Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Twenty Third Thread - "Your Voice is Something Hypnotizing"

Your voice is something hypnotizing, it can make me forget everything.

***

Kami baru saja selesai makan siang. Tidak ada yang istimewa dari makan siang kami, hanya nasi kotak yang dibawa oleh pihak sekolah. Sudah dingin, tetapi terasa sangat memuaskan karena kami memakannya di dekat air terjun.

Perjalanan dari tempat bus dan tenda menuju tempat ini hanya memakan waktu lima belas menit. Sepanjang jalan kami melewati bebatuan dan hutan-hutan menuju ke dataran rendah.

Katanya ada beberapa orang yang berjaga di bus dan tenda, tetapi aku tetap tidak berani meninggalkan tasku di sana. Aku lebih memilih membawanya walaupun nyaris tidak ada yang membawanya di sini.

Ada banyak pengunjung yang berdiri di dalam air. Dari sana, aku tahu bahwa sungai itu cukup dangkal, hanya selutut. Air terjunnya tidak sederas yang pernah kulihat di televisi, tetapi aku sangat antusias, apalagi ketika aku merasakan titik-titik air yang mengenaiku ketika air jauh, padahal aku tidak terlalu dekat dengan air.

Yang kulakukan hanya berdiri memperhatikan teman sekolahku yang sudah melepaskan sepatu dan menggulungkan celana olahraga agar tidak basah.

"Wiiih, dingin sekali!" Suara Rania memekik keras, sampai-sampai aku bisa menyadari keberadaannya, padahal aku tidak menemukannya sedaritadi.

"Tuh, Rania saja sudah masuk, masak kamu mau nonton dari sana," ucap Jingga ke Fhea sambil memasukkan kaos kakinya dalam sepatu, sepertinya bersiap-siap turun ke sungai.

"Tunggu! Tunggu! Piranha tinggal di sungai! Ini sungai, kan?!" tanya Fhea panik.

"Ini di Indonesia, santai saja, kali," balas Jingga dengan cueknya.

"Tapi! Tapi--"

Rania langsung menyadari keberadaanku, "Hei, Alenna! Yuk, sini, ikutan!"

Aku memperhatikan sekelilingku. Sudah banyak yang memutuskan untuk masuk ke air. Bahkan sudah ada anak-anak cowok di kelasku yang suka membuka bajunya dan berenang di sana dengan tidak tahu malunya.

Aku tidak melihat apapun selain air terjun. Aku tidak melihat apapun selain air terjun.

"Aku di sini saja," balasku pelan, sambil merangkul tasku.

"Tuh! Alenna juga pasti takut sama ikan piranha!" pekik Fhea dengan heboh.

Sebenarnya bukan begitu, aku tahu kalau tidak ada ikan piranha di sini, tapi kubiarkan saja Fhea membelaku secara tidak langsung.

"Kamu kebanyakan nonton film," balas Jingga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Guru-guru sudah memberi tahu area mana yang tidak boleh didekati, tetapi aku melihat ada beberapa orang berpakaian olahraga sekolahku yang sudah mendekati area yang mulai dalam. Sepertinya aku harus melapor ke guru.

"Sebentar, aku mau--"

Rania langsung memotong perkataanku dengan seruan keras, "Woi! Di sana sudah dalam! Nanti kalau kalian hanyut, gimana?!"

Alhasil, perkataan Rania sukses membuat perhatian tertuju ke Rania. Perhatian guru-guru juga tertuju ke murid-murid itu, membuat mereka akhirnya memutar balik.

"Wah, Rania galak, ya," ejek Jingga.

"Aku nggak mau repot. Nanti kalau mereka jatuh, terus hanyut, terus hilang, siapa yang susah? Kita juga!" balas Rania blak-blakan.

Mendadak, aku teringat dengan sesuatu yang familier. Sepertinya ini pernah terjadi dalam situasi yang berbeda.

Ah, ya, Arlan Pratama juga pernah melakukannya.

Mereka berdua cukup mirip. Berani mengutarakan apa yang ingin mereka sampaikan dan tidak takut dengan pandangan orang-orang.

"Ayo, sini, turun. Airnya dingin, lho!" bujuk Rania lagi.

Aku langsung melepaskan sepatuku, lalu kaos kakiku. Kerikil yang kupijak tidak terlalu menyakitkan. Udara-udara yang lewat menyejukkan kakiku.

"Ikan piranha biasanya di sungai Amazon dan sungai-sungai di Amerika. Mereka tidak akan datang ke sini," ucapku pada Fhea.

Baru mengatakan begitu, Fhea akhirnya berani melepaskan sepatunya dan ikut bergabung turun. Rania dan jingga senang sekali saat melihat Fhea memberanikan diri bergabung.

"Ah, tapi ikan piranha memang senang di tempat dangkal," tambahku, membuat Fhea yang sudah menginjakkan kaki, kembali meloncat ke atas dengan ketakutan.

Rania dan Jingga yang mendengar itu, juga langsung naik dengan buru-buru. Aku benar-benar merasa itu hal yang lucu, jadilah aku menahan tawa dengan menekan perutku. Namun itu berakhir sia-sia, aku tetap tertawa.

"I-ikan piranha tidak makan manusia hidup-hidup, kok. Mereka biasa makan bangkainya." Aku menahan tawa lagi, "Maaf."

"Iih, Alenna sekarang iseng, ya!" seru Rania.

"Ya, diajarin siapa kalau bukan kamu?" tuduh Jingga dengan kening berkerut.

Fhea memasukkan kakinya ke air dengan muka datar, "Hidupku penuh kebohongan."

"Hanya tontonanmu," tambah Rania sambil tertawa. "Berhenti ngakak, sini turun."

Aku berupaya keras untuk tidak tertawa lagi dan turun ke air. Rania tidak berbohong, airnya sangat dingin. Rasanya aku ingin berjalan ke arah air terjun dan membiarkan air itu menitik di kepalaku, tapi aku tidak berani. Tidak ada perempuan yang berenang di sini, semuanya hanya memasukkan kakinya, seperti yang kami lakukan.

Saat sedang mengobrol tentang kejadian saat memungut sampah plastik tadi, tiba-tiba Jingga mendekat dan berbisik pelan ke arah kami.

"Arlan memang lihat ke sini atau perasaanku saja?" tanya Jingga.

Aku melirik ke arah dimana Jingga memperhatikan. Ya, Arlan Pratama memang melihat ke arah kami. Dia juga sedang melakukan hal yang sama seperti kami, memasukkan kaki ke dalam air.

"Kayaknya dia bakal basah kuyup nanti. Tadi di bus aku nggak sengaja dengar rencana teman sekelasnya, katanya mau nyemplungin Arlan bareng-bareng karena dia lagi ulang tahun," sambung Fhea.

Aku mengerjapkan mata, "Kenapa ... Malah dijahatin?" tanyaku bingung.

"Itu bukan dijahatin, kok. Memang udah biasa, kalau ada yang ulang tahun," jawab Jingga.

Aku hanya diam, sebelum akhirnya melihat ke arah Arlan Pratama lagi. Putaran memori membuatku teringat lagi bagaimana kami berdua sakit hanya karena terkena sedikit air hujan. Bukannya meremehkan imun dan pertahanan tubuh Arlan Pratama, tetapi memang lebih baik mencegah daripada mengobati, kan?

"Sebentar."

Aku hendak berjalan ke arah Arlan Pratama, tapi Rania lebih dulu menahanku.

"Mau ngapain?" tanya Rania.

"Mau ngasih tahu Arlan, biar dia waspada," jawabku.

"Nggak usah dikasih tahu, kali. Itu kan rahasia," balas Jingga dengan santainya.

Aku ingin mengatakan soal kejadian Arlan Pratama yang sakit, tetapi aku tahu itu akan membuat masalah baru.

"Sebentar saja," ucapku, meyakinkan mereka.

Mereka bertiga akhirnya melepaskanku dan membiarkanku mendatangi Arlan Pratama. Jarak kami tidak terlalu jauh jika aku berjalan lewat air, jadi aku berjalan agak pelan agar tidak terpeleset.

"Ada apa?" tanya Arlan Pratama saat menyadari bahwa aku memang melangkah ke arahnya.

"Kan kamu yang lihat ke sa--" Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Kudengar bentar lagi teman-temanmu bakal nyempungin kamu ke air. Jadi, hati-hati, ya!"

Arlan Pratama menutupi mulutnya dengan tangannya, tetapi masih terlihat jelas bahwa dia sedang tersenyum, "Kenapa khawatir?"

"Nanti kamu bisa sa--tunggu, tunggu! Memangnya kamu nggak apa-apa basah kuyup?" tanyaku.

"Nggak masalah. Aku bawa baju ganti, kok," balasnya enteng.

Sebenarnya aku juga bawa, tapi aku tetap tidak mau membasahi diri. Aku lebih memilih mandi di WC umum dekat kami membangun tenda. Di sana lebih baik.

Baru saja aku hendak membalas, seorang laki-laki menghampiri kami.

"Arlan, naik dulu, yuk. Ada yang mau ngucapin selamat lagi, tuh."

Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana Arlan Pratama melirik ke arahku untuk melihat reaksiku. Sepertinya dia memang ingin aku tahu kalau dia sedang berulang tahun. Tentu saja aku tidak bisa bilang kepadanya kalau aku mengetahuinya. Jadi, aku diam saja.

"Oke. Sudah dulu ya, Len, nanti kita ngobrol lagi."

Pada detik itu, aku menyadari bahwa kelingking kanan Arlan Pratama diikat oleh benang hitam. Kutatap lagi benangku dan menemukan benang merah di jari kelingkingku.

Dan itu membuatku melotot.

Arlan Pratama dalam bahaya.

"Tunggu! Jangan ada yang bergerak!"

Seruanku membuat Arlan Pratama dan laki-laki itu benar-benar berhenti bergerak selama beberapa saat, lalu mereka berbalik menatapku heran.

"Kenapa?" tanya laki-laki itu kepadaku.

"Uh ... Aku ingin memberitahu sesuatu kepadamu," ucapku pada laki-laki yang tidak kukenal itu.

Aku bisa melihat Arlan Pratama mengerutkan kening, tetapi saat aku menatap ke arahnya, dia langsung menaikkan sebelah alisnya ke arahku.

"Eh? Mau memberitahu apa?" tanya laki-laki itu sambil mengelus tengkuknya.

"Uhm, kamu masih ingat pelajaran fisika tentang energi?" tanyaku.

Anak laki-laki itu tidak menjawab. Dia malah mengerutkan kening dan menatap ke arah Arlan Pratama.

"Kenapa? Itu pelajaran kelas delapan, lho," balas Arlan Pratama.

Aku masih fokus melihat kelingkingnya. Benangnya masih hitam. Itu artinya aku harus menghentikan ini.

"Intinya, di sana poin utamanya adalah soal kecepatan, tinggi dan massa benda. Jadi, coba bayangkan kalau berat badan Arlan--"

"Beratku 46kg," potong Arlan Pratama.

"Dan kalian melemparnya ke air dengan gerakan mengayun dengan kecepatan estimasi 3 meter per second di air dengan ketinggian yang dangkal dan penuh bebatuan besar. Coba bayangkan seberapa bahayanya itu."

Anak laki-laki itu mengerjapkan matanya bingung, "Uhm ... Kalau begitu aku kasih tahu ke mereka saja kalau itu berbahaya."

Saat anak laki-laki itu naik, Arlan Pratama benar-benar tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. "Hebat, dia sampai terdiam."

Aku ingin marah karena Arlan Pratama malah menertawakanku, tetapi aku juga merasa lega karena kelingkingnya kini diikat oleh benang merah lagi. Kuperhatikan ada batu yang lumayan besar di dasar sungai, membuatku menghela napas lega.

Kalau aku tidak menghentikannya, mungkin ...

"Untung nggak kedengaran sama Pak Naufal, kalau enggak nanti dia bakal hubungin lagi sama teori Newton dari episode satu sampai terakhir," sahut Arlan Pratama sambil menahan senyumnya.

"A-aku hanya mengantisipasi, oke? Di sini memang banyak batu-batu besar yang tajam."

"Kamu perhatian sekali, sih," ucap Arlan Pratama sambil tertawa.

"Tentu saja. Kita kan tetanggaan," balasku apa adanya. "Sudah dulu, ya, aku mau naik dulu. Kamu jangan kelamaan di air."

"Siap, Tetangga," balas Arlan Pratama yang membuatku menatapnya datar.

Aku akhirnya kembali ke Rania dan kawan-kawan. Rupanya mereka memperhatikan kami sedaritadi, tetapi sepertinya tidak bisa mendengar obrolan kami selain seruan "Tunggu"-ku.

"Kamu ngomong apaan sama Fajar sampai mukanya pucat pasi begitu?" tanya Rania.

Aku memalingkan muka, "Tidak ngomongin apa-apa, kok."

*

Senja berlalu setelah kami semua mengumpulkan kayu bakar untuk keperluan api unggun. Jadwal untuk malam ini memang untuk membuat api unggun dan bermain permainan yang masih belum diketahui oleh kami.

Kami sudah berganti pakaian dengan pakaian panjang yang lebih hangat. Acara makan-makan juga berlangsung lancar, walaupun aku tidak makan sekenyangnya untuk malam ini.

Permainan yang kami lakukan sangat sederhana. Mereka menyebutnya permainan memanggil presiden. Dan permainan ini sangat intens, menurut pendapatku.

Permainan ini mengandalkan nomor absensi paralel. Arlan Pratama adalah presiden satu dan kebetulan aku adalah presiden dua. Nomor absen paralelku memang nomor dua--sama persis dengan nomor ujian ketika pertama kali aku mendaftar di sekolah.

Permainannya cukup sederhana; jika gelarnya terpanggil, maka yang dipanggil harus segera menyebut gelar orang lain.

Kebetulan selama permainan, presiden satu terus berulang kali dipanggil oleh presiden-presiden lainnya. Butuh waktu agak lama untuk menumbangkan presiden satu, karena Arlan Pratama benar-benar ahli dalam permainan fokus semacam ini.

Rania yang duduk di sampingku terbahak, "Mereka sengaja biar Arlan kalah."

Aku menaikkan alis, "Kenapa begitu?"

"Kan dia ulang tahun hari ini."

Hal yang masih terus kupertanyakan sejak tadi; mengapa orang yang berulang tahun malah diperlakukan dengan buruk?

"Baiklah, hukumannya akan diberikan soal," kata Bu Farah, salah satu guru yang mengordinasikan permainan.

"Lah, kalau hanya soal matematika, Arlan pasti bisa jawab, dong," protes salah satu murid tidak terima. Setelah kuperhatikan, dia yang daritadi meminta agar semuanya menyebut 'presiden satu' dan sepertinya sangat puas karena presiden satu telah lengser.

"Justru karena ini Arlan, Ibu kasihnya soal yang spesial," ucap Bu Farah dengan bangga.

Mendadak semua orang yang mengelilingi api unggun menjadi sangat antusias. Aku juga mulai bertanya-tanya soal apa yang akan diberikan oleh Bu Farah.

"Arlan, siap sama soalnya?"

Arlan Pratama menjawab dengan begitu sombongnya, "Soal-nya yang siap sama saya."

Kerumunan lingkaran itu malah tertawa seolah kata-kata Arlan Pratama sangat lucu.

"Haha, baiklah, baiklah. Pertanyaannya ... Kalau kamu menjadi raja, siapa teman seangkatanmu yang akan kamu angkat untuk mendampingimu dalam memimpin dan apa alasannya?" Pertanyaan itu dibacakan dan orang-orang ini mendadak menggila dan heboh, memaksa Arlan Pratama untuk menjawab secepatnya.

"Buruan dijawab tuh, Lan!" tuntut orang-orang yang duduk di sekelilingnya sambil terbahak.

Arlan Pratama berpikir selama beberapa saat, sebelum akhirnya membuka mulut dan sukses membuat keheningan tercipta tanpa perlu ada insiden meminta mereka diam untuk yang kedua kalinya.

"Kalau aku menjadi raja, aku akan angkat Alenna untuk jadi penasihat kerajaanku, karena dia sangat kritis dan bijak. Dengan begitu kerajaanku pasti akan tetap berjaya."

Hening.

Maksudku, benar-benar hening selama lima detik.

Bu Farah memberikan tepukan tangan untuk menghancurkan keheningan itu, "Wah, memang keputusan yang bijak, ya."

Yang lain pun mau tak mau juga ikut bertepuk tangan, walaupun wajah mereka kini menatapku dengan tatapan heran. Sementara aku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa, sampai-sampai membuatku hanya menjadi batu.

Aku senang Arlan Pratama berpikir seperti itu tentang aku, tetapi aku bisa merasakan beberapa tatapan yang menatapku seperti tidak pantas. Aku juga sebenarnya tidak menyukai perhatian seperti itu, keadaan itu agak membuatku tidak nyaman.

Rania menyenggol lenganku dengan sikunya, "Well, Alenna, setidaknya sekarang kamu tahu kalau kamu tidak lagi di friendzone, tapi di penasehatzone," bisik Rania sambil terkekeh.

"Oh ya, dan juga selamat ulang tahun untuk teman kita, semoga makin berjaya dalam membawa nama baik sekolah dan semakin baik lagi."

Tepukan tangan terakhir terdengar lagi sebelum akhirnya kerumunan harus dibubarkan setelah pemadaman api unggun.

Di dalam tenda perempuan di kelas, mereka tidak henti-hentinya menanyakan banyak hal denganku seperti, apakah aku dan Arlan Pratama berteman baik atau sejenisnya. Tentu saja jawabanku hanyalah sekadar teman sekolah--entah mengapa aku yakin mereka juga akan sama hebohnya dengan Rania, jika aku menjawab kalau kamu tetanggaan.

Ada satu hal yang aku tahu sejak dulu; aku tidak familier jika harus tidur di tempat yang baru. Aku juga mengalami kendala yang sama, saat pertama kali pindah ke apartemen. Butuh seminggu bagiku untuk beradaptasi dan saat ini pun aku masih belum merasa ngantuk dan ingin beristirahat walaupun hari sudah makin larut.

Aku keluar dari tenda dan menyalakan flashlight dari ponselku. Masih ada beberapa orang yang berkeliling di seputaran bus, tenda, atau bahkan membuat kerumunan untuk berjalan bersama ke toilet umum.

Saat ini sudah hampir gelap sepenuhnya kalau saja tidak ada yang menyalakan flashlight dan kalau tidak ada bulan. Namun nyatanya bulan sedang dalam fase kuartel (bulan setengah purnama), entah kuartel berapa.

Ada yang menyinari belakang kepalaku dengan senter dan membuat bayangan di depanku. Aku berbalik dan menemukan cahaya terang. Aku tidak bisa melihat siapa yang melakukannya, karena itu aku membalas menyorotinya dengan senterku. Dan rupanya Arlan Pratama yang melakukannya.

"Kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil mematikan senterku, karena nyatanya cahaya flashlight dari ponselnya jauh lebih terang dibandingkan milikku.

"Aku baru mau nanya hal yang sama," jawab Arlan Pratama. "Kamu ngapain jalan ke arah hutan?"

"Mau jalan-jalan sebentar. Aku tidak bisa tidur."

Arlan Pratama diam selama beberapa saat, "Hmm ... Kalau kamu tersesat gimana?"

"Aku udah hafal jalan, sih," balasku.

"Enggak, kalau misalnya kamu tersesat, kamu bakal ngapain?" tanya Arlan Pratama.

Saat ini dia menyorotiku dengan senter dan aku benar-benar merasa sedang berada dalam ruang introgasi.

"Cari jalan buat balik, lah. Kamu tanya apaan, sih?"

"Katanya, kalau kamu kesasar di pedalaman, terus tiba-tiba nemu jalan setapak yang sudah bagus, ada kemungkinan kamu bukan menemukan jalan kembali. Ada kemungkinan kamu berada di area terlarang ..."

Sontak bulu kudukku merinding karena perkataannya, "Ini udah malam! Kamu ngomong apaan, sih?"

"Siapa yang tahu kalau ada manusia pedalaman yang belum familier dengan--"

Aku langsung memotongnya, "Aku mengerti maksudmu. Kalau gitu, aku balik dulu ke tenda. Terima kasih udah mengingatka--"

"Lho? Kok malah balik? Aku bisa temenin, nih!"

Aku menghela napas, "Kalau kita berdua tersesat, sama saja."

"Setidaknya kamu tersesat dengan seseorang yang sudah lebih tua setahun dibandingkanmu, kan?"

Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku yakin dia sedang memasang ekspresi yang menyebalkan.

Kuulurkan tanganku ke arahnya, "Selamat ulang tahun."

Arlan Pratama menerima jabatan tanganku, "Padahal kamu yang ketemu aku duluan hari ini, tapi kamu yang ngomong paling terakhir."

Aku memasang wajah datar, "Aku kan tidak tahu."

"Kamu tidak pernah tanya," balasnya seolah menyindirku dengan jawaban yang kuberikan untuk Rania tadi.

"Iya, pokoknya selamat hari lahir. Wish you all the best," ucapku, masih berjabat tangan dengannya.

Arlan Pratama melepaskan jabatan tangannya, lalu mematikan flashlight-nya, membuatku langsung buru-buru menyalakan ponselku, tetapi Arlan Pratama lebih dulu bersuara.

"Kamu boleh tanya sekarang."

Aku mengerutkan kening, "Sekarang?"

"Iya."

Ternyata, berbicara dengannya tanpa melihat ekspresinya malah membuatku makin khawatir. Entah ekspresi apa yang dipasangnya sedaritadi.

Aku akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang memang ingin kupertanyakan sejak lama.

"Arlan, kamu ... tidak apa-apa, kan?"

***TBC***

4 Juni 2019

Cindyana's Note

Haloo! 2600 kata!

BTW aku beneran minta maaf, aku kepencet beneran pas mau nulis wkwkwkw. Hanya kucing depan rumah yang menjadi saksi bisu kepanikanku.

Semoga bisa menemani begadang, sahur, atau pagimu. Atau mungkin siang dan malammu, kalau kamu bacanya di masa itu.

Dan akibat sedang nge-bucin parah dengan ship ini, aku menggambarkan Arlan x Alenna dengan konsep Alenna in Arlanland.

Ini dia.

Background-nya comot dari bintang-bintang Air Train. Soalnya warnanya yang paling calm.

Tadinya mau gambar Arlan in Alennaland, tapi cerita Red String ini akan berfokus tentang bagaimana persepsi Alenna kepada Arlan, jadi mungkin Alenna in Arlanland udah bener kali ya.

Oke, sekian dulu, kawan-kawan semua!

Hari ini hari terakhir puasa, kan? SEMANGAT KAWAN! YOU CAN DO IT!

Bye-bye! See you on next chap!

- Cindyana / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro