Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Third Thread - "Goal is Something We Reach"

[N] judulnya rasa tongue twister.

Goal is something we reach, after do some efforts.

***

Ada hal mengejutkan yang terjadi, saat daftar ranking paralel untuk ujian tengah semester terpajang di mading.

Nama lengkapku—Alenna Rachella Putri—ada di urutan pertama.

"Alenna itu yang mana, sih?" tanya salah satu orang di belakangku.

"Entah," balas teman bicaranya.

Aku memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.

Jangankan mereka, aku sendiri juga tidak percaya bahwa aku bisa langsung merebut ranking pertama secepat ini. Rasanya aku belum belajar terlalu maksimal, meskipun kebanyakan orang biasanya memang menganggap remeh ujian tengah semester.

Ranking berapa si Arlan Pratama itu?

Memeriksa daftar satu persatu dengan pelan dan teliti, aku menyadari bahwa aku tidak menemukan namanya di daftar ranking sepuluh.

Hanya dalam beberapa bulan, rankingnya terjun bebas seperti ini? Rasanya sulit dipercaya. Walaupun aku tidak mengenalnya, tetapi aku menyadari bahwa total nilainya yang hampir mendekati sempurna saat UAS ganjil itu, jelas menunjukkan bahwa dia serius dalam belajar.

Namun, aku juga sadar bahwa aku tidak mengenalnya sama sekali.

Mungkinkah dia salah satu orang yang menganggap remeh UTS?

"Yang namanya Alenna itu beruntung banget. Arlan 'kan nggak ikut ujian, jadi wajar saja ...."

Aku menyimak gadis-gadis yang membicarakan itu tepat di belakangku.

Tidak ikut ujian?

Pandanganku langsung turun ke daftar terbawah. Dan yang benar saja, nama Arlan Pratama yang sering kulihat di daftar teratas, kini berada di paling bawah. Seolah terjun bebas dari langit sampai ke inti bumi.

Padahal, sudah tiga kali aku melihat namanya di ranking pertama; saat hasil test masuk keluar, saat UTS semester ganjil dan saat UAS semester ganjil. Kemudian, dia merosot turun dengan sangat drastis.

Kejanggalan itu kemudian menjadi tanda tanya besar yang menganga di pikiranku.

"Wow, kamu yang dapat ranking pertama kali ini? Selamat, ya!" Rania yang entah muncul darimana, langsung meraih tanganku dan menyalamiku tanpa izin.

Aku tidak sempat mengatakan apapun, hanya diam dan memperhatikan sekitar. Orang-orang yang membicarakanku tadi juga tampak canggung denganku dan menjauh perlahan.

"Kalau Mama tahu, pasti bakal disuruh privat ke tempat yang sama kayak kamu," ucap Rania sambil melepaskan jabatan tangan kami.

"Aku ... enggak ikut kursus," balasku dengan suara kecil.

"Eh? Jadi kamu belajar sendiri? Jangan bilang kerjaanmu di rumah hanya belajar, belajar dan belajar?" Terdengar nada galak dari ucapannya, walaupun dia tidak memperlihatkan ekspresinya seperti demikian.

"Enggak, kok," balasku, mencoba membela diri. "Aku juga makan dan tidur cukup."

"Kok kamu jadi nyebelin, ya?" ucapnya sambil tersenyum masam menahan jengkel. "Oke, baguslah kalau kamu makan dan tidur cukup."

Sudah kubilang, kan? Rania ini memang sangat aneh.

"Tapi, tetap saja. Jangan ngasih tahu mamaku, ya! Kalau tiba-tiba aku disuruh belajar sama kamu, kan repot."

"Enggak ngerepotin, kok," kilahku.

Rania menatapku datar, "Bukan. Maksudku, aku yang repot."

Dua teman di belakangnya saling berpandangan dan tertawa. Sementara aku menyadari ada banyak orang yang ingin memeriksa ranking mereka di mading, aku kembali melihat total nilai Arlan Pratama di paling bawah.

Kosong.

Itu artinya, dia tidak mengikuti ujian sama sekali.

Apa hal semacam ini bukan hal yang penting buatnya, ya?

Aku melirik namaku sekali lagi, di daftar teratas.

Menang tanpa berusaha terlalu keras, aku merasa kurang puas.

Saat berjalan menjauhi lorong dan bersiap-siap membawa bekalku ke area diskusi, aku melihat Bu Farah--guru matematika--mengibaskan tangannya ke arahku, seolah memintaku untuk mendekat.

"Kenapa, Bu?" tanyaku setelah menghampirinya.

"Selamat, ya, sudah menjadi ranking pertama paralel. Untuk selanjutnya, lebih tingkatkan lagi sosialisasimu dan pertahankan semangat belajarmu," ujar Bu Farah sambil tersenyum.

Memangnya, bersosialisasi itu harus, ya?

Aku menunduk memperhatikan sepatu hitamku, lalu mengangguk kecil, "Iya, Bu."

"Kalau nanti ada lomba matematika lagi, Ibu pasti akan  menunjukmu menjadi kandidat peserta," janjinya.

Aku terdiam selama beberapa saat.

"Memangnya--"

"Bu Farah, Bu Farah!"

Pembicaraan kami terhenti karena suara seruan dari kejauhan. Kami berdua pun mengalihkan pandangan kami ke sumber suara.

Ada beberapa gadis di sana yang menatap Bu Farah dengan pandangan cemas.

"Jangan berisik di koridor," balas Bu Farah. "Ada apa?"

"Bu Farah wali kelas 7-2, kan?" tanya mereka hampir kompak.

"Iya, kenapa?" tanya Bu Farah yang terdengar tidak sabaran.

Mereka berlima berbicara dengan nada panik. Sepertinya Bu Farah berasumsi bahwa ada kemungkinan bahwa ada anak kelas-nya yang berbuat masalah. Itu adalah berita buruk untuk guru yang menjabat sebagai wali kelas.

"Arlan kapan masuknya? Ini kan sudah dua bulan, satu minggu dan tiga hari sejak semester dua dimulai. Kok Arlan masih belum masuk, sih?" tanya mereka dengan semangat.

...jadi Arlan Pratama tidak masuk sekolah sejak semester genap?

Bu Farah menghela napas lega, "Oh, mau tanyain Arlan, rupanya."

"Iya, Bu. Apa ada kabar?" tanya salah satu dari mereka.

Tunggu ... Ini termasuk menguping tidak, ya?

"Belum ada. Kemarin pihak keluarganya hanya bilang sedang ada masalah keluarga," jelas Bu Farah. "Semuanya kenapa jadi kepo begini, sih? Kalian tahu tidak sudah berapa kali Ibu ditanyain pertanyaan yang sama?"

"Habisnya, Arlan tidak ada kabar, sih. Dia juga tidak respons di sosmed," ucap salah satu dari mereka.

"Halah, kayak kamu pernah dibalas aja," timpal temannya yang lain sambil memutar bola matanya.

Sebenarnya, aku ingin segera pergi dari sana karena merasa bahwa keberadaanku tidak terlalu berarti. Namun, aku sadar bahwa aku tidak boleh melakukan itu. Itu tidak sopan, mengingat pembicaraanku dan Bu Farah memang belum berakhir.

"Tapi, Arlan nggak pindah sekolah, kan?"

"Ibu juga tidak tahu," balas Bu Farah seadanya. "Ibu sudah menjawab pertanyaan kalian, kan?"

Mereka tampak tidak puas, tetapi tetap menganggukan kepala.

"Ibu akan senang, kalau kalian juga bertanya dengan antusias seperti ini setiap pelajaran matematika," ucap Bu Farah sambil tersenyum.

Muka pucat mereka akhirnya membuat memoriku mengingat bahwa mereka sekelas denganku. Wajah pucat mereka sama persis seperti saat Bu Farah meminta mereka untuk menjawab pertanyaan di depan.

"Hehehe." Mereka tertawa hambar sebelum hendak melenggang pergi. "Kami ke kantin dulu, ya."

Kepergian mereka membuat Bu Farah kembali fokus kepadaku, "Kamu juga mau makan, kan? Jam makan siang sudah mau selesai."

Aku mengangguk patuh, "Iya, Bu."

Bu Farah pun berlalu ke arah kantin. Aku menghela napas tanpa kusadari.

Kalau seperti ini, buat apa aku menghabiskan waktu dengan menunggu mereka selesai berbicara tadi?

*

"Ada yang pindah ke sebelah?"

Aku bertanya kepada Mama setelah mengintip dari layar depan pintu, bahwa Mama baru saja berbicara dengan seorang wanita paruh baya yang memperhatikan kardus-kardus dimasukkan satu persatu ke dalam apartemen itu.

Sudah lama apartemen nomor 1010 itu ada dalam kondisi kosong. Aku berani mengatakan itu karena belum ada yang pernah tinggal di sana sejak kepindahan kami kemari beberapa tahun silam.

Sambil tersenyum, Mama menjawab, "Iya. Katanya mereka punya anak yang seumuran denganmu dan dia juga satu sekolah denganmu. Mungkin kalian bisa berangkat sekolah bersama, nanti. Dengan begitu, Mama bisa sedikit tenang."

Aku tersenyum hambar, memangnya itu bisa terjadi?

"Kalian bisa berteman."

Selama semester ganjilku, hal yang kulakukan adalah fokus pada pelajaran, mendengarkan guru menjelaskan, mengerjakan tugas dan pulang kembali ke apartemen jika tidak ada lagi urusan apapun di rumah kedua itu.

Lalu, tahu-tahu enam bulan telah berlalu sejak aku masuk di sekolah menengah pertama.

"Ya, kuharap juga, sama."

Kalau bisa.

"Untuk makan malam kita, mau makan apa?"

Mama sebenarnya baru pulang kantor. Tadi Mama menelepon dan mengatakan bahwa beliau akan pulang cepat malam ini, jadi aku menunggu di pintu. Mama pun berbincang singkat dengan calon tetangga baru kami.

Sebenarnya aku sedang ingin makan masakannya, tapi sepertinya kantong matanya lebih jelas dibanding biasanya. Mama kecapekan ....

"Aku beli di bawah saja. Mama mau titip apa?"

"Oh, oke. Samakan saja dengan punyamu," ucap Mama.

Aku keluar dari apartemen setelah mengambil sedikit uang. Kupencet tombol untuk turun ke lantai bawah dan memilih menunggu dengan sabar agar lift segera naik, daripada harus berjalan ke tangga darurat dan turun dengan ngos-ngosan.

Saat pintu elevator terbuka, tampaklah beberapa pria dengan kardus yang lumayan banyak di dalam lantai lift.

Salah satu dari mereka meminta maaf padaku dan memintaku untuk bersabar karena mereka akan mengeluarkan semuanya keluar lift secepat mungkin.

Saat tengah menunggu, pria dan wanita tadi—yang sempat berbicara dengan Mama—datang menghampiriku.

"Selamat malam," sapa mereka berdua yang membuatku buru-buru membungkuk.

"Selamat malam."

"Kamu yang tinggal di kamar nomor 1009?" tanya pria itu.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Kami juga punya anak yang seumuran denganmu dan satu sekolah denganmu. Semoga kalian bisa akur, ya."

Aku hanya bisa tersenyum tipis. Ini hal yang biasa, tidak berbeda jauh saat Mama memintaku untuk akur dengan Rania.

Apakah semua orang tua selalu mengharapkan anak-anaknya untuk akur dengan orang yang baru mereka kenal secara langsung? Aku tidak mengerti.

Masih terlarut dalam pemikiranku yang tidak penting, akhirnya kardus terakhir juga telah diangkat pergi oleh salah satu orang di sana. Dengan tenang, aku masuk ke dalam sana dan tetap mempertahankan pintu lift agar tetap terbuka.

Kulemparkan senyum tipis, "Saya duluan."

Mereka berdua juga ikut melemparkan senyum, "Baiklah. Hati-hati."

Tepat saat pintu elevator merapat, aku menyandarkan punggungku ada dinding cermin yang ada di belakangku, menahan napas yang menyesakkan diri.

Benang mereka berduanya juga, tidak saling terhubung.

***TBC***

5 Desember 2018, Rabu

Cindyana's Note

Oke, nggak usah pura-pura penasaran. Aku tahu kalian semua sudah tahu siapa yang akan pindah di apartemen sebelah.

Pertama, untuk yang mengikuti bacotanku di Daydream, aku sudah sangat terang-terangan mengatakan bahwa deutragonist LFS 2 berinisial A. Ya, kalian tahulah siapa.

Kedua, untuk yang sudah membaca Air Train dan masih ingat ceritanya, pasti tahu kalau 'tetangga' Alenna yang akan menjemput Alenna di halte bus.

Ketiga, aku akan menggunakan meme Tom. "Tidak semudah itu Ferguso" untuk kalian yang mengira bahwa alur Red String sesimple yang kalian pikirin.

Dan untuk yang merasa Red String sama seperti alur bertema benang merah biasa, aku tantang kalian untuk baca sampai selesai! :D

Okeeee. Itu saja kurasa hahaha.

Salam hangat,

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro