The Twenty First Thread - "Being With You is Something Peaceful"
Being with you is something peaceful.
Being naive is not my type, but I'd like to be with you forever.
***
Suatu malam maat sedang makan bersama pada akhir bulan , mendadak obrolan seputaran sekolah berbelok tajam. Ini karena Arlan Pratama membahas tentang ujian yang terus menggunakan kertas folio dan dia sudah kehabisan miliknya karena menggunakannya sejak SMP 1 untuk tugas esai dan ujian.
"Kamu punya kertas folio lebih?" tanya Arlan Pratama kepadaku.
Kuanggukkan kepalaku saja tanpa menjawab. Kuanggap aku mencoba sopan, karena aku memang sedang mengunyah makananku.
"Nanti aku minta selembar ya," ucapnya sambil melanjutkan makanannya lagi.
Dan sebenarnya pembahasan kami hanya seperti itu, kurang-lebihnya. Namun mendadak Mama tampak antusias, seperti hendak menceritakan sesuatu yang hebat.
"Ngomong-ngomong, spanduk dari kegiatan sampingan kantor sudah jadi, lho, nanti kalian berdua coba ikut memberikan pandangan kalian, ya!"
"Dari kegiatan untuk unjuk rasa atas penebangan liar di area hijau kota itu, ya?" tanya Arlan Pratama.
Lihat? Sudah kubilang dia dan Mama cukup banyak bertukar cerita. Mendadak aku jadi cemas, apakah sebenarnya Mama dulu mengharapkanku adalah seorang anak laki-laki?
Kantor Mama mungkin adalah satu dari banyaknya kantor 'ramah' yang pernah kuketahui. Hampir sebagian besarnya menggunakan komputer untuk bekerja. Bahkan bagi pencari lowongan pekerjaan, mereka meminta agar kandidat pekerja mengirim via email. Untuk laporan pencatatan dan lain sebagainya, semuanya bisa dibuat tanpa kertas. Aku sampai ngeri karena mereka sekeras itu.
Saat ini kantor Mama sedang membuat kegiatan untuk menunjukkan rasa menyayangkan karena pohon-pohon di area hijau mulai ditebang untuk pembuatan hal lain di kota. Aku sering melihat kendaraan-kendaraan besar itu mengangkut kayu yang telah dipotong dan daun-daunnya berceceran di sepanjang jalan.
Usai selesai menyantap makan malam, aku dan Arlan Pratama menunggu Mama di ruang keluarga, karena Mama sedang mengambil spanduk. Sepertinya akan sangat besar, dan kuharap itu bukan berbahan dasar kertas, karena membuat poster dari kertas untuk menunjukkan sikap 'mencintai pohon' pasti akan membuat aksi ini terlihat konyol.
Untungnya, saat Mama menunjukkannya, itu terbuat dari kain. Warnanya merah terang, dan memiliki tulisan "Lindungi Hutan!" dan kata-kata sub mini di bawahnya yang tidak terlalu kuperhatikan.
"Bagaimana?" tanya Mama.
"Bagus kok, Ma," jawabku apa adanya.
"Iya, bagus. Pesan tersirat dari warna spanduknya juga terlihat jelas."
Mama menaikkan sebelah alisnya dan melempar senyum. "Merah itu artinya...?"
"Berani!"
"Berhenti!"
Aku dan Arlan Pratama langsung saling menoleh, menatap dengan mata menyipit. Jawabannya berani dan jawabanku berhenti. Benar-benar jawaban yang kontra.
Mama tertawa, "Masing-masing dari kalian pasti punya alasannya menjawab itu."
"Menurutku ini seperti menunjukkan pemberontakkan dari program pemerintah secara tidak langsung. Jadi merah itu artinya berani bersuara, menyatakan pendapat," jawab Arlan Pratama dengan tenangnya.
Aku membantah, "Itu larangan agar tidak menebang pohon, dan juga karena menyampaikan ini dalam keadaan yang kritis. Semacam, hati-hati dan peringatan jika masih dilanjutkan."
Mama malah terbahak setelah mendengarkan penjelasan kami berdua.
Tentu saja aku kebingungan. Memangnya ada sesuatu yang lucu, sampai Mama harus tertawa?
"Jauh sekali ya, pemikiran kalian berdua. Dasar juara kelas," ucap Mama, masih tertawa geli. "Nggak ada yang kepikiran sejauh itu. Kalau dari yang Mama baca di konsep awal, mereka mau pakai warna merah, karena merah itu artinya cinta. Jadi ini semacam cinta alam? Tadinya mereka ingin berdebat menggunakan warna hijau, tapi katanya spanduk merah akan lebih menarik perhatian untuk dibaca daripada yang hijau. Iya, sesederhana itu."
Secara otomatis, kami berdua terdiam. Tentu saja karena jawaban kami ternyata salah.
"Haha, tidak perlu bingung begitu. Jawaban kalian juga benar, kok." Mama tampaknya mencoba menghibur kami.
Konsep mengenai warna memang terlalu luas untuk diperjelas.
"Aku suka cara pikirmu," sahut Arlan Pratama saat aku sedang mengantarnya ke depan pintu.
"Oh," balasku pendek. "Aku juga suka cara pikirmu."
Arlan Pratama hanya melempar senyum pendek, "Terima kasih, untuk makan malam dan kertas folio-nya."
"Seharusnya kamu bisa mencalonkan diri jadi ketua OSIS saat semester ganjil dulu," ucapku yang membuatnya membatu, lalu dia membalikkan kepala dengan heran.
"Ini aku lagi dipuji?" tanyanya. "Tumben."
"Kok tumben?" tanyaku heran. "Kamu nomor satu di angkatan kita. Wajar saja banyak yang memujimu, kan?"
"Enggak, maksudku, tumben kamu yang muji," sahutnya.
Aku menatapnya datar, "Jalannya lihat ke depan. Sudah, ya."
"Selamat malam-nya mana?" tanya Arlan Pratama dengan nada mengejek. Padahal dia sedang menekan passwordnya dengan serius.
"Selamat malam," balasku.
"Jangan kesel begitu, kali," celetuknya, lagi-lagi sambil tertawa.
"Makanya jangan ngeselin," jawabku. Selanjutnya, aku langsung menutup pintu.
Sedetik kemudian, rasa penyesalan langsung datang menghampiriku. Aku bergelut dengan perasaan bersalah dan pikiranku yang terus memberikanku perintah untuk membuka pintu untuk keluar lagi.
Kulirik jari kelingkingku, benang itu masih ada di sana. Namun belum terdengar suara pintu tertutup yang menandakan bahwa Arlan Pratama sudah masuk ke dalam.
Baru saja hendak membuka pintu depanku, suara pintu tertutup dari sebelah terdengar jelas.
Ah, aku melakukannya lagi.
Kupejamkan mataku dan menghela napas berat. Kurasa besok aku harus berangkat ke sekolah lebih lambat dari biasanya, agar bisa satu bus dengannya.
*
Jam makan siang tidak pernah terasa sejanggal ini. Tadi pagi aku tidak satu bus dengan Arlan Pratama, padahal aku sudah sengaja mencocokkan jam keberangkatan kami. Sepertinya dia sudah berangkat lebih dulu, atau mungkin ...
Aku berdiri dari dudukku sambil membawa bekal. Seperti biasa, aku akan makan sendirian.
Kulewati kelas 8-2 dengan langkah pelan, sambil memeriksa apakah Arlan Pratama datang atau tidak. Setelah kupikir-pikir, aku tidak pernah tahu dimana tempat duduk anak itu. Jadi sepertinya ini akan memakan waktu.
"Oh? Hai?"
Seorang gadis tiba-tiba keluar dari kelas, menatapku bingung. Aku kaget juga saat dia menyapaku, padahal aku tidak kelihatan seperti membutuhkan sesuatu di kelas itu.
"Perlu apa?"
Aku langsung menggeleng-gelengkan kepalaku panik, "Ng--nggak butuh apa-apa, kok. Hanya mau lewat."
Gadis itu menatapku selama beberapa saat, sebelum akhirnya tersenyum penuh maksud.
"Arlan lagi di ruang guru, ngebahas soal pidato Bahasa Inggris. Kayaknya dia tertarik untuk berpartisipasi dalam lomba kali ini, tapi Miss Verent kayaknya bakal maksa sampai dia bilang mau. Oh, dan Arlan sudah didesak buat ikut lomba pidato dari awal tahun," jelas gadis itu sambil tersenyum.
"Tapi kan, ini sudah jam makan--" Aku langsung terdiam ketika menyadari kesalahanku. "Aku hanya lewat. Permisi."
Gadis yang tidak kuketahui namanya itu hanya tertawa kecil, "Tidak perlu malu-malu, banyak yang sering tanya-tanya soal Arlan, kok. Teman seangkatan, adik kelas, kakak kelas. Kamu udah orang ke sekian yang nanya. Kamu bukan satu-satunya."
Kuabaikan kata-katanya dan berjalan melewati gadis itu, "Aku permisi."
"Oke, sama-sama," balas gadis itu.
Tiba-tiba saja ada yang merangkul bahuku, membuat bulu kudukku langsung merinding ngeri. Tentu saja aku kaget setengah mati.
"Kamu ngapain ngomong sama dia?" tanya Rania dengan wajah datarnya.
"Dia siapa?" tanyaku.
"Namanya Sandra, katanya dari awal-awal masuk SMP, dia kayak tipe yang sok tahu segalanya tentang Arlan," balas Rania sambil melepas rangkulanku dan melipat kedua tangannya.
"Maksudnya?"
"Ya, kalau ada yang nyari Arlan di kelas, bakal disamperin sama dia, terus dia bakal ngoceh panjang kali lebar kali tinggi kayak jet pesawat."
"Itu rumus volume balok," koreksiku yang malah membuat Rania menepuk keningnya.
"Yah, itulah. Tadi dia ngomong apa ke kamu?" tanya Rania.
Aku membalas cepat, "Enggak ada apa-apa kok, aku hanya lewat. Aku nggak nyari siapa-siapa."
Rania masih menatapku datar, "Rania memang tidak pintar, tapi dia tidak akan tertipu."
"Aku tidak menipumu," balasku lagi.
"Intinya, kamu jangan dekat-dekat sama cewek Sandra itu. Dia tipe yang merepotkan banget. Mungkin pas ngomong sama kamu tadi, kamu merasa dia ramah, tapi sebenarnya kepribadiannya bikin jungkil balik banget," sahut Rania. "Kayak gimana ya ... ngerasa Arlan itu milik dia, jadi dia tahu segalanya tentang Arlan."
Aku mengerutkan keningku, "Tapi dia tidak tahu apa-apa."
"Wow, kalem. Aku ngomong gini bukan buat bikin kamu cemburu," ujar Rania. "Intinya hati-hati aja sama dia. Kalau mendadak sikapnya jadi nyebelin, lapor aja sama Rania and The Gang!"
Aku tidak tahu mengapa Rania menyikapinya seberlebihan itu, tetapi karena niatnya adalah membantuku, maka aku diam saja.
"Ngomong-ngomong aku belum ngasih tahu ke siapapun lho, soal hubungan kalian. Jadi lain kali kalau kita lagi berdua, cerita-cerita, ya!" Rania menepuk-nepuk bahuku dengan semangat.
Mataku membulat sekilas, "Kami tidak punya hubungan apa-apa, kok!"
Kulirik sekilas jari kelingkingku yang saat ini terlihat polos. Benang merah yang kulihat saat ini hanyalah milik Rania, karena aku memang sedang berbicara dengannya.
"Kami hanya teman," ucapku pada akhirnya.
"Oh? Kamu di friendzone?"
Friendzone itu kalau diterjemahkan menjadi zona pertemanan, kan?
Kuanggukkan kepalaku pada akhirnya.
"Iya, aku di friendzone," balasku.
Rania melotot tidak percaya, "Hah? Serius? Padahal tadi aku hanya bercanda!"
Aku hanya mengedip-ngedipkan mataku saat Rania menepuk bahuku dan memintaku untuk bersabar. Sepertinya Rania sangat mengerti kalau menjadi teman Arlan Pratama sangatlah memerlukan kesabaran.
"Aneh ya? Padahal kulihat dia yang modusin kamu terus."
Kumiringkan kepalaku bingung, "Apanya yang sering muncul?"
Rania menghela napas lagi, sepertinya hendak marah, tetapi ditahannya. "Bukan modus yang itu. Ah! Alenna yang malang. Ayo makan bareng kami hari ini. Aku traktir camilan."
Walau masih penuh dengan tanda tanya besar, aku akhirnya mengangguk pelan dan mengikuti Rania berjalan. "Terima kasih, mungkin?"
.
.
.
.
.
Kriiiiiiing, kriiiiiiing, kriiiiiiing!
Alarm kebakaran di sekolah kami tiba-tiba saja berbunyi sangat keras, tepat saat guru di depan baru saja menutup pintu untuk memulai pelajaran.
Semuanya langsung terheran-heran, diam, saling memperhatikan satu sama lain. Aku lebih memilih untuk fokus menatap botol minumanku. Tidak bergerak, sepertinya bukan gempa.
Selanjutnya, dari kaca pintu yang kecil, kami bisa melihat banyak orang yang lewat dan berlari dengan panik. Guru di depan yang menyadari itu pun langsung memberikan arahan.
"Lari ke lapangan. Jangan bawa apa-apa!"
Alhasil pintu langsung dibuka dan seisi kelas langsung berhamburan keluar. Aku tidak pernah menyukai perasaan saat terjebak dalam kerumunan sendirian, tetapi aku juga tidak ingin menghadapi sesuatu yang sepertinya berbahaya itu sendirian.
"Cepat! Cepat! Langsung ke lapangan, jangan dorong temannya!"
Baru saja guru yang mengawas dari tepi lorong mengatakan hal itu, aku merasakan dorongan yang sangat keras dari belakang, yang membuatku berhasil keluar dari kerumunan yang tengah membalap. Semuanya terlalu sibuk menyelamatkan diri sampai-sampai tidak peduli dengan sekitarnya.
Aku jatuh dalam keadaan berlutut, dan kuhentikan jatuhku dengan menahan tubuhku dengan kedua tanganku di atas lantai.
Ini terlalu tiba-tiba. Sepertinya aku harus mulai bergerak lagi kalau jumlah massa lebih berkurang.
"Kamu tidak apa-apa?"
Aku tidak mengangkat kepalaku untuk melihat siapa yang menanyakan itu. Aku langsung tahu siapa itu, bukan karena mendengar suaranya, tetapi karena benang merahku tiba-tiba muncul.
"Kenapa di sini?" tanyaku, masih enggan mendongak.
"Tadi sih, ikutan lari, tapi lihat kamu di sini," jawabnya. Kali ini dia berjongkok di depanku, aku bisa melihatnya walaupun aku masih menunduk. "Masih kuat?"
"Kuat, tapi nanti. Kamu duluan aja," balasku.
"Ayo lari bareng," ajaknya.
"Enggak usah," balasku.
"Nggak kuat lari? Perlu aku gendong?"
"Enggak usah!" Kali ini aku membalasnya dengan agak keras. "Jangan bercanda! Sana, lari sendiri!"
Arlan Pratama diam saja, yang membuatku akhirnya mendongak menatapnya.
Ah ... Tidak.
Aku melakukannya lagi.
Melukainya.
Tatapannya memperlihatkan seperti itu. Dan berhasil membuatku menyesal lagi. Dua kali lipat, aku membenci diriku dua kali lipat.
"A-aku ..." Aku terbata-bata. "Aku tidak mau kamu terlibat dalam bahaya karena ingin membantuku."
Arlan Pratama diam selama beberapa saat, lalu tersenyum samar, "Aku juga tidak."
Aku melukainya lagi. Bodoh. Alenna bodoh.
"Ayo, kita jalan pelan-pelan. Kita tidak sedang dalam bahaya," sahut Arlan. "Ini kelas pelatihan penanggulangan bencana. Tadi guru-guru diskusi di ruang guru. Di lapangan nanti bakal diajari cara matiin api dengan beberapa cara. Aku yakin kamu suka belajar hal baru, jadi kamu tidak akan mau ketinggalan."
Aku terdiam lagi karena mencerna semua kata-katanya.
Ah ... Rupanya begitu. Aku pernah mendengar di seminar sekolah bahwa akan ada kelas pelatihan ini, tetapi aku tidak tahu bahwa hari ini adalah waktunya.
Andai aku bisa teliti lebih cepat untuk menyadari itu, aku tidak akan melukainya.
"Arlan, aku minta ma-"
Arlan Pratama memotong, "Tidak apa-apa, aku mengerti maksudmu," balasnya pendek.
Itu membuatku lega untuk sesaat.
Arlan Pratama melanjutkan, "Tapi kalau lain kali situasinya benar-benar dalam bahaya dan kamu lagi butuh bantuan, aku langsung gendong. Aku tidak peduli kalau kamu marah, atau kalau kamu benci kepadaku."
Aku benar-benar tidak punya nyali dan keberanian untuk membalas kata-katanya lagi. Aku benar-benar takut membuatnya terluka.
"Sekarang, ayo kita jalan ke lapangan," ajaknya.
Aku tidak mampu membantah sama sekali. Jadi, aku hanya mengangguk.
Berjalan beriringan dengannya dalam keheningan hanya berdua di lorong panjang, benar-benar membuatku menderita.
***TBC***
11 Mei 2019
Cindyana's Note
Happy birthday, Lenna~
Happy birthday, Lenna~
Happy birthday, dear Lenna~
Happy birthday to you~
Ini 2000 kata untuk ultah Alenna dan juga untuk ulang tahun seseorang-nya Arlan. Oh! Dan juga untuk ulang tahun siapa pun yang berulangtahun hari ini.
Aku ambil 11 Mei karena itu ulangtahun adikku. Agar aku mudah mengingatnya juga, hehe.
Kelas pelatihan penanggulangan bencana itu udah ada di beberapa sekolah di Indonesia. Kebetulan di sekolah adikku yang lagi ultah itu juga ada.
Tapi pelatihan mereka selalu diberitahu jadwal, jadi muridnya adem ayem aja dengerin alarm kebakaran bunyi. Kupikir ini namanya kayak latihan ecek-ecek.
Aku juga pernah terlibat dalam hal kayak gini, tapi bukan pelatihan. Bencana benar-benar sedang datang. Saat aku SMP dulu, ada gempa setelah jam istirahat makan siang. Kira-kira sama kayak kejadian di sini. Dulu aku tinggal di Sumatra Utara. Di sana kami sering merasakan gempa kalau Aceh atau Padang terkena gempa. Jadi situasi di sini kurang lebih hebohnya kayak gitu.
Ah, bedanya tidak ada Arlan Pratama yang bersedia berhenti buat nolongin aku, karena semuanya pada sibuk nyelamatin nyawa sendiri. Ya, aku ngerti banget sih di sini kita tidak sempat nunggu-nunggu kawan, karena ini situasi yang memang mencekam. Melibatkan nyawa.
Dan orang pertama yang kucari begitu sampai di lapangan adalah saudaraku. Kebetulan sekolahku bangunannya 3 dan 4 lantai, also, aku pelari yang cepet, jadi aku sampai di bawah dengan cepet.
Oke kenapa aku hobi banget OOT dan nyeritain hal yang panjang lebar kayak gini? Hahaha.
Apakah sekolah kalian punya pelatihan penanggulangan bencana? :>
Last but not least, see you on next update!
Gatau kenapa nulis Red String lebih gampang daripada Mamerah. Padahal dari kemarin ngidam nulis horror -_-
With a lot of love,
Cindyana / Prythalize
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro