Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Thirteenth Thread - "First Chance is Something Sudden"

First chance is something sudden, but second chance is destiny.

***

"Alenna, Arlan nyariin kamu." 

Suara itu membuat tanganku yang sedang menulis, langsung terhenti seketika. Jelas saja aku tidak mengenali suara siapa pun yang baru saja mengatakan itu, tetapi hal itu berhasil menarik perhatianku untuk berhenti fokus pada tulisan yang sebenarnya masih terbayang-bayang di kepalaku. 

Kualihkan pandanganku menatap ke arah pintu. Ada Arlan Pratama di sana, menatapku dengan senyuman cerah yang memang biasa dipamerkannya. Aku segera bangkit dari dudukku, pura-pura mengabaikan pertanyaan dari teman-teman sekelas yang bertanya kepada Arlan Pratama tentang alasannya mencariku. 

Akhirnya, aku berdiri tepat di depannya, "Kenapa?" tanyaku sambil mengedipkan mataku bingung. "Kamu mau pinjam kamus?" 

"Kalkulator," balasnya.

"Memangnya Bu Farah bolehin pakai kalkulator?" tanyaku.

"Enggak, sih. Tapi kamu bawa, kan?"

Aku memang membawanya untuk keperluan review soal setiap istirahat. Seperti yang pernah kukatakan dulu, aku agak payah dalam matematika. Hitunganku kurang cepat. Yang membuat nilai matematikaku nyaris tidak pernah dibawah nilai 90 adalah karena ketepatan, bukan kecepatan. Mungkin itu alasannya mengapa Arlan Pratama yang selalu dipilih untuk ikut lomba di pelajaran matematika.

Tapi, buat apa orang seperti Arlan Pratama meminjam kalkulator? Bukannya dia itu si Jenius yang selalu mengumpulkan paling pertama dan mendapat nilai paling tinggi? Fakta yang kudengar dari Rania itu membuatku merasa agak kalah, mengingat aku selalu menjadi pengumpul terakhir dalam pelajaran matematika.

"Kenapa ngelihatin kayak gitu? Kamu tidak bawa?" tanyanya.

Aku bisa mendengar suara di belakangku. Banyak yang membuka ritsetling tas mereka dengan buru-buru. Di sana, aku baru mengetahui bahwa rupanya ada banyak teman sekelasku yang membawa kalkulator, meskipun sebenarnya kami tidak diperbolehkan untuk membawanya.

Dan aku juga baru menyadari bahwa keadaan di kelas langsung hening sejak ada yang mengumumkan keberadaan Arlan Pratama di kelas. Mungkin karena itulah mereka bisa mendengarkan obrolan kami, padahal suara kami tidak sekeras itu.

Saat ini sedang jam istirahat pagi. Banyak yang sedang ke kantin. Rania dan kawan-kawannya juga ke sana, walaupun aku sudah mendengarnya mengeluh tentang makanan kantin yang membosankan, lebih dari tiga kali.

"Ada, sebentar."

Aku berbalik untuk mendatangi mejaku, lalu kulihat tatapan semua orang tertuju kepadaku. Kebanyakan dari mereka menatapku seolah aku adalah orang paling aneh yang pernah ada. Kuputuskan untuk mengabaikan hal itu dan segera menyerahkan kalkulator itu kepada Arlan Pratama.

Begitu aku menyerahkan kalkulator itu kepadanya, dia langsung menekan angka dengan cepat, lalu menyerahkannya kembali.

"Terima kasih," katanya.

Aku menatapnya bingung, "Sudah selesai?"

"Sudah."

Aku menerima kalkulator itu dengan perasaan bingung. Saat kuperhatikan lagi, layar kalkulator itu belum dimatikan. Ada angka rumit yang diawali dengan angka 0,8. Sisanya adalah angka yang memenuhi nyaris semua layar kalkulator.

Habis menghitung apa, anak ini?

Baru saja aku berpikir sebentar, Arlan Pratama melanjutkan.

"Nanti dicatat ya, angkanya." Begitu katanya.

Kulihat dia tidak membawa kertas atau pena, jadinya aku hanya mengiyakan saja.

Arlan Pratama terdiam sejenak. Beberapa detik kemudian, dia bertanya lagi, "Omong-omong, aku baru sadar. Bab garis singgung lingkaran itu kan pelajaran semester dua, kan?"

"Iya," jawabku.

"Hm, berarti aku sudah salah belajar," katanya sambil mengelus dagunya sendiri, seolah tampak berpikir keras. "Pantesan rasanya aneh, dari aljabar dan fungsi, tiba-tiba sampai lingkaran."

Aku menatapnya sedatar-datarnya. Orang mana yang bisa salah mempelajari pelajaran? Malam itu sebenarnya aku bingung, tetapi aku berusaha menutup-nutupi kenyataan kalau aku memang sedang menunggu panggilan dari papa alih-alih belajar.

"Kamu lagi tidak bersemangat? Padahal kita sudah bahas soal pelajaran."

"Kamu pikir bahas pelajaran bisa bikin orang senang?" tanyaku sambil menghela napas.

"Matamu selalu membinar-binar, kalau kita bahas pelajaran," ucap Arlan Pratama tanpa merasa bersalah.

"Berapi-api, maksudmu?"

Arlan Pratama tertawa, "Iya. Oh ya, kalau gitu, aku balik dulu."

Kuanggukan kepalaku. "Oke."

Aku hanya diam menyaksikannya menghilang di balik pintu kelasnya. Kutolehkan kepalaku menatap orang-orang di kelas yang masih cengo, tidak mengatakan apa pun walau tatapan mereka menunjukkan keingintahuan yang dalam.

"Aku yang salah lihat atau memang tadi Arlan datang ke kelas kita?" Jingga yang datang bersama Rania dan Fhea langsung bertanya bahkan sebelum aku duduk di kursiku.

"Enggak, tuh. Enggak salah lihat."

Meskipun tidak melihat siapa yang berbicara, aku tahu orang itu sedang melirik ke arahku. Sebab, Rania, Fhea dan Jingga langsung menoleh ke arahku secara bersamaan.

"Oh." Rania menganggukkan kepala. "Jadi, Arlan modus pinjam apa lagi sama kamu setelah kamus dan payung?"

Omong-omong, Rania tahu soal Arlan Pratama yang meminjam payungku. Mengapa bisa? Itu karena Rania melihat kejadian saat Arlan Pratama mengembalikannya kepadaku pagi-pagi, entah berapa minggu yang lalu.

Saat kutanya mengapa tidak mengembalikannya di rumah, dia menjawab dengan santai, bahwa kemungkinan akan hujan deras pulang sekolah nanti. Dan kata-katanya terjadi; hari itu hujan benar-benar turun sangat deras.

"Arlan Pra--dia tidak meminjam barangku sesering itu," ucapku.

"Lebih seringan Rania kan, ya? Pena saja harus pinjam ke Alenna," celetuk Fhea.

"Itu kan gara-gara penaku sering raib tiba-tiba!" Rania membela diri. "Dan untuk Alenna, bukan modus itu yang aku maksud. Maksudku, dia pinjam barang apa kali ini?"

"Kalkulator," balasku.

Aku langsung membalikkan bukuku pada halaman paling terakhir, lalu mencatat angka yang masih tampil di layar. Kalau tidak segera ditulis, bisa saja angka itu akan hilang.

"Eh? Ada PR ya?" tanya Rania dengan panik.

"Enggak, kok," balasku.

Jingga dan Fhea sudah kembali ke tempat duduk mereka, sedangkan Rania masih berdiri di sampingku, memperhatikanku mencatat angka-angka itu.

"Hm ... Dari Arlan, ya?" tanya Rania agak menunduk agar bisa melihat lebih jelas.

"Iya. Tahu darimana?" tanyaku balik.

Rania berdecak pelan sambil menggelengkan kepalanya, "Rupanya begitu ya, cara orang-orang pintar PDKT?"

"PDKT?"

Rania kembali berdiri tegak, lalu pura-pura berpikir, "Hmm, kalau aku ngasih tahu langsung, enggak seru dong. Coba kamu pikirin, biasanya apa yang dimulai dari angka itu."

"Angka 0,8?"

"Iya," kata Rania, tampak antusias.

"Bilangan desimal, kan?" jawabku dengan yakin. "Terus kalau desimal, kenapa?"

Rania menepuk pelan bahuku dan tersenyum tipis, "Kurasa kamu masih anak-anak, ya. Aku balik ke tempat dudukku dulu. Kalau sudah waktunya, kamu pasti bakal ngerti itu apaan."

Sedikit tersinggung dengan kata-kata Rania, aku mengerutkan keningku. Namun aku tetap menjawab, "Oke."

Padahal kupikir, aku adalah gadis yang bersikap dewasa yang ada di angkatanku.

*

Aku dan Arlan Pratama baru saja turun dari bus bersamaan. Dia turun lebih dulu, lalu berbalik untuk memastikan aku tidak tertinggal--musim ujian kemarin, aku fokus dengan pelajaran dalam kepalaku dan nyaris kelewatan halte.

Omong-omong, kami tidak sedang pulang bersama. Hanya kebetulan, kami memang searah dan tinggal bersebelahan. Jadi, kami sama-sama sedang pulang, bukan pulang bersama-sama.

Terkadang saat sedang berlama-lama menunggu bus di halte, aku bisa mengingat kejadian saat pertama kalinya aku melihat keberadaan benang merah. Itu adalah kali pertama aku melihat benang merah yang tersambung, dan aku masih takjub sampai hari ini. 

Soal benang merahku ...

Kulirik jari kelingkingku. Masih polos dan bersih dari ikatan benang merah. 

Bisa jadi, itu hanyalah imajinasi belaka. 

Kutatap lama-lama, berharap bahwa benang merahnya bisa muncul tiba-tiba tanpa ada interaksi. 

Benang merah, muncullah. Benang merah, munculla--

"Alenna." 

Dan benang merah itu benar-benar muncul. Namun tidak membuatku terlalu senang.

"Apa?" tanyaku. 

"Aku boleh menanyakan opini?"

Aku menoleh ke arah Arlan Pratama, "Tentang apa?"

"Bagaimana perasaanmu ..." Kata-kata Arlan Pratama terhenti.

Dari ekspresinya, aku tahu bahwa dia akan mempertanyakan sesuatu yang serius.

"Apa?" 

"Ini pertanyaan yang agak mengganggu, mungkin." Begitu katanya. 

"Akan kujawab semampuku," jawabku, menyemangatinya. 

"Baiklah." Arlan Pratama menarik napas panjang-panjang. "Bagaimana perasaanmu saat kamu diminta untuk bersiap-siap melepaskan salah satu orang penting di hidupmu?"

Aku terdiam, lalu berkedip selama beberapa kali, "Salah satu orang penting di hidupku?" 

"Iya," ucapnya. "Bagaimana?" 

Orang yang paling penting di hidupku adalah Mama dan Papa. Tentang melepaskan salah satunya, aku telah melakukannya. Jawaban dari pertanyaan yang dipertanyakan oleh Arlan Pratama tentu saja sangat mudah untuk dijawab. Sedikit banyak, aku mulai bisa menerka apa yang sebenarnya ingin disampaikan olehnya. 

"Aku sedih, tapi kalau memang sudah begitu takdirnya, aku harus bagaimana?" 

Arlan Pratama hanya terdiam. Langkah kami juga sudah membeku sejak Arlan Pratama mempertanyakan itu sesaat sebelum rambu lalu lintas untuk pejalan kaki menjadi merah. Kami pun hanya diam, saling berpikir dalam kepala masing-masing. 

Masalahnya, aku tidak tahu masalah apa yang menimpa Arlan Pratama. Kuharap dia bersedia berbagi, walau hanya sedikit. Kupikir juga, suasana yang sedang mengerubungi kami seolah mengumumkan hal itu. Arlan Pratama akan berbagi sedikit, semoga, kalau firasatku memang benar. 

Tugasku adalah memberinya motivasi agar dia bangkit dari keterpurukannya. Aku bersedia untuk membaca kalimat-kalimat penuh motivasi setiap malam, hanya agar aku bisa berbagi. 

"Tapi, kita harus tetap bangkit. Tidak ada orang yang ingin melihat kita terpuruk karena memikirkan mereka," ucapku sembari menyemangatinya. "Jangan terlalu dipikirkan. Segala hal di dunia ini telah diatur dan diikat. Semua kejadian yang menimpa kita pasti memiliki pembelajaran dan tujuan tersendiri. Hal yang terjadi adalah jalan terbaik. Semua masalah akan berlalu. Dengan percaya, niscaya--" 

Arlan Pratama tiba-tiba saja tertawa pelan, "Kamu hafal darimana kata-kata mutiara kayak gitu?" 

Aku ingin memarahinya karena telah mengacaukan pidato penuh motivasiku, tetapi akhirnya aku tersenyum juga saat melihatnya mulai tercerahkan. Semoga.

"Lupa, aku memang suka baca apapun tentang pengembangan diri," ucapku sambil mulai menyeberang ketika rambu lalu lintas telah memamerkan warna hijau untuk para pejalan kaki.

Arlan Pratama mengikutiku dari belakang, "Kalau bisa memeriksa umur mental, mungkin umurmu lebih dari lima puluh tahun."

Aku mengerutkan kening dan menatapnya kesal, "Umur mentalmu yang lebih dari lima puluh tahun!" balasku.

Dia tertawa, "Jangan kesal begitu. Nyatanya kan, kita masih anak-anak."

Seketika, aku bisa mendengar suara Rania yang tadi memang sempat mengatakan bahwa aku memang masih anak-anak. Kuhela napasku pelan, lalu mulai berlari kecil saat rambu untuk pejalan kaki sudah menunjukkan warna merah.

"Rambu untuk pejalan kaki kurang adil, ya," komentar Arlan Pratama dari belakang.

Aku memeriksa keadaannya, dia sudah menginjak trotoar sambil memperhatikan tiang rambu lalu lintas, yang mana halnya keadaan telah aman. Kami tinggal berjalan kaki sampai persimpangan, lalu menemukan gedung apartemen kami.

Saat menoleh kembali ke depan, aku melihat ada dua anak laki-laki yang sedang berlari. Mereka mungkin masih SD. Anak laki-laki di belakang sedang mengejar anak di depan. Keduanya tertawa dengan begitu gembira, membuatku diam-diam mengulum senyum juga.

Di daerah sekitaran sini memang nyaris dipenuhi oleh toko-toko dan pasar yang mulai sepi karena hari telah sore. Anak-anak yang bermain di kawasan itu juga banyak, apalagi di saat-saat seperti ini.

Aku terus melangkah ke depan, sementara dua anak itu juga berlari dari arah yang berlawanan, membuat jarak kami semakin lama semakin dekat.

Semakin dekat, aku pun tersadar bahwa anak yang berlari di paling depan menggenggam benang panjang. Karena beberapa kali menatap ke langit, aku mulai menduga-duga bahwa mereka sedang mengejar layang-layang. Namun, aku yakin bahwa tidak ada layangan yang lewat atau putus di sekitaran sini. Seingatku aku memang tidak melihatmya, karena mereka berlari ke arahku.

"Anak-anak itu polos sekali," gumam Arlan Pratama pelan.

Aku hanya mampu meresponsnya dengan menganggukan kepalaku, menyetujui kata-kata Arlan Pratama.

Kulanjutkan langkahku. Suara langkah dari belakang mengingatkanku tentang keberadaan Arlan Pratama.

Langkahku mulai melambat untuk menyesuaikan kemana anak-anak itu akan berlari--karena aku tidak ingin menabrak mereka--dan sepertinya Arlan Pratama juga tengah memperhatikan mereka, sebab dia tidak segera menyusulku.

Saat jarakku dan anak yang berlari paling depan itu tinggal berjarak satu meter, langkahku langsung terhenti. Mataku membulat saat anak itu berlari melewatiku.

Anak itu tidak pernah menggenggam benang.

TIIIIIIIIIINN!

Suara klakson panjang terdengar dari belakangku. Anak yang tadinya mengejar temannya itu pun berhenti berlari dan menampakkan ekspresi pucat pasi ketakutan.

Kutolehkan kepalaku ke belakang dan menemukan sebuah mobil sedan berwarna abu-abu tengah berhenti di tengah jalan, membuka kaca jendela mobilnya untuk bersumpah serapah. Sementara Arlan Pratama sedang mengenggam pergelangan anak itu.

"Berlari seperti itu kan berbahaya," sahut Arlan Pratama sambil menasehati anak itu dengan nada mengintimidasi. "Kamu tidak lihat lampunya merah?"

"Ti-tidak lihat, kak," cicit anak itu, ketakutan. "T-terima kasih sudah menarikku."

"Iya, sama-sama. Lain kali jangan main di jalanan," ucap Arlan Pratama dengan santainya.

Aku menggunakan kesempatan itu untuk mengobservasi anak itu. Tidak, tidak ada benang di tangan anak itu. Tidak juga di sekitaran tempat itu.

Arlan Pratama berbincang singkat dengan anak itu. Aku hanya bisa terdiam bersama pemikiranku.

Saat dua anak itu telah berlalu, Arlan Pratama menegurku, "Kenapa wajahmu tegang begitu? Anaknya kan tidak ketabrak."

"Anak itu ... habis ngejar layangan, ya?" tanyaku, berusaha optimis.

"Enggak, mereka hanya sedang bermain kejar-kejaran. Bahaya sekali kalau mainnya di sini. Untung saja ketangkap," ucapnya dengan nada sombong yang terdengar lumayan jelas dari nadanya.

"I-iya, untunglah kalau begitu."

Arlan Pratama mengerutkan kening, "Kamu kenapa sih? Tiba-tiba jadi aneh begitu. Kamu lapar?"

"Enggak, kok. Ayo kita pulang," sahutku.

Kugerakkan langkahku secara paksa. Meskipun terasa sangat berat, aku ingin segera pulang ke rumah. Arlan Pratama di sampingku, terus mengoceh tentang kejadian tadi.

Untung saja ada Arlan Pratama, karena jika hanya aku, aku mungkin hanya bisa diam dan menyesali semuanya saat ini. Nyawa anak itu benar-benar diselamatkan olehnya.

Aku yakin, aku benar-benar melihat untaian benang pada anak itu, tadi. Benang itu bukan dibawanya dalam genggamannya, tetapi ...

Benang hitam itu terikat di kelingkingnya.

Selain benang merah, terdapat eksistensi benang hitam, yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.

***TBC***

7 Maret 2018

Cindyana's Note

Selamat hari Nyepi untuk yang merayakan!

Karena hari ini libur, kupikir bakal banyak yang membuka Wattpad, jadi aku update deh.

BAGAIMANA? Apakah kalian sudah bisa menebak main conflict dari cerita ini?

Apakah ini seru? Semoga seru yaaa!

Kalau belum seru, tunggu sampai aku membuka puncak konflik, ya! Akan kubuat kalian semua cengo! Amiiin!

Btw ini 2200 kata. Panjaaaang, kan? :D

Kalau kalian tidak ngeh dengan 0,8 berarti kalian tidak peka. Manusia tidak peka tidak berhak ngatain karakterku tidak peka :)

Kalau kalian ngeh, ya berarti kalian peka. Silakan hujat makhluk-makhlukku yang tidak ngeh ///woi.

TENANG! GULALI KAPAS ARLAN ALENNA MASIH BANYAK DI AKU! <3

Hari Jumat ini akan jadi hari kejepit nasional. GANBA! :>

Cindyana / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro