
The Twenty Fourth Thread - "Sweet Words are Something Unreliable"
Sweet words are something unreliable, so break me with those painful truth, please.
***
"Ada yang duduk di sini?"
Aku tersentak ketika mendengar suara itu. Niatku untuk membalas pesan dari Mama bahwa aku sedang dalam perjalanan pulang pun terjeda untuk beberapa saat. Kuangkat kepalaku dan menoleh ke pemilik suara yang bertanya tadi. Arlan Pratama yang bertanya.
"Enggak ada," balasku pelan.
"Kalau begitu, aku duduk di sini, ya." Arlan Pratama langsung duduk tanpa persetujuanku.
Aku tidak sempat memeriksa ke belakang untuk memastikan bahwa memang sudah tidak ada tempat duduk yang tersedia untuk si nomor satu ini, karena Arlan Pratama lebih dulu mengatakan alasan mengapa dia memilih duduk di depan hari ini.
"Aku lagi malas ngomong sama orang," ucapnya yang membuatku tersinggung.
"Aku juga orang, lho," balasku kesal.
"Tapi kamu nggak ribut. Memangnya apa rencanamu selama perjalanan pulang?" tanya Arlan Pratama.
Kuangkat buku yang ada di pangkuanku, "Mau lanjut baca buku."
"Nggak mabuk kendaraan kalau sambil baca?" tanyanya.
"Sudah biasa dari dulu," balasku pendek.
"Itu tentang apa?" tanyanya lagi.
Kukerutkan keningku, "Kupikir kamu lagi malas ngomong?"
Itu buku tentang pengembangan diri dan seharusnya Arlan Pratama sudah tahu begitu membaca judul buku itu. Entahlah dia sengaja melakukannya atau tidak.
"Memang lagi malas," balasnya lesu. "Tapi, kalau aku bosan, gimana?"
Bus baru bergerak kurang lebih lima menit, Arlan Pratama baru duduk di sampingku selama semenit dan dia sudah nyaris mati bosan.
"Maaf, ya, aku tahu aku membosankan," ucapku sambil membuka tasku, lalu kukeluarkan sebuah buku untuknya, "Ini, kalau mau, baca saja."
"Non-fiksi lagi? Hidupmu memang datar sekali, ya." Walaupun mengatakan begitu, dia tetap menerima buku itu. "Ngomong-ngomong, kamu tidak semembosankan itu, kok. Kita ngomongnya kan masih nyambung."
"Kalau tentang pelajaran," tambahku sambil memasukkan ponselku ke dalam tas dan melanjutkan bacaanku lagi.
Selanjutnya, Arlan Pratama ikut membuka buku dan membacanya. Aku masih terbawa dalam kata-kata yang ada di dalam buku, sebelum akhirnya Bu Farah lewat entah karena ada kegaduhan apa di belakang sana.
"Wah, Alenna dan Arlan, kalian memang kutu buku, ya," ucapnya sambil tersenyum.
Kami berdua sama-sama mengangkat kepala dan bersitatap dengan Bu Farah.
"Oh, Hai, Bu," sapa Arlan Pratama tanpa merasa canggung.
Aku hanya menunduk sedikit untuk menunjukkan rasa hormatku, karena sejujurnya aku masih merasa sangat canggung karena pertanyaan yang diberikan Bu Farah kemarin malam dan jawaban dari anak ini, tentu saja.
"Kalian berdua kompak, ya. Tahun ajaran baru nanti, Ibu kirim kalian ikut olimpiade bareng aja kali ya," ucap Bu Farah dengan nada bercanda.
Arlan Pratama tersenyum sekilas, sebelum akhirnya senyumannya memudar begitu saja. "Mungkin hanya Alenna. Saya sepertinya tidak bisa meluangkan waktu lagi untuk ikut kelas tambahan dan kelas khusus."
Aku menatap Arlan Pratama dengan alis berkerut, bingung dengan kata-katanya. Kutatap kembali ke Bu Farah yang kini diam selama beberapa saat, entah memikirkan apa.
"Kamu masih punya urusan keluarga, ya? Sudah agak lama, ya. Ibu harap semuanya segera selesai." Bu Farah kini berganti menatapku, "Kalau Alenna mau, nanti Ibu kirimkan soalnya via email. Arlan juga nanti bisa bantu kamu ngerjain dengan cara cepat."
Aku mengedipkan mataku berulang kali. Sepertinya Bu Farah juga menilai kalau perhitunganku memang kurang cepat.
"Oh iya, Bu, di belakang ada apa, ya?" tanya Arlan Pratama sambil berbalik ke belakang, yang membuat Bu Farah sadar dengan tujuan awalnya berjalan melewati kami.
"Ah, iya. Ada yang buka jendela buat manggil pengendara motor yang lewat. Itu kan mengganggu pengguna jalan. Ibu ke belakang dulu, ya."
Selanjutnya, Bu Farah benar-benar melewati kami. Secara bersamaan, kami menghela napas lega.
"Tolak aja kali, kalau nggak mau," ujar Arlan Pratama yang membuatku heran.
Memangnya darimana dia tahu aku tidak terlalu antusias dengan olimpiade matematika semester depan?
"Sayang sertifikatnya," gumamku menyayangkan.
"Pas SMA nanti juga bisa ngumpulin, kok," balas Arlan Pratama enteng. Dia kembali membaca bukunya setelah itu.
Matematika bukanlah pelajaran unggulanku. Aku kurang yakin, tapi Arlan Pratama sudah menolak tawaran itu di depan Bu Farah. Jika memang tidak ada kandidat, berarti Bu Farah harus mencari kandidat lain untuk ikut. Dan mungkin itu memang keputusan yang baik, karena aku juga harus fokus dengan ujian nasional tahun depan.
Kulirik Arlan Pratama. Dia masih sibuk membaca buku yang kupinjam. Dan kurasa dia tipe pembaca yang cepat, karena dia sudah menyelesaikan beberapa halaman dalam waktu yang singkat. Keseriusannya membuatku teringat dengan kejadian kemarin malam setelah aku menanyakan keadaannya.
"Eh? Maksudmu gimana?" Arlan Pratama bertanya dengan nada yang sangat heran.
Dalam keadaan gelap, aku tidak bisa melihat wajahnya. Itu sangat mengkhawatirkan, setidaknya bagiku. Saat aku hendak menjelaskan maksudku, Arlan Pratama kembali menjelaskan.
"Hmm ... Sebenarnya mataku agak sakit, sih, sepertinya gara-gara kelamaan di depan api unggun," balasnya.
Kuhela napasku, agak kecewa karena Arlan Pratama tidak menjawab pertanyaanku. "Nyalain flashlight-nya, aku tidak nyaman gelap-gelap begini."
"Nanti kalau ketahuan, gimana?"
Aku langsung merinding begitu mendengarnya, "K-ketahuan apanya? Kita tidak melakukan sesuatu yang ilegal dan melanggar aturan sekolah, kan? Atau jangan-jangan ada aturan yang tidak sengaja kulanggar?"
"Kita nggak melanggar aturan, kok. Aku hanya nggak mau ada yang tahu kalau mataku sakit," balasnya pendek.
Bingung dengan kata-katanya, kunyalakan flashlight dan langsung kusorot ke arahnya. Yang benar saja. Mata Arlan Pratama agak merah dan sepertinya sangat menyakitkan. Aku hampir mengira bahwa dia menangis, tapi hanya mata kanan-nya yang memerah dan kurasa dia memang tidak berbohong soal matanya yang sakit.
"Matamu merah sekali, kamu nggak apa-apa?" tanyaku untuk memastikan.
"Kamu udah tanya dua kali, lho," balasnya mengingatkan.
"Tapi kan, kamu belum jawab," balasku panik. "Sebentar, ya, aku ambil air minumku dulu."
"Aku bawa obat tetes mataku," ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Dan ya, dia benar-benar membawanya.
"Mau kubantu?" tawarku.
Arlan Pratama tertawa, "Enggak perlu. Aku sering dengar kalau mataku terlalu mengerikan. Orang-orang nggak akan kuat lihat mataku lama-lama."
Aku tersentak. Siapa yang mengatakan hal sekejam itu?
"Nanti terpesona," guraunya yang rasanya membuatku ingin membantah, tapi kurasa ini bukan momen yang pas. Karena sejujurnya, itu lebih melegakan daripada orang lain mengatakan hal buruk tentangnya.
Arlan Pratama meneteskan matanya dengan obat tetes, sementara tugasku adalah menyorotkan cahaya ke arah lain, agar pandangan Arlan Pratama lebih terang.
"Kamu nggak mau tanya kenapa aku selalu bawa obat tetes mata?" tanya Arlan Pratama yang membuatku mendesis dalam hati. Dia tahu bahwa aku pernah memeriksa isi dari kantong hitam yang pernah kubawa itu.
"Aku sudah memakai pertanyaanku," jawabku dengan suara kecil.
"Aku kan belum jawab," balasnya.
Itu membuatku tersadar akan sesuatu. Arlan Pratama tidak benar-benar ingin menjawab pertanyaan yang tadi. Mungkin, itu satu-satunya pertanyaan yang seharusnya tidak kutanyakan.
"Kalau begitu, kenapa kamu selalu bawa obat tetes? Lalu kenapa saat di lift, kamu tidak bilang kalau kamu punya?"
"Dua pertanyaan?" tanyanya.
"Itu pertanyaan bersambung," timpalku kesal. "Lagipula, kamu bohong. Wajar kalau aku bertanya soal itu."
"Aku tidak bohong, aku hanya tidak bilang."
"Sama saja."
"Oke ... Aku tidak bilang karena kamu sudah dengan baik hatinya menawarkan bantuan," jawabnya pada akhirnya.
Dan setelah kuingat-ingat, aku memang tidak pernah bertanya apakah Arlan Pratama memilikinya atau tidak. Juga, dia tidak pernah bilang bahwa dia tidak membawanya.
Kurasa itu memang hanya kesalahpahaman.
"Sebenarnya aku pakai lensa kontak," ucap Arlan Pratama. "Mataku ... agak bermasalah, sedikit."
Aku mengerjapkan mata, lalu menunjuk mataku dengan telunjuk. "Lensa yang itu?"
"Iya, bukan lensa yang kita pelajari di fisika."
Aku pernah dengar tentang salah satu kegunaan lensa kontak selain untuk memperindah warna mata belaka, ada juga yang menggunakannya sebagai pengganti kacamata. Kurasa zaman memang sudah canggih sekarang.
Kutatap dua bola mata berwarna coklat tua milik Arlan Pratama, lalu langsung mengalihkan pandangan secepatnya. Mungkin Arlan Pratama memang benar, matanya memang mengerikan untuk ditatap dalam waktu jangka panjang.
"Ng ... Nggak sakit?"
"Rasanya tidak sakit, tapi juga tidak nyaman. Sebenarnya aku juga tidak mau memakainya, tapi mamaku kurang suka jika aku menunjukkan kekuranganku terang-terangan. Jadi, aku tidak pernah memberitahu siapapun."
Aku hanya bisa mengerutkan keningku saat mendengarnya bercerita. Aku tidak tahu jika mama Arlan Pratama yang pernah mengajakku berbicara, mempunyai sifat seperti itu; menganggap hal umum sebagai kekurangan, membuat Arlan Pratama merasa seperti itu.
"Kekurangan?" tanyaku.
Arlan Pratama menganggukan kepala.
"Dulu malah beliau ingin aku melakukan operasi, tapi untungnya papaku tidak mengizinkan. Ngeri rasanya mendengar soal operasi, potong-potong saat masih kecil, apalagi di bagian mata."
Aku merenung diam. Saat ini aku tidak tahu harus memihak kepada Ayah atau Ibu Arlan Pratama, jika seandainya aku berada di posisinya. Arlan Pratama pasti mengalami masa yang sulit. Aku tidak tahu kapan harus jujur tentang itu.
"Kamu harus berhenti melakukan hal-hal yang bisa merusak mata. Aku pernah bilang, menulis di kegelapan itu tidak baik untuk mata. Kamu balasannya malah begitu," ucapku kesal.
"Habisnya, kamu mulai berceramah kayak Mamaku," balasnya tanpa merasa bersalah. "Kalau aku nggak balas begitu, kamu pasti bakal jelasin teori-teori yang kamu tahu. Apalagi pas itu, pertama kalinya kamu pakai line."
"Ya, maaf, aku kan memang seperti itu," balasku pelan. "Dan satu lagi, kamu tetap hebat, tanpa atau dengan hal yang kamu pikir adalah kekuranganmu."
Arlan Pratama menaikkan sebelah alisnya, "Kamu mengutip darimana lagi, kata-kata mutiara kayak gitu?"
"Nggak penting dari mana!" balasku ketus. "Ngomong-ngomong, kamu harus bicara dengan mamamu soal ketidaknyamanan yang kamu rasakan. Kalau kamu mau bikin kacamata, aku bisa tanya ke Mama dimana tempat yang bagus, tapi kamu harus ngomong dulu ke mamamu."
Arlan Pratama terdiam selama beberapa saat, lalu tawanya meledak. "Oke. Kalau memang harus pakai kacamata, nanti bantuin aku pilih yang keren, ya."
Seperti itulah akhirnya percakapan kami semalam. Kuhela napasku sepanjangnya tanpa suara. Entah sudah berapa menit mataku meratapi tulisan di depanku, tetapi pikiranku sama sekali tidak fokus untuk mencerna apapun. Aku malah memikirkan hal yang sudah berlalu.
Kurasakan perutku agak lapar, membuatku teringat lagi kalau kami memang belum sarapan. Saat ini bus sedang dalam perjalanan membawa kami ke tempat makan yang sudah dipesan pihak sekolah dan belum tampak ada tanda-tanda kami akan sampai.
Kukeluarkan biskuit dari dalam tasku, membukanya, lalu memakan sekeping, sebelum aku teringat dengan Arlan Pratama di sebelahku.
"Arlan, kamu mau bisku--"
TUK.
Buku yang dipegang Arlan Pratama jatuh di pangkuannya. Setelah kuperhatikan selama beberapa detik, barulah kusadari bahwa anak itu sudah tertidur. Sepertinya bacaannya terlalu membosankan.
Aku memakan sekeping biskuit lagi, sampai akhirnya aku teringat sesuatu.
Eh, tunggu, memangnya boleh tidur dengan memakai lensa?
Kukeluarkan ponselku untuk mulai melakukan pencarian. Rata-rata yang keluar dari judulnya adalah tentang efek samping dan dampaknya.
Baiklah, ini agak menyeramkan. Sepertinya aku memang harus membangunkannya.
Kudekati dia dan mencolek bahunya, tetapi tidak ada reaksi yang berarti. Aku pun berbisik pelan di telinganya. "Arlan, bangun. Hati-hati infeksi mata, radang kornea, kebutaan ...."
Kubacakan semua risiko yang ada di internet agar Arlan Pratama bangun. Namun bukannya terbangun, sepertinya dia malah bermimpi buruk. Bisa terlihat jelas kalau alisnya bertaut dalam tidurnya.
"Kita akan sampai di tempat makan kurang lebih lima belas menit. Yang sudah lapar, sabar dulu, ya." Suara Bu Farah terdengar dari depan.
Tidak ada balasan yang berarti. Mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri, atau mungkin bahkan tidak mendengarnya sama sekali.
Kurasa tidak apa-apa kalau hanya lima belas menit ...
Alenna, tahan dirimu untuk tidak menyimpulkan semua yang sudah kamu baca tadi.
Aku menghela napas, lalu kembali membaca bukuku.
Tiba-tiba saja, aku merasa bahwa sebelah pundakku terasa berat. Kutolehkan kepalaku sedikit dan mendapati kepala Arlan Pratama sudah mendarat di bahuku.
Abaikan, abaikan, abaikan.
... Tarik napas, lepaskan. Tarik napas, lepaskan.
Bayangkan hal-hal yang menyenangkan; kedai es krim, padang bunga, toko kue, buku baru, hujan permen ....
Aku tidak bisa berkonsentrasi. Rasanya ingin anak itu segera bangun, tapi tidak tega.
Hanya lima belas menit. Tahan, Alenna.
Kubaca kembali buku yang ada di pangkuanku, berusaha mengabaikan apa yang terjadi di sekitarku dan hanya membayangkan kata-kata di buku.
Seharusnya lima belas menit tidak selama itu ...
Suara ponsel yang tidak kukenal, terdengar dekat denganku. Detik berikutnya, aku menyadari bahwa suara itu berasal dari tas milik Arlan Pratama yang ada di pangkuannya.
"Arlan, ada telepon."
Aku mengucapkannya sambil mengangkat buku yang ada di atas tasnya, dengan harapan agar suaranya semakin keras dan Arlan Pratama bisa mendengarkan. Namun Arlan Pratama tetap tidak terbangun dari tidurnya.
Kutepuk-tepuk tangannya berulang kali dan akhirnya kali ini membuahkan hasil. Arlan Pratama akhirnya membuka matanya.
"Ada yang telepon," ucapku sambil menunjuk ponselnya.
Seperkian detik kemudian, Arlan Pratama buru-buru menegakkan duduknya, "Kenapa kamu tidak membangunkanku?"
"Jadi siapa yang membangunkanmu barusan?" tanyaku heran.
"Sorry, ya, aku nggak bisa tidur kemarin malam. Jadi...."
"Itu teleponnya dijawab dulu," potongku.
Arlan Pratama buru-buru mengeluarkan ponselnya, aku tanpa sengaja melihat siapa yang meneleponnya dan ternyata itu adalah nomor yang tidak dikenal. Namun Arlan Pratama tetap mengangkatnya tanpa ragu.
"Halo, Ma?"
Ibunya? Itu aneh ... Arlan Pratama tidak menambahkan ibunya sendiri dalam kontaknya.
Aku memutuskan untuk kembali pada bacaanku, karena kali ini aku sudah bisa berkonsentrasi tanpa Arlan Pratama yang tertidur di bahuku. Namun perkataan Arlan Pratama selanjutnya, membuatku kembali tidak berkonsentrasi.
"Siapa nama calonnya?"
... Eh, apa?
"Aku nggak pernah dengar namanya," balas Arlan Pratama pelan. "Nggak pernah lihat fotonya juga. Jadi, aku nggak perlu ngomong sama dia, kan?"
Arlan Pratama tiba-tiba menoleh ke arahku, membuatku langsung membuang pandanganku ke arah jendela--walau itu sangat konyol, padahal aku sedang membaca bukuku.
"Aku dalam perjalanan pulang, nanti baru dilanjutkan lagi, ya." Arlan Pratama menjeda selama beberapa saat, "Iya, selamat ulang tahun untukku. Terima kasih karena sudah melahirkanku."
Selanjutnya, Arlan Pratama mematikan ponselnya.
"Kurasa tidak ada signal kemarin, jadi ibuku tidak bisa menghubungiku," ucapnya sambil tersenyum.
Aku tidak terlalu mempedulikan ucapannya, kutawarkan biskuitku kepadanya.
"Mau?"
"Aku ingin tidur," katanya.
"Sebentar lagi kita sampai di tempat makan. Oh, dan tidak boleh tidur dengan lensa."
"Tidak boleh, kalau semalaman." Arlan Pratama menyandarkan tubuhnya pada sandaran belakang, lalu memejamkan matanya, "Aku mau tidur sebentar, kalau aku tidur di sana lagi, dorong saja kepalaku kuat-kuat."
Aku pura-pura membaca buku, "Kepala orang pintar tidak boleh digituin."
"Daripada nanti malah betah di sana," candanya. "Kalau nanti nyaman di sana, kamu bakal gimana?"
"Nggak malas ngomong lagi?" tanyaku, mengalihkan topik.
"Enggak, mood-ku sudah lebih baik."
Kusaksikan benang merah yang pelan-pelan memudar karena tidak ada komunikasi di antara kami. Arlan Pratama kembali terlelap, dan kurasa aku benar-benar harus membiarkannya tertidur hingga kami sampai di tempat makan itu.
***TBC***
14 Juni 2019, Jumat.
Cindyana's Note
Aku sangat senang karena komenan di chapter kemarin mencapai 980+, jadi jumlah kata di sini ada 2300+ wkwkwkw.
Sebenarnya aku agak tidak nyaman dengan chapter ini, karena aku merasa kalau kehidupan Arlan semakin gelap setiap Alenna tahu sesuatu soal Arlan.
Dan setiap menulis bagian kelam untuk Arlan, percayalah, aku sangat tidak enak. But the plot has to go on.
Di sini aku tidak sedang menggiring kalian untuk membenci Papa atau Mama Arlan, karena Alenna pun tidak menentukan apa yang harus dia lakukan.
Tapi tapi tapi, semakin kelam cerita Arlan, itu juga memberi pertanda bahwa klimaks akan datang sebentar lagi.
Aku bakal tebar-tebar clue lagi tentang apa yang akan terjadi di Red String. Buat yang peka pasti akan menyadarinya dan tidak akan kaget pas klimaks nanti. Yey.
See you on next chapter!
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro