Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Twenty Seventh Thread - "Feeling is Something Confusing"

Alenna selalu meninggalkan jejak setiap read chat di Five Rain Women. Jadi, kalian ikutilah sikap teladan Alenna. Jangan lupa tinggalkan jejak dengan berkomentar. Ingat, kamu gabisa kirim stiker di sini, jadi silakan kirim komentar :D

#KodeLevelPaus

.

.


Feeling is something confusing. It can't be seen, but we knew that exist.

***

Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan sikap Arlan Pratama sejak kami berbincang malam itu. Yang jelas, saat ini dia gemar menghabiskan waktunya untuk diam. Aku cukup yakin 'diam' yang satu ini tidak seberbahaya diamnya yang kutakutkan.

Terkadang dia melihatku seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tiap aku memergokinya menatapku penasaran, aku bertanya, "Ada apa?" dan dia selalu menjawab, "Tidak apa-apa."

Iya, dia seterang-terangan itu, sampai Mama juga menyadarinya saat kami makan malam.

"Itu Arlan kenapa?" tanya Mama, setelah Arlan Pratama pulang dan kami sedang merapikan alat makan.

Aku menata piring dalam rak, sambil bertanya balik, "Memangnya dia kenapa?"

"Jadi diam sekali hari ini," jawab Mama seadanya. "Kalian berantem?"

Aku mengerutkan kening, "Enggak deh, seingat Lenna. Tadi masih sempat bahas soal perang dunia, kok."

"Beneran? Jangan sampai kalian yang perang."

"Iya, Ma. Mama tanya saja sama Arlan," balasku singkat.

Beberapa hari yang lalu, Mama mengatakan sesuatu yang membuatku agak kaget. Mama bilang bahwa Mama bertemu dengan Papa Arlan Pratama di salah satu supermarket dekat kantor Mama. Ayahnya memang tampak baik-baik saja, tetapi hal yang membuatku terkejut adalah--apakah dia memang sesibuk itu untuk tidak pulang?

Mama mengatakan bahwa mungkin kedua orangtuanya pulang, tetapi kami tidak memperhatikannya. Namun aku tidak merasa itu benar-benar terjadi.

Pulang dari sekolah, baru beberapa menit setelah bel, aku mendapatkan pesan dari Arlan Pratama yang isinya kira-kira mengatakan bahwa dia harus pulang duluan karena ada urusan mendadak dan dia minta maaf tentang itu.

Seharusnya dia tidak perlu minta maaf. Maksudku, kami tidak pernah berbicara soal pulang bersama, bahkan sekali pun. Kami tidak pernah membuat janji. Itu bukanlah rutinitas yang harus dilakukan, karena itu aku bingung harus membalas apa.

Agak disayangkan, aku tidak bisa bertanya langsung mengenai kejanggalan sifatnya yang bahkan sampai disadari oleh Mama.

Saat kulangkahkan kaki ke gerbang, aku menyadari seorang gadis berseragam SMA berdiri di gerbang sekolah. Dan entah mengapa aku merasa bahwa aku mengenal sosok itu.

... Atau mungkin bukan.

Kudekati gerbang dan semakin dekat dengan pintu gerbang, aku semakin yakin kalau kami memang pernah bertemu.

"Alenna!"

Langkahku terhenti saat hendak melewatinya. Gadis itu melambaikan tangannya ke arahku, seolah memintaku mendekat.

Kurasa memang kami pernah bertemu sebelumnya.

"Kamu ingat aku, kan?" tanya gadis itu sambil menunjuk dirinya sendiri.

Kuperhatikan seragam sekolahnya. Seragam standar putih abu-abu dan logo sekolahnya sama dengan logo sekolahku, berarti kakak kelasku.

Gedung SD-SMP dan SMA memang terpisah. Lebih tepatnya, posisinya saling membelakangi. Jadi, dari gedung dan gerbang, semuanya memang tidak memungkinkan. Hampir mustahil bertemu dengan siswa SMA, karena jam pulang sekolah memang tidak sama.

Aku mencoba menggali ingatanku dalam-dalam, karena aku juga tahu bahwa aku memang mengenali orang ini. Kulirik ponsel yang dipegangnya, lalu menyadari bahwa ada gantungan kunci jaring yang familier.

"Clay?" Aku mengelus tengkukku.

"Oh, kamu masih ingat, rupanya." Clay melempar senyum.

Mengingat kejadian di halte terjadi saat aku kelas delapan, Clay pastilah di kelas SMA 1 saat ini.

"Aku ... tidak tahu kamu kakak kelasku," ucapku gugup.

Clay langsung tertawa, "Santai saja."

"Jadi, Kak Clay sedang apa berdiri di depan gerbang SMP?" tanyaku gugup.

Semoga saja Clay tidak menganggapku kurang ajar, karena aku tahu persis bahwa Clay bukanlah alumni SMP di sini.

"Eh? Kak Clay?" tanya Clay sambil menahan tawanya. "Jadi aneh, kalau dipanggil seperti gitu."

Aku panik. Padahal aku sudah mempersiapkan jawaban jika seandainya Clay menganggapku adik kelas yang buruk. Namun ternyata dia lebih penasaran dengan panggilan yang kuberikan.

"Uh--kan, Kak Clay kakak kelas," jawabku canggung.

"Haha, iya, santai aja, aku hanya merasa lucu, kok." Selanjutnya, Clay menatapku lurus, tetapi dia masih tersenyum. "Aku ke sini karena ingin bertemu denganmu."

Aku mengerjapkan mata, "Kenapa, Kak?"

"Hmm, aku agak bingung juga bagaimana menjelaskannya padamu, tapi aku boleh bertanya dulu, kan?" tanya Clay.

Aku mengangguk, "Boleh, Kak."

"Habis ini kamu mau kemana?"

"Pulang," balasku.

"Langsung pulang?" tanya Clay.

Kuanggukan kepalaku lagi, "Iya, Kak."

"Beneran?" tanya Clay lagi.

"I-Iya, Kak."

Clay menatapku agak lama, lalu menghela napas. "Oke, janji, ya!"

Clay menaikkan jari kelingkingnya, membuatku melihatnya seperti sedang mengangkat benang merahnya dengan jelas. Saat sedang bingung apa yang ingin dilakukan Clay, dia lebih dulu menjelaskan.

"Janji?"

Aku akhirnya mengaitkan kelingkingku pada kelingking Clay, walaupun aku tidak mengerti mengapa aku harus berbuat janji. Namun rasanya agak aneh, mengingat aku baru pernah melakukannya dengan Papa dan Mama, sementara ini baru kedua kalinya aku bertemu dengan Clay.

"Clayrine, buruan! Kita sudah keluar lima belas menit. Nanti disangka bolos, lho!" Terdengar suara laki-laki dari balik tembok gerbang.

Clay merespons suara itu dengan agak malas, "Iya, iya, bawel banget, ih." Clay kembali beralih kepadaku. "Ingat ya, janji!"

Kuanggukan kepalaku lagi.

"Oh ya, aku boleh minta kontakmu, kan?" tanya Clay lagi sebelum dia hendak pergi.

Mendadak, aku teringat dengan keberadaan grup chat buatan Riryn. Saat ini anggota terakhir sudah ada di depan mata.

Sembari mengisi nomor teleponku di ponsel Clay, aku bertanya, "Kakak punya line?"

"Punya, nanti add via nomor telepon saja," ucapnya sambil tersenyum.

"Oke," balasku.

Jadi sebenarnya, aku baru tahu bahwa Rania bukanlah cenayang saat dia bisa menambahkanku dalam kontaknya di line secara tiba-tiba. Rupanya itu fitur! Dan itu membuatku terlihat sangat bodoh.

Saat menyerahkan kembali ponsel Clay pada pemiliknya, aku menyadari bahwa benang Clay tidak terlalu mengambang, yang membuatku mengikuti kemana benang itu akan berakhir. Namun benangnya sudah tidak tampak, karena berbelok ke kiri.

"Clayrine Alexson, kalau kamu nggak keluar, aku tinggalin, nih!" ancam suara laki-laki itu, masih suara yang sama dengan yang sebelumnya.

Detik itu aku tersadar. Benangku dan Arlan Pratama juga tidak terlalu mengambang karena jarak kami terlalu dekat. Jangan-jangan benang merah Clay ....

"Sabar, dong! Tadi siapa yang bilang mau temenin?" balas Clay agak kesal. Dia kembali beralih ke arahku dengan agak canggung, "Uhm, kalau gitu aku balik ke sekolah dulu, ya!"

Kuanggukan kepalaku, "Iya, Kak."

Baru saja hendak mengintip apakah benang merah Clay memang tersambung dengan teman yang dibawanya itu, Clay tiba-tiba mengatakan sepatah kalimat yang berhasil membuatku terdiam dalam pikiranku.

"Oh ya, dalam seminggu ini, usahakan kamu menghindari penggunaan lift, ya! Bye!"

Aku berdiri, membatu di tempatku seperti orang bodoh yang hanya bisa diam mematung meyaksikan Clay berbelok ke arah yang sama dengan arah datangnya benang merahnya.

Sepertinya, aku tidak pernah memberitahu Clay bahwa aku tinggal di apartemen yang memiliki lift.

***

Hal janggal terlihat hanya beberapa saat setelah aku berhasil menaiki tangga sampai di lantai dua.

Ya, aku memang menuruti saran Clay dan mencoba memikirkan sisi positif jika aku mendengarkannya. Rasanya agak melelahkan, karena aku tidak terbiasa. Mungkin otot kakiku terlalu lemah untuk anak seusiaku. Memang sejak pindah ke apartemen sampai hari ini, aku belum pernah menggunakan tangga.

Banyak orang-orang yang turun menggunakan tangga, memperlihatkan raut yang sulit kujelaskan. Akibat itu, aku tidak bisa bergerak dan harus berhenti di sudut tangga, menunggu arus orang-orang lebih sepi.

Di detik yang sama, Mama meneleponiku. Aku tidak terlalu bisa mendengarkan apa kata Mama, karena signal tidak terlalu mendukung di sana. Usai Mama menutup telepon tanpa bisa kumengerti maksudnya, aku kembali menaiki tangga karena orang-orang yang lalu lalang sudah sepi.

Setelah kucoba untuk mengingat-ingat, Arlan Pratama sepertinya pernah bilang bahwa dia pernah menggunakan tangga karena mati lampu. Itu di waktu yang sama dengan saat aku bertemu dengan Clay dan yang lainnya di halte.

Lagi-lagi aku mengambil napas panjang. Sepertinya aku baru di lantai empat dan napasku sudah nyaris habis. Apakah wajar anak seusiaku kelelahan karena menggunakan tangga?

Kuperiksa ponselku dengan harapan aku akan melupakan rasa lelah yang sedang menyelimutiku. Kubaca lebih dulu pesan yang kulewatkan, grup chat itu masih aktif bahkan di pukul dua belas siang, tetapi tidak ada lagi chat masuk karena memang tidak ada signal di sini.

Riryn dan Metta saling bertukar pesan. Hanya mereka berdua yang mengirim pesan, Tyara dan aku tidak ikut dalam topik mereka. Namun sekarang rasanya aku ingin ikut dalam pesan mereka untuk mengingatkan mereka agar tidak mengaktifkan ponsel mereka di sekolah.

Setelah sampai di lantai sepuluh nanti, aku akan menambahkan Clay dalam grup chat. Kemudian Five Rain Women akan lengkap.

Kuperhatikan angka yang ada di pintu, angka di sana menunjukkan enam, yang mana halnya aku sudah berada di lantai enam. Memang melelahkan, tetapi rasanya tidak terlalu terasa jika menaikinya sambil melakukan hal lain.

Saat hendak menaiki tangga lagi, tiba-tiba saja aku menyadari ada seseorang yang berlari dari tangga atas karena suara yang cukup keras. Menghindari tabrakan yang mungkin terjadi, aku memilih berhenti berjalan sekaligus beristirahat.

"Eh?" Suara ngos-ngosan membuatku mengangkat kepalaku, mengalihkan perhatian dari ponselku. "Alenna?"

"Arlan? Lho, kok...?"

Kata-kataku tertahan saat melihatnya mengatur napas. Kukeluarkan botol minumanku yang seingatku belum habis.

"Nih, minum dulu," ucapku sambil membuka mulut botol, karena aku selalu meminumnya dari pembuka kecil di atas, bukan membukanya langsung seperti saat aku hendak mencucinya. Kupikir juga, Arlan Pratama tidak akan mau menerima minumannya jika meminumnya dari sana.

Untungnya, Arlan Pratama menerima botol minuman yang kuberikan dan meminumnya.

"Kalau kamu buru-buru begitu, kenapa naik tangga?" Aku menjeda ucapanku saat merasakan ada yang aneh dengan kata yang kuucapkan. "Maksudku, turun tangga."

Arlan Pratama meminta tutup botol, aku memberikannya dan dia mengunci botol minuman.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Arlan Pratama.

"Harusnya aku yang bertanya padamu, kan?" tanyaku balik.

"Tadi aku telepon, tapi kamu--"

Aku langsung memperlihatkan layar ponselku yang masih menyala, "Tidak ada signal di sini."

"Kayaknya paru-paruku bisa lepas dari tempatnya," ucapnya, masih mencoba membuat napasnya stabil.

"Enggak, kok. Kamu ngos-ngosan karena berlari, jadi jantungmu memompa lebih cepat. Darah mengantar oksigen ke seluruh tubuh dan sekarang kamu merasa harus mengambil napas banyak-banyak karena alveolus nyaris kehabisan stok oksigen. Bernapasnya coba pelan-pelan saja agar pertukaran oksigen dan karbondioksida--"

Arlan Pratama memotong ucapanku, "Aku khawatir, tahu! Malah review pelajaran IPA!"

"Tidak usah berlebihan, aku sudah sering pulang sendiri. Kamu juga lihat sendiri kalau kita satu bus, iya kan?" tanyaku yang entah kenapa dibalas dengan tatapan datar oleh anak itu.

"Begitu ya?"

"Iya. Oh ya, kamu tidak lupa kan, kalau kamu lagi buru-buru?" tanyaku.

"Enggak," balasnya pendek.

"Jadi? Kenapa berhenti di sini?" tanyaku.

"Alasanku berlari sudah ada di depan mata," ucapnya.

Aku menatapnya agak lama, lalu berhenti di benang merah dan botol minumanku yang masih dipegangnya, "Kalau kamu haus, harusnya kamu tidak berlari, sih."

"Kamu tahu nggak sih, apa yang terjadi di sini?" tanya Arlan Pratama sambil mengembalikan botol minumanku.

Kuterima botol minumanku dengan penuh tanda tanya, "Memangnya ada kejadian apa?"

"Liftnya macet, pintunya tidak mau terbuka, dan ada banyak orang yang terjebak di dalam sana. Katanya sudah lima menit, waktunya pas banget sama pas kamu chat bilang kalau kamu sudah sampai di gedung, makanya kupikir kamu juga terjebak."

"Tadi lift masih beroperasi sih, saat aku memutuskan naik tangga," ujarku.

Ya, tadi memang saat aku sampai, aku memberitahunya lewat pesan. Dan aku juga lihat sendiri bahwa ada yang menunggu di depan lift, tetapi aku tidak menggunakannya karena mengikuti saran Clay.

Clay mengatakan hal yang menjadi sekebetulan ini?

"Oh? Berarti nyaris, ya. Ini kebetulan yang agak melegakan. Ngomong-ngomong, kenapa kamu mendadak rajin mau naik tangga?"

Mungkin, ini bukanlah kebetulan, mengingat Clay menunggu di depan gerbang untuk menyampaikan hal ini.

Ah ...

Mendadak aku teringat dengan sesuatu.

Clay mungkin tahu dimana aku bersekolah dengan melihat logo di seragamku saat kami bertemu untuk pertama kalinya di halte.

Tapi ... Kenapa Clay sangat yakin bahwa aku adalah adik tingkatnya? Padahal sebelumnya kami tidak pernah bercerita apapun soal kelas kami saat di halte. Memanfaatkan peluang yang tidak pasti dengan mempertaruhkan risiko yang besar, aku tidak akan mungkin berani melakukan hal itu.

Bagaimana jika ternyata kami seangkatan dan aku sudah pindah ke SMA lain?

Bukankah berdiri di gerbang dan menunggu saat masih jam pelajaran menandakan bahwa Clay sangat percaya diri bahwa aku memang di sana?

"Uhm, kebetulan, aku mendadak ingin naik tangga," ucapku di tengah kebingungan yang kini melandaku.

"Siapa orang rajin yang mendadak ingin naik tangga? Hanya Alenna," ucapnya sambil tertawa.

Aku tidak tertawa, karena aku menemukan kebetulan yang satu ini ... agak menakutkan.

"Bukankah kamu tidak percaya kebetulan? Apakah mungkin ini takdir lain yang kamu maksud?"

***TBC***

9 Juli 2019

Cindyana's Note

Paus hobi banget ya, menebar clue untuk next LFS wkwkwkwkw.

Jadi sebenarnya, di setiap LFS, semua heroine akan bertemu dengan dua orang heroine lain LFS setelah insiden Those Rain. Seharusnya sih, dari pattern yang ada, kalian bisa tahu siapa yang bakal ketemu siapa.

BTW insiden lift macet ini pernah terjadi di real life. Aku melihat langsung kejadiannya, tapi untungnya bukan sebagai yang terjebak.

Ada yang trauma sampe pingsan dan nangis-nangis pas keluar setelah nyaris setengah jam. Karena kejadiannya sudah agak malam dan sirkulasi udara di lift memang tidak terlalu bagus sejak awal. Lift macet ini dapat terjadi apabila beban muatan melebihi total beban yang telah ditentukan.

Walau kadang ada lift yang nggak mau ketutup jika overweight, estimasi dari lift itu sendiri terkadang bisa lewat dikit dan menyebabkan kejadian serupa. Yang paling bahaya ya, tali kabelnya sampai putus. Jadi, keluar saja dari lift kalau kamu merasa terlalu ramai (tips paus yang tentu saja sudah diketahui ratusan juta umat).

Oke, aku sudah bisa predict total chapter di Red String, tapi aku ga bakal spill out karena kalian bakal tahu kapan klimaksnya. Aku ingin kalian menerimanya dengan sangat tiba-tiba tanpa terencana. Tenang, >10 chapter, kok. Wkwkwk.

See you on the next chapter!


Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro