Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Thirtieth Thread - "Fear is Something to Be Faced Of"

Fear is something to be face of, because you'll never get rid of it, unless you fight it.

***

"Kamu masih lama?" tanya Arlan Pratama yang muncul tiba-tiba dari ujung lorong supermarket. 

Aku tersentak karenanya. Segera saja aku memundurkan langkahku dan menyimpan ponselku dengan buru-buru. Padahal aku sudah sengaja memilih lorong terjauh dari posisi Arlan Pratama sebelumnya, hanya agar dia tidak bisa menemukanku. Padahal aku sudah membuat kalkulasi berapa lama kira-kira dia akan menemukanku dan aku tidak tahu bahwa dia bisa menemukanku secepat ini.

"Kamu duluan saja," jawabku agak gugup. 

Arlan Pratama menaikkan alis, lalu memperhatikan sekitarku sejenak, "Ups, maaf, Len. Aku tidak tahu kalau kamu lagi sibuk. Aku ada di lorong stationary, kalau kamu sudah selesai. Take your time."

Selanjutnya, Arlan Pratama tak lagi tampak di ujung lorong. Aku sempat bertanya-tanya juga apa yang membuatnya begitu pengertian dan meninggalkanku, sebelum aku menyadari bahwa aku berada di lorong khusus untuk belanja keperluan wanita. 

Astaga, aku tidak menyadarinya. Ini benar-benar memalukan!

Segera kukeluarkan ponselku lagi dan memeriksanya. Saat ini aku sedang bertukar pesan dengan Papa. Papa tidak membalas dengan cepat, terkadang jeda lima belas menit dan bahkan pernah jeda lima jam. Aku mencoba mengerti dengan keadaan Papa yang juga sibuk. 

Sebenarnya aku sudah mulai bertukar pesan dengan Papa sejak kemarin malam, atau lebih tepatnya, tepat setelah Arlan Pratama kembali ke apartemennya. 

Kemarin malam, aku menceritakan hal yang kuketahui tentang sosok 'Ibu'-nya. Aku menjelaskan bahwa aku pernah bertemu dengan ibunya saat awal kepindahan mereka, tentu saja aku juga menjelaskan soal kejadian di elevator, saat dia tidak melihat dan aku menggunakan kesempatan itu untuk turun. Aku menjelaskan alasanku; hanya tidak ingin dia merasa canggung dan ... ya, begitu. Dan hal terpenting, aku juga menjelaskan bahwa dua wanita itu adalah dua orang yang berbeda. 

Dan reaksi Arlan Pratama bisa dikatakan cukup datar untuk kasus tidak sepele seperti ini. 

"Oh? Terus, mamaku bilang apa saja?" 

... datar sekali. 

"Ya, hanya itu," balasku gugup. 

Kini dia sudah tahu soal aku yang dengan sengaja tidak mempertemukannya dengan keadaan saat dia kelilipan. Merahasiakan hal seperti itu dalam jangka waktu yang lama, kurasa aku memang orang yang jahat. 

"Aku tidak marah soal penculikan yang kamu lakukan, sebenarnya aku sudah tahu dari dulu," ucapnya dengan santai. 

"Penculikan...?" Aku langsung sadar bahwa Arlan Pratama mereferensikan itu pada kejadian ketika aku membawanya turun agar dia tidak perlu menyaksikan hal seperti itu. Masalahnya, Arlan Pratama ternyata sudah lebih dulu mengetahui perihal itu dan itu membuatku makin bertanya-tanya. "Lalu ... kenapa?" 

"Saat itu aku sedang tidak terlalu ingin bertemu dengannya, jadi ... ya begitu," ucapnya. "Pertengkaran kecil. Mungkin kamu tidak akan mengerti, karena kamu tidak pernah bertengkar dengan ibumu."

Sebenarnya perkataannya tidak sepenuhnya benar. Aku tidak pernah karena tidak ingin. Pertengkaran terjadi karena adanya perbedaan yang tidak diinginkan. Aku selalu berusaha agar aku bisa sesuai dengan harapan dan ekspektasi Mama, menjadi anak paling baik di dunia. Namun, aku mengerti maksudnya, karena aku pernah merasakan demikian, ketika dengan Papa. Kami tidak bertengkar, tetapi aku pernah ada di titik di mana aku tidak terlalu ingin bertemu Papa. Sekarang, aku merasa bersalah ketika mengingat hal itu. 

"Tapi, bagaimana dengan--" 

Arlan Pratama memotong ucapanku, "Yang berbicara denganmu saat awal kepindahan? Tidak, dia bukan ibuku." 

Kepalaku tiba-tiba terasa sangat berat. Lebih berat daripada saat aku belajar tiga jam tanpa henti. Kuraih gelas berisi air putih yang selalu kusediakan saat belajar untuk menjaga agar aku tidak dehidrasi. 

Bayanganku mengingat benang merah yang kulihat tidak tersambung, lalu mengingat setiap pembicaraan Arlan Pratama soal ibunya. Ibunya yang menuntutnya sempurna, yang selalu menelponnya, yang mengajarkannya menggunakan sumpit dengan keras. Itu yang mana? 

"Aku bingung," ucapku sambil mengerutkan kening. 

"Tidak perlu bingung," sahutnya sambil tersenyum, seolah itu hal yang lucu. 

"Ternyata aku tidak tahu apa-apa tentang kamu. Padahal, kita tetangga," ujarku agak menyesal. 

 Arlan Pratama mengetuk-ngetukan tangannya di meja, "Santai saja. Biasa kalau di kota-kota besar, mereka bahkan tidak tahu wajah tetangga mereka."

"Kamu bicara seolah kamu pernah tinggal di kota besar. Atau, jangan-jangan kamu memang pernah?" tanyaku curiga. Ya, wajar aku bertanya, aku tidak tahu apa-apa tentangnya.

Arlan Pratama tidak menjawab pertanyaanku, hanya tertawa karena melihatku bingung.

Itu membuatku makin yakin, ada sesuatu yang salah dengan benang merah. Aku yakin akan ada seseorang yang lebih bisa mengerti dan memahami kondisi Arlan Pratama lebih cepat dibandingkanku. Benang merah ... seharusnya bisa mempertemukan Arlan Pratama kepada seseorang yang lebih baik lagi. 

Aku ingin tahu, adakah kemungkinan benang merah berubah? Apakah ada benang yang berganti ujung? Apakah itu memang bisa terjadi? Karena kalau bisa, aku ingin berharap. 

Orang-orang biasa yang tidak pernah memiliki kesempatan melihat benang merah, tentu saja tidak akan menemukan benang merahnya dengan mudah. Maksudku, ada sangat banyak manusia di bumi ini, semuanya berpencar di lokasi yang berbeda-beda, dan peluang menemukan satu dari sekian banyak sangatlah sulit. 

Mungkin, jika itu bisa terjadi, Papa dan Mama bisa rujuk kembali dan aku tidak perlu mengkhawatirkan benang merah. Dan mungkin, Arlan Pratama bisa menemukan ujung lain yang lebih sempurna dan mengerti tentangnya. Aku akan turut bahagia untuknya.  

"Setidaknya, kamu satu-satunya yang tahu keadaanku yang sebenarnya." Arlan Pratama lagi-lagi melemparkan senyumnya, seolah beban-beban hidupnya tidak pernah ada. "Entah kenapa, aku tidak bisa berbohong padamu."

Aku? Hanya bisa terdiam karena merasa dia seperti tengah membaca pikiranku. Aku tidak boleh terpaku dengan ucapannya. Sebagai teman yang baik, aku harus mendukungnya dalam keadaan apapun.

Setelah itu kami membahas soal seolah percakapan itu tidak pernah terjadi. 

Sampai hari ini, aku tidak pernah mengerti eksistensi benang merah. Mengapa tidak semua orang bisa melihat itu? Dan mengapa harus aku? Mengapa tidak Rania, Fhea, Jingga, atau mungkin Sandra? Mengapa tidak mereka? 

Kutarik napasku kuat-kuat, lalu melepaskannya. Baiknya, saatnya kembali ke dunia nyata. Aku masih di lorong khusus belanja keperluan wanita. Sebaiknya aku segera pergi dari sana.

Papa belum membalas pesanku walaupun aku sudah bolak-balik membuka pesan. Kubaca ulang pesan kami dalam hati. 

Alenna
Pa.

Papa
Y

Alenna
Papa, Lenna boleh tanya sesuatu?

Papa
Y

Alenna
Papa pernah ketemu Arlan di rumah sakit, kan?

Papa
Y

Alenna
Papa tau tidak ya, kira-kira Arlan jenguk siapa?

Mengirim pesan seperti ini benar-benar terkesan seperti memata-matai (atau, ini memang memata-matai), cukup berisiko jika aku membuka pesan ini di dekat Arlan Pratama. Jantungku bisa bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya.

Dan aku harus segera pergi dari lorong ini, tentu saja. Kudatangi lorong stationary dan melihat Arlan Pratama sedang melihat-lihat jenis pena. Ah, iya, tujuan awal kami datang kemari hanya untuk membeli snack untuk nanti malam. Arlan Pratama ingin camilan setelah selesai belajar, dan kami malah berakhir di lorong yang berbeda, tadi.

"Lho, tidak jadi beli?" tanya Arlan Pratama ketika melihatku datang dengan tangan kosong. Memang dia yang membawa keranjang dan berbagi keranjang pasti adalah ide paling buruk, jika seandainya aku benar-benar butuh sesuatu yang agak pribadi.

Tidak berniat menjawab pertanyaannya yang satu itu, aku mengalihkan topik, "Kamu sudah beli semua keperluanmu?"

"Aku sudah," balasnya. 

Kami pun ke kasir untuk membayar. Kuharap dia diam dan tidak pernah menanyakan soal apa yang tidak kubeli dan untungnya, dia memang diam saja.

Kami berjalan sampai di halte untuk menunggu bus. Ini sudah sore karena kami baru selesai try out dan pemantapan. Banyak teman-teman sekelas yang protes bahwa pemantapan seharusnya dihentikan selama try out berlangsung. Bukankah bagus kalau mereka langsung membahas soal yang diujikan ketika try out? Aku tidak mengerti pemikiran mereka.

"Nilai try out katanya akan diumumkan lusa."

Aku hanya menganggukan kepala, karena aku sudah tahu soal itu. 

Diam dalam keheningan karena tidak ada topik apapun yang bisa dibicarakan, Arlan Pratama memilih memainkan ponselnya. Aku sebenarnya juga ingin memeriksa pesan Papa, tetapi orang yang sedang kubicarakan sedang duduk tepat di sampingku. Aku agak takut-takut juga untuk membukanya. 

Saat hendak mengeluarkan ponselku, aku melihat sebuah mobil hitam di sudut jalan yang agak jauh dari gerbang sekolah. Kuperhatikan agak lama sambil memeriksa nomor polisi dengan angka cantik itu. Sepertinya itu memang mobil yang biasanya dinaiki Arlan Pratama. 

"Arlan," panggilku sambil menunjuk mobil hitam itu. 

Arlan Pratama langsung menoleh ke tempat aku menunjuk, lalu kembali menunduk menatap layar ponselnya. "Pura-pura tidak lihat saja," ucapnya tanpa merasa bersalah. 

Aku menatapnya dengan wajah datar, "Terlambat. Mobilnya sudah jalan ke sini." 

Arlan Pratama kembali menoleh ke mobil itu dengan tatapan datar. Mobil hitam itu mendekat dan itu membuat Arlan Pratama bangkit dari duduknya.

"Ayo, kamu tidak perlu tunggu bus. Biar diantar pulang sama mobil itu."

"Eh?" Aku mencerna kata-katanya satu persatu. "Kalau kamu punya keperluan, sebaiknya pergi saja. Aku tidak apa-apa naik bus sendirian."

"Aku juga balik, kok. Santai saja," balasnya tenang.

Dihampirinya mobil itu, membuat mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Aku hanya mengikutinya dari belakang, karena aku hanyalah orang asing di sana.

"Tuan Muda, hari ini--"

"Uh, sore. Apakah bisa antar kami ke apartemen dulu?"

Aku mengerjapkan mata, baiklah, mungkin dia terlalu malas berbasa-basi.

"Tentu saja, Tuan--"

"Oke, bagus!" potong Arlan Pratama cepat. "Alenna, ayo, kita naik."

Kurasa aku harus menarik semua kata-kata yang pernah kuucapkan soal Arlan Pratama yang bersikap manis kepada orang dewasa, nyatanya dia tidak melakukan itu setiap saat.

Aku pun naik lebih dulu, disusul Arlan Pratama. Kami duduk di kursi belakang. Keadaan kembali hening seperti saat sebelum kami naik, sebab memang tidak ada apapun yang bisa diperbincangkan. Benang merah kami menghilang. Aku menatap jari kelingkingku lama-lama, memang seharusnya seperti ini. 

Entah sudah berapa belas menit berlalu, akhirnya mobil itu berhenti sepenuhnya. Aku memperhatikan keluar jendela dan menemukan bahwa kami sudah sampai di lampu merah yang tidak adil itu. Tinggal berbelok ke kanan dan kami akan sampai di gedung apartemen. 

"Aku turun di sini saja," ucapku sambil menarik pembuka pintu, tetapi tidak terbuka dan rupanya masih terkunci.

Kuperhatikan struktur pintu mobil itu dengan teliti, bagian mana yang harus kutekan agar pintu terbuka? 

"Kata siapa kamu turun sendiri?" tanya Arlan Pratama sambil menaikkan sebelah alis. 

"Feeling-ku bilang kamu harus langsung pergi ke suatu tempat, kan?" tanyaku. 

Arlan Pratama menatapku heran, "Do you even have feeling, Len?"

Aku bisa melihat dengan jelas dari cermin spion, bagaimana pria yang mengemudi mobil ini terlihat seperti tengah menahan tawanya.

"I do!" balasku kesal. "Ini cara bukanya bagaimana?" 

KLIK. Suara dari keempat pintu terdengar secara serampak. Aku melirik ke spion lagi. Pria itu melirik balik. Tentu saja kita semua tahu siapa yang membukanya. 

"Jangan dibukain. Kunci lagi, kunci lagi," pinta Arlan Pratama yang langsung membuat keempat pintu terdengar KLIK sekali lagi. 

"Ini termasuk penculikan," ucapku datar. 

"Bukankah ini adil?" tanyanya dengan santai, yang membuatku kembali teringat dengan momen ketika aku menculiknya

Aku bisa melihat rambu kembali menjadi hijau dan mobil itu akhirnya berbelok ke kanan, lalu berhenti karena sebenarnya jaraknya memang sangat sedekat itu. Begitu mendengar suara KLIK untuk yang ketiga kalinya, 

"Terima kasih sudah mengantar pulang," ucapku pada pria yang mengemudi.

Dia hanya tersenyum menanggapi. Kulirik Arlan Pratama yang ikut turun dari sana, tetapi dia tidak menutup pintunya.

"Jadi benar, kamu memang harus langsung pergi? Mau titipin tasmu?" tawarku.

Arlan Pratama menyerahkan tasnya kepadaku, "Oke. Lain kali aku yang akan membawa tasmu."

"Tidak perlu," balasku sambil memutar bola mataku bosan.

"Aku pergi dulu, ya."

Sebelum dia menutup pintu, aku memberanikan diri bertanya, "Nanti malam kamu pulang?"

Dan sialnya, baru beberapa milisecond setelah aku bertanya, aku baru menyadari bahwa itu adalah pertanyaan yang sangat memalukan. Aku ingin memasukkan kepalaku dalam lubang.

"Pulang," jawabnya.

"Oh, oke," balasku canggung. "Sampai jumpa, kalau begitu."

"Iya, sampai jumpa."

Pintu tertutup, mobil hitam itu berbalik arah dan harus kembali menghadap rambu lalu lintas. Aku menghela napasku lagi, inilah alasan mengapa aku ingin langsung turun dari mobil, tadi.

Kurasakan ponselku bergetar di saku rokku, yang membuatku mengetatkan pelukan pada tas Arlan Pratama, lalu membaca pesan yang ternyata dikirim balik oleh Papa.

Setelah membaca pesan itu, mendadak semua pikiranku terasa kosong.

Kutatap lagi rambu lalu lintas.

Masih merah dan sepertinya masih akan lama, untuk pejalan kaki, bukan untuk kendaraan. Aku tidak akan sanggup mengejar lagi, jika sudah hijau.

Sesuatu dalam hatiku menghentikanku.

Merah artinya berhenti.

Berhenti mengkhawatirkannya, berhenti menuntut keegoisanku, berhenti merasa seperti ini.

Aku harus berhenti.

Merah itu artinya ...

"Arlan!" seruku memanggilnya, walau belum tentu dia bisa mendengarkanku dari dalam sana.

Aku berlari dengan buru-buru menuju jalan, lalu mengetuk-ngetuk jendela mobil hitam itu.

Jendela mobil itu akhirnya diturunkan oleh Arlan Pratama. Dia menatapku bingung.

"Kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Arlan Pratama

Benang merah muncul di antara kami. Aku mengambil napas panjang.

"Aku mau ikut! Boleh kan?"

Pesan dari Papa bukanlah sesuatu yang membantu. Namun itu membuatku tersadar akan sesuatu.

Papa
Klrga

"Boleh."

Arlan Pratama membuka pintu mobil tanpa menaikkan kaca jendela. Aku naik dengan buru-buru saat menyadari bahwa rambu lalu lintas sudah menunjukkan warna hijau.

"Kenapa tiba-tiba?" tanyanya.

Aku menunduk, mengepalkan tanganku kuat-kuat dan menatap lekat benang merah itu.

"Tidak apa-apa, hanya ingin bertemu Papa," jawabku.

"Oh, begitu." Arlan Pratama mengambil alih tasnya, lalu bersandar ke belakang. "Haha, tapi darimana kamu tahu aku akan ke rumah sakit?"

"Feeling."

"Do you even have feeling?" tanyanya lagi sambil tersenyum iseng.

"I do!" balasku lagi.

Aku tidak boleh berhenti, aku tidak boleh menyerah, aku tidak boleh kalah.

Merah ... artinya berani.

***TBC***

10 Agustus 2019, Sabtu

Cindyana's Note

Bagian TBC seharusnya adalah scene mengharukan, tapi entah kenapa pas baca ulang malah garing.

Right? Gonna reveal soon.

Apakah kalian deg-degan? Hehehe.

Scene saat Alenna memayungi Arlan.

Lagi males gambar background hahaha.

Doain penjelasan konfliknya ga mumet, biar Red String tamat di 30-an aja. Amiin.

^ entah kenapa ragu sama ketikan sendiri.

Hint sudah bertebaran kek meses tumpah, aku sampe bingung gimana nambalnya biar ga terlalu kelihatan hahah.

See you next chap!

Cindyana H / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro