Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Twenty Fifth Thread - "Lie is Something Continual"

Lie is something continual and will all expose by one truth.

***

Mama benar tentang defenisi waktu. Semuanya berlalu begitu saja jika tidak ada apapun yang membuat antusias. Empat bulan lewat begitu saja dan sebentar lagi aku akan berada di tingkat SMP 3.

Hari ulang tahunku berlalu begitu saja. Tahun ini aku merayakan bersama Papa dan Mama. Mereka sudah jauh lebih tidak canggung jika dibandingkan dengan acara tahun baru. Sementara Arlan Pratama ... kebetulan dia juga punya urusan dengan seseorang-nya yang juga berulang tahun di hari yang sama. Seharian itu, dia tidak tampak, jadi dia mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku lewat telepon dan dia minta maaf soal itu. 

Lalu, tentang ranking paralelku, lebih baik tidak menjelaskannya lebih detail. Belum ada perkembangan yang pantas untuk diceritakan.

Sejak studi tur empat bulan yang lalu, Arlan Pratama sering sekali pulang larut malam. Sebenarnya tidak sampai di atas pukul sepuluh malam, tetapi menurutku untuk anak ukuran SMP seperti kami, itu sudah cukup larut, kan? Karena hal itu, kami jarang makan bersama lagi. Mama sering bertanya apa kesibukan Arlan Pratama dan aku selalu bingung menjawabnya. Seharusnya Mama menyadari bahwa kami tidak berbincang sesering Mama berbicara dengannya.

Namun ada beberapa malam di mana Arlan Pratama bergabung dengan makan malam kami. Mama bertanya kepadanya dan dia hanya mengatakan bahwa dia sering pulang terlambat karena harus mengunjungi beberapa keluarganya. Mama pernah melihat dia turun dari mobil hitam yang selalu menjemputnya, jadi Mama bilang padaku bahwa Arlan Pratama memang punya urusannya sendiri (aku tidak ingin melawan orangtua, tetapi sebenarnya aku tidak terlalu ingin tahu).

Di hari pertama sekolah, aku juga tidak mengekspetasi bahwa aku akan bertemu dengan Arlan Pratama. Sebab, semuanya tahu dia memang tidak akan muncul di hari pertama dan akan menerima pialanya pada saat dia masuk. Kurasa semuanya yang sudah terbiasa juga sudah terlalu lelah untuk mencari tahu. 

"Adik-adik kelas pada heboh nyari-nyari Arlan," gumam laki-laki dari kelas sebelah yang kebetulan berdiri di sampingku. 

"Hebat ya, sampai terkenal di kalangan anak SD yang baru lulus," balas temannya. 

"Kalau Arlan pacaran, pasti bakal patah hati berjamaah," sahutnya. 

Sebenarnya aku ingin lebih fokus mendengar amanah dari pembina upacara yang sedang memberikan motivasi di tahun ajaran baru. Namun suara mereka memang terdengar lebih keras dibandingkan mikrofon yang digunakan guru pembina. Setidaknya itulah yang kudengar, karena mereka berbaris di dekatku.

Pembicaraan mereka berakhir sampai di sana, karena ternyata ada guru yang berdiri dekat kelompok paduan suara dan memberikan perlototan tajam kepada mereka.

Tiga hari berlalu, empat hari dan bahkan lima hari, Arlan Pratama tetap tidak menunjukkan dirinya. Ini agak aneh, karena aku ingat persis kalau Arlan Pratama kembali ke apartemen pada malam sebelumnya. Kami memang tidak saling bertegur sapa, tetapi aku selalu mengakhiri sesi belajarku setelah memastikan bahwa Arlan Pratama kembali dari suatu tempat.

Dan aku juga ingat, malam kemarin Arlan Pratama juga kembali. Dia selalu membuka balkon, menyalakan lampu, lalu dia akan menelepon ibunya. Pada saat itulah aku akan memutuskan untuk kembali ke kamarku.

Hari ini juga, Arlan Pratama tidak datang. Kurasa guru-guru mulai lelah menyimpan piala juara umumnya, sampai-sampai mereka memutuskan untuk menitipkannya kepadaku untuk memberikannya kepada Arlan Pratama (aku sudah pernah bilang kalau guru-guru tahu mengenai kami yang tinggal di satu gedung apartemen, kan?). 

Aku benar-benar tidak percaya mereka tega melakukan itu tanpa memikirkan perasaanku. Tidakkah mereka berpikir kalau aku sangat menginginkan piala itu? Mengapa malah menitipkannya padaku?

Piala itu masih terpajang sementara di meja belajarku, itu berhasil memotivasiku untuk belajar lebih keras. Aku sepertinya bisa belajar empat jam tanpa berhenti, kalau saja Mama tidak mengajakku makan malam.

"Arlan nggak bilang akan makan malam bersama hari ini," ucapku setelah kami duduk agak lama di meja makan tanpa memulai apapun.

"Kamu nggak tanya?" tanya Mama sambil mengambil piring untuk menaruh nasi.

"Masalah keluarga, aku nggak berani tanya," balasku singkat. "Belum tentu dia mau jawab."

"Hmm ... Gitu." Mama mengambil lauk dan menempatkannya di piringku. "Oh ya, Sayang. Mama hampir lupa ngasih tahu. Besok sore kamu mampir ke rumah sakit, ya. Papamu mau ngajak kamu malam mingguan, katanya."

Aku mulai menyantap makananku sambil mencerna kata-kata Mama, "Terus, Mama?"

"Mama tidak bisa ikut. Ada projek besar di kantor, kerjaan Mama sudah menggunung. Kayaknya besok malam, Mama bakal pulang agak malam, deh," curhatnya.

"Oh, gitu."

Padahal, aku tahu Papa sengaja memilih besok karena Papa tahu kalau aku masih di masa awal-awal kelas dan tidak akan sibuk belajar. Papa juga sengaja memilih tanggal yang tidak mendekati akhir bulan atau tepat di awal bulan. Namun tampaknya semua rencana brilian Papa akan gagal karena Mama tidak bisa ikut.

Hari ini adalah hari sabtu, seharusnya aku bisa belajar lebih lama daripada kemarin. Namun rencana hari ini berubah ketika aku sedang membereskan bumbu dapur. Stok garam dan gula sudah nyaris habis. Mama memang sudah bilang tidak akan memasak hari ini, karena Mama akan pulang terlambat dan makan di luar, sementara aku dan Papa akan menghabiskan waktu untuk makan di suatu tempat. 

Karena hal itulah, aku memutuskan untuk mengunjungi minimarket terdekat. Bukan jenis minimarket yang menawarkan banyak produk, tidak selengkap yang ada di pusat perbelanjaan, tetapi aku dan Mama cukup sering berbelanja bumbu dapur yang sudah mulai habis. 

Suasana di minimarket tidak terlalu ramai, ada beberapa pengunjung yang menenteng keranjang dan mengisinya dengan barang yang mereka perlukan. Siang ini sangat terik. Aku sampai curiga ada beberapa orang yang masuk kemari hanya untuk menyejukkan diri dengan memutar-mutar seputaran minimarket untuk menikmati suhu dingin yang memang tersedia di sana.

Kulangkahkan kaki untuk pergi ke lorong yang sudah agak kuhafal letaknya. Sembari memastikan bahwa aku mengambil merek yang benar, aku juga memastikan bahwa waktu kadaluarsa masih cukup jauh. 

Kubalikkan kepala saat menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri di belakangku, lalu kudapati seorang gadis berambut sebahu yang langsung tersenyum begitu kami saling bersitatap. 

"Alenna?"

Ah, dia gadis berseragam sailor itu! Dia ingat namaku?

"Tyara?"

Tyara menatapku kagum seolah aku mengucapkan sesuatu yang hebat. Detik berikutnya, dia menanyakan kabarku, "Hai, apa kabar?"

"Baik," balasku singkat, sambil berusaha tersenyum agar dia tidak merasa tidak nyaman. 

"Sabtu kalian tidak masuk sekolah, ya?" tanya Tyara sembari memilih beberapa merek gula secara acak. Ya, benar-benar acak karena dia tidak memeriksa kandungan zat di dalamnya, waktu kadaluarsa, atau apapun itu yang seharusnya dia lakukan. 

"Iya. Kalian masuk?" 

Itu pertanyaan terkonyol yang mungkin didengar oleh Tyara, mengingat bahwa saat ini dia memang sedang memakai seragam sekolahnya. 

"Biasanya kalau sabtu, sekolah kami dibuka untuk kegiatan klub dan ekstrakurikuler, tapi karena aku tidak ikut klub, jadi biasanya aku di rumah," balasnya sambil melangkah ke lorong minuman yang letaknya hanya berseberangan dari lorong ini.

Diam-diam, aku ikut mengambil gula dengan merek yang diambil Tyara. Aku tidak berniat membelinya, hanya ingin memeriksa saja. Kuperiksa kilat karena tidak ingin Tyara terganggu dengan apa yang kulakukan. Untungnya, waktu kadaluarsa masih lama (aku memeriksa tiga botol dalam waktu kurang dari sepuluh detik, semuanya sama, dan kuharap Tyara juga mengambil yang sama).

"Kamu punya line?" tanya Tyara begitu aku meletakkan botol itu kembali ke tempatnya. 

"P-punya," balasku agak gugup, takut kalau Tyara melihat apa yang kulakukan barusan. 

"Kemarin di bus kami bertiga tukaran kontak, sayang banget nggak sempat minta kontak kalian," ucap Tyara sambil mengeluarkan ponselnya. Aku sempat bingung dengan hal yang dikatakan Tyara, karena seingatku ada empat orang lainnya di halte. Tyara langsung menjelaskannya juga begitu menyadari, "Aku baru ingat kalau kamu pulang duluan. Clay tidak naik bus." 

"Oh, begitu." 

Aku ikut mengeluarkan ponselku karena Tyara sudah menambahkanku sebagai teman dan mengundangku dalam satu grup yang bertuliskan "Five Rain Women". Tyara langsung menjelaskan, karena tampaknya dia mengerti kebingunganku. 

"Riryn yang bikin grup itu, katanya biar makin akrab," ucap Tyara yang akhirnya membuatku mengangguk termanggut. "Oh iya, sekolahku lagi ngadain acara school meeting. Dibuka umum, mau ikutan tidak?"

Aku mengerjapkan mata, bingung. Sejujurnya ini pertama kalinya aku pergi ke sekolah SMP lain di kota ini, dan hal-hal baru selalu saja berhasil membuatku sangat gugup. 

"A-apa tidak apa?" tanyaku. 

Tyara memiringkan kepala, "Hah?" 

Bahasaku pasti terlalu kacau, sampai Tyara bingung. 

"Aku boleh ikut?" 

Tyara langsung tersenyum sambil memasukkan sesuatu dalam keranjang, "Tentu saja."

Kami sama-sama membayar, lalu keluar dari minimarket. Sepertinya aku juga pernah mereferensikan bahwa sekolah Tyara adalah sekolah yang paling dekat dengan area ini. Mungkin jika dulu aku gagal dalam tes masuk, aku bisa saja berada satu sekolah dengan Tyara.

Hal yang mencolok dari seorang Tyara sejak awal aku mengenalnya adalah tentang benang merahnya. Dia punya benang merah yang unik. Benangnya benar-benar melintang ke atas, padahal benang yang kulihat, semuanya mengambang di udara. Sekarang, aku mulai berpikir kalau benang merahnya Tyara mungkin adalah seorang astronot yang sedang menjalankan misi di luar bumi. Karena ... Alien itu tidak nyata, kan? 

Tyara tidak berbohong tentang acara yang dibuka umum itu. Buktinya, saat ini keadaan di lapangan sekolah itu sangat ramai dan dipenuhi oleh tenda-tenda putih yang menjajar mengelilingi lapangan. Sepertinya ini adalah kegiatan bazar, itu membuatku teringat kembali dengan festival sekolah tahun lalu. 

Tyara sepertinya tahu kemana dia harus berjalan. Dia melangkah ke satu arah, sesekali berbalik ke belakang--sepertinya takut meninggalkanku tersesat dalam lautan manusia yang berkeliling. Namun nyatanya, tidak sulit menemukan Tyara, karena aku hanya perlu mencari keberadaan benang merahnya yang melintang itu. 

Tak lama kemudian, kami berhenti di salah satu tenda. Tyara memberikan plastik belanjaannya kepada orang-orang yang berada di sana. Aku menggunakan kesempatan itu untuk menyimpan kantong plastik yang berisi gula dan garam ke dalam tas kecil yang kubawa. 

"Ayo, Alenna, kita lihat pertunjukan drama," ajaknya. 

Dia mengajakku ke ruang auditorium sekolah. Tirai merahnya masih tertutup dan lampu-lampu juga masih menyala. Kulihat ada beberapa orang berkostum yang lewat dengan buru-buru. Tyara masih menunggu dengan tenang, padahal suara anak-anak yang menjerit heboh di depan sana karena melihat seseorang berkostum kuda melewatinya. 

"Kamu ..., punya banyak teman, yah," sahutku, menyuarakan apa yang ada di pikiranku. 

Benang merahnya muncul lagi, karena kami memang hanya diam sedaritadi. Kali ini benang merahnya terlihat sangat normal, tidak lagi melintang ke atas. Mungkin karena kami berada di ruangan tertutup. Namun, berada di dalam ruangan justru membuatku dapat melihat apa yang salah dengan benang Tyara. 

"Tidak, temanku hanya satu di sekolah," balasnya. 

Benang merah Tyara terlihat lebih gelap daripada yang biasa kulihat. Atau hanya perasaanku saja? Andai saja ada benang merah lain yang muncul di sana, aku pasti akan menggunakannya untuk membandingkannya dengan jelas, tapi aku tetap yakin kalau itu memang berwarna merah gelap. 

"Lebih baik daripada tidak ada, kan?" Aku tidak pernah tahu bagaimana cara menghibur orang lain, tetapi aku akan menyuarakan apa yang kupikirkan. 

Tyara hanya menatapku diam, tidak membalas perkataanku.

"Sekarang, kita teman, kan?" tanyaku ragu. "Kalau kamu punya masalah, jangan sungkan bercerita kepadaku, yah."

Tyara langsung tersenyum, "Iya, kamu juga," balasnya. 

Kuperiksa lagi benang merahnya. Warnanya tetap sama, tidak ada yang berubah. Aku benar-benar berharap tidak ada hal buruk apapun yang terjadi dengan Tyara. Maksudku, dia adalah orang yang baik. 

Pertunjukan drama dimulai dan drama yang kami saksikan adalah Snow White. Gadis yang memainkan Snow White sangat berbakat, menurutku. Tyara sepertinya juga berpikir demikian, buktinya dia terus tersenyum di sepanjang cerita. Bahkan saat Snow White itu melakukan improvisasi karena ada anak kecil yang tiba-tiba naik ke panggung untuk menghentikannya memakan apel beracun. Itu mengundang tawa dari penonton.  

"Snow White-nya ramah," gumamku. 

Tyara hanya mengangguk sebagai jawaban. Matanya tetap membinar-binar saat melihat pertunjukan drama. Sepertinya, Tyara senang karena bisa menontonnya. 

*

Ada banyak hal yang kami lakukan selain menonton pertunjukan drama. Tyara juga mengajakku berkeliling melihat-lihat sekolahnya. Itu pertama kalinya ada yang mengajakku berkeliling selain Mama, itu membuatku agak senang. 

Kuperhatikan Tyara yang membantu teman-temannya untuk beres-beres. Beberapa saat kemudian, dia berlari menghampiriku dengan buru-buru. 

"Maaf membuatmu menunggu," katanya dengan nada menyesal.

Kugelengkan kepalaku pelan, "Tidak masalah, aku senang berada di sini." 

Kami berjalan keluar dari gerbang dan sama-sama berjalan sampai ke halte. Aku tahu kalau Tyara akan menunggu di sana, karena dia memang pulang dengan bus. 

"Menunggu bus?" 

Tadinya aku berpikir untuk pulang lebih dulu, tetapi melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul lima sore, kupikir aku harus langsung mampir ke rumah sakit. Jadi, aku menganggukan kepala.

"Atau menunggu pacarmu itu?" tanya Tyara sambil tersenyum geli. 

Pacar? 

Kukerutkan keningku, berpikir sebentar tentang siapa yang dibicarakan Tyara. Lalu, aku teringat bahwa Tyara dan tiga orang lainnya pernah melihat Arlan Pratama menjemputku dari halte. Mungkin itu? 

Aku langsung salah tingkah, "Ti-dak. Kami hanya tetangga." 

Aku tidak sengaja mengigit lidahku sendiri. Aneh, padahal aku sedang tidak berbohong.

Tyara memperhatikanku selama beberapa saat, menganggukan kepala, lalu akhirnya kembali terdiam. Itu membuat keadaan menjadi sangat canggung, karena sepertinya Tyara tidak mempercayaiku. 

Daripada terjebak dalam keheningan panjang yang tidak akan selesai sampai bus datang, lebih baik aku menanyakan hal yang membuatku penasaran.

"Ka-kamu kelas berapa?" tanyaku. Sepertinya suaraku terlalu pelan. 

"Sembilan. Kalau kamu?" Tyara bertanya balik. 

"Sama." 

Bus berwarna merah datang setelah beberapa menit. Kami sama-sama naik. Ada beberapa obrolan yang kami bicarakan, semuanya seputar apa yang kami lakukan tadi. Aku senang bisa mempunyai teman seumuran. Kami mungkin bisa mendiskusikan tugas dan latihan soal untuk UN nanti, tetapi aku teringat kata-kata Rania. Dia bilang membahas soal sangatlah membosankan. Karena tidak ingin membuat Tyara bosan, jadilah aku tidak membahas hal yang ingin kubahas. 

Obrolan kami terhenti karena kami sudah sampai di halte perbehentiannya. 

"Aku turun dulu, ya," pamitnya sambil tersenyum. "Sampai jumpa lagi." 

Aku membalas perkataannya, "Iya, sampai jumpa lagi."

Tyara pun turun dari bus. Namun begitu kakinya menapak di tangga, dia berhenti selama beberapa saat, lalu mendongak ke atas. Aku ikut mendongak untuk memperhatikan apa yang sebenarnya sedang dilihat oleh Tyara, tetapi yang kudapati hanyalah langit senja. 

Jantungku berdebar kencang saat aku menyadari hal itu

Ujung benang merah Tyara.

Ujungnya ... berhenti tepat di atas kepala Tyara. Kosong.

Tyara tiba-tiba menoleh ke arahku. Di sana, aku baru bisa melihat ekspresi wajahnya, karena sebelumnya dia berdiri membelakangiku. 

Ekspresinya juga terkejut. Sama sepertiku. 

Kuangkat tanganku dan melambaikannya dengan agak kepayahan. Aku juga berusaha tersenyum untuk menutupi kegugupan yang menghampiri. Semoga saja Tyara tidak menyadari kejanggalanku.

Selanjutnya, bus pelan-pelan mulai bergerak menjauhi Tyara. Aku tidak melepaskan pandanganku dari Tyara yang berdiri di halte seorang diri. Pelan-pelan benang merahnya menghilang karena tidak ada komunikasi di antara kami. 

Benang merahnya memudar, meninggalkanku dalam kebingungan yang sangat dalam.

Dan karena hal mengenai benang merah adalah hal yang sulit untuk dipercaya, rasanya aku juga tidak bisa bertanya pada Tyara. Ada kemungkinan besar bahwa Tyara tidak tahu apapun mengenai hal itu. Jangan-jangan, jika aku bertanya, Tyara malah menganggapku sebagai orang aneh.

Dalam perjalanan menuju halte rumah sakit, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan benang merah Tyara. 

***TBC***

 23 Juni 2019, Sabtu

Cindyana's Note

Paus kenapa update tengah malam? KARENA MENDADAK PENGIN UPDATE :'

Hayoloh yang bingung sama apa yang terjadi sama Tyara, boleh baca Air Train yaaa. Siapa tau lupaaa #kode biar kalian baca ulang Air Train /lol

Ini 2300 kata lainnya :D 

Tenang, nanti Arlan bakal muncul lagi hehehe. Kalian bisa baca ulang Air Train dan Red String, sambil analisis atau siap-siap buat dikodein sama paus setelah ini, karena setelah chapter ini, kode-kode akan bertebaran seperti meses.

<3 <3



Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro