Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05


"Setelah pendinginan, jangan lupa untuk membereskan lapangannya!" seru Pelatih Saitou dengan nyaring. "Dan tambahan, kalau misalkan kalian akan tetap berlatih sendiri bereskan bola dan lapangan sendiri," dia menambahkan sembari membenarkan kacamatanya. Ia menghela nafas pendek dan mengusap tengkuknya. "Dasar anak-anak."


"Sensei," perhatian sang pelatih berkacamata teralihkan dari para pemain voli lainnya. Ia menatapi manajer timnya dengan keheranan dan menunggunya untuk berbicara. "Maaf kalau tiba-tiba, tetapi apakah boleh aku pergi terlebih dahulu? Aku sudah mengecek barang-barang keperluan untuk besok dan memastikan kalau semuanya tersedia," kata (Name).


Saitou mengangkat salah satu alisnya keheranan. "Kenapa terburu-buru?" tanyanya keheranan, bukan berarti sang manajer tidak pernah meminta pergi terlebih dahulu. "Mungkin tinggal sebentar untuk memastikan agar yang lainnya melakukan pendinginan dengan benar? Kau tahu, bisa saja mereka melakukan kesalahan dan ceroboh tanpamu," katanya.


(Name) menghela nafas. "Sensei, mereka semua sudah SMA, bukan anak-anak di taman kanak-kanak," katanya pasrah, sesaat ia kurang yakin kalau pelatihnya sedang bercanda atau tidak. "Sebenarnya aku bisa tinggal sebentar. Tetapi aku ingin segera pergi ke toko buku dan... kau tahu, karena jaraknya perlu waktu yang... tidak sebentar," dia mulai menjelaskan.


Keduanya berdiri dalam keheningan dan pada saat itulah (Name) sedikit menyesali pilihannya untuk pulang terlebih dahulu. Tetapi, kalau dipikir-pikir lebih baik meminta izin dari Saitou daripada Washijou—dia yakin Washijou akan menahannya atau bahkan memberikan sang manajer ceramah pendek karena pergi dengan alasan yang terbilang tidak jelas seperti itu. Bukan berarti itu adalah hal yang buruk, tetapi (Name) sendiri sebenarnya takut kepada Washijou.


Diluar dugaannya Saitou tertawa pelan dan menepuk bahu manajer tersebut. "Baiklah kalau begitu, sepertinya kau juga sedikit terburu-buru. Lagipula hari ini latihan kita selesai lebih sore dari biasanya," katanya. "Tapi hanya untuk saat ini, lain kali kau harus menetap sampai yang lainnya selesai pendinginan, mengerti?"


(Name) mengangguk dengan cepat. "Terima kasih banyak, Saitou-sensei!" katanya sembari membungkukkan badannya. "Semuanya lakukan pendinginan dengan benar ya! Sampai jumpa besok!" seru sang manajer kepada rekan-rekan satu timnya. Semuanya hanya bisa menatapi sang manajer kebingungan sembari bersiap-siap melakukan pendinginan.


"Are? Kenapa (Name)-chan pergi terlebih dahulu?" cibir Tendou sembari merenggangkan kedua kakinya di lantai. "Padahal rasanya lebih nyaman kalau dia di sini. Membosankan," keluhnya, perlahan ia mencondongkan badannya menuju ujung kakinya.


Leon hanya tertawa pelan. "Sudahlah, biarkan saja dia," katanya. "Mungkin saja ada buku baru dan pemilik toko buku langganannya baru saja mengabarinya, (Name) suka sekali mengoleksi buku bukan?" dia menambahkan sembari melanjutkan pendinginannya. Yang lainnya hanya mengangguk-angguk tanda setuju, mengingat manajer mereka memang suka membaca—tidak sedikit yang awalnya terkejut ketika mendengar dia memasuki Shiratorizawa dengan jalur beasiswa olahraga.


Sesaat Kawanishi dan Shirabu menatapi pintu gym yang terbuka sedikit, mereka hanya diam sebelum kembali fokus untuk pendinginan. Percakapan anggota lainnya bernasib sama bagi mereka—masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Lagipula saat ini mereka sama-sama kelelahan dengan latihan yang lebih dari kemarin.


"Ngomong-ngomong," perhatian seluruh anggota tim voli teralihkan menuju Kawanishi yang tiba-tiba saja angkat bicara. "Tentang toko buku langganan (Surname) itu... bukankah itu tempat dia mendapatkan ajakan kencan dari anak Seijoh itu?" tanyanya perlahan. "Itu kata Nakamura-san, bukan?"


Seisi gym menjadi hening untuk beberapa saat. Mereka tetap terfokus pada pendinginan mereka sampai benar-benar selesai—namun Kawanishi bisa merasakan sedikit kecanggungan dari aura anggota lainnya setelah dia memberikan informasi itu kepada yang lainnya. Mereka masih diam untuk beberapa saat, seakan-akan kalau ada yang berbicara suaranya akan menggelegar.


Para anggota voli segera membereskan lapangan. Net diturunkan dari tiangnya, bola-bola dikumpulkan, lantai gym mulai dibersihkan, kursi-kursi mereka lipat dan masukkan ke tempatnya. Tidak sedikit pula yang sudah mengeluarkan ponsel dan mulai terfokus pada kegiatan mereka masing-masing.


"Apa mungkin..." Goshiki berhenti mendorong keranjang berisi bola-bola yang tadinya mereka pakai. "Apa mungkin (Surname)-senpai pergi terburu-buru karena akan bertemu dengan siswa dari Aoba Johsai itu?" tanyanya perlahan, nada suara seriusnya membuatnya terdengar bagaikan detektif yang baru saja menemukan petunjuk baru.


Pada saat itulah Tendou tiba-tiba mulai meracau dan heboh sendiri. "Oh, tidak!" jeritnya. "Jangan katakan kalau (Name)-chan akan meninggalkan kita dan beralih menuju anak Seijoh itu?! Tidak! Kita harus menghentikannya!" katanya sembari menarik lengan Ushijima yang dengan santainya melipat sebuah handuk. "Wakatoshi-kun! Kita harus hentikan (Name)-chan sebelum dia beralih!" katanya


Ushijima hanya mengangguk, wajahnya masih datar seperti biasanya—tetapi matanya menyiratkan keseriusan yang biasa ia tunjukkan saat bermain. "Kita harus menghentikannya pergi dari Shiratorizawa," katanya—mengabaikan tawa Yamagata tidak jauh darinya atau racauan Tendou yang menjadi-jadi.


Leon hanya bisa menghela nafas pasrah, dia baru saja akan menghentikan mereka ketika Semi angkat bicara. "Dia hanya pergi beli buku, itu saja," kata pinch server itu sembari menatapi ponselnya. "Dia menunjukkan screensot pesan dari pemilik toko juga kalau kalian tidak percaya. Katanya, adiknya juga menitipkan barang-barang miliknya kepada pemilik toko dan dia harus pergi mengambilnya," dia membalik layar ponselnya kepada yang lain agar mereka bisa membacanya.


Semuanya hanya terdiam ketika membaca pesan tersebut. Mereka membaca pesan itu berulang kali sampai benar-benar yakin, sebelum Tendou menghela nafas lega—beberapa juga terlihat lebih lega setelah membaca pesan itu. Semi hanya bisa menggeleng pelan melihat kekhawatiran teman-temannya.


"Memangnya dia anakmu, sampai-sampai kalian khawatir seperti itu," gumam pinch server itu perlahan—meskipun Semi sendiri juga khawatir pada (Name).


⌠ ᴸᵎᵇᵉʳᵒˢᵎˢ⌡


Gadis berambut (h/c) tersebut hanya bisa menghela nafas pasrah. Ia melangkah menyusuri jalan dengan sedikit terburu-buru, sementara matanya terfokus pada layar ponselnya. Dalam benaknya tengiang buku baru yang baru tiba siang ini, juga dengan keperluannya yang tiba-tiba saja dititipkan kepada pemilik toko buku favorit (Name).


Bukan berarti keberatan dengan menitipkan barang di tempat itu, tetapi sampai sekarang (Name) merasa kurang yakin kalau dia akan aman semisalnya dia datang ke toko buku. Kabur bukanlah alasan yang benar, terutama setelah kau mendapatkan pernyataan cinta di tempat itu, tetapi entah kenapa dalam benak (Name) hanya terpikirkan rencana-rencana untuk kabur dan menghindari toko buku itu, meskipun gadis itu sendiri tahu dia tidak akan bisa melakukannya.


Ketika toko buku langganannya sudah dapat ia lihat dari kejauhan, (Name) sempat ragu-ragu untuk memasuki toko itu. Dia tetap berdiri di depan toko buku itu untuk beberapa saat, sebelum melangkah masuk ketika salah satu pelanggan keluar sembari menatapi gadis itu dengan penuh rasa heran. Saat aroma buku dan kayu yang familiar memasuki indera penciuman (Name), barulah dia menjadi tenang dan melupakan kegelisahannya.


"(Name)~" gadis itu berbalik menatapi penjaga kasir toko tersebut, putra dari pemilik toko buku langganan (Name). Pria tersebut melambai sembari menunjukkan tas di atas meja kasir, sembari menggesturkan (Name) untuk mendekat.


Tanpa pikir panjang (Name) berjalan menuju kasir, senyuman tipis terukir pada bibirnya. "Takahashi-san, terima kasih," katanya sembari mengambil tas tersebut dan memeriksa isinya. Ia terdiam sesaat ketika menyadari bahwa tas tersebut berisi perlengkapan mandi dan camilan kesukaan (Name). "Oh, jadi ini," gumamnya pelan.


"Adikmu berlari jauh-jauh untuk mengantarkan ini. Memang jarak sekolah anak itu ke toko buku ini lebih dekat dibandingkan sekolahmu, tetapi lain kali mampirlah ke tempatnya," tukas Takahashi sembari bersandar lagi pada tempat duduknya, tangannya mengambil majalah yang tergeletak di meja kasir. "Oh, buku barunya berada di rak biasanya. Selamat berbelanja~"


(Name) terdiam sesaat. Ia mengangguk pelan sebelum berbalik dari meja kasir menuju rak yang dimaksud oleh Takahashi—rak untuk buku-buku keluaran baru. Senyuman mengembang di bibir (Name) ketika dia melihat buku yang ia cari di rak tersebut. Tanpa menunggu apa pun dia menggapai buku itu—sebelum tangannya berakhir bersentuhan dengan tangan lain.


Keduanya tersentak kaget, sama-sama melangkah mundur dan menatapi satu sama lain. Mereka hanya saling menatapi satu sama lain untuk beberapa saat, pikiran mereka juga sama-sama mengolah apa yang baru saja terjadi. Manik (e/c) bertemu dengan sepasang manik hijau zaitun, terbelalak kaget karena sebuah sentuhan kecil.


Ketika (Name) sudah yakin bahwa dia tidak sekadar membayangkan saja, dia merasakan wajahnya menjadi lebih hangat. "I-Iwaizumi-san," nama tersebut keluar dengan hati-hati, seakan-akan dia akan terkena suatu kutukan kalau dia salah sedikit saja. Kecanggungan tiba begitu saja, membuat (Name) tidak bisa melakukan apa pun selain membeku di tempat dan menatapi pemuda di hadapannya dengan terkejut.


Iwaizumi sendiri juga terkejut, entah bagaimana ceritanya dia bisa menahan dirinya agar tidak segera berbalik dan pergi dari tempat itu pada saat itu juga. Perlahan dia menggaruk rambutnya dengan canggung, sebelum mengalihkan pandangannya dari (Name). "Halo," sapanya. "Jadi... kau datang untuk membeli buku baru itu?" tanyanya perlahan. Setelah pertanyaan itu keluar, Iwaizumi hanya bisa menggigit lidahnya—sudah jelas (Name) berniat membeli buku baru di toko itu.


(Name) tertawa canggung dan mengangguk. "Iya, begitulah," balasnya. Sesaat ia memperhatikan Iwaizumi lagi, sebelum menyadari pakaiannya. "Baru selesai latihan?" tebak gadis itu, sekaligus berusaha untuk tidak membuat udara di sekitar mereka tetap canggung.


"Oh, iya," jawab Iwaizumi sembari menatapi jaket sekolah yang ia pakai. "Latihan tadi lebih melelahkan dari biasanya, aku ingin segera pulang tapi temanku menarikku kemari," katanya geram sembari menggaruk kepalanya lagi. "Dan kau... bagaimana dengan timmu?" tanyanya.


'Oh iya, dia masih belum tahu di mana aku bersekolah,' batin (Name) setidaknya untuk mengingatkan dirinya saja. "Mereka baik-baik saja. Aku yakin meninggalkan mereka saat pendinginan tidak akan mengakibatkan kecelakaan yang mengerikan," katanya pelan. "Walaupun memang ada yang perlu di khawatirkan, mereka pastinya bisa menghindari masalah," (Name) terdiam, dalam benaknya terlintas wajah seorang senior berambut merah dengan senyuman khasnya.


"Oh," Iwaizumi terdiam lagi. Dia mengalihkan perhatiannya dari sang manajer, namun dari ujung matanya tetap memperhatikan gadis itu. Sesaat ia terdiam ketika melihat (Name) mengambil buku yang mempertemukan mereka, sebelum ikut mengambil buku yang sama. "Jadi kau memang suka genre buku seperti ini?" tanyanya sembari melihat sampul buku itu.


(Name) terdiam sesaat, sebelum melirik Iwaizumi keheranan. "Bagaimana denganmu? Kau sering sekali membeli buku resep masakan dan tips menjahit, padahal kau seorang atlit voli," katanya, terlintas di benaknya majalah-majalah berisi resep makanan yang pernah Iwaizumi beli sebelumnya.


Geraman pelan keluar dari pemuda tersebut. "Itu untuk ibuku," katanya, rona merah menghiasi pipinya. Saat (Name) menatapinya dengan intens, ia hanya bisa menghela nafas pasrah. "Aku serius, itu untuk ibuku."


"Kalau begitu aku akan mempercayainya," kata gadis itu singkat. Dia terdiam lagi setelah itu, mengalihkan perhatiannya pada buku di tangannya.


Lagi-lagi mereka berdiri dengan canggung. Salah satu dari mereka ingin lanjut berbicara dengan yang lain, sedangkan satunya ingin segera berjalan pergi agar bisa lepas dari kecanggungan itu—tetapi tahu betul kalau itu tidak sopan. Keduanya hanya berakhir berdiri di tempat, mengalihkan perhatian dari satu sama lain seakan-akan mereka tidak pernah bertemu.


Setelah beberapa menit berlalu, Iwaizumi menyerah dan menengok menuju (Name). Dia terdiam sesaat, memperhatikan gadis itu dalam diam—dimulai dari rambut (h/l) (h/c)nya yang sedikit berantakan, wajahnya yang teralihkan dari Iwaizumi, hingga pakaian yang dikenakan gadis itu. Ketika manik (e/c) yang sudah beberapa hari ini ia pikirkan terus menatapinya balik, Iwaizumi hanya bisa mengiggit lidahnya sendiri.


(Name) menatapinya keheranan, sesaat memiringkan kepalanya—bukannya bertanya kepada pemuda yang setahun lebih tua darinya itu. Iwaizumi terbatuk, menutupi mulutnya juga untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Iwaizumi-san?" panggil gadis itu pelan.


Pemuda itu mengalihkan perhatiannya, rasanya untuk sesaat dia berharap sahabatnya berada di sebelahnya untuk membantunya menghilangkan aura kecanggungan di sekitar. Perlahan dia menarik nafas dalam-dalam, sebelum kembali menatapi (Name) lagi. "(Surname), aku... tentang kata-kataku di hari Minggu yang lalu," (Name) membeku, ingatannya tentang pernyataan cinta dari Iwaizumi menjadi lebih jelas dari sebelumnya. "Aku..."


"Iwa-chan, aku tidak menemukan buku yang kucari! Ayo pulang saja—!"


Iwaizumi bisa merasakan salah satu urat di kepalanya terputus ketika mendengar rengekan yang amat sangat familiar tidak jauh di belakangnya. 'Kutarik kata-kataku, aku tidak membutuhkannya,' batinnya kesal sembari menengok menuju belakangnya. Benar saja, sahabatnya sedang berjalan mendekatinya dengan wajah cemberut manja khasnya.


(Name), di sisi lain, hanya bisa terdiam dan menatapi kedatangan orang ketiga tersebut dengan sedikit terkejut. Bukan berarti (Name) tidak mengenalnya dan terpesona dengan sang setter menawan—tidak perlu menjadi bagian dari tim voli untuk mengenalnya, hanya dengan bersekolah di Shiratorizawa kau sudah bisa mengenalnya dengan mudah, lagipula dia juga cukup terkenal di Shiratorizawa. Namun, tetap saja (Name) tidak percaya dia bisa bertemu dengannya di luar lapangan.


Oikawa Tooru.


"Hm?" Oikawa terdiam sesaat. Dia berhenti tepat di sebelah sahabatnya, sebelum senyuman khasnya terukir ketika matanya bertemu dengan mata (Name). "Ooh? Siapa gadis manis ini? Hei nona, temanku tidak menggangguku, 'kan? Maafkan dia ya~" katanya sembari perlahan merangkul Iwaizumi.


"Aku tidak sepertimu yang mengganggu orang setiap saat, Kusokawa," desis Iwaizumi kesal sembari melempar lengan Oikawa dari lehernya. "Dan jangan sentuh aku, ayo pulang kalau kau tidak menemukan buku yang kau cari."


"Eeeh, tapi aku baru saja bertemu dengan seorang gadis manis~ biarkan aku menikmati waktuku juga," cibir Oikawa. "Hei, manis~ apakah kau keberatan kalau aku meminta namamu~?" tanyanya sembari mengedipkan matanya, dengan harapan gadis itu mau menjawabnya.


(Name) hanya diam saja, bibirnya terkatup rapat, keningnya mengerut ketika mendengar pertanyaan itu. Perlahan ia mengalihkan perhatiannya menuju Iwaizumi, menyadari pemuda itu terlihat akan membantai Oikawa di tempat. Tawa pelan keluar dari sela bibirnya, membuat Oikawa menjadi kebingungan.


"Ah, sekarang aku mengerti kenapa kau selalu cemberut," katanya sembari menatapi Iwaizumi, dia tidak terkejut ketika melihat pemuda itu mengerutkan keningnya dengan kesal. "Aku mengerti perasaanmu, sepertinya kita berada di situasi yang sama, Iwaizumi-san."


Iwaizumi mendengus kesal dan mengalihkan perhatiannya, sementara Oikawa menatapi keduanya dengan keheranan. Ia terus menerus mengalihkan perhatiannya dari Iwaizumi dan (Name), setidaknya berharap bisa mendapatkan informasi hanya dengan melihat saja. Untuk beberapa saat dia hanya berdiri di sana, kebingungan, sebelum tersenyum lebar dan menatapi (Name) lagi.


"Oh, jadi kau gadis yang disukai oleh Iwa-chan ya?" tebaknya. Senyumannya melebar ketika ia melihat (Name) dan Iwaizumi memerah. "Bingo! Tidak kusangka Iwa-chan tertarik dengan seseorang semanismu. Tapi sepertinya aku mengerti kenapa dia menyukaimu~" ia bersiul pendek sembari memperhatikan tubuh (Name) dari atas sampai ujung kaki.


"B-Bodoh, jangan seenaknya berasumsi begitu!" seru Iwaizumi sembari memukul kepala temannya. "(Surname), maafkan aku—"


"Ho? Jadi namamu (Surname)? Manisnya~" (Name) tersentak kaget ketika menyadari Oikawa segera kembali semula setelah dipukul—'Mungkin karena dia terbiasa,' batinnya. "Hei, (Surname)-chan, di mana kau bersekolah? Sudah berapa lama kau mengenal Iwa-chan? Ah! Maaf kalau misalkan dia pernah menakutimu ya~"


Oikawa mendekati (Name) langkah demi langkah, membuat gadis itu mundur secara refleks. Namun, kaki panjang Oikawa membuat setter itu berhasil memojokkan (Name) di rak buku terdekat—salah satu tangannya ia pakai sebagai tumpuan agar bisa bersandar mendekati wajah gadis itu. (Name) menahan nafasnya, sesaat berpikir untuk mendorong Oikawa menjauh atau setidaknya menendangnya, namun dia tidak berani mengambil resiko untuk melukai orang lain.



Iwaizumi di sisi lain berusaha untuk menarik sahabatnya pergi—terutama karena keduanya mulai dilirik oleh beberapa pengunjung lain. Pemuda berambut gelap itu ingat betul kalau gadis berambut (h/c) itu benci menjadi pusat perhatian. Ia melangkah mendekat. "Oi, Kuso Oikawa, hentikanlah!" katanya sembari menggapai kerah jaket sahabatnya. "Jangan ganggu—"


"Iwa-chan itu orang yang baik," Iwaizumi dan (Name) terdiam di tempat. Keduanya menatapi pemuda berambut cokelat itu dengan terkejut sekaligus keheranan, sebelum dia melanjutkan. "Dia memang terkadang kasar, tetapi sebenarnya dia baik—sangat baik. Dia pengertian, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya. Jadi kalau ada yang membuatmu ragu untuk menyukainya, kurasa itu aneh," dia perlahan menarik tangannya yang ia pakai sebagai tumpuan untuk memojokkan (Name) tadi.


Sesaat sekitar mereka menjadi hening. Iwaizumi menurunkan tangannya yang tadinya akan ia gunakan untuk menarik rekannya pergi, sementara (Name) hanya terdiam dan berusaha membaca mimik wajah Oikawa. Pemuda itu tersenyum lembut, sebuah senyuman dengan makna dalam namun tidak dapat (Name) tebak. Mereka hanya diam untuk beberapa saat lagi, sebelum (Name) menarik nafas dalam-dalam.


"Maafkan aku, tetapi aku tidak tertarik."


Kedua siswa dari Aoba Johsai itu terkejut, menatapi (Name) dengan kebingungan. Sesaat (Name) menatapi Iwaizumi, sebelum dia mengalihkan perhatiannya. "Aku tidak tertarik, untuk saat ini," gumamnya. "Lagipula, kami tidak terlalu dekat—dalam satu tahun kita saling mengenal bukan berarti kami sudah tahu segalanya tentang satu sama lain. Karena itu, aku tidak tertarik untuk hubungan seperti itu."


Oikawa mengerutkan keningnya. Tangannya ia kepalkan, sebelum ia melipat lengannya di depan dadanya. "Hah? Alasan macam apa itu?" tanyanya kesal, jelas-jelas tidak terima dengan alasan yang dia dengar. "Itu bukan berarti kau perlu menolaknya seperti itu, kau tahu? Setidaknya pikirkan lagi perasaan orang lain dan—"


"Seperti kataku, kami tidak terlalu dekat," (Name) segera memotong ucapan Oikawa dan menatapi pemuda itu dengan setenang mungkin. "Aku tidak ingin nantinya akan ada kesalahpahaman dan hubungan yang kami miliki hancur. Iwaizumi-san adalah salah satu teman yang kuanggap penting—jujur... aku senang berbicara dan menghabiskan waktu bersamanya. Karena itu... aku lebih ingin semuanya pelan-pelan saja," dia menambahkan.


Oikawa terdiam, tanpa sadar mulutnya menganga ketika mendengarnya. Sedangkan Iwaizumi di belakangnya hanya bisa menatapi (Name) dengan matanya terbuka lebar, semburat tipis berwarna merah perlahan menghiasi pipinya, sebelum ia segera mengalihkan perhatiannya.


(Name) hanya diam di tempat. Ia memperhatikan Oikawa dan Iwaizumi untuk beberapa saat, sebelum segera menundukkan kepalanya. "Maaf," katanya pelan, sebelum dia segera berjalan pergi menuju meja kasir secepat mungkin. Sebelum salah satu dari siswa Aoba Johsai itu bisa memanggilnya, (Name) sudah berlari keluar dari toko buku.


⌠ ᴸᵎᵇᵉʳᵒˢᵎˢ⌡


"Dia baru saja menolakku..."


Oikawa mengalihkan perhatiannya dari jalan di depannya. Ia menatapi sahabat masa kecilnya dengan sedikit keheranan, sembari menghentikan langkahnya dan menatapi Iwaizumi. Perlahan Iwaizumi ikut berhenti melangkah, sebelum menatapi Oikawa yang menunggunya.


"Tetapi, dia jelas-jelas jauh lebih baik darimu," katanya sembari menatapi sinis temannya. Oikawa hanya bisa memekik kaget. "Setidaknya dia jujur dan tidak ingin terburu-buru dalam memilih."


Oikawa hanya bisa merengek kesal. "I-Iwa-chan! Kenapa kau kejam sekali padaku!" rengeknya. "Lagipula aku tidak seburuk itu, bukan? Aku juga bisa jujur!" katanya, berusaha menyanggah pernyataan dari teman masa kecilnya itu. "Lagipula, aku kaget kau bisa menerima penolakan itu dengan sangat tenang. Hm, Oikawa-san yang baik ini merasa sedih tidak bisa membantu temannya."


"Berisik," kata Iwaizumi geram sembari menunjukkan kepalan tangannya, membuat Oikawa melangkah menjauhi pemuda itu. Iwaizumi menghela nafas. "Tidak ada gunanya kalau hanya menangisi hal seperti ini bukan? Lagipula aku juga sadar kalau aku memang sedikit terburu-buru. Bagaimana pun juga, aku menghargai pilihan (Surname)," dia menambahkan sembari lanjut berjalan.


Untuk beberapa saat Oikawa hanya menatapi Iwaizumi dengan terkejut. Ia perlahan berjalan mengejar temannya dan memperhatikan Iwaizumi. "Iwa-chan," panggilnya perlahan. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanyanya, kedua manik cokelatnya bergemilang dengan rasa ingin tahu.


Iwaizumi hanya melirik Oikawa keheranan, sebelum mengangkat bahunya. "Entahlah," katanya. "Tetapi, aku tidak akan menyerah. Tetap menjadi temannya lebih baik daripada memutuskan hubungan yang kubangun bersamanya."


Kalimat tersebut menarik perhatian Oikawa. Sesaat Oikawa memelankan langkahnya, matanya terfokus pada kedua kakinya sendiri. Pada awalnya Iwaizumi membiarkannya saja, sebelum dia berbalik menatapi temannya yang mulai tertinggal jauh. Pemuda berambut gelap itu baru saja akan memanggil temannya, ketika tiba-tiba Oikawa sudah berjalan menyusulnya sendiri.


"Hey, Iwa-chan," panggilnya lagi, Iwaizumi terdiam ketika menyadari ada berubahan dari nada bicaranya. "(Surname)-chan ini... dia menarik sekali, ya?" tanyanya perlahan. Ia menatapi sahabatnya sembari tersenyum, manik cokelat bertemu dengan manik hijau zaitun.


Sesaat Iwaizumi merasakan ada yang aneh dari mimik wajah temannya. Ia hanya diam saja, sebelum mengalihkan perhatiannya dan lanjut berjalan. "Memang," katanya jujur. "Tapi, aku serius akan menghajarmu kalau kau merencanakan yang aneh-aneh."


Oikawa hanya tertawa dan kembali terfokus pada jalanan, sementara Iwaizumi di sebelahnya hanya bisa menatapi Oikawa dengan penuh curiga. Dia merasa kurang nyaman dengan ekspresi dan kata-kata temannya tadi, dan dia benci dengan hal itu.


⌠ ᴸᵎᵇᵉʳᵒˢᵎˢ⌡  


Hoiyoy!

Oke, the end, Reader nolak Iwaizumi dan hidup bahagia— /digorok


Ga kok, ngga, canda doank xD

tapi ya kali ini Reader beneran ketemu Iwaizumi lagi dan juga Oikawa, ga cuma denger kayak sebelumnya uvu)


Tapi ya Demy ada keyakinan kalau para reader tyda mungkin menolak Iwaizumi eheh /plak

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro