Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Twenty Sixth Thread - "Trust is Something We Called Chance"

Trust is something we called chance. Tell the truth and they will have a faith in you; or tell one lie and they won't believe you anymore.

***

Jadwal malam mingguku dengan Papa sepertinya akan berakhir sebentar lagi. Papa membawaku ke tempat makan favoritku dan Mama, lalu mendapat panggilan untuk kembali ke rumah sakit ketika kami tengah menyantap makanan penutup.

Papa benar-benar menyesali momen itu, karena sebenarnya kami sudah berjanji akan pergi ke bioskop atau ke pusat pembelanjaan untuk membeli buku dan sepatu baru. Papa berjanji akan mengajakku bermalam minggu lagi lain kali (kurasa dengan Mama juga).

Karena Papa sudah berjanji kepada Mama akan membawaku pulang, Papa memintaku untuk menunggu sebentar di kursi yang ada di lorong. Sebenarnya agak mengerikan, mengingat hari sudah malam dan lorong itu berada di outdoor yang bagian atasnya telah dilapisi platform dan tenda. Ya, tapi, tetap saja itu di luar.

Untungnya, keadaan jadi tidak begitu terasa sepi, saat aku membuka ponsel. Itu karena aku masuk dalam grup Five Rain Women. Saat ini hanya ada empat anggota; Metta, Riryn, Tyara, dan aku. Clay masih belum masuk ke dalam grup, tidak ada yang memiliki kontaknya.

Aku jadi ingat, Riryn menyambutku dengan kumpulan karpet welcome warna-warni--hal yang juga terjadi ketika aku masuk grup kelas--sepertinya itu adalah tren.

Aku mungkin harus memantapkan diri untuk mengumpulkan gambar keset kaki lebih banyak untuk menyambut anggota baru.

Ngomong-ngomong, hal yang dibahas di grup itu cukup acak dan tidak terkontrol. Karena membaca saja sangat tidak baik, maka aku meninggalkan stiker Brown menangkap kupu-kupu sebagai penanda bahwa aku membaca pesan mereka.

Rania yang mengenalkanku nama beruang coklat itu. Kata Rania, Brown yang menangkap kupu-kupu sangat cocok denganku. Arlan Pratama juga mengatakan hal yang sama saat aku mengirim stiker itu kepadanya.

Sedang membaca pesan yang dikirim Riryn dan Metta--karena hanya mereka berdua yang mengobrol via chat--tiba-tiba saja lampu di atasku padam. Tubuhku sempat menegang ngeri, sebelum akhirnya aku menyadari bahwa masih ada beberapa lampu yang belum dimatikan. Setidaknya, aku tidak sendirian dalam kegelapan.

Aku melirik pintu kerja Papa. Belum ada tanda-tanda Papa akan keluar dari sana. Mungkin lampu padam itu pertanda bahwa aku harus melakukan hal lain selain duduk.

Berdirilah aku dari dudukku, lalu mulai berjalan-jalan mengelilingi lorong rumah sakit. Tempat ini cukup familier untukku, karena dulu Papa memang sering membuatku menunggu setelah pulang sekolah. Lama kelamaan, aku merasa bosan dan akhirnya meminta Mama mengajari cara naik bus, hanya agar aku tidak perlu menunggu di rumah sakit terlalu lama.

Bagiku, berada di rumah sakit, menyaksikan orang-orang yang lalu lalang tanpa ekspresi  ... sepertinya memang bukanlah pemandangan yang menyenangkan. Keadaan di sana terlalu hening untuk orang-orang seramai itu. Terkadang, aku lebih menyukai kelasku yang ribut karena tidak ada guru yang masuk, daripada menunggu bersama keheningan terlalu lama.

Saat sedang melangkahkan kakiku untuk berbelok, tiba-tiba saja aku menemukan sesuatu yang menarik perhatianku.

Ralat, sesuatu yang berhasil memancingku untuk memperhatikannya.

Di ujung lorong, ada seseorang yang duduk di kursi lorong. Sebenarnya bukanlah hal yang dapat memancing perhatianku, jika seandainya dia tidak duduk di bawah lampu yang dimatikan. Kulihat, dia sedang duduk diam merenungi sesuatu.

Wajahnya tidak terlalu jelas di pandanganku. Namun melihatnya mulai menulis di atas buku yang ada di pangkuannya dengan agak membungkuk, aku mulai mengobservasi apapun yang ada di sekitarnya.

Dia adalah anak laki-laki, ada tas hitam yang bersandar pada sandaran kursi, dan juga ... dia menulis menggunakan tangan kirinya.

Aku mengerjap ketika menyadari hal itu. Tidak salah lagi, itu Arlan Pratama.

Tidak mungkin aku salah mengenali model rambutnya, atau tasnya, atau segala gerak-gerik yang dilakukannya barusan. 

Sedang apa Arlan Pratama di rumah sakit?

Aku tidak bergerak dari posisiku. Kuperhatikan lagi apa yang sedang dilakukannya. Dia memperhatikan layar ponselnya selama beberapa saat, lalu mencatatnya di buku. Hal itu terjadi berulang-ulang. Kakiku rasanya gatal sekali untuk bergerak mendekatinya, lalu menegurnya karena dia tidak seharusnya menulis atau memainkan ponselnya di tempat yang gelap. 

Mendadak, aku teringat telepon yang pernah didapatkan Arlan Pratama. Memang, dia pernah mereferensikan sesuatu tentang rumah sakit. 

Aku ingat sekali kapan itu terjadi .... 

Saat aku meminjamkan payungku untuk yang kedua kalinya. Akhir tahun lalu. 

Diam-diam, aku mengigit pipi bagian dalamku. Sudah enam bulan berlalu, dan apakah orang itu belum sembuh? Aku tidak tahu siapa yang sakit, tetapi melihat Arlan Pratama seorang diri di rumah sakit, entah mengapa membuatku sangat perihatin. 

Kalau aku menghampirinya, apakah itu akan membuat Arlan Pratama terganggu? 

Tiba-tiba, Arlan Pratama berhenti menulis. Dia bahkan menyingkirkan buku tulisnya dan menyimpannya kembali dalam tas, lalu bersandar pada sandaran kursi, memejamkan mata, dan menghela napas panjang. 

Aku tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan olehnya, tetapi aku selalu merasakan bahwa Arlan Pratama kesepian dan butuh seseorang untuk mendengarkan ceritanya. Arlan Pratama tidak menangis, tetapi entah mengapa aku selalu merasa bahwa dia sedang menangis dalam hati, setiap melihatnya sedang tidak tersenyum (baiklah, aku sangat sok tahu, aku benci sisi diriku yang satu itu). 

Tiba-tiba, ponsel di tanganku bergetar. Saat kuperiksa, Arlan Pratama mengirimkan pesan. Aku memeriksa Arlan Pratama yang masih duduk di kursi di ujung lorong itu. Dia memang sedang memainkan ponselnya tanpa ekspresi. 

Arlan
Malam :)
Kamu lagi sibuk, tidak?

Aku menerima pesan itu dengan perasaan berdebar. Kupikir dia tahu aku sedang mengobservasinya dari lorong ini dan ingin menangkap basah diriku. Namun setelah mengirim pesan itu, Arlan Pratama kembali bersandar menatap langit-langit, entah memikirkan apa. 

Aku pun segera membalas pesannya dengan kilat.

Alenna
Malam.
Enggak, kenapa?

Haruskah aku meletakan stiker agar keadaan tidak canggung? Baiklah, mungkin hanya aku yang merasa bahwa ini merupakan hal yang canggung. Arlan Pratama sepertinya adalah tipe orang yang akan menyadari kejanggalan orang lain lewat pesan. Sepertinya aku harus berhati-hati. 

Arlan
Kamu lagi belajar ya?
Ada pelajaran yang tidak kumengerti.

Kukerutkan keningku dalam, entah mengapa tidak yakin bahwa Arlan Pratama terlihat sekelam itu hanya karena tidak mengerti pelajaran. Maksudku, dia nomor satu di angkatan kami. Kurasa tinggal mencari rangkuman di internet dan mencernanya baik-baik, dia akan langsung mengerti. 

Alenna
Nanti kalau kamu sudah pulang, aku pinjamin rangkumanku.
Kalau masih ada yang bikin bingung, nanti kuajari.

Aku mulai menjadi orang aneh, karena setiap aku menekan tombol send, aku langsung meluruskan kepala untuk melihat ekspresi dan reaksi Arlan Pratama.  Kurasa akan lebih mudah jika aku langsung menghampirinya dan menjelaskan langsung di sana, tetapi sepertinya aku tidak punya nyali sebesar itu. 

Arlan
Kok tahu aku belum pulang?

Alenna
Memangnya kamu sudah pulang?

Dia sengaja ya? Arlan Pratama sedang menguji kejujuranku atau apa? Hampir saja aku terjebak di pertanyaannya itu. 

Arlan
Tumben nggak nyuruh baca di buku paket.

Alenna
Kupikir kamu udah baca buku paket, makanya bilang nggak ngerti.

Jawabanku normal, kan? Semoga saja Arlan Pratama tidak mencurigai apapun. 

Kulirik lagi ekspresi Arlan Pratama di sana. Tidak ada apapun yang berubah. Hebat sekali. Hebat sekali dia bisa mengetikkan hal-hal semengesalkan itu dengan wajah datar tanpa ekspresinya. 

Arlan
Aku capek.

Kali ini pesan darinya berhasil membuatku kembali berdebar tegang. Apakah Arlan Pratama akan bercerita sekarang? 

Arlan
Malas baca buku.
Hehe.

Hehe apanya! Aku ingin sekali membalas itu kepadanya, tetapi sekarang aku menyadari bahwa Arlan Pratama mungkin hanya tidak ingin membuatku cemas--walaupun aku sangat cemas sekarang--dan mungkin Arlan Pratama merasa bahwa ini bukan waktunya membahas hal itu. Terlebih lagi di chat. 

Tidak tahu harus membalas apa, aku mengirimkan stiker beruang menangkap kupu-kupu. 

Arlan Pratama memperhatikan layar ponsel agak lama, kupikir dia akan langsung mematikannya karena sudah tidak ada apapun yang bisa dibahas lagi. Namun tiba-tiba jari-jarinya kembali mengetikan sesuatu di atas layar. Dia membacanya agak lama, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengirimkannya. 

Belajar dari pengalaman ketika Arlan Pratama ragu dalam mengirim pesan dan berpeluang mengurungkan pesan itu, aku buru-buru membacanya begitu ponselku kembali bergetar. 

Arlan
Kalau sudah selesai belajar, kabarin ya.

Belum lagi aku membalas, ujung lorong mendadak terang untuk beberapa alasan. Saat kuperhatikan, ternyata ada pintu yang terbuka di samping kursi yang didudukinya. Arlan Pratama menoleh sebentar, bangkit dari duduknya, lalu masuk ke dalam ruangan itu tanpa mengulur waktu. 

Pintu itu tertutup. Berikutnya, lorong itu kembali gelap. 

Selanjutnya, pintu di belakangku yang terbuka. Aku berbalik dan menemukan Papa di sana. "Alenna, Papa sudah selesai. Ayo, Papa antarin pulang."

Aku mengangguk, lalu kembali melirik ujung lorong tempat terakhir aku melihat Arlan Pratama. 

Sembari berjalan berdampingan dengan Papa, aku membalas pesannya. 

Alenna
Kamu juga, kabarin kalau sudah pulang

*

Kurang lebih pukul sembilan malam, suara bel apartemen terdengar. Mama sempat ingin membukanya, sebelum aku mencegahnya dan menjelaskan bahwa yang menekan bel adalah Arlan Pratama dan kami harus mendiskusikan sesuatu. Karena mengatakan demikian, Mama membiarkanku membukanya. 

Aku mengabarkannya bahwa aku telah selesai belajar begitu aku pulang dari rumah sakit. Sementara itu, Arlan Pratama baru mengabarkan bahwa dia akan kembali sekitar setengah jam yang lalu. 

Tanpa bertanya pada Arlan Pratama, aku mengerti maksudnya yang memintaku mengabarinya setelah selesai belajar. Dia ingin membicarakan sesuatu, dan dugaanku benar. Karena kalau tidak, dia tidak mungkin menekan bel selain untuk keperluan makan malam. 

"Kenapa tidak dari balkon saja?" tanyaku saat membuka pintu. 

Arlan Pratama menaikkan sebelah alis dan tersenyum heran, "Kupikir kamu bilang nggak mau bicara denganku lagi di balkon?" 

Ah ... dia masih mengingatnya. Padahal aku sendiri juga sudah melupakan kata-kata yang kuucapkan. Setelah kuingat-ingat lagi, itu memang terakhir kalinya kami berbicara di balkon. 

"Oh, soal itu." Aku mengetuk dinding dengan dua jariku untuk menghindari kecanggungan. "Kalau gitu, ayo masuk."

Arlan Pratama menyapa Mama saat melihat Mama sedang berkutat dengan laporan-laporan perusahaan. Senyumannya selalu saja terlihat seolah dia tidak pernah menghadapi masalah, padahal kenyataannya masalah yang dihadapinya mungkin sangat berat sampai dia bisa berpikir bahwa itu tidak lagi memiliki jalan keluar dan opsi lain.

Aku menuntunnya ke ruang belajar. Karena pintu memang tidak pernah kututup, kubiarkan saja seperti itu.

"Kamu nggak ngerti pelajaran apa?" tanyaku sembari mengeluarkan catatan.

Arlan Pratama tampak memperhatikan ruangan dari sudut ke sudut, lalu menjawab, "Kamu sudah ngertinya pelajaran apa?"

"Untuk satu bab awal semua pelajaran, rata-rata udah lumayan ngerti," jawabku.

Pandangan Arlan Pratama berakhir di meja belajar. Dia melihat piala juara umum miliknya agak lama. Tunggu, dia tahu soal dirinya yang mendapat juara umum dan membaca dengan jelas nama yang tertera di piala, kan? Tiba-tiba dia menoleh ke arahku, seolah meminta penjelasan.

"Uh, mereka menitipkannya padaku kemarin. Aku tidak sempat bertemu denganmu, jadi ..."

Arlan Pratama menggeleng, "Bukan soal itu. Kamu tidak apa-apa dititipin kayak gitu?"

"Tidak apa-apa, kok," balasku cepat. 

Arlan Pratama tidak lagi mengatakan apa-apa, dia memutuskan untuk duduk di kursi lain yang memang tersedia di ruang belajar.

"Kapan kamu masuk sekolah?" tanyaku memecah keheningan.

"Senin," jawabnya.

Aku mengangguk termanggut, "Oh, gitu." 

Keadaan ini sangat canggung, ini karena Arlan Pratama tidak mengatakan apa-apa. Mendadak, hal itu membuatku berpikir panjang, mungkin jika hari ini tidak datang, aku tidak pernah ingat bahwa Arlan Pratama yang memulai semua percakapan yang pernah kami lakukan. 

Aku memilih untuk mengeluarkan buku-buku catatanku. Walaupun kami tidak satu kelas, aku yakin kalau pelajaran yang kami dapatkan pastilah sama saja. Lagipula, ada banyak hal yang kutulis lebih lengkap daripada yang ada di papan tulis. Tidak sesuai sedikit saja, seharusnya tidak akan menjadi masalah besar. 

"Aku ke sini bukan mau minjam catatanmu, lho," ucap Arlan Pratama ketika aku sedang memeriksa bukuku sendiri. 

Keningku mengerut heran, "Jadi? Mau langsung kujelasin?"

Arlan Pratama diam saja. Aku memutuskan untuk kembali duduk di depan meja belajar. Kutarik napasku panjang-panjang, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menyeret kursiku untuk mendekatinya. Suara roda dari kursi belajarku mengalir bersama dengan keheningan, saat kucoba mendekatkan jarak duduk kami.

"Kenapa?" tanyaku pada akhirnya. 

Arlan Pratama bertanya balik, "Aku terlalu jelas, ya?" 

Tidak tahu harus menjawab apa, akhirnya kuanggukan kepalaku. 

"Iya, kamu tidak apa-apa?"

Kurasa, itu pertama kalinya Arlan Pratama menggelengkan kepalanya ketika sedang menceritakan masalahnya. 

"Enggak, aku ingin melenyapkan diri," balasnya sambil menunduk. 

"Jangan bilang begitu," sahutku pelan. 

"Aku capek." 

Aku tidak bisa melihat raut wajahnya, kuintip sedikit ekspresinya dengan menurunkan kepalaku. Dia memejamkan mata, wajahnya sama persis seperti yang kulihat ketika di rumah sakit tadi. Tertekan, gelisah, dan benar-benar kecewa dengan dirinya sendiri tanpa bisa kuketahui sebabnya.

Kuulurkan tanganku ke bahunya dengan agak ragu. Namun saat aku menepuk pundaknya, aku sangat yakin bahwa hal yang kulakukan memang sudah benar. 

"Kamu sudah berusaha," ucapku dengan suara kecil. 

"Enggak, aku sumber masalahnya. Sejak awal, semuanya gara-gara aku." Arlan Pratama mengangkat kepalanya tiba-tiba. Kami hanya bersitatap selama beberapa saat, sebelum akhirnya dia menjauhkan tanganku dan memalingkan wajah. "Kalau aku tidak pernah ada di dunia ini, semuanya tidak akan seperti ini." 

Aku bangkit dari dudukku, "Kenapa kamu malah nyalahin diri sendiri?" 

"Ya, karena memang gara-gara aku," jawabnya cepat, seolah dia tidak keberatan dengan pernyataan itu. Arlan Pratama tidak tahu, aku sangat keberatan dengan itu.

"Segala hal yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan oleh--"

"Takdir?" Arlan Pratama memotong. "Sejak dulu, aku tidak percaya dengan takdir. Semua orang mengatakannya itu sangat hebat, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Aku dan kamu tidak kebetulan dapat ranking karena takdir. Semua yang terjadi hari ini bukan terjadi karena itu."

Ada satu hal yang kusadari saat ini. Pendapat kami tidak pernah sama, tetapi aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Aku sendiri juga tidak mempermasalahkan soal Arlan Pratama yang tidak percaya soal takdir, itu hal yang normal. Aku hanya tidak setuju saat Arlan Pratama mengatakan bahwa dia tidak seharusnya lahir, dan mengatakan begitu seolah hidupnya memang tidak berarti. 

"Aku bingung," ucapku pada akhirnya. "Kamu ingin aku bereaksi seperti apa dengan perkataanmu?"

Arlan Pratama tidak menjawab, masih tetap memalingkan wajah. 

Aku dalam posisi berdiri dan Arlan Pratama dalam posisi duduk. Kalau saja aku memaksanya, aku bisa saja langsung bergerak kemana matanya menoleh. Namun aku tidak melakukan hal kekanak-kanakan seperti itu. Kuharap dia segera menyesal mengatakan hal itu.

"Aku tidak tahu harus bilang apa, tapi kata Mama, semua orang hidup untuk membuat makna terhadap hidup orang lain. Menurutku kamu terlalu berpaku pada satu hal dan kamu hanya terus menyalahkan dirimu. Aku yakin, tidak ada yang ingin menyalahkanmu." 

Arlan Pratama sepertinya ingin membantah, tetapi aku buru-buru menambahkan, "Hanya kamu yang ingin menyalahkan dirimu sendiri."

Sepertinya itu yang ingin dikatakan Arlan Pratama, sebab setelah aku mengatakan begitu, dia benar-benar terdiam.

"Aku tidak mengutip kalimat ini dari mana pun, jadi dengarkan aku baik-baik. Bagiku juga, keberadaanmu di sini memberikan makna di hidupku dan Mama."

Arlan Pratama mengerjapkan matanya, sepertinya terkejut dengan perkataanku. Namun tidak ada tanda-tanda dia akan membantah, oleh karena itu aku langsung melanjutkan.

"Walaupun kamu tidak merasa ini benar, bagiku pertemuan kita bukan kebetulan. Sejak awal, itu memang sudah ditakdirkan." 

***TBC***

1 Juli 2019, Senin

Cindyana's Note

Inilah percakapan yang aku bilang bikin aku stuck berhari-hari. Akibat kelabilan Arlan -_-

Ini 2300 kata. Entah kenapa rata-rata chapter Red String malah sepanjang ini.

REMINDER untuk reader-readerku tersayang. Nama ALENNA itu double N. Kenapa pada di-Alena-in sih -_-

Oke, jadi aku sangat positif kalau ini sudah mendekati puncak konflik. Kuharap kalian bersiap-siap. Dan semoga kalian tidak terlalu kaget yaaa. Hehee. 

Mungkin kalian bingung dengan alur Red String, karena berdasarkan cerita Air Train, masa-masa saat ini adalah masa awal Tyara memulai konflik. Tapi setelah mengetik sejauh 26 chapter, aku sangat yakin kalau alur mereka berbeda. Dan puncak Alenna akan segera datang~~

Sebenarnya aku masih agak deg-degan saat akan reveal konflik puncaknya, tapi semoga semuanya berjalan lancar. 

Cindyana 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro