The Thirty Third Thread - "You are Divine"
You are divine and you deserved happiness.
***
"Mamamu khawatir, tahu." Arlan Pratama mengucapkan demikian saat kami tak sengaja bertemu di balkon.
Kurasa dia lupa bahwa aku melarangnya berbicara denganku di balkon, tetapi sepertinya tidak apa-apa jika hanya sebentar.
Aku yang sedaritadi melihat ke bawah untuk memeriksa Mama benar-benar masuk ke taksi dengan aman pun langsung mengangkat kepala. Panggilan mendadak ke kantor untuk Mama malam-malam begini, kurasa bukan lagi hal yang mengejutkan untukku. Kutolehkan kepalaku menatapnya, melihat keseriusan dalam kata-katanya.
"Kenapa memangnya?" tanyaku.
"Kamu murung, sih. Aku kan bingung harus jawab apa," jawab Arlan Pratama. "Alenna sedih karena aku, Tante. Masak aku harus jawab begitu?"
Jika aku tidak dalam keadaan sedih seperti saat ini, aku pasti akan membantah dan mengatakan betapa besarnya kepercayaan diri yang dimiliki oleh anak itu, tapi perkataannya memang benar, walau tidak sepenuhnya.
Sudah tiga hari berlalu sejak aku bertemu dengan Kak Aetherd dan tidak ada satu malam pun aku berhenti menebak apa yang sebenarnya dirasakan oleh Arlan Pratama. Tahu bahwa itu akan membuka atau malah mengoyak luka lamanya, aku tidak pernah membahasnya.
Kami mengadakan perpisahan pada sabtu kemarin. Tidak ada yang istimewa untukku karena aku tidak bergabung dalam persembahan tarian. Aku juga tidak terpilih untuk membawa pidato di akhir perpisahan, karena seperti yang semua orang ketahui, hanya ketua OSIS dan pemilik juara umum terbanyak yang akan melakukannya.
Aku benar-benar hanya datang sebagai murid pada umumnya, tapi aku agak bersyukur tentang itu. Kemarin aku benar-benar murung dan sulit tersenyum. Kupikir tidak akan ada yang menyadarinya, karena aku memang jarang tersenyum. Apalagi itu adalah acara perpisahan, siapa akan tersenyum sepanjang waktu?
Mama menyadari bahwa aku sangat murung, tapi Mama tidak menanyakan alasannya. Aku menerka, Mama menungguku bercerita. Mungkin.
"Maaf, ya," ucapku pelan.
Arlan Pratama menatapku sejenak, lalu bertanya tanpa ada nada penasaran sedikit pun, "Untuk?"
"Entahlah, aku juga tidak mengerti," balasku. "Sudah berpikir berbulan-bulan, tapi aku tetap tidak mengerti."
"Wah? Seperhatian itu kamu denganku?" tanyanya dengan nada bercanda, tapi kelihatannya dia hanya berniat mencairkan suasana.
Kutundukkan kepala, "Iya."
Kami berdua terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya Arlan Pratama berdeham pelan, mencairkan keheningan.
"Aku tidur dulu," ucapnya. "Selamat malam."
Aku tahu alasan dia tidur lebih awal hari ini, itu karena besok pagi dia akan ke rumah sakit untuk menjaga kakaknya. Papa bilang kepadaku bahwa Arlan Pratama akan datang besok pagi, mungkin akan berjaga seperti yang dilakukannya setiap liburan sekolah. Ini sudah musim libur, kurasa dia akan melakukannya lagi.
"Iya, malam."
Selanjutnya, dia kembali ke kamarnya setelah menutup balkon. Aku menghela napas panjang dan kembali masuk ke ruang belajar.
Sekarang, aku tidak mengerti Arlan Pratama. Apakah dia menyesal karena sudah membiarkanku tahu sejauh ini? Bukankah reaksi sedih itu wajar? Aku benar-benar bingung.
Kala bingung dengan sikap Arlan Pratama, kuputuskan untuk membuka grup chat Five Rain Women. Hanya grup itu yang bernotifikasi sejak hari ini. Grup kelas sudah tidak lagi aktif sejak perpisahan kemarin.
Aku menyadari bahwa seseorang telah menyebutku di sana.
Riryn
@/Tyara
@/Alenna
Enak ya, yang sudah selesai UN
Libur panjang :)
Clayrine
Hoo, mereka berdua SMP 3 yaa?
Kok tau, Ryn?
Riryn
Tau doong~
@/Tyara, maaf tetiba SKSD tadi wkwkwk
M. Yoelene
Waah, selamat datang di dunia SMA!
SMA di mana nih?
Clayrine
Alenna tetap di sana kan ya?
Riryn
Kalau tetap di sana, berarti nggak lulus dong!
Kamu mendoakan apaan sih :(
Clayrine
Enggak, kok.
Maksudku, tetap lanjut di sekolah sana kan?
Lagian, Alenna ini juara umum tau, mana mungkin enggak lulus.
Riryn
Kok tau, Rine?
Clayrine
Tau doong, Ryn~ ;)
M. Yoelene
Kalian Ryn-Rine aja terus :)
Riryn
Aw, jangan cembulu ya, Lene tayang
M. Yoelene
wkwkwk stop it
Chat mereka bertiga berhenti sampai di sana. Biasanya aku memang tidak akan ikut dalam pembicaraan mereka, tetapi kali ini kuputuskan untuk bergabung karena harus memberikan klarifikasi dan jawaban yang jelas.
Alenna
Kak @/Clayrine, aku bukan juara umum
Iya, aku lanjut di sana
Riryn
Wah
Hai, Alenna
Alenna
Hai, Kak Riryn
Riryn
Tumben nongol?
Biasa jam segini kemana nih?
Alenna
Belajar di rumah, kak
Riryn
Belajar atau belajar?
Wkwkwk
M. Yoelene
Wah, tumben Alenna nimbrung
Gantian Tyara-nya yang hilang nih
Alenna
Hai, Kak Metta
Riryn
Kalian berdua ganti shift ya?
Wkwkwkwk
Kumiringkan kepalaku, lalu membaca pesan yang dikirimkan Riryn berulang kali. Namun aku tidak kunjung mengerti maksud Kak Riryn. Shift? Pertukaran waktu?
Stiker beruang menangkap kupu-kupu diluncurkan, karena tidak tahu harus membalas apa.
Kuletakan ponselku di atas meja belajarku, lalu perhatianku mulai tertuju pada kardus di sudut ruangan. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengorganisir buku-buku pelajaran lamaku.
Sambil mengeluarkan buku-buku milikku sejak SMP 1, aku juga membaca pesan dari grup Five Rain Women. Mereka bertiga saling sahut-sahutan, akrab sekali. Mungkin karena mereka bertiga memang pernah satu sekolah saat masa taman kanak-kanak dulu.
Kuperiksa satu persatu buku. Bukan bermaksud untuk belajar lagi--lagipula aku masih ingat semua materinya--aku hanya memeriksa tulisan tanganku yang sepertinya tidak berubah hingga hari ini. Aku tidak tahu kemana buku-buku itu akan dibawa, tapi Mama bilang buku itu pasti akan sampai di tangan orang lain yang lebih membutuhkannya.
Halaman per halaman kutelusuri, hingga akhirnya tanganku berhenti menyibak di halaman terakhir salah satu buku catatanku.
0,8 dan seterusnya.
Aku ingat dengan hal yang kutulis, tapi aku lupa memberitahu Arlan Pratama tentang ini. Mungkin dia sudah tidak membutuhkannya la--
Kubaca satu persatu angka itu dengan serius.
Eh, tunggu.
Angka-angka ini agak familier.
Kuraih ponselku kembali, lalu beralih dari aplikasi line ke kontak.
Yang benar saja ... angka-angka itu adalah nomor telepon Arlan Pratama. Pantas saja malam itu dia marah-marah tidak jelas. Namun, jelas bukan salahku, siapa yang memotivasinya untuk memberikan nomor teleponnya dengan cara absurd semacam itu?
Aku kembali bersandar pada tembok, melirik ke arah pintu kaca balkon yang sudah kututup.
Arlan Pratama ... apakah sudah sejak saat itu dia memutuskan untuk berbagi ceritanya denganku? Aku tidak tahu. Dulu aku sangat berharap bahwa itu akan terjadi, nyatanya bahkan setelah dia berbagi cerita, aku tidak bisa memberikan bantuan yang berarti. Hanya bisa mendukungnya, tidak bisa benar-benar menyelesaikan masalahnya.
Dia sudah tidur, ya?
Riryn
@/Tyara mana nih
Beneran hilang dong dia
Clayrine
Sudah tidur kali
Kan dia pernah bilang sudah tidur jam 9
Riryn
Iya, tapi kan ini sudah musim liburan mereka
M. Yoelene
Jarang ya bisa nimbrung berlima
Sudah yuk, tidur, tidur, besok senin
Clayrine
Duluan aja, Lene
Good Night~
Kubuka pesan antara aku dan Tyara. Kami hanya bertukar pesan sesekali; saat Tyara menanyakan apakah aku punya bank soal untuk pelajaran biologi dan saat Tyara mengomentari strawberry shortcake sebagai profil baru yang kupasang kemarin.
Setelah dipikir-pikir, walaupun tidak terlalu sering ikut dalam obrolan, Tyara lebih aktif bertukar pesan dengan mereka bertiga dibandingkan aku.
Kususun kembali buku-bukuku ke dalam kardus setelah memastikan bahwa semua buku memang sudah masuk ke dalam tanpa kurang sedikit pun. Tirai jendela ditutup, lampu juga dimatikan sebelum aku keluar dari ruang belajar.
Namun sesaat sebelum aku menutup pintu ruang belajar, aku mendengar suara bantingan keras dari luar balkon. Itu membuatku kembali menyalakan lampu, berjalan ke luar balkon untuk memeriksa, tetapi aku tidak menemukan siapapun di sana. Kusadari bahwa pintu balkon Arlan Pratama dalam keadaan terbuka lebar dan lampu menyala.
"Arlan?" panggilku, tetapi tidak ada jawaban.
Hal pertama yang kuperiksa adalah keadaan di bawah sana--aku benci dengan sikap pesimisku--dan tidak ada hal yang kutakutkan. Kelingkingku juga bebas dari benang apapun, sepertinya keadaan memang aman-aman saja.
Masalahnya, kemana Arlan Pratama sekarang? Dan mengapa dia meninggalkan pintu balkonnya terbuka lebar seperti itu?
Sikap curigaanku kembali menjadi-jadi. Aku mulai berpikir bahwa mungkin ada pencuri yang masuk ke sana. Ini lantai tertinggi di apartemen, lantai sepuluh, tapi bisa jadi pencuri itu masuk dari atap. Untuk membuktikan hal itu, aku mengeledah bagian atas untuk mencari tali, tapi aku tidak menemukan apapun. Lega sekali, karena persepsiku salah.
TING TONG!
Suara bel tiba-tiba berbunyi keras. Aku tersentak kaget karenanya.
Ini bukan waktu yang tepat untuk merasa paranoid. Dalam keadaan sendirian di apartemen dan juga keberadaan Arlan Pratama yang tidak jelas.
Kulangkahkan kakiku ke arah pintu, mengintip dari lubang berlensa cembung yang memang diciptakan untuk memeriksa keadaan di luar sebelum membuka pintu. Ada Arlan Pratama di luar, masih dalam piyama tidurnya dia tampak sedang membungkuk mengatur napasnya, sepertinya habis berlari.
Berpikir bahwa Arlan Pratama dalam situasi yang genting, kubuka pintuku dengan segera, "Arlan, cepat masu--"
Tanpa bisa kuprediksikan, Arlan Pratama meraih tangan kananku dan menariknya. Aku kaget setengah mati, bukan karena aku merasakan sensasi menjadi pemeran utama dalam film horor yang ditarik tanpa aba-aba, tapi karena ...
Mata kanannya biru!
Benar-benar biru, mirip dengan punya Aesl!
Kusadari dia sangat terburu-buru sampai hanya sempat memasang satu lensanya.
Jangan tatap lama-lama! Arlan Pratama benar. Matanya berbahaya!
"Ayo, kita ke rumah sakit sekarang!" pintanya, kembali menarikku.
"Tu-tunggu dulu, ini sudah malam."
Tentu saja aku tidak membiarkan Arlan Pratama ikut menyeretku pergi tanpa penjelasan, lagipula ini sudah agak malam dan tidak ada yang berjaga di rumah.
Ada banyak hal yang belum kukerjakan. Lampu balkon belum kumatikan, pintunya juga belum kukunci karena memeriksa Arlan Pratama tadi, kompor belum kuperiksa, aku juga belum meminta izin dengan Mama, dan yang paling penting, aku masih dalam piyama tidurku.
"Harus sekarang!" katanya serius.
Satu-satunya hal yang kupikirkan ... ah, lagi-lagi aku benci dengan pikiran pesimisku. Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Kak Aetherd?
Pikiran, kumohon, berhentilah berpikiran negatif setidaknya di saat-saat seperti ini. Kumohon!
"Kalau kamu tidak mau, aku pergi sendiri."
Arlan Pratama melepas tanganku, buru-buru kutarik lengan pakaiannya.
"Eh, tunggu, aku ikut. Tapi, boleh tunggu aku sebentar?" tanyaku.
"Aku buru-buru," balasnya.
Ya, kalau buru-buru, untuk apa dia menekan bel apartemen sejak awal? Bukankah akan lebih mudah kalau dia langsung pergi? Bukankah itu artinya dia memang ingin aku menemaninya ke sana? Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya. Mungkin ini karena dia sedang panik? Aku ingin membunuh pikiranku sendiri karena terus-terusan memikirkan hal-hal negatif.
"Ganti bajumu dulu," paksaku sambil menunjuknya. "Tutup juga pintu balkonmu! Pasang lensamu yang benar!"
Arlan Pratama kelihatannya ingin berdebat, tetapi mungkin dia sadar bahwa berdebat hanya akan memperpanjang masalah dan mengulur waktu. Dia langsung kembali ke apartemennya dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk bertukar pakaian dengan kilat.
Tak lama kemudian, kami bertemu di depan elevator. Karena tidak ada yang menggunakannya malam-malam, kami mendapatkan kesempatan untuk turun lebih cepat daripada sebelumnya. Arlan Pratama tampaknya tidak sabaran sekali, karena dia terus-terusan bergerak gelisah.
Aku tidak berani bertanya apa-apa, takut pikiran negatifku memenangkan keadaan. Opsi yang kupilih adalah menghubungi Mama dan Papa untuk minta izin. Tentu saja aku tidak bisa menunggu respons mereka, sudah kepalang tanggung menerima ajakan Arlan Pratama.
"Bus kan sudah tidak beroperasi jam 8 malam," ucapku saat Arlan Pratama menengok jalanan ke kiri dan kanan.
"Nah, itu dia. Ayo, cepat."
Arlan Pratama kembali menarik tanganku seenaknya. Kali ini dia menarikku ke sebuah mobil putih. Aku bingung juga darimana Arlan Pratama tahu bahwa itu jemputannya, mengingat ini bukan mobil yang biasa menjemputnya.
Sampai di dalam mobil pun, Arlan Pratama tetap saja bergerak gelisah. Dia tidak mengatakan apa-apa kepada supir yang menjemput kami, tetapi kini aku yakin mobil itu melaju dengan cepat. Mereka semua sangat terburu-buru dan pikiran burukku mengutukku untuk diam.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, kusadari bahwa supir yang menjemput kami masih supir yang sama seperti sebelumnya. Hanya berbeda mobil, kurasa.
Tiba-tiba Arlan Pratama merutuk pelan, "Ah, aku lupa bawa ponsel. Len, pinjam punyamu."
Kuserahkan ponselku dengan kening berkerut, lagi-lagi dia meminjam tanpa tanya lebih dulu apakah aku membawamu atau tidak. Tadi aku hampir saja tidak membawanya karena Arlan Pratama yang sangat buru-buru, untunglah aku jadi membawanya.
"Aku pinjam buat telepon ibuku, ya," izinnya tanpa menunggu jawabanku. Langsung saja dia mendial nomor tanpa kesulitan.
Entah menunggu berapa lama, Arlan Pratama tidak kunjung mengatakan, "halo". Kutebak, tidak ada yang mengangkat telepon. Sepertinya keadaan saat ini memang sedang kacau sekali.
"Aku pinjam buat telepon ayahku." Dia kembali berceletuk tanpa menunggu jawabanku. Kembali dia mendial nomor dan menunggu jawaban, tapi lagi-lagi tidak ada yang mengangkat.
Supir di depan berdeham sambil terus mengemudi, "Tuan Muda, mungkin Tuan dan Nyonya tidak mengangkat telepon karena yang menelepon masuk adalah nomor tidak dikenal."
"Apa Alenna tidak dikenal?" tanyanya ketus, "Bisa lebih cepat tidak?"
Apa aku sudah pernah bilang kalau Arlan Pratama biasanya sangat menghormati orang yang lebih tua? Kurasa semua sikap respect dan manisnya sudah habis tertelan oleh kepanikan.
Untungnya aku tidak perlu melihat kepanikan Arlan Pratama lama-lama, karena kami sudah sampai di rumah sakit. Aku mengikutinya berjalan cepat ke ruangan tempat Kak Aetherd dirawat. Melihat Arlan Pratama yang tergesa-gesa seperti ini membuat semua bayangan tentang Arlan Pratama yang dikenal sebagai anak yang tenang, musnah begitu saja.
Sesampainya di depan kamar, aku mendapati keluarga Arlan Pratama sudah menunggu di depan pintu. Ada ibu Arlan Pratama, ada Aeslyne dan bahkan ada juga ayah Arlan Pratama yang sepertinya adalah sumber mata biru anak-anaknya. Ayahnya tinggi dan bermata biru, baru kali ini aku melihatnya.
"Kak Aeth bagaimana?" tanya Arlan Pratama begitu sudah sampai di sana.
"Sedang diperiksa dokter," jawab ibunya. Kemudian, beliau langsung bertukar pandang denganku, tampaknya kaget karena baru menyadari keberadaanku. "Eh, Alenna juga ikut?"
"U-uh, selamat malam, Tante," sapaku. Karena juga bertukar pandang dengan ayahnya, aku langsung membungkuk, "Good evening, Uncle."
"Eh, good evening...?"
"Papaku ngerti Bahasa Indonesia, kok," kata Arlan Pratama yang membuatku langsung canggung setengah mati.
"Malam, Kak Aerl. Malam, Kak Alenna!" Aesl langsung mengulurkan tangannya ke arahku, berkedip-kedip lucu membuat mata birunya semakin indah saja. "Kak Alenna juga mau menginap di sini?"
Diperhatikan oleh semua orang kala Aesl berkata demikian, membuatku serba salah.
Beberapa saat kemudian, aku melihat Papa keluar dari ruangan itu. Papa tampak kaget saat melihatku, tapi memilih untuk menghadap ke keluarga Arlan Pratama lebih dulu.
"Benar, dia sudah sadar," kata Papa sambil tersenyum, membuat semua orang di sana langsung saling berpelukan senang.
Aku terbata di tempatku, mengerjapkan mata sambil melihat keseriusan dalam kata-kata Papa. Ini benar-benar terjadi, hal yang sudah ditunggu-tunggu oleh semua orang dan bahkan diriku.
Mereka semua berpelukan. Arlan Pratama memilih menggendong Aesl dan memeluknya, padahal aku ingat dia pernah menolak menggendong Aesl karena anak itu suka memberontak dalam gendongan orang lain. Namun kali ini Aesl tidak memberontak, sepertinya dia paham betul dengan situasi yang terjadi.
"Kami merekomendasikan untuk pindah kamar dan mulai menjalani terapi secara bertahap," jelas Papa.
"Baiklah, semakin cepat semakin baik," ucap ayah Arlan Pratama dengan Bahasa Indonesia yang fasih.
"Oh ya, Aetherd-nya sudah boleh dijenguk. Belum bisa bersuara, tapi sudah bisa mendengar. Diajak berbicara dulu, kami akan siapkan kamar barunya."
Arlan Pratama tiba-tiba mendatangi Papa dan memeluknya. Bukan hanya aku, kedua orangtua Arlan Pratama juga terkejut. Ayahnya berusaha menjauhkan Papa dan Arlan Pratama, tapi Arlan Pratama menolak dan melanjutkan aksinya. Tentu saja dia menjadi pusat perhatian di lorong rumah sakit.
"Terima kasih, Paman." Kata-kata itu yang diucapkannya kepada Papa.
"Aerl, lepasin dokternya. Sudah, jangan nangis. Ada Alenna dan adikmu, malu," bujuk ayahnya.
Papa hanya tersenyum ringan dan menepuk bahunya pelan, "Kamu mau bicara dengan kakakmu, kan? Ayo, masuk."
Mereka sekeluarga masuk ke dalam kamar itu lagi, aku menunggu di luar bersama Papa karena kami tidak mungkin masuk lagi di saat situasi dengan haru-harunya. Papa menatapku agak lama, lalu tertawa ringan.
"Kenapa kamu ikutan nangis? Bukannya Aetherd-nya sudah bangun?"
Kuanggukan kepala sembari menyeka air mata, "Papa keren sekali."
"Wah." Papa tertawa ringan sepertinya canggung, karena aku bisa melihat Papa memainkan kerah jas dokternya dan memperbaiki letak stetoskop. "Papa sih inginnya mendengar dari mamamu, nih."
Aku tersenyum tipis, "Iya, nanti Lenna kasih tahu Mama kalau Papa keren,"
"Lenna kemana saja, nih? Dari dulu kan pekerjaan Papa memang keren," canda Papa.
Baru saja ingin memeluk Papa, tiba-tiba seruan dari ujung lorong menginterupsi kami, "Dokter! Ada pasien baru! Keadaan sangat darurat!"
"Papa duluan ya, Lenna." Tidak membiarkanku mengatakan apa-apa, Papa langsung berlari ke ujung lorong dan menghilang di perbelokan.
Perasaan gelisah tiba-tiba datang menghampiri, tapi aku yakin Papa pasti bisa melakukan tugasnya dengan baik.
Sekarang aku harus turut bersuka cita, karena Kak Aetherd sudah terbangun.
Segala beban Aerland yang diembannya di balik Arlan Pratama, semuanya akan berakhir.
***TBC***
8 Oktober 2019, Selasa
Cindyana's Note
Yeeee, Bang Aeth sudah bangun!
Dan kalau kalian peka, kalian akan sadar kalau pasien yang baru datang adalah Tyara. Jadi, Tyara hilang di grup chat karena ... ya, begitulah.
Buat yang belum baca Air Train, dibaca dulu lho yaaa!
Karena sudah mau tamat, aku akan membuat list sederhana.
.
.
#Everytime Arlan asked Alenna.
1. "Kenapa kamu jadi aneh begini, sih?"
2. "Lama nggak lihat kamu, kok jadi makin pendiam, sih?"
3. "Kenapa kamu harus peduli?"
4. "Kamu khawatir?"
5. "Kenapa diam saja?"
6. "Kamu nggak mau nanya apa-apa gitu?"
7. "Gimana ujiannya tadi?"
8. "Kamu ada rencana liburan?"
9. "Kenapa melihatku begitu?"
10 "Kamu kenapa?"
11. "Kamu nggak kehujanan, kan?"
12. "Kamu kenapa sih? Tiba-tiba jadi aneh begitu. Kamu lapar?"
13. "Kamu tidak apa-apa?"
14. "Kalau hari ulang tahunku? Memangnya kamu tidak penasaran?"
15. "Kalau kamu tersesat gimana?"
16. "Ada yang duduk di sini?"
17. "Kenapa diam sih? Salting?"
18. "Kamu mengutip darimana lagi, kata-kata mutiara kayak gitu?"
19. "Kenapa kamu tidak membangunkanku?"
20. "Daripada nanti malah betah di sana. Kalau nanti nyaman di sana, kamu bakal gimana?"
21. "Terus kenapa murung mendadak? Nyesal karena sudah nolak tawaran Riana buat ketemu kapten basket dari SMP Garuda Putih?"
22. "Kenapa khawatir?"
23. "Lho? Kok malah balik? Aku bisa temenin, nih!"
24. "Ini aku lagi dipuji? Tumben."
25. "Selamat malam-nya mana?"
26. Etcetera.
Kalau ada yang mau nambahin, mongo.
.
.
Menulis Red String sangat mengasikan. Aku sama sekali ga merasa tertekan selama menulisnya. Berbeda dengan saat menulis Aqua World dan Revive yang konfliknya super kompleks itu (salah siapa up keduanya bersamaan?)
Menulis sisa LFS lain juga pasti akan sama mengasikannya dengan menulis Air Train dan Red String, tetapi aku harus menyelesaikan apa yang kumulai lebih dulu.
Aku adalah shipper Arlan-Alenna garis keras wwkkwwkw.
BTW, pernah ada yang bertanya Arlan spesial (kata Aetherd) karena apa?
Jawabannya ada di atas.
Aerland mempunyai heterochromia iridium. Dalam bahasa Yunani artinya berbeda warna. Jadi warna mata kanan dan kirinya berbeda. Karena itu Aetherd bilang dia diistimewakan.
Jadi yang Alenna lihat tadi adalah Aerland yang sudah siap-siap tidur, lepas lensa kontak, lalu terbangun karena denger info tentang kakaknya.
Namun dalam pandangan ibunya, itu adalah kekurangan yang harus ditutupi Arlan, karena itu dia dituntut untuk menggunakan lensa. Berbeda dengan Aetherd dan Aeslyne yang tidak perlu sampai sesulit Aerland.
Sebenarnya aku sudah menggambarnya seperti itu hehehhehee. Tapi kututup dengan layer lain biar ga ketahuan hehehe.
^ Dilarang disebarluaskan. Boleh SS, tapi gaboleh nyebarin. Okeee?
Oke itu saja!
See you on next chap!
Cindyana / Prythalize
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro