Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Thirty Fourth Thread - "Future is Something Aimless"

Future is something aimless, but I don't mind lose with you.

***

"Alenna, kan?"

Suara itu sontak membuatku mendongak. Kudapati seorang perempuan sepantaranku sedang menatap ke arahku. Suaranya dipastikan adalah miliknya, menilai dari sumbernya. Dan lagi, aku melihat benang merah yang muncul di kelingkingnya.

Wajahnya familier, kami pasti pernah bertemu, tapi aku lupa dimana. 

"Kamu sedang apa di rumah sakit?" tanyanya lagi. 

Kujawab dengan agak canggung, "Bertemu Papa." 

Siapa ini?

Apakah teman satu sekolah? Teman seangkatan? Teman satu les? Teman satu SD? Lawan olimpiade? Siapa?

Hari ini bukan hari sabtu atau minggu. Datang pagi-pagi begini, kemungkinan besar dia memang seangkatanku.

"Papamu sakit?" tanyanya agak terkejut. 

"Enggak, papaku dokter," balasku. 

Ya, aku memang jarang memberitahu orang lain kalau Papa berprofesi sebagai dokter. Rasanya setiap aku mengatakan ingin bertemu Papa di rumah sakit, orang-orang akan bereaksi seperti itu. 

"Kamu apa kabar?" tanyanya dengan ramah. 

Kabar buruknya, gadis itu memutuskan untuk duduk di sebelahku--seolah menginginkan topik pembicaraan yang panjang. 

"Baik," jawabku. "Kamu sedang apa di sini?" 

Wajahnya langsung menjadi murung. Aku langsung tahu bahwa aku salah memberikan pertanyaan. 

"Aku lagi jenguk teman," balasnya murung. 

"Sakit?" 

Ya, tentu saja. Aku sampai terheran-heran mengapa aku bisa menanyakan hal seperti itu di rumah sakit. 

"Iya." Gadis itu lalu tersenyum lagi, "Tapi sudah tidak apa-apa, kok. Sudah baikan." 

Lalu mengapa tadi dia murung seperti itu? Jantungku jadi bekerja lebih cepat karena mengira aku salah bicara. 

Belum sempat berbicara lebih banyak lagi, tiba-tiba ada dua orang dewasa yang menghampiri kami. 

"Eh, Gracia. Datangnya pagi sekali," ucap wanita itu. 

Aku jadi tahu bahwa nama gadis itu adalah Gracia. 

Gracia langsung berdiri dari duduknya. "Pagi Tante, pagi Paman. Tyara-nya sudah bangun?" 

Tubuhku tersentak kaget. Kini aku juga tahu bahwa teman Gracia yang sakit adalah Tyara. Tunggu, apakah ini Tyara yang sama dengan Tyara yang aku tahu?

"Tadi waktu lihat sih, belum. Kemarin malam dia tidak bisa tidur," jawab wanita itu.

"Oh, begitu."

"Mau jenguk Tyara juga ya?" Perhatian pria itu beralih ke arahku. 

Jelas saja dia bertanya kepadaku, karena sekarang aku bisa melihat seuntai benang merah baru yang muncul. Saling terhubung. Sepasang suami istri. Kemungkinan orangtua Tyara. 

"Ini teman sekelasku waktu SD, Paman," jawab Gracia yang membuatku mengetahui satu hal baru lagi. Dia adalah temanku ketika SD. Aku jadi bingung kemana semua memori-memoriku mengidentifikasi wajah dan nama seseorang. 

Daripada hanya diam dalam kecanggungan karena membiarkan Gracia yang menjawab semuanya, kuputuskan untuk melempar senyum tipis ke arah wanita dan pria itu. 

Mereka membalas senyumku, lalu kembali beralih menatap Gracia, "Kamu tidak sibuk datang pagi-pagi setiap hari?"

"Nggak apa-apa, kan lagi libur," balas Gracia sambil tersenyum lebar. 

Sementara mereka asyik berbicara, aku mendongak memperhatikan balkon atas di seberang taman. Kamar Kak Aetherd sudah dipindahkan ke sana sejak dia terbangun sepuluh hari yang lalu. Keadaannya sudah lebih baik, saat ini sedang masa terapi untuk merangsang otot tubuhnya agar dapat berfungsi kembali dengan baik. 

Tidak ada tanda-tanda pintu di lantai dua itu akan terbuka dalam waktu dekat. Kucoba berpikir-pikir lagi tentang apa yang dikatakan oleh Arlan Pratama tentang kakak laki-lakinya. 

Katanya, kami berbagi hari ulangtahun yang sama. Sebenarnya dia sudah mengatakan ini beberapa waktu yang lalu. Jadi, dia mengatakan ini sebanyak dua kali. Sebenarnya aku tidak ingin mengingatkan kepadanya kalau kami akan berulang tahun dalam beberapa minggu lagi, tapi sepertinya dia akan terus mengingat itu. 

Sebenarnya aku sudah bertemu dengannya beberapa hari yang lalu; saat aku sedang datang ke ruangan Papa. Aku tidak tahu bahwa Kak Aetherd juga ada di dalam sana karena Papa sudah bilang kepadaku untuk langsung masuk saja. 

Itu pertama kalinya aku melihat Kak Aetherd dalam keadaan bangun--karena sebelumnya aku melihatnya tertidur dalam koma--kedua bola matanya biru, lalu kusadari pula wajahnya dan adik laki-lakinya cukup mirip. Hanya ada satu hal yang berbeda, tentu saja Arlan Pratama adalah versi kecilnya dan mungkin Arlan Pratama jauh lebih kekanak-kanakan, karena Kak Aetherd sangat tenang dan berwibawa walaupun kulitnya pucat. 

Ada seseorang yang berdiri di sampingnya. Tadinya kupikir Arlan Pratama, tetapi orang itu terlalu tinggi untuk Arlan Pratama, jadi kurasa bukan. 

"Oh, Alenna sudah datang. Sini, masuk saja," sahut Papa saat menyadari bahwa aku mengintip dari balik tirai putih pembatas. 

Saat itu aku masuk dengan gelisah, lalu menatap ke arah Kak Aetherd dengan ragu. Kami hanya diam dan aku bisa merasakan Kak Aetherd sedang menelitiku dalam-dalam. Kalau saja dia mau tersenyum miring sedikit saja, aku yakin dia akan mirip dengan Arlan Pratama saat anak itu ingin menyombongkan diri. 

"Temannya Aerl, ya?"

Kemunculan benang merahnya memberikan konfirmasi; Kak Aetherd memang sedang berbicara denganku. Satu-satunya keuntungan yang kurasakan karena memiliki kemampuan melihat benang merah adalah aku dapat memastikan bahwa orang itu memang berbicara denganku, bukan dengan sesuatu di belakangku. 

Kuanggukan kepala, "Iya, Kak."

Pembicaraan kami hanya berakhir sampai di sana, karena selanjutnya dia kembali berbicara dengan Papa. Sementara itu, aku menghabiskan waktu untuk duduk sambil memperhatikan jendela. Barangkali ada keajaiban Arlan Pratama lewat dan membantuku lepas dari kecanggungan antara melihat papaku sendiri menjadi dokter dan kakaknya sebagai pasiennya. Aneh, padahal mereka bukan sedang bermain dokter-dokteran. 

"Kalau begitu Paman dan Tante pergi dulu. Kalau Tyara-nya sudah bangun, ajak dia keliling-keliling, ya."

Gracia melemparkan senyum ceria, "Siap!"

Usai keduanya pergi, Gracia langsung kembali duduk dengan berseri-seri. 

Oh, Masih berlanjut, rupanya. 

"Kamu datang ke sekolahku waktu festival kemarin, kan? Aku mau nyapa kamu, tapi kamunya keburu pulang."

Cukup lama bagiku untuk menyadari bahwa Gracia adalah gadis yang kulihat di panggung. Dia bermain drama sebagai Snow White. 

Setelah aku mencoba mengingat-ingat lagi, Gracia yang memainkan piano setiap acara ketika SD dulu. Misalnya ketika hari guru di tahun terakhir SD, dialah yang memainkan musik Hymne Guru dan diikuti oleh semua murid. Selain itu dia aktif di berbagai kegiatan dan organisasi. Dulu dia sering keluar kelas di tengah pelajaran dan selalu membuatku bertanya-tanya, tidakkah dia menyayangkan waktunya yang terbatas di sekolah? 

Tipikal orang yang sangat aktif dan disenangi semua orang. Kurasa aku harus terkesan karena Gracia masih bisa mengingat namaku. 

"Ngomong-ngomong, Alenna, aku lihat kalian di festival ..." Suara Gracia tiba-tiba merendah ketika aku sedang berpikir, "Kamu kenal Tyara, kan?"

.

.

.

"Mikirin apa, sih?" Arlan Pratama berceletuk ketika aku sedang menata bunga di pot. 

"Enggak," balasku sembari memindahkan pot bunga itu dekat jendela. 

"Yang jelas bukan mikirin kamu," ucap Kak Aetherd sembari menatap Arlan Pratama dengan datar. 

"Memangnya kakak bisa membaca pikiran?" tanya Arlan Pratama. 

Aku berdeham, "Memang bukan, kok." 

Kak Aetherd tertawa, sementara Arlan Pratama  menatapku dengan tatapan seolah habis terkhianati, "Kamu kok gitu?"

"Memang bukan mikirin kamu, kok," balasku datar. 

Arlan Pratama makin cemberut setelah aku mengatakan begitu, sementara Kak Aetherd tertawa terlalu puas, sampai-sampai dia terbatuk beberapa kali. Arlan Pratama tampaknya ingin mengungkapkan banyak hal terkait kakaknya yang menertawakannya, tapi pada akhirnya yang dilakukannya adalah menepuk punggungnya dengan wajah yang masih saja cemberut. 

Interaksiku dengan Kak Aetherd semakin membaik, hal ini dikarenakan sifatnya yang tenang dan menyenangkan. Oh, dan tentu saja sifatnya yang dewasa. Andai saja Kak Aetherd bisa berbagi sifatnya sedikit saja ke Arlan Pratama, dia pasti akan lebih baik. 

Aku baru mendengar kabar tentang Tyara. Gracia mengatakan bahwa Tyara jatuh dari balkon kamarnya sepuluh hari yang lalu. Katanya dia baru siuman empat hari yang lalu. Aku baru tahu hari ini, padahal aku sering menghabiskan waktu di rumah sakit yang sama. 

Gracia memintaku untuk bertemu dengan Tyara malam nanti, akan tetapi Gracia tidak tahu bahwa kami berdua tidak sedekat pemikirannya. Mungkin ketika festival, kami berdua memang duduk bersama seperti teman dekat, tetapi sebenarnya kami tidak seperti itu. Aku jadi ragu apakah harus bertemu dengan Tyara atau tidak. Kira-kira bagaimana reaksinya? 

"Dilarang melamun!" Arlan Pratama mengibaskan tangannya di depanku.

Yang kulihat masih seperti sama seperti biasa, gerakan benangnya yang mengikuti gerakan tangannya yang bergerak agresif. 

"Lagi libur panjang, Alenna tidak liburan?" tanya Kak Aetherd.

Kugelengkan kepala, "Tidak, Kak." 

Kami membicarakan banyak hal. Arlan Pratama juga ikut, tentu saja. Bahkan ketika Ayah dan Ibu mereka datang bersama dengan Aesl, entah mengapa aku tetap di sana. Setelah merasakan kecanggungan yang luar biasa, barulah aku meminta izin untuk kembali ketika sudah sore. 

Arlan Pratama ingin mengantar, tetapi aku memberikan alibi bahwa aku akan bertemu sebentar dengan Papa. Satu-satunya hal yang kupikirkan selama berjalan ke ruangan Papa hanyalah; apakah wajar aku berada di sana? Tentu saja tidak. 

Papa mengajakku makan malam bersama, tetapi karena masih harus menyelesaikan sedikit tugasnya, Papa kembali membawaku ke rumah sakit. Satu-satunya hal yang kuingat adalah, Gracia memintaku untuk menunggu di taman sebentar, dia akan membawa Tyara. 

Saat menunggu, kusadari bahwa Kak Aetherd juga ada di taman. Hal itu membuatku secara inisiatif bersembunyi, sebab sebelumnya aku telah meminta izin untuk pulang. Akan aneh sekali jika Kak Aetherd melihatku masih berkeliaran di rumah sakit. 

Namun, hal yang kutahu, setelah setengah jam kemudian, Gracia tidak kunjung membawa Tyara. Kak Aetherd bahkan sudah kembali ke kamarnya. Papa juga sudah menyelesaikan pekerjaannya.

Berakhir, hari itu aku tidak menjenguk Tyara. 

*

Beberapa minggu kemudian, Kak Aetherd sudah bisa dipulangkan. Saat hendak berangkat ke rumah sakit, tepat begitu aku membuka pintu, aku menemukan banyak kardus-kardus yang bertumpuk di depan rumahku. Langkahku terhenti, pikiranku seolah berjalan lebih cepat. Banyak dugaan yang bermunculan di kepala, salah satunya; 

"Ah ... hari ini Kak Aetherd pulang ke rumahnya." 

Satu lagi; "Bukankah itu berarti Arlan Pratama juga pulang?"

 Seharusnya aku tidak perlu kaget, karena Arlan Pratama nyaris tidak pernah lagi kembali ke apartemen ini sejak saat Kak Aetherd terbangun. Terakhir Arlan Pratama di sini adalah saat dia mengetuk pintu apartemenku dan mengatakan bahwa dia harus ke rumah sakit. Kejadian itu sudah lama, beberapa minggu yang lalu. Itu artinya, apartemen nomor 1010 itu kosong selama itu. 

Apartemen nomor 1010 telah menyelesaikan tugasnya dengan baik; menjadi tempat tinggal sementara untuk Arlan Pratama yang membutuhkan ketenangan. Tempat kami berbicara pertama kali, tempat kami sering menghabiskan waktu bersama. 

Di rumah sakit, ketika bertemu dengan Arlan Pratama, dia sedang tersenyum sangat bahagia bersama keluarganya. Aku tidak berani mengungkit topik tentang kemungkinan bahwa dia akan pindah dari sana, atau bahkan bertanya apakah dia juga akan menghabiskan masa SMA-nya di tempat yang sama denganku. 

Aku hanya diam membisu, menjadi cermin, mengikutinya tersenyum, tidak berbicara lebih jelas tentang kemungkinan bahwa ada peluang kami tidak akan bertemu kembali. Serba salah, tetapi aku tidak punya nyali untuk membuatnya teralihkan dari rasa bahagianya. 

Kebahagiaan-nya adalah hal yang paling kuinginkan selama hampir tiga tahun mengenalnya. 

Namun pikiran itu terus saja menghantuiku;

Apa kami akan bertemu lagi?

Apakah kami masih berteman? 

Jika Arlan Pratama tidak lagi membutuhkanku sebagai teman untuk semua keluh kesahnya, apakah hubungan pertemanan kami akan berakhir sampai di sini? 

Kukepalkan tanganku kuat-kuat. 

Tetap tersenyum, Alenna. 

Dulunya, aku selalu baik-baik saja walaupun sendirian. Aku sudah terbiasa, dan akan menyulitkanku jika aku lupa bagaimana menghadapinya. 

Arlan Pratama menghampiriku dengan senyuman lebar, "Alenna, ayo ke sana."

Aku mengerjap, lalu membalas pelan, "Iya."

Tidak boleh bertanya, tidak boleh menghancurkan kebahagiaannya. 

"Kak Aetherd mana?" tanyaku. 

"Hmm, katanya mau pamit pulang dengan temannya. Tidak ada yang tahu kalau ternyata dia berteman dengan pasien lain selama di sini," balasnya. 

Padahal, ini kesempatanku untuk bertanya. 

Padahal, aku tahu soal itu. 

"Alenna, terima kasih, ya." 

Seperti ada sesuatu yang menusuk jantungku. Jelas bukan cupid kecil yang memanah, sebab alih-alih merasa senang, aku justru merasa sangat sakit. Menyakitkan. Entah apa yang harus dipermasalahkan. Kak Aetherd bangun, Arlan Pratama bahagia, keluarganya kembali lengkap. Aku kehabisan logika, entah apa yang harus dipermasalahkan lagi. Sebab semuanya telah kembali seperti semula. 

"Terima kasih untuk apa?" tanyaku. 

Apakah ini kata-kata perpisahan? 

"Karena ada di sana, waktu aku sangat membutuhkanmu." 

Satu-satunya ingatan yang menerobos masuk di pikiranku ketika hatiku terbebani oleh sesuatu yang tidak kuketahui adalah ketika aku menghentikannya melakukan hal bodoh yang mungkin akan disesalinya seumur hidup, Sepertinya hanya waktu itu aku benar-benar berguna dan bermanfaat dalam kehidupannya. 

"Aku ... hanya kebetulan ada di sana. Bukan apa-apa." 

Arlan Pratama memutuskan untuk duduk, lalu menepuk sebelah bangkunya, memintaku untuk duduk di sebelahnya. "Sini." 

Kuputuskan untuk duduk sembari memperhatikan pancaran bahagia wajahnya yang sudah kulihat sejak beberapa minggu lalu--atau lebih tepatnya sejak Kak Aetherd terbangun. Memang ini yang kuinginkan, tidak ada apapun lagi. 

"Kamu sendiri yang bilang kalau pertemuan kita bukan kebetulan," ucap Arlan Pratama, masih tersenyum. "Kamu kenapa, sih?" 

Kugelengkan kepalaku yang terasa berat, "Entahlah ...."

"Ini pertama kalinya aku tidak mengerti apa yang kamu omongin, lho." Arlan Pratama mengerutkan keningnya heran, meski begitu dia tetap tersenyum. "Ayo, tidak apa-apa, cerita saja denganku." 

Kugelengkan kepalaku dengan enggan, "Sudahlah." 

"Kalau begitu, aku akan menggunakan permintaan pemenangku. Ayo, cerita saja," bujuknya. 

"Kamu curang," gumamku.

"Kalau tidak curang, kamu tidak mau cerita. Padahal sebentar lagi aku sudah mau pulang." 

JLEB, sekali lagi. Tusukan ke jantung yang lebih dalam daripada sebelumnya. Makin menyakitkan, apalagi karena Arlan Pratama mengatakannya secara langsung tanpa beban pula. 

"Kamu ... kembali ke rumah?" tanyaku. 

"Iya, tentu saja. Kupikir kamu sudah tahu tentang itu." 

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat, tetapi kusembunyikan tangan kiriku ke belakang punggung, hanya agar Arlan Pratama tidak melihatnya. Dan agar aku tidak melihat benang merahku sendiri di sana. 

"Kita tetap satu sekolah, kan?" tanyaku lagi. 

"Tentu saja! Kalau aku pindah, aku akan memberitahumu, rival. Tenang saja, aku tidak kemana-mana." 

Sisi pikiranku yang egois tidak menerima perkataannya yang satu itu. Namun naluriku yang waras berusaha berjalan. Dia tidak pernah pergi, dia hanya kembali. 

"Sudah. Hanya itu yang kupikirkan," balasku pada akhirnya. 

Senyuman Arlan Pratama kembali berseri, "Kamu tidak mau kita berpisah? Atau bagaimana?" 

Kutatap Arlan Pratama dengan tatapan datar, sebelum menjawab dengan suara kecil, "Atau bagaimana." 

"Oh? Ada hal lain yang mengganggumu? Ayo, ceritakan lagi," bujuknya lagi. 

Dia kelihatan semangat sekali membongkar keganjalan yang ada di hatiku. Seharusnya Arlan Pratama tidak perlu tahu lebih dari itu, tetapi lagi-lagi dia membujukku dengan paksa. 

"Ayolah, Len, aku pakai lagi deh permintaanku." 

Tanya ... atau tidak? 

Kulepaskan pelan-pelan tanganku yang mengepal erat, lalu menarik napas dan melepaskannya pelan-pelan. 

Ayo, tanyakan, Alenna.

"Apakah kamu tahu cerita benang merah?" 

***TBC***

10 November 2019, Minggu.

Cindyana's Note

Hampir menjadikan chapter ini sebagai chapter terakhir, karena sudah tidak ada konflik yang harus dibahas. Namun karena aku baik hati dan tidak sombong, akhirnya kuputuskan untuk menambah satu chapter lagi sebagai ujung benang merah sebelum epilog. 

Bahkan saat mengetik ini pun, aku masih belum percaya bahwa Red String akhirnya akan segera tamat. 

KENAPA SIH, CIN? Kamu kan sudah sering namatin cerita. Ini cuma Red String lho! Harus ikhlas! 

Ya, sepertinya belum ikhlas karena masih sangat sayang dengan dua karakter ini. Biarlah di next chapter aku akan membuat dialog dan interaksi mereka berdua sepuas-puasnya! 

Mungkin ini akan terdengar sangat menggelikan, tapi ekarang, ketika mengetik ini, jantungku berasa kayak 'ketekan'. Aneh banget memang. Saat menamatkan cerita lain, aku sangat lega dan puas karena sudah terbebas dari mereka. 

Meanwhile, Red String dengan chapter sebanyak 35 chapter tidak sanggup membuatku lega. Aku terlalu cinta sama Arlan-Alenna. 

Sangat menyenangkan menulis Red String, karena selama setahun mengetik Red String, aku paling tertekan menulis chapter ini. Ini adalah chapter sebelum perpisahan. 

Di next chapter, selain harus puas-puasin diri mengabadikan momen Arlan-Alenna, aku harus bisa memberi celah bagi Alenna untuk menjelaskan tentang Five Rain Women. Clue buat kalian di cerita Riryn nanti. 

Oh ya, sejauh ini, aku belum pernah menanyakan pendapat kalian tentang Red String, yak. Lupa terus saking serunya membuat cerita mereka. 

Jadi? Bagaimana menurut kalian? 

Apakah aku berhasil mengeksekusi premis mainstream ini dengan baik? 

Apakah kalian suka dengan ceritanya? 

Huhuhu author notenya panjang banget. Memang kelihatan kalau aku masih belum rela mempublikasikan ini, tapi jika aku gantung terus di draftku, maka aku egois tidak membiarkan cerita ini selesai. Dan tidak membiarkan kalian membacanya. 

Semoga kalian suka dengan cerita Red String.

See you on the last chapter

Cindyana H / Prythalize







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro