
The Thirty Second Thread - "Your Name is Something Fantastic"
Your name is is something fantastic, because I can smile by only heard it.
***
"Akhirnyaaaa, selesai juga!"
Suara Rania yang terdengar pertama kali setelah keheningan panjang yang mencekam. Seisi kelas langsung refleks menoleh ke belakang dikarenakan Rania memang duduk hampir paling belakang.
Rania yang menyadari hal itu langsung membekap mulutnya sendiri, lalu tertawa cengegesan ke arah pengawas ujian yang sedang menatapnya.
Saat hendak menoleh ke depan, kudapati pandanganku tidak sengaja bertemu dengan Arlan Pratama yang duduk di meja yang ada di samping kiriku. Kami memang satu kelas dikarenakan ujian memang mengandalkan nomor absensi paralel sebagai penentu. Hari ini sudah hari keempat ujian nasional dan itu artinya hari ini memang adalah hari terakhir.
Arlan Pratama yang juga menyadari bahwa kami sedang bertukar pandang, langsung melempar senyumnya.
"Tinggal lima belas menit. Jangan ada yang menengok ke kiri atau kanan," peringat guru pengawas yang membuat kami berdua langsung membuang muka ke depan.
Baiklah, Alenna ... ayo ulangi koreksi 6 jawaban yang agak meragukan tadi.
Setelah beberapa saat kemudian, akhirnya kami resmi menyelesaikan ujian nasional kami.
"Hore! Akhirnya kita bebas!" seru Rania sambil berlari ke depan untuk mengambil tasnya.
"Iya, itu pun kalau kamu lulus," sambung Jingga dari belakang.
"Enak saja! Aku begadang selama seminggu ini, tahu!"
Jingga menghela napas, "Tapi ya sudahlah, yang penting libur panjang."
"Hehehe. Kita pergi makan untuk merayakan, yuk!" ajak Rania. "Tunggu, aku mau ajak yang lain juga."
Fhea membuntuti dari belakang, mengambil tasnya dalam diam, lalu menatap dua temannya itu dengan gelisah.
"Um ..., Rania, Jingga, ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan kalian."
"Sebentar, sebentar. Halo? Aria, Aria! Kita makan-makan, yuk!"
Saat sedang mengobservasi mereka, Arlan Pratama tiba-tiba sudah berdiri di samping mejaku dan membawa tasku. Aku tersentak sedikit karena tidak menyadari hal itu.
"Kita pulang, yuk?"
Kulirik sekitarku begitu menyadari bahwa mendadak kelas yang tadinya ramai itu berubah menjadi hening. Dan benar saja, kudapati bahwa semua orang sedang mengalihkan pandangan mereka ke arah kami. Bagus, Arlan Pratama memang ahli sekali memancing perhatian.
"Arlan curang! Aku baru mau ngajak Alenna!" Rania tiba-tiba datang ke arahku, padahal dia masih bertelepon.
Arlan Pratama menatap Rania dengan tatapan datar seolah mengatakan, aku duluan, kok.
Rania menutup telepon, "Alenna mau kan ikut merayakan selebrasi karena kita sudah berjuang untuk ujian terakhir SMP? Akan ada banyak orang, lho! Teman SD-ku, teman-temannya, ramai deh! Kukenalin sama temanku yang terkenal, karena kamu sudah banyak membantu aku sampai selesai UN. Hehe!"
Jingga menganggukan kepalanya kencang-kencang, "Kapten basket dari Garuda Putih juga ada, lho!"
Kukerutkan keningku bingung, "Eh ... siapa?"
"Wah, Fhe! Fhe! Si Alenna nggak kenal, lho!" Rania berseru heboh, melambaikan tangannya ke Fhea, memintanya datang.
Fhea menatapku sambil mengerutkan kening, "Eh ... serius? Padahal sepupuku yang dari kota sebelah bisa kenal, lho."
"Hmm ... kalau ini Alenna pasti tahu. Ada anak olimpiade fisika-nya Garuda Putih juga, lho!" ucap Jingga.
"Arianna?" tanyaku dan Arlan Pratama dengan kompak.
"Nah, tuh kan, Arlan juga kenal!" Jingga bertepuk tangan, lalu menggelengkan kepalanya perihatin. "Orang pintar memang punya zona-nya sendiri."
"Nah! Jadi kalian mau ikut tidak?" tanya Rania.
Aku duduk dalam diam, menunduk sedikit sambil mengetuk-ngetuk jariku di tangan. Sepertinya aku harus menunggu jawaban dari Arlan Pratama lebih dulu, karena sebenarnya kami sudah sepakat untuk menjenguk Kak Aetherd bersama, begitu selesai ujian.
"Kalau Alenna ikut, aku ikut," balas Arlan Pratama dengan cepat.
Aku ingin sekali menginjak sepatunya karena kebetulan aku sedang menunduk dan kebetulan pula aku memang melihat sepatunya. Jawaban semacam itu akan membuat kesalahpahaman panjang di sini.
Aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk untuk terakhir kalinya di tempat ini. Kuangkat kepalaku untuk melihat reaksi Rania dan yang lainnya.
Rania memincingkan matanya, "Kamu udah kayak ... bodyguard Alenna."
Untungnya Arlan Pratama tidak mengatakan hal-hal aneh lagi. Dia hanya tertawa ringan.
"Len, kamu mau pergi?" tanya Arlan Pratama kepadaku.
"Eh ... Uhm ... Sebenarnya aku sudah janji dengan temanku hari ini," jawabku pada akhirnya.
"Yaaah. Setiap kuajakin, pasti sudah punya janji," keluh Rania.
"Maaf, ya," sahutku, merasa agak bersalah.
"Ya udah deh, nggak apa-apa," balas Rania pada akhirnya. Kami semua terdiam dalam keheningan, sampai akhirnya Rania kembali berceletuk, "Arlan ngapain masih di sini?"
"Oh, sudah janji, ya? Kalau begitu aku duluan. Kamu jangan telat ketemu temanmu." Arlan Pratama langsung memutar tubuh, berbalik berjalan ke arah pintu dan berbelok hingga punggungnya tidak tampak lagi.
Rania menggeleng-gelengkan kepalanya seolah prihatin, "Semakin kamu mengenal seseorang, mereka semakin aneh, ya."
Aku tidak membantah, tidak juga mengiyakan.
"Ngomong-ngomong, Alenna lanjut SMA di sini kan?" tanya Jingga memastikan.
"Iya," jawabku.
"Arlan juga?" tanya Jingga.
Aku memiringkan kepala, bingung untuk menjawabnya, karena sebenarnya aku belum menanyakannya sama sekali. Selama belajar bersama, kami benar-benar hanya menghabiskan waktu kami untuk berdiskusi dan mengisi soal.
Topik pembicaraan kami hanya teralihkan sesekali, terkadang tentang makan malam atau tugas akhir. Arlan Pratama juga pernah membicarakan tentang adik perempuannya yang kutemui waktu itu, katanya Aeslyne akan suka padaku--dia sangat yakin.
"Kalau iya, kalian berdua pasti akan jadi topik pembicaraan lagi." Rania mengatakan demikian sambil berkacak pinggang. "Habisnya, belakangan ini kalian kemana-mana selalu berdua. Jam istirahat, pulang sekolah ... jangan-jangan sepulang sekolah juga, ya?"
Rania tajam sekali.
"Kalian lanjut di sini juga?" Aku bertanya balik, untuk mengalihkan pembicaraan.
"Iya, dong! Kami bertiga sudah satu sekolah dari TK, tahu!" ucap Rania dengan bangga.
Fhea tiba-tiba meletakan tasnya di atas mejaku agak kuat, membuat kami bertiga tersentak karena kaget.
"Jangan gitu, ih! Kaget, tahu!" kesal Rania dan Jingga bersamaan.
"Rania, Jingga." Suara Fhea berubah, membuatku langsung menyadari bahwa ada yang salah di sini. "Aku mau bicara penting."
Rania dan Jingga sepertinya juga menyadari kejanggalan Fhea, sebab mereka berdua langsung terdiam selama beberapa saat.
"Alenna, kamu punya janji dengan temanmu, kan? Kamu duluan saja," ucap Rania pada akhirnya.
"Uhm ... oke. Aku duluan, ya."
Aku merapikan kursiku lebih dulu sebelum meninggalkan kelas yang sudah semakin sepi. Lapangan sekolah tidak terlalu ramai, padahal sudah banyak anak kelas 9 yang keluar. Mungkin ada yang memutuskan untuk langsung pulang dan memulai liburan panjangnya.
Di gerbang sekolah, aku menemukan Arlan Pratama berdiri menunggu di pos satpam. Dia melemparkan senyum tipis.
"Kok jalannya pelan gitu? Kamu lupa temanmu sudah nunggu?" tanyanya dengan nada tengil.
"Enggak lupa, kok," bantahku pelan.
"Terus kenapa murung mendadak? Nyesal karena sudah nolak tawaran Riana buat ketemu kapten basket dari SMP Garuda Putih?" tanya Arlan Pratama.
"Enggak, kok," bantahku lagi. "Dan, namanya Rania, bukan Riana."
Arlan Pratama diam selama beberapa saat, lalu kembali melanjutkan, "Mau beli es krim dulu sebelum mengunjungi kakakku?"
Kuanggukan kepalaku, setuju. Mengapa aku malah membuat Arlan Pratama menghiburku? Padahal seharusnya di saat seperti ini, aku yang menghiburnya, kan?
Entahlah ... melihat mereka bertiga yang biasanya ceria menjadi serius ... entah mengapa membuatku ikut gelisah.
*
"Mama."
Arlan Pratama menyapa saat jendela mobil itu diturunkan. Saat ini kami baru sampai di depan rumah sakit dan tidak sengaja berpapasan dengan ibu Arlan Pratama. Pantas saja Arlan Pratama memperlambat langkah kakinya saat melihat mobil itu.
"Selamat siang, Tante," sapaku.
"Siang, Alenna," balasnya sambil tersenyum, lalu beralih menatap Arlan Pratama. "Tidak dijemput?"
Arlan Pratama menggelengkan kepala, "Aku suruh pulang."
"Hai, Kak Aerl! Hai, Kak Alenna!" sapa Aesl dengan antusias.
Rupanya sedaritadi Aesl sedang menonton video dari gadgetnya, sehingga tidak menyadari kami.
Mereka turun dari mobil. Aesl menolak digendong oleh pengasuhnya dan memilih untuk bergandengan dengan Arlan Pratama. Semuanya berlangsung tenang, sampai akhirnya Aesl menyadari kantong plastik yang dibawa oleh Arlan Pratama.
"Wah! Es krim! Aesl juga mau!" seru Aesl.
"Iya, iya. Jangan tarik-tarik. Ada punya Aesl, kok," ucap Arlan Pratama.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Padahal kami hanya membeli dua, tapi tampaknya Arlan Pratama akan mengalah untuk Aesl. Eh, atau jangan-jangan dia akan memberikan es krimku untuk Aesl? Uh, sebenarnya tidak apa-apa, sih, tapi entah mengapa aku ragu Arlan Pratama akan melakukan itu, mengingat dia mengusulkan membeli es krim untuk menyemangatiku.
"Cuacanya lagi mendung begini, kok makan es? Kalau sakit, bagaimana?" tanya ibunya yang membuatku langsung terdiam.
"Lagi pengen. Sesekali," balas Arlan Pratama singkat.
Kelihatannya keduanya sudah berhenti berargumentasi. Dari belakang, aku berjalan bersamaan dengan perasaan bersalahku.
Aesl tiba-tiba menarik tanganku, lalu melempar senyum lebar. Mata birunya membinar-binar, sampai-sampai rasanya ada sesuatu yang bergetar kagum dalam benakku.
"Eh? Ada apa?" tanyaku, sembari membalas senyumannya.
"Kak Aerl tidak suka makan es krim, apa dia tahu kalau Aesl akan datang?" tanyanya kepadaku.
Aku tertawa kecil sambil menaikkan sebelah bahuku ringan, "Mungkin?"
Setelah kupikir-pikir, perkataan Aesl benar juga. Saat kami makan siang bersama untuk pertama kalinya, Arlan Pratama tidak memesan es krim sebagai makanan penutupnya. Kupikir dia sedang tidak ingin makan dessert, ternyata dia memang tidak suka.
Lalu ... apa tadi dia berencana membelikan dua untukku?
Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. Aku baru selesai ujian nasional, sebaiknya aku tidak berpikir keras untuk hal yang sepele seperti dua batang es krim.
Kulirik tangan Aesl yang menarikku. Benang merahnya terlihat.
Kurasa benang merah memang sudah ada sejak seseorang dilahirkan. Entahlah, aku jarang berbicara dengan anak-anak di lingkunganku.
"Aku khawatir sekali dengan Kak Aerl," ucap Aesl tiba-tiba. Dia menoleh ke arahku, lalu tersenyum lebar, "Untung ada Kak Alenna, ya!"
Aku mengerjapkan mataku, bingung dengan perkataan Aesl. Namun rasanya aneh juga jika aku menanyakan balik maksud perkataan Aesl saat ini. Untungnya Aesl langsung melanjutkan perkataannya dengan cepat.
"Mama juga khawatir, tapi untung ada Kak Alenna yang jaga Kak Aerl," ucapnya.
Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman, "Begitu ya."
Arlan Pratama sudah membuat adik perempuan delapan tahunnya khawatir padanya. Sudah kuduga, dia memang sangat memprihatinkan.
Siang itu, Arlan Pratama akhirnya memenuhi janjinya. Kami benar-benar menjenguk kakak laki-lakinya. Di dalam ruangan itu, aku tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Yang lain juga hanya diam saat melihat sosok laki-laki yang berbaring di atas tempat tidur itu.
Aku bahkan tidak tahu apakah aku berhak berada di sana atau tidak, tetapi karena tidak ada satu pun dari mereka yang mengungkapkan keberatan, pada akhirnya aku ikut membisu dalam ruangan itu, diam memperhatikan dari jauh.
Meskipun Papa adalah seorang dokter, tetapi aku belum pernah berada dalam ruangan. Ini adalah kali pertama aku memasuki rumah sakit. Aroma obat yang biasa tercium dari Papa, semakin tajam di dalam ruangan ini.
Aku tidak tahu berapa lama aku berdiam diri dalam posisi berdiri dari pintu, tetapi saat pintu terbuka dan aku tidak sengaja bersitatap dengan Papa, kami berdua juga hanya diam dan tidak berbicara seperti ketika kami bertemu.
"Aku datang untuk pemeriksaan rutin," kata Papa.
Di sana, aku baru memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Tempat duduk di luar ruangan itu menjadi tempat aku melanjutkan aksi berdiam diriku.
Kepalaku tertunduk, hanya bisa melihat kedua tanganku yang mengepal kuat di atas rok biruku. Meskipun samar, aku bisa melihat kedua tanganku bergetar pelan. Aku bahkan bisa melihat urat nadi di punggung tanganku.
Setelah mengetahui masalah Arlan Pratama, keseharianku dipenuhi dengan perasaan bersalah yang besar. Hal itu karena aku tidak menyadari tekanan berat dan pikirannya. Namun, setelah aku mengetahuinya dan melihatnya sekarang pun, aku tetap dipenuhi perasaan bersalah. Aku tetap tidak mengerti bagaimana Arlan Pratama bisa tetap bertahan hingga hari ini.
Beberapa saat kemudian, suara pintu terbuka. Hanya dari sepatunya, aku bisa tahu bahwa yang keluar dari sana adalah Papa.
Papa hanya menepuk bahuku sekilas, lalu berbicara dengan suara pelan yang bisa kudengar.
"Papa rasa kamu sudah berusaha melakukan yang terbaik. Jangan sedih, ya."
Dalam posisi menunduk, aku tetap mengangguk. Pita suaraku seperti tertahan oleh sesuatu yang tertarik di dalam sana, aku tidak bisa bersuara, tetapi aku ingin tetap merespons Papa.
Papa akhirnya meninggalkanku setelah itu. Sepertinya Papa juga mengerti bahwa sebaiknya aku dibiarkan sendirian dulu, mencerna apa yang sebenarnya terjadi di kala aku tidak menyadari apapun.
Kupejamkan mataku. Kepalaku kembali memutar memori setiap kami bersama dan setiap aku menyadari raut wajah Arlan Pratama yang sedang bersedih. Atau saat dia sedang tertawa dan bercanda bersamaku. Apa yang sebenarnya sedang dipikirkannya? Apa yang sebenarnya sedang dirasakannya?
Padahal, aku menyadari kejanggalan itu. Namun aku tetap tidak bisa membantunya.
Teman seperti apa aku ini?
Aku tidak menyadari bahwa Arlan Pratama sudah keluar dari ruangan itu, mendekat dan berdiri di sampingku. Yang kutahu, ketika aku membuka mataku, aku melihat tangannya di sisi tubuhnya.
Lalu, kusadari pula benang merah itu kembali muncul, walau tidak ada satupun dari kami yang saling berbicara.
Saat menyadari bahwa air di mataku sudah berkumpul dan nyaris tumpah, aku menunduk makin dalam. Aku berharap Arlan Pratama tidak sadar bahwa aku akan menangis.
Arlan Pratama juga akhirnya memutuskan untuk duduk di sampingku, lalu meletakan tangan kanannya di atas kedua punggung tanganku yang masih mengepal kuat.
Aku ingin mengangkat kepalaku untuk melihatnya, tetapi karena air mataku sudah tumpah, aku akhirnya tetap menunduk dan memperhatikan tangan kami.
Eksistensi benang merah ...
Kupikir ia hanya akan muncul ketika komunikasi verbal.
Sekarang, aku percaya kata Mama. Tanpa kata-kata pun, kita bisa terhubung dengan seseorang.
Tanpa kata-kata pun, kita bisa saling mengerti dan memahami.
***TBC***
29 September 2019
Cindyana's Note
Untuk masalah trio sableng sebenarnya bukan masalah yang serius. Jadi Fhea memutuskan untuk bersekolah di SMA Garuda Putih dan kembali bertemu teman-teman lamanya. Sementara Rania dan Jingga tetap satu sekolah dengan Alenna. Mereka berantem bentar sih, bukan karena Rania dan Jingga merasa dikhianati Fhea, tapi karena Fhea baru mengatakannya di saat terakhir.
Yang terjadi padaku barusan, mencoba mengorek informasi tentang kepindahan sekolah Fhea dari Flashback dan membuatku tidak sengaja membaca cerita nista itu lagi. Sekarang, aku lagi-lagi ingin unpublish. HUHUHUHU.
Cerita ini juga akan segera tamat. Aku ingin nangis karena chapter hari ini membuatku emosional sekali huhu. (mungkin ini yang dinamakan kena perangkap tikus sendiri).
Oh ya, ini waktunya sudah sangat dekat.
Next chapter mungkin, si Abang udah bangun.
Dan akan segera tamat~
Oke mari doakan manyak-manyak. Semoga lancaarr <3
Cindyana / Prythalize
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro