Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Li(f)e-6

[Kok kontennya berdua terus? Suaminya mana, Kak Re?]

[Kalo ngontennya selalu bawa anak gini, bisa masuk eksploitasi nggak, sih?]

Aku mengembuskan napas lelah membaca komentar-komentar di video Youtube-ku. Sebenarnya memiliki haters bukanlah hal baru dalam hidupku, lebih-lebih semenjak jadi influencer terkenal. Aku pun sudah kenyang makan nyinyiran netizen. Hanya saja, belakangan ini kadarnya semakin intens sehingga mau tidak mau mentalku akhirnya terimbas juga.

"Kak Re, respons penonton akhir-akhir ini kurang bagus. Yang nonton video kita juga nggak sebanyak dulu," ungkap Rina di tengah acara meeting tim. Tanpa dia beri tahu pun, aku sudah tahu hal itu.

"Apa kita perlu bikin VLog kontroversial kayak dulu lagi, ya?" usul Aldo. Namun, aku langsung menggeleng tegas.

"Nggak! Nggak! Ide itu mungkin bisa dongkrak viewer kita secara cepat, tapi nggak bertahan lama. Justru impact-nya setelah itu malah makin banyak haters dan mungkin juga yang unsubscribs channel kita," kataku memberi pandangan.

Membuat kontroversi memang bisa bikin cepat tenar. Namun, jika terlalu banyak menciptakan sensasi, seorang influencer atau selebritis papan atas pun bisa berbalik jadi musuh masyarakat. Inilah yang kuamati dari dunia entertainment. Aldo dan rekan-rekan lain pun tampaknya setuju dengan pendapatku, melihat gerakan kepala mereka yang mengangguk-angguk.

"Kalau gitu, ada lagi yang punya ide lain, nggak?" Rina melempar pertanyaan itu dengan nada putus asa.

Semua yang ada di ruangan terdiam. Masing-masing berusaha memutar otak demi menemukan ide konten yang kreatif. Kuakui, aku sendiri pun sudah buntu. Ditambah lagi masalah dengan Mas Sandy membuat beban pikiranku semakin bertambah.

Tiba-tiba Rina yang duduk di sebelah kananku menyenggol sikuku yang terlipat di atas meja.

"Kak, Kak, kalau ngajakin Kak Sandy ikut VLog kita bisa nggak, ya? Kayaknya itu yang lagi ditunggu orang-orang," katanya dengan suara setengah berbisik.

Aku langsung menggeleng. "Nggak bisa, Rin. Susah. Mas Sandy sekarang sibuk orangnya," kilahku. Padahal jelas itu hanya alasan. Setahuku Mas Sandy belum menandatangani proyek kerja sama apa pun lagi. Namun, meski begitu dia tetap keluar rumah setiap hari.

Jangankan mengajak ikut tampil di VLog-ku. Sudah tiga harian ini kami tidak saling berbicara. Lebih tepatnya, sejak pertengkaran di meja makan yang membahas soal fee syutingnya waktu itu. Aku merasa tidak salah—tentu saja. Maka dari itu aku ogah meminta maaf duluan.

Sayang, kurasa Mas Sandy pun memiliki pemikiran yang sama denganku. Atau justru sebenarnya dia tidak peduli, mau aku marah, ngambek, atau apa pun?!

"Duuuh ... gimana ini, ya? Buntu!" Bunga, salah satu anggota timku yang lain yang bertugas mengedit video tiba-tiba mengeluarkan keluhannya. Total enam orang di ruangan itu masih tetap membisu sambil sesekali saling melempar pandangan.

"Coba cari-cari ide di internet dulu, deh! Bentar, ya, aku mau ambil laptop dulu di kamar," pamitku seraya meninggalkan ruang meeting lebih dahulu. Tentunya pertemuan kali ini pun dilakukan di rumahku, sehingga aku bebas pergi-pergi sesuka hati.

Kuayunkan langkah menyusuri koridor yang lengang menuju kamar. Rumah besar ini terasa sepi, apalagi jika rekan-rekan timku sudah pulang. Hanya ada aku dan Naomi, serta Mbak Mala dan dua ART lain. Sementara Mas Sandy yang semakin jarang pulang membuatnya terasa makin hampa.

"Unda!"

Di belokan dekat kamar, gadis kecilku berlari menghampiri sambil membawa boneka beruang merah muda kesayangannya. Aku segera menyambut Naomi dan membawanya dalam pelukan.

"Nda, Ayah pelgi lagi yah?" tanyanya dengan nada sedih.

"Ayah kok seling pelgi-pelgi telus, sih, nggak ngajakin Nao? Nao kan pengen sama Ayah," rengeknya lagi.

"Nao kangen sama Ayah, Unda ..."

Hatiku tertohok mendengar ucapan Naomi. Anak sekecil itu bisa sampai merasakan rindu pada ayahnya, padahal masih tinggal serumah. Memang sejak Mas Sandy terjun ke dunia entertain, dia jadi jauh lebih sibuk dan pekerjaannya juga tak kenal waktu. Aku jadi merasa sedikit bersalah, sebab aku yang memaksanya agar meniti karier seperti sekarang.

"Maaf ya, Nao Sayang ... Ayah masih banyak kerjaan. Insyaallah nanti kalau Ayah pulang, Bunda bilangin ke Ayah supaya lain kali ajak Nao, ya?" bujukku sambil menyelipkan anak rambut Naomi ke belakang telinga. Dia langsung melompat dengan wajah cerah.

"Yeay! Asyik! Nao mau pelgi sama Ayah!" pekiknya kegirangan.

Aku berusaha menyembunyikan rasa miris dalam senyumku. Padahal, kata-kata tadi hanya asal terucap demi menghibur hatinya. Tidak kusangka, Naomi sesenang itu mengharapkan bisa menghabiskan waktu dengan sang ayah.

"Insyaallah ya, Sayang. Sekarang, Nao main sama Mbak Mala dulu, gih! Bunda masih mau kerja," perintahku sambil mengusap kepalanya penuh kasih. Naomi mengangguk, lantas berbalik meninggalkanku dengan riang.

Perasaanku campur-aduk saat menatap punggung putriku yang semakin menjauh. Salah satu alasan terbesarku berusaha menyembunyikan semua kesedihan dan bertahan dengan Mas Sandy adalah Naomi. Aku tidak ingin dia merasakan pahitnya tumbuh besar di keluarga broken home. Sebagai anak korban perceraian orang tuanya, aku tahu sekali hal itu. Oleh karenanya, aku berusaha keras agar anakku tidak sampai kehilangan figur dan kasih sayang ayahnya sebagaimana aku dulu.

Tidak terasa langkahku sudah sampai di depan kamar. Kudorong pintu hingga terayun membuka. Ruangan yang kupakai bersama Mas Sandy untuk memadu kasih itu terasa dingin. Entah kapan sejak terakhir kali dia menyentuhku. Aku bahkan tidak ingat.

Cepat-cepat aku mengambil laptop yang kusimpan di lemari dan segera keluar dari tempat itu. Berlama-lama di dalam membuat hatiku terasa sesak, apalagi potret pernikahanku dan Mas Sandy dalam pigura besar yang tergantung pada dinding seolah menertawakan kehidupan rumah tanggaku kini yang kacau.

"Eh, Kak, sudah balik." Rina tampak sedikit terkejut begitu aku kembali duduk di sebelahnya. Sepertinya saat aku tinggal tadi, anggota timku malah asyik ngobrol dan lupa mencari ide untuk next project kami.

"Iya. Gimana? Sudah dapat ide?" tanyaku mencoba memancing. Sontak semua langsung memasang tampang bingung dan garuk-garuk kepala.

Aku mendengkus pelan melihat kelakuan mereka. Seharusnya aku mempekerjakan mereka di sini bukan cuma untuk membantu proses pembuatan VLog saja, tetapi juga ikut menyumbangkan ide-ide kreatif yang muncul dari kepala mereka.

"Eh, Kak, lupa ngabarin. Baru aja ada tawaran endorse dari produk make up. Buat proposal kerja samanya udah aku kirim ke email Mbak Ressa," kata Rina tiba-tiba.

Aku segera menggerakkan kursor, berniat membuka email-ku untuk mengecek proposal itu. Namun, mataku justru salah fokus ke email Mas Sandy yang masih tertaut di sana. Entah apa yang mendorongku, alih-alih membuka email sendiri, aku justru membuka milik suamiku.

Mataku bergerak secepat layar yang bergerak turun saat aku menjelajahi daftar pesan di kotak masuk. Sekilas hanya ada pesan pemberitahuan iklan dari aplikasi atau situs yang diakses Mas Sandy. Tidak ada yang aneh, sampai aku menemukan satu email berbeda.

Seketika perutku terasa mulas bersamaan dengan munculnya debaran jantung yang tak biasa.

(BERSAMBUNG)

Ingin baca lebih cepat? Nikmati cerita ini di aplikasi KaryaKarsa!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro