Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Twenty Eighth Thread - "Doubt is Something Dangerous"

Doubt is something dangerous, because one decision can affect the whole future.

***

Aku sudah kehilangan hitungan.

Sudah berapa kali aku kalah dari Arlan Pratama?

Kutatap lagi papan mading untuk memeriksa bahwa itu benar-benar menunjukkan ranking paralel untuk akhir semester ganjil, bukan untuk mid semester ganjil. Masalahnya, berapa kali pun aku memeriksa tulisan itu, tulisan itu benar-benar ditujukan untuk akhir semester ganjil. Yang mana halnya, aku benar-benar menduduki posisi ranking dua, lagi.

"Makanya, kalau aku ajak belajar bareng, iyain aja," ucap Arlan Pratama sambil tersenyum puas.

"Aku nggak bisa konsentrasi kalau belajar sama orang lain," balasku sambil membuang muka. "Di sekolah juga, aku nggak bisa konsentrasi karena terlalu ramai."

"Ya, kan kita berdua belajar bersama di perpustakaan. Nggak akan ramai," ucapnya.

"Kayaknya aku tidak bisa fokus kalau belajar sama kamu, soalnya kan kamu suka ngajak--."

Arlan Pratama bersidekap tangan, memotong perkataanku, "Ya, fokusnya sama materi, bukan sama aku."

Aku menatapnya dengan tatapan datar. Jawabannya benar-benar keterlaluan menyebalkan. Padahal maksudku dalam konteks ini adalah karena Arlan Pratama kelihatan seperti tipe yang akan mengajakku mengobrol dan bercanda di sela acara belajar. Itu tentu bukan hal yang baik bagiku.

"Bercanda, tahu." Arlan Pratama malah tertawa.

Mama berjalan mendekati kami dan menyerahkan rapor kami masing-masing. Memang, Mama akhirnya memutuskan untuk juga mengambil milik Arlan Pratama karena selama ini, rapornya benar-benar ditahan karena tidak ada perwalian yang mengambilnya. Biasanya Arlan Pratama baru bisa mengambilnya setelah sekolah masuk selama seminggu. Rapornya ditahan bersama rapor anak-anak yang bermasalah, padahal dia juara umum. Sepertinya aku mulai mengerti perasaan Rania dulu.

Selama dua bulan ini, semuanya berjalan normal seperti biasa. Kami ke sekolah, sama-sama pulang, makan malam bersama, dan terkadang Arlan Pratama bisa menghilang sehari-dua hari tidak pulang ke apartemennya. Namun dia selalu memberi kabar, jadi sepertinya tidak masalah.

Kami bertiga berjalan sampai ke gerbang, sampai akhirnya Mama berhenti ketika kami hendak berjalan ke arah halte.

"Sebenarnya barusan ada panggilan dari kantor yang penting sekali. Kalian berdua bisa pulang sendiri kan?" tanya Mama.

"Kalau pulang berdua, tidak sendiri, Tante," jawab Arlan Pratama dengan konyolnya.

Mama tertawa, tetapi aku tetap menatapnya tidak suka. Tidak lucu.

"Biasa juga pulang sendiri, Ma. Mama tidak perlu khawatir," ucapku.

"Maaf ya, rencana makan siang kita malah batal. Nanti malam kita makan enak, ya!" janji Mama sambil mengangkat sebelah tangannya, lalu mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang. "Kalian nanti makan siang dulu ya, sebelum pulang."

"Iya," balasku sambil menerima uang dari Mama.

Tak kunjung mendapatkan respons dari Arlan Pratama, Mama dan aku langsung menoleh heran ke arahnya.

"Uh..?" Arlan Pratama menatap ke arahku dengan ragu, lalu kembali menatap Mama. "Tante tidak makan siang?"

"Tidak, tapi di sekitar gedung kantor Tante ada banyak cafe dan--" Mama tiba-tiba terdiam, menatap Arlan Pratama selama beberapa saat, lalu kembali menatap ke arahku. "Lenna sedang ingin makan apa?"

Aku mengerjapkan mata. Mengapa Mama tiba-tiba mengalihkan topik. Apa yang sedang terjadi di sini?

"Apa saja boleh, Ma," ucapku.

"Kalau begitu Arlan yang pilih tempat, ya," sahut Mama sambil tersenyum. "Alenna bisa makan dimana saja, kok. Santai saja."

Arlan Pratama menganggukan kepala.

"Mama tidak ikut ke halte?" tanyaku.

"Nanti ada rekan kerja Mama yang jemput di sini," jawab Mama. "Kalian duluan saja, kalau sudah pulang, nanti kabarin, ya."

Kuanggukan kepalaku, "Oke, Ma."

Saat kami sampai di halte, aku bisa melihat ada mobil silver bertuliskan nama perusahaan tempat Mama bekerja yang menjemput Mama. Setelah mobil itu menghilang sepenuhnya dari pandanganku, aku kembali menoleh heran ke Arlan Pratama.

"Kamu mau makan apa?"

"Belum tahu juga," balasnya.

Arlan Pratama duduk dan membuka rapornya, yang membuatku ikut membuka raporku untuk membandingkan nilai kami.

"Wah. Selisih total nilai kita hanya 8 poin," ucap Arlan Pratama, entah benar-benar terkagum dengan hal itu atau hanya untuk menghiburku.

Aku mengigit pipi bagian dalam. Sepertinya kali ini juga, tidak ada kenaikan yang berarti. Pada mid sebelumnya, nilai kami selisih 6,8 poin. Sekarang selisih 8 poin.

Aku kalah lagi, entah sudah yang keberapa kalinya. Itulah alasan mengapa aku mengatakan bahwa aku kehilangan hitungan.

Begini. Kami mulai berlomba soal ini sejak ujian semester genap untuk kenaikan kelas delapan. Saat ini kami ada di titik ujian semester ganjil kelas sembilan. Total ujian yang kami hadapi beserta mid semester sampai hari ini adalah tujuh kali. Dan semuanya adalah kemenangan Arlan Pratama. Lalu soal permintaan, Arlan Pratama baru memakainya dua kali. Masih ada lima kali. Astaga, lima kali.

"Kamu mau makan apa?" tanya Arlan Pratama ketika melihatku menutup raporku dengan kecewa.

"Uhm, enggak tahu. Kamu saja yang pilih tempat," jawabku.

Arlan Pratama menatapku datar, "Ya sudah, kalau begitu."

Selanjutnya, kami hanya diam, menunggu bus datang. Saat sedang merenung memikirkan lima permintaan yang mungkin diminta Arlan Pratama, anak itu tiba-tiba mengajakku mengobrol.

"Kamu sudah punya rencana tahun baru?" tanyanya, yang membuatku langsung refleks mengingat janji yang kami buat di pesan pada tahun lalu.

"Mau lihat kembang api?" tanyaku.

"Makanya, aku tanya dulu kamu sudah ada rencana atau belum," jawabnya.

Mama dan Papa belum membicarakan ini, jadi aku tidak bisa memberikan jawaban pasti.

"Belum, kalau kamu?" tanyaku.

Arlan Pratama melempar senyum, "Ayo kita lihat bersama!"

"Hmm, Papa dan Mama belum bilang sih, aku tidak bisa janji," balasku sambil mengelus tengkukku.

Arlan Pratama menatapku agak lama, "Papa dan Mamamu masih berteman baik, ya?"

"Mereka memang berteman baik sih, dari SMP," balasku agak murung.

Aku tahu bagaimana mereka bisa bertemu. Sepertinya aku sering mengatakan bahwa mereka adalah teman satu SMP dulunya. Keduanya berteman baik hingga SMA, lalu berpisah sampai mereka menyelesaikan perkuliahan mereka. Mereka bertemu lagi ketika acara reuni SMP sepuluh tahun berikutnya, menjalin hubungan, menikah, lalu Mama melahirkanku. Kemudian, keduanya sibuk karena pekerjaan masing-masing. Sesingkat itu, hal yang bisa kuceritakan.

Semuanya karena benang merah ....

Kami terjebak dalam keheningan, karena mendadak suasana di halte berubah menjadi sangat kelam.

"Ngomong-ngomong, nilai Bahasa Inggrismu tinggi sekali," sahutku, untuk memecah keheningan. "Mrs.Verent memang tidak salah memilih orang untuk ikut lomba pidato Bahasa Inggris."

Arlan Pratama menoleh agak kaget, "Eh? Darimana kamu tahu kalau...?"

"Pernah dengar dari mana ya? Aku lupa," balasku dengan nada datar. Sebenarnya agak kesal membicarakan Sandra, jadi lebih baik aku tidak menyebutkan nama teman sekelasnya yang selalu ingin serba tahu itu. "Yang membuat nilai kita selalu berselisih jauh itu gara-gara Bahasa Inggris."

"Kalau kamu mau, aku bisa mengajarimu."

Lagi-lagi aku menatapnya datar, itu karena mendadak aku teringat sebuah kejadian tidak mengenakan dulu. "Sebenarnya, kamu tidak terlalu memerlukan kamus atau kalkulator, kan?"

Arlan Pratama tertawa, "Kamu baru sadar?"

Kenyataan bahwa dia tidak mengelak, membuatku jadi kesal.

Untungnya, bus datang saat aku belum sempat mengatakan apapun. Aku beranjak dari dudukku, lalu Arlan Pratama mengikuti dari belakang. Saat bus sudah hampir dekat dengan halte, tiba-tiba saja Arlan Pratama berceletuk dari belakang.

"Alenna, coba buat kalimat dengan awalan 'I want to-'!"

Meski dengan penuh tanda tanya, aku akhirnya menurut juga, "I want to eat ice cream?"

Bus akhirnya berhenti sepenuhnya. Arlan Pratama naik lebih dulu karena posisinya memang lebih dekat dengan pintu.

"Kalau begitu, kita tinggal cari tempat makan yang ada dessert es krimnya, kan?"

*

Kurasa Papa sedang sedih sekarang. Papa tidak bisa mengambil cuti untuk tahun baru, jadi aku dan Mama akan menghabiskan tahun baru tanpa Papa. Kurasa juga, mungkin Mama agak kecewa. Padahal Mama sudah mencicil pekerjaannya yang seharusnya menumpuk sebelum tahun baru. Namun Mama malah bersikap seolah itu bukanlah sesuatu yang besar.

"Kamu tidak punya rencana tahun baru sama teman, memangnya?" tanya Mama ketika sedang memasak.

Rania juga kemarin mengirim pesan ingin mengajakku menginap di rumahnya bersama Fhea dan Jingga, tetapi aku menolak karena kupikir Papa bisa mendapatkan jatah libur. Kalau sekarang aku memberitahu Rania dan mengatakan bahwa rencana tahun baruku dibatalkan, aku yakin dia akan langsung memintaku datang ke rumahnya. Namun aku juga ingat bahwa aku harus menepati janji dengan Arlan Pratama, karena kami sudah membuat janji itu sejak tahun lalu.

"Mau lihat kembang api sama Arlan? Kami sepertinya lihat dari balkon saja," balasku. "Mama mau ikut?"

"Kalau Mama ikut, ganggu tidak?" tanya Mama sambil tertawa.

"Tidak mungkin Mama ganggu," balasku sambil mengerutkan kening.

"Siapa tahu, kan?" ujar Mama bercanda. "Oh ya, Arlan jadi makan malam di sini? Apa tidak apa-apa kalau tidak menghabiskan tahun baru dengan keluarganya?"

Aku terdiam selama beberapa saat, "Uhm, dia tidak mengatakan apa-apa, sih."

Tepat saat aku mengatakan begitu, bel apartemen berbunyi. Mama melirik ke arahku, membuatku buru-buru melepas celemek yang kukenakan dan langsung pergi menuju pintu masuk. Sesuai dugaanku, yang datang memanglah tetangga kami.

"Selamat malam," sapa Arlan Pratama.

"Malam," balasku dan Mama bersamaan.

Mama dan Arlan Pratama mengobrol sebentar, sementara aku mencoba fokus merapikan piring-piring. Mama bertanya kepada Arlan Pratama mengenai acara keluarganya tahun baru nanti. Arlan Pratama menjawab tidak ada yang istimewa, tidak ada acara khusus, karena katanya keluarganya memang tidak merayakan tahun baru.

Itu membuatku berpikir ulang, apa yang sebenarnya dilakukan oleh Arlan Pratama tahun lalu? Apakah hanya berdiam diri di rumah? Atau menonton kembang api sendirian dari balkon? Semua pemikiranku tentang apa yang dilakukan oleh Arlan Pratama membuatku sangat cemas.

Makan malam berjalan cukup normal. Rasanya kami makan bersama seperti biasanya; tidak terasa seperti tahun baru. Mungkin bedanya, hari ini Arlan Pratama tidak langsung pulang setelah selesai makan malam dan mengobrol dengan Mama.

"Masih jam sembilan. Jadi apa rencana kalian berdua selama tiga jam ke depan?" tanya Mama.

"Belajar," balas kami berdua bersamaan.

Mama tampak kaget, mungkin tidak mengira bahwa aku akan belajar dengan seseorang pada akhirnya. Namun aku tidak mungkin memberitahu Mama bahwa ini adalah permintaan dari Pemenang. Ya, Arlan Pratama yang menyarankan agar kami belajar bersama sembari menunggu tahun baru. Tidak menghabiskan waktu untuk hal sepele, aku menyukai ide itu.

"Karena tahun ini ujian nasional," sambungku saat mengingat bahwa Mama tidak pernah menyukai ideku untuk belajar ketika liburan.

Mama memperlihatkan tatapan masam, lalu tertawa pelan, "Tidak bisa besok aja?"

"Ini belajar terakhir untuk tahun ini, kalau besok, sudah tahun depan," ucapku, diiringi anggukan oleh Arlan Pratama.

"Jangan sampai stres, lho," sahut Mama pada akhirnya.

"Alenna malah stres kalau tidak belajar," canda Arlan Pratama yang membuat Mama tertawa.

Mama akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya di ruang tamu, sementara aku dan Arlan Pratama masuk ke ruang belajar dengan keadaan tirai balkon yang terbuka.

"Aku punya rangkuman, kisi-kisi tahun ini, bank soal UN tahun-tahun sebelumnya, dan juga referensi soal dari internet. Mau mulai darimana?" tanyaku.

Arlan Pratama melirik tumpukan kertas yang sudah kuletakan di meja, lalu menatapku penasaran. "Kamu mau ngerjain ini semua?"

"Iya. Kenapa memangnya?"

"Semua ini?!" tanya Arlan Pratama agak kaget.

Aku jadi ikut kaget karena dia bertanya dengan suara keras tidak percaya. Memangnya dia tidak belajar sebanyak ini?

"Nyicil. Tiga sampai lima lembar setiap hari," balasku, menatapnya aneh. Mendadak, aku ikut penasaran, "Memangnya kamu tidak belajar yang ini?"

"Belajar, sih, tapi kayaknya tidak separah ini," jawabnya. "Kamu belajar keras sekali, aku jadi merasa bersalah karena juara satu terus."

... Tahan tanganmu, Alenna. Jangan melemparnya dengan soal-soal yang berharga.

Belajar dengan Arlan Pratama ternyata tidak seberisik yang kukira. Dia cukup fokus ketika sedang mengisi jawaban. Soal-soal yang kukerjakan sebenarnya tidak sesulit dugaanku, karena aku hampir tidak menyentuh buku paket dan kunci jawaban yang sudah kusediakan. Arlan Pratama yang pintar itu juga tentu saja tidak membutuhkannya. Kami sangat hening, sampai-sampai Mama datang untuk memeriksa apakah kami memang masih berada di ruang belajar.

Setelah pukul sebelas, akhirnya aku berhenti mengerjakan soal lantaran kakiku kesemutan. Keadaan juga tidak hening lagi karena sebenarnya ponselku terus berdering menandakan ada pesan line yang masuk.

Sebenarnya, tanpa perlu melihatnya, aku juga sudah tahu bahwa yang mengirim pesan adalah Riryn, Clay, dan Metta. Jika dulu yang mengirim pesan hanyalah Riryn dan Metta, kini pasukan chat mereka bertambah satu orang. Aku dan Tyara bahkan tidak bertukar pesan pribadi untuk menanyakan soal UN atau berdiskusi tentang soal. Setelah dipikir-pikir, mungkin itu wajar saja mengingat mereka memang pernah satu sekolah dulu, Riryn pernah mereferensikannya di halte.

"Itu HP-mu bunyi terus daritadi," sahut Arlan Pratama pada akhirnya, kurasa dia mulai terganggu dengan hal itu.

Aku yang sedang bersandar, langsung meraih ponselku dengan agak malas.

Sebenarnya aku senang membaca pesan mereka dan terkadang aku juga ingin bergabung, tetapi pergantian topik di grup itu berlangsung cukup cepat. Rasanya aku terlalu lamban untuk mengejar mereka.

Saat tengah membaca chat mereka, Arlan Pratama bertanya, "Siapa?"

Kutolehkan pandanganku ke anak itu. Dia tampak penasaran, tetapi tidak langsung melihat layar ponselku.

"Kamu tidak kenal," jawabku.

Ya, walau Arlan Pratama pernah bertemu dengan mereka, sih.

"Oh, bukan Riana and The Geng itu?"

"Namanya Rania," koreksiku singkat. "Bukan dia."

Aku mengirimkan stiker Brown menangkap kupu-kupu, sebelum akhirnya memutuskan untuk menutup ponselku.

"Hmm? Coba kutebak, dia tanyain soal pelajaran?" Arlan Pratama memutar-mutar pena.

Dia? Aku mengerutkan kening, Arlan Pratama tentu saja tidak tahu bahwa 'dia' adalah mereka.

"Kebanyakan orang tanyain pelajaran saat minggu ujian," balasku sambil melirik benang merahnya yang ikut bergerak karena dia sedang memutar penanya dengan cepat.

Setelah kuingat-ingat, benang merah ini hampir tidak hilang sejak makan malam. Tadi sempat hilang sebentar ketika kami sedang hening, kemudian saat Arlan Pratama berdiskusi untuk satu jawaban, benang itu muncul kembali.

Sudah hampir tiga tahun aku melihat eksistensi benang merah, dan aku tetap saja tidak yakin dengan hal itu.

Apakah aku dan Arlan Pratama itu...?

"Hei, kenapa kamu lihat tanganku terus?" tanya Arlan Pratama yang membuat lamunanku buyar. Dia bahkan sengaja mengayunkan tangannya di depanku untuk memastikan bahwa aku memang memperhatikan tangannya.

Masalahnya, aku tidak bisa mengelak. Melihat sesuatu yang berwarna merah dan sangat mencolok di antara kami, membuatku secara tidak sadar mengikuti kemana kelingking Arlan Pratama membawanya.

"Uh, a-aku baru sadar kalau tanganmu agak besar."

Sedetik setelah aku mengucapkan itu, aku langsung sangat mengerti defenisi tentang penyesalan. Aku benar-benar tidak bermaksud mengatakan hal itu.

"Oh ya?" Arlan Pratama memperhatikan telapak tangannya, lalu mengangkat tangannya di depanku, membuat angka lima. "Coba, mana tanganmu."

Apa ini? Apa ini?! Apakah dia ingin melihat tanganku? Atau apakah dia ingin aku melakukan tos? Atau aku harus meletakan tanganku di sana agar kami bisa melakukan perbandingan? Yang mana?

"Uhm, tanganku kecil," cicitku pelan.

Pipiku mulai terasa seperti hendak mendidih. Kulirik Arlan Pratama, berharap dia menurunkan tangannya dan berhenti. Namun tangannya masih terangkat, dia masih menunggu.

"Punya tangan kecil bukan hal yang memalukan, kok. Lagipula kamu kan perempuan," balas Arlan Pratama, sepertinya bermaksud menenangkanku.

Masalahnya, yang membuat hal menjadi memalukan adalah ...

Aku membuang pandanganku ke arah lain. Mengapa aku bersikap berlebihan? Maksudku, ini bukan pertama kalinya aku menyentuh tangan Arlan Pratama. Kami bersalaman saat berkenalan, juga saat mengucapkan selamat ulang tahun, juga saat bersalaman untuk permainan, dan sepertinya itu memang hal yang lazim.

"Eh, tunggu." Arlan Pratama akhirnya menurunkan tangannya, membuatku lega untuk sejenak. "Kamu malu?"

"Bertanya begitu tidak sopan, tahu!"

"Eh, maaf," ucapnya sambil mengerjap. "Tapi ..., serius?"

"Apanya yang serius?" tanyaku kesal dan bingung.

"Kalau kamu--"

"Bukan!" potongku cepat. "Jangan salah paham."

Kembang api tiba-tiba saja terdengar dari kejauhan, membuat kami berdua kembali hening. Aku melirik jam yang tergantung di atas pintu, belum jam dua belas, tetapi sudah ada yang menyalakan kembang api.

"Wah, sudah ada yang berada di masa depan," canda Mama, tentu saja direferensikan kepada siapapun yang sudah menyalakan kembang api di pukul sebelas.

Mama datang setelah beberapa saat kemudian, tampak antusias, sebelum akhirnya ikut merasa heran saat merasakan suasana dalam kamar belajar.

"Lho? Kenapa?" tanya Mama.

"T-tidak apa-apa, Ma," jawabku. "Kaget, ada suara kembang api, padahal belum jam dua belas."

Mama tersenyum, "Waktu memang berjalan cepat sekali ya, kalau melakukan sesuatu yang menyenangkan?"

Akhirnya kami berdua berdiri dari duduk kami di lantai agar bisa melihat kembang api di balkon. Ajaibnya, kakiku tidak lagi kesemutan setelah merasa panik barusan. Ledakan kembang api di langit berhenti setelah beberapa saat.

"Kalian berdua haus tidak? Teh melati di dapur dibawa ke sini saja kali, ya?"

Baru saja hendak mencegah Mama agar tidak pergi, Mama sudah pergi lebih dulu. Keadaan canggung ini tidak dapat terelakan. Kami benar-benar buntu tanpa ada jalan keluar.

"Pada akhirnya kita lihat kembang api sebelum tahun baru," ucapku, untuk mencairkan suasana.

"Iya," balas Arlan Pratama, masih menatap ke tempat terakhir kembang api itu lenyap.

"Jangan salah paham, ya," sahutku sekali lagi, sebagai penekanan.

Arlan Pratama menatap ke arahku, lalu menundukan kepala, "Iya."

Aku menghela napas lega. Baguslah, tidak akan ada prasangka buruk yang aneh di sini.

"Memang tidak boleh ya?" tanyanya.

"Tidak boleh apa?" tanyaku balik.

"Membuat dugaan."

Aku tersentak, lalu merespons cepat, "Tolong jangan menduga-duga. Kalau dikaitkan dengan peluang dalam matematika, jawabannya sangat luas. Besar kemungkinan dugaanmu salah."

"Baiklah, nanti kalau sudah waktunya, akan kupastikan lagi," ucapnya.

Kemudian, Mama datang membawa teh melati. Tentu saja kami berdua hanya diam ketika menuangkan teh pada cangkir masing-masing.

Hingga akhirnya, ketika Arlan Pratama berbalik, aku menyadari bahwa telinganya memerah. Dia juga pasti mengerti defenisi 'menyesal' hari ini. Seharusnya dia tidak mengatakan hal itu sekarang.

Kutarik napasku panjang-panjang dan melepaskannya dengan perlahan agar Mama dan Arlan Pratama tidak menyadari bahwa aku menghela napas.

Kumohon, jantung, jangan bekerja terlalu cepat.

***TBC***

19 Juli 2019, Jumat

Cindyana's Note

2600++ kata.

HAYOLOH bingung sama percakapan 'rahasia' duo ini. Coba dibaca ulang biar ngeh.

BTW, Aku kaget lho, pas baca komen yang isinya, "Jangan-jangan Kapaus nanti bikin cerita Clay juga?" atau "Tanda-tanda ada cerita Clay, nih."

Lhooo? Helloooo? Kemana saja kalian? LFS a.k.a Little Fantasy Series itu adalah PENTALOGI dimana akan ada lima series. Dan heroine (pemeran utama)-nya adalah KELIMA cewek yang ada di halte. Atau simplenya, Five Rain Woman adalah heroine di cerita masing-masing.

Urutannya:
LFS 1 - Air Train - Tyara
LFS 2 - Red String - Alenna
LFS 3 - Dearest Friend - Riryn
LFS 4 - Daydream Nightmare - Clay
LFS 5 - Butterfly Effect - Metta

Disclaimer: LFS 3-5 belum aku publishkan, karena LFS 2 belum tamat. Dan judul LFS 3-5 bisa berubah sewaktu-waktu, bila aku menemukan yang lebih baik daripada yang ada saat ini.

See you on the next chapter!

Cindyana / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro