tetap saja bisa (Name) dengar.


Gadis itu diam di tempat untuk beberapa saat, sebelum menatapi sinis. "Aku akan membunuh siapa pun yang menyebarkan namaku di sekolahmu itu," desisnya sebelum berjalan pergi. Mengabaikan tawa ledekan dari Kyoutani, yang pastinya juga menyunggingkan seringaian penuh ejekan. "Awas kalau kau ikut menyebarkan yang aneh-aneh! Akan kutendang selangkanganmu!" ancamnya sembari melangkah pergi, sesaat sempat tertatih-tatih.


Dia menggerutu kesal sembari mengeratkan genggamannya pada tas plastik yang ia bawa. Memang dia sudah memiliki perasaan kalau mungkin rumor Iwaizumi yang menyatakan perasaannya pada seseorang akan tersebar, namun sampai namanya juga diketahui... itu di luar dugaannya. Sembari berjalan pulang dia hanya bisa memikirkan satu hal...


'Bagaimana nasibku setelah ini...?'


⌠ ᴸᵎᵇᵉʳᵒˢᵎˢ⌡  


Hoiyoy!

Akhirnya Demy update, yay! Kali ini reader ketemu karakter baru yaaaay /?

Demy emang sengaja mau buat Reader dan Kyoutani ketemu sih, ntah kenapa hubungan mereka agak mirip Reader dan Shirabu cuma lebih ekstrim dan sadis...? //g

Maaf ya kalo chapter ini terbilang terlalu cepet, sebenernya dalam plot asli chapter ini cuma sampe  dianter ke mini market sama Ushijima dan Leon, tapi karena nanti chapter selanjutnya malah kependekan Demy campur aja cuma kerasa rada maksa... sobs


Mau tau nih, di sini ada yang tertarik sama Kyouken nda? /?

Demy biasa aja sih, cuma nganggep dia lucu karena semacam loyal ke Iwaizumi


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro