Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Tenth Thread - "First Impression is Something Permanent"

First impression is something permanent, but impression changes as the time you know them.  

***

Arlan Pratama bersikap biasa saja siang itu. 

Aku terus mengobservasi ekspresi dan raut wajahnya diam-diam. Walaupun tidak melihat wajahnya saat dia berbicara dengan ibunya dari balik telepon, entah mengapa pikiranku mampu mengvisualisasikannya. Mungkin karena aku sudah beberapa kali melihat ekspresi wajahnya yang memilukan. 

Sesuatu yang disembunyikannya sendirian. 

"Berarti, aku yang menang, kan?" 

Dia bertanya saat percakapan kami malam itu. Dia tidak menanyakan apapun tentang rankingnya selama makan siang. Mungkin dia tidak memperlihatkan sikapnya kepada Mama. Sedangkan aku sudah biasa menghadapi sikap tengilnya, tetapi entah mengapa aku kaget sekali mendapati senyum mengejeknya yang memang biasanya ditunjukkannya. Seharusnya aku merasa kesal, tetapi aku tidak bisa. Rasa simpatiku lebih besar daripada itu. 

"Iya," jawabku. "Apa yang kamu mau?" 

Arlan Pratama terdiam selama beberapa saat, lalu mengatakan, "Aku akan simpan untuk lain kali. Kalau kamu, mau apa?"

Aku mengerutkan kening, bingung, "Maksudmu?"

"Sebelumnya kamu yang berhasil ranking pertama, kan? Jadi kamu juga bisa memerintahku satu kali," terangnya. 

"Kita kan, belum berlomba saat itu," sahutku yang sebenarnya terang-terangan menolak kemenangan kasihan itu. 

Arlan Pratama melempar senyum, "Tapi, saat itu kamu lebih berusaha daripada aku."

Mendadak, aku teringat perbincangan histeris di ruang kelas yang dilakukan oleh teman sekelasku. Mereka sering membicarakan tentang senyum manis Arlan Pratama yang bisa membuat kaki melemah seperti agar-agar. Namun bagiku semua senyumannya terasa mengejek dan merendahkan.

Aku diam saja waktu itu. Satu-satunya yang kupikirkan saat itu hanyalah kata-kata untuk mengingatkan diriku sendiri bahwa Arlan Pratama tidak seperti yang kulihat sebenarnya, dan aku tahu tentang itu. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Baru saja, aku selesai memeriksa buku paket mana yang masih belum kubeli. Mama sudah membeli buku paket untuk kelas 8 untukku, aku belum membuka buku untuk sekadar memeriksa sub-bab atau menuliskan namaku. Mama melarangku untuk membuka plastik bening yang membungkus buku, sepertinya Mama masih khawatir kalau aku akan segera belajar jika bungkusan itu kubuka.

Kubuka kaca pintu balkon terlebih dahulu sebelum kembali ke kamarku. Menyadari keberadaan seseorang di balkon sebelah, aku langsung menolehkan kepalaku. Ada Arlan Pratama di sana, aku sampai curiga bahwa selalu berdiri di sana. 

"Eh! Ada Alenna rupanya," katanya setelah beberapa detik aku menatap bingung ke arahnya. 

Dia terlihat kaget, membuatku heran juga. Padahal aku tidak bergerak seinci pun dari tempat aku berdiri. Aku juga tidak memanggilnya atau membuat gerakan mencurigakan lainnya. Dia mungkin memang berdiri sana,  tapi pikirannya selalu menggembara, mungkin merenungi masalahnya.  

"Tumben kamu keluar malam-malam tanpa perlu digedor," candanya, sambil menertawakan lelucon yang dibuatnya. "Habis belajar? Ini bahkan belum tiga hari sejak kita menerima rapor."

"Aku belum belajar," balasku apa adanya. "Mama menyuruhku menikmati liburan dulu."

"Nah, itu baru sehat," komentarnya sambil menepuk dinding balkon, yang tanpa dia ketahui ternyata juga membuat benangnya bergerak-gerak dengan pola seirama dengan gerakannya.

Aku tidak menjawabnya. Pandanganku kali ini tertuju pada pemandangan jalanan yang masih dilalui orang-orang di bawah sana. Lampu-lampu jalanan yang masih menyala, lampu sorot mobil yang menerangi jalanan beberapa meter di depannya, dan bulan yang memang terkadang tidak kuketahui ada dimana. 

Sebenarnya menghabiskan waktu bermenit-menit untuk berdiam diri dengan orang lain adalah kebiasaanku, tetapi entah mengapa aku malah merasa canggung dalam keadaanku yang seperti ini. 

"Jangan diam saja, ayo bicarakan sesuatu," kata Arlan Pratama yang sepertinya juga tidak nyaman dengan situasi hening-heningan saat ini. 

"Aku tidak punya bahan pembicaraan denganmu," jawabku. 

Arlan Pratama mengerutkan alisnya, "Kejam sekali kamu bilang begitu tanpa merasa bersalah."

...Apa aku langsung masuk ke dalam saja, agar kami berdua tidak perlu merasakan kecanggungan parah seperti ini? 

"Kamu sedang tidak mau membicarakan sesuatu?" tanyaku dengan hati-hati. 

Sebenarnya aku tidak berharap bahwa Arlan Pratama tiba-tiba akan membuka diri dan menceritakan masalahnya denganku. Tetapi, Arlan Pratama pastilah tahu kalau aku pernah berdiri di posisinya. Aku juga tidak mau berharap terlalu banyak, karena kami belum saling mengenal lebih dari enam bulan.

Arlan Pratama mengerutkan keningnya, "Aku lagi? Sesekali kamu dong, yang inisiatif!"

"Iya, sabar." Aku membalasnya agak ketus, sambil berpikir. Padahal aku sedang berusaha untuk mengerti kondisinya, tetapi dia malah mengeluarkan kata-kata menyebalkannya. 

"Wah. Padahal aku sering dengar dari kata orang-orang, kalau orang pintar berbicara dengan sesamanya, pembicaraan akan terhubung. Sepertinya itu hoax," sahutnya yang membuatku menatapnya datar. 

Seharusnya aku senang karena diakui pintar oleh si Pintar ini. Namun caranya menyombongkan dirinya tanpa sadar ini membuatku ingin sekali membalasnya sinis. Ya, walau dia memang benar, sih. 

"Jangan angkuh begitu, aku tidak suka!" celetukku kesal.

Arlan Pratama menahan tawanya saat mendengar jawabanku, "Bagus, kamu sudah belajar untuk mengungkapkan ketidaksukaanmu. Ternyata benar kata orang-orang. Yang pendiam itu diam-diam memendam sifat aslinya." 

Aku terdiam selama beberapa saat. Kutenangkan diriku dulu, agar tidak terbawa emosi dengan sifat congkak dan sok tahunya ini. Sebenarnya awalnya, aku merasa bahwa dia melakukannya dengan sengaja, tetapi berbicara dengannya dengan rutin membuatku mengerti bahwa dia melakukannya tanpa sengaja. 

"Memangnya itu hal yang buruk?" tanyaku. 

"Hm, kalau menurutku, kalau seseorang diam agar sifat buruknya tidak terbongkar, itu keputusannya, kita tidak berhak menghakimi." Tanpa kuduga, dia melemparkan jawaban bijak. "Mungkin dia hanya takut kalau dia tidak bisa diterima, atau mungkin dia hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian." 

Kata-kata yang dilontarkannya, mampu membuatku merenung selama beberapa saat. 

"Yang bahaya itu, seperti yang kamu lakukan. Jangan diam untuk sesuatu yang tidak kamu sukai," ceramahnya. 

Aku melepaskan napas sekali lagi. Untuk kedua kalinya, Arlan Pratama menceramahi hal yang sama kepadaku. Bahkan Mama saja, jarang sekali menceramahiku tentang hal yang sama.

"Omong-omong, kamu akan liburan ke mana?" tanyanya. 

"Tidak kemana-mana. Mamaku sibuk," jawabku. 

Lalu, entah siapa yang membisikkanku tentang perbincangan Arlan Pratama dan ibunya pagi tadi. Dan entah kepada siapa aku meminjam keberanian untuk menyinggung perihal itu.

"Kalau kamu? Liburan ini apa ada rencana berkunjung di suatu tempat?" 

Keheningan langsung terasa amat kental, walaupun hanya sebentar. 

"Aku belum tahu." Demikianlah yang dijawabnya pada akhirnya. 

Aku pura-pura mengangguk termangut, sambil memperhatikan benang merah yang kupikir akan menghilang bila aku melupakan keberadaannya. Nyatanya, benang merah itu masih menggantung di sana, masih dengan ujung yang sama. 

Keheningan kembali menguasai, sama seperti saat kami tidak menemukan topik pembicaraan. Kami benar-benar kehabisan topik saat ini. 

"Kalau begitu, aku masuk dulu, ya." Itu yang kuucapkan saat aku merasa bahwa keheningan tidak akan membawa kami ke mana pun. 

"Oke," balasnya. 

*

Suara gemuruh dari langit masih terdengar, seolah terus mengumumkan kemarahannya hari ini.

Awan mendung yang gelap juga masih mengepungi kota kecil tempat kami tinggal, membuat cahaya matahari sulit menjangkau. Keadaan di sana pun tampak sama seperti sore hari saat matahari yang hendak tenggelam, walaupun sebenarnya waktu masih menunjukkan pukul tiga sore.

Hujan belum berhenti sejak tadi pagi, derasnya juga masih sama seperti saat awal aku bangun tidur tadi. Tampaknya langit masih punya persediaan awan yang banyak, sampai-sampai enggan menjeda barang sejenak. Belum ada tanda-tanda bahwa hujan akan segera berakhir.

Aku bosan, hanya berada di rumah. Padahal ini masih minggu kedua sejak aku mulai liburan sekolah. Masih ada dua minggu lain yang membosankan!

Mama masih melarangku membuka plastik pada buku paket, beliau takut aku langsung belajar. Katanya, aku baru boleh membukanya jika masa liburanku tinggal seminggu. Itu pun nanti aku harus memanfaatkan seminggu terakhir itu untuk menyampul buku dan menempelkan identitasku di sana, biasanya aku perlu sehari untuk melakukan semuanya.

Rencananya aku akan membeli sampul plastik transparan di toko stationery di dekat apartemen ini nanti, saat hujan sedikit mereda. Akan kusimpan barang-barang itu di sudut ruangan, agar aku tidak tergiur untuk menyampulnya begitu aku membawanya ke rumah.

Acara pada saluran TV swasta sama sekali tidak membuatku tertarik untuk menatapnya lama-lama. Jangankan melirik, membuka televisi saja sekarang menjadi malas.

Tiga jam yang lalu, Mama menelepon menanyakan apakah aku sudah makan siang atau belum. Menelepon saat makan siang pun menjadi rutinitas Mama saat aku liburan. Aku belum pernah terlambat makan siang, Mama tahu itu. Namun sepertinya Mama lebih suka memastikan daripada menerka-nerka.

Dan di sinilah aku saat ini, berdiri memperhatikan keadaan di bawah sana. Jalanan basah dan payung yang bergerak pelan. Orang-orang tampak lebih sedikit hari ini. Kendaraan yang lalu lalang juga tidak terlalu banyak, dikarenakan jalanan di sekitar apartemen ini memang bukan jalan besar. 

Tampaknya hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat. 

"Sekarang atau menunda lagi." Aku mengumamkan tekadku sambil melangkah masuk ke dalam ruang belajar. 

Kukunci pintu balkon, memeriksa saklar lampu dan memastikan aku tidak meninggalkan kompor dalam keadaan menyala--padahal aku hampir tidak menyentuh kompor hari ini, hanya ingin memastikan. Kubuka laci kecil tempat aku meletakan sisa uang saku dan mengambil beberapa lembat uang di sana. Berikutnya, kuraih payung merah yang kuletakkan di dekat pintu dan menutup pintu apartemen rapat-rapat. 

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk sampai di lantai dasar, karena elevator tidak sedang beroperasi dalam jam sibuk.

Saat hendak membuka payung, perhatianku tertuju pada sosok yang berdiri memegang payung biru di pinggir jalan dekat perbelokan. 

Itu ... Arlan Pratama, kan? 

Aku hanya diam, sambil memperhatikan gerak-geriknya. Arlan Pratama berdiri di sebelah kiri pintu mobil hitam, tampak berbincang dengan seseorang yang ada di dalam sana. Namun aku tidak bisa melihat siapa yang sedang berbicara dengannya, karena kepala orang itu ada di dalam mobil. 

Raut serius yang terlukis di wajah Arlan Pratama ikut membuatku mengerutkan kening.

Selang beberapa saat kemudian, mobil hitam itu melaju pergi. Namun Arlan Pratama masih berdiri di tempat yang sama, tanpa bergerak sedikit pun. 

"Arlan Pra--" 

Saat hendak menyapanya dan menghampirinya, payung birunya terlepas dari tangannya. Angin yang kencang langsung membuat payung menjauh dari keberadaannya dengan cepat. 

Aku pun refleks berlari mendekati Arlan Pratama dan berdiri di sampingnya untuk memayunginya. Namun dia tetap sama, tidak bergerak walaupun dia tahu bahwa pelindung tubuhnya dari hujan telah lolos dari genggamannya dan titik-titik air menhujaninya dengan bebas. 

Kutundukkan kepalaku sebentar untuk melihat keadaan kaki dan sandalku yang basah karena lari terburu-buru barusan. Lalu, aku kembali menatap ke arah lelaki yang masih menatap hampa tempat terakhir mobil itu melaju pergi. 

"Kamu kenapa?" tanyaku. 

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Arlan Pratama menolehkan kepalanya, menatapku. Rasanya cemas juga melihat hampir seluruh tubuhnya sudah basah kujup meskipun dia baru berdiri sebentar di bawah hujan.

"Alenna," panggilnya pelan. 

Kulirik tangan kiriku yang sedang memegang pegangan payung sejenak, benang merah itu muncul lagi. Kutatap lagi wajahnya yang masih menunjukkan raut yang tidak kumengerti. 

"Iya?" 

"Aku ... boleh menggunakan perintahku sekarang, kan?" tanyanya. 

Belum sempat aku menjawab, dia langsung melanjutkan, "Bisa tidak, kamu kembali ke rumahmu dan membiarkan aku di sini dulu? Aku sedang ingin merenung." 

Aku menahan napasku selama beberapa saat, "Memangnya kamu tidak bisa merenung di rumah?" tanyaku. 

"Aku juga sedang ingin hujan-hujanan," jawabnya. 

"Tapi, nanti kamu--" Kata-kataku tertahan saat melihat caranya menatap ke arahku. 

"Bisa, kan?"

Aku menggigit pipi bagian dalamku, memegang pegangan payung kuat-kuat, dan mengangguk enggan. Pada akhirnya aku hanya bisa menjawab sepatah kata, "Bisa."

Aku tidak suka dengan situasi ini. Lebih tidak suka daripada saat Arlan Pratama melemparkan senyum remehnya. 

"Ini, kupinjamkan payungku," sahutku sambil mendekatkan pegangan payung kepadanya. 

Tahu bahwa dia akan menolak, aku lebih dulu mengatakan dengan cepat, "Ini payung kesayanganku, kembalikan nanti saja."

Begitu Arlan Pratama meraih pegangan payung itu, aku keluar dari lindungan payung dan langsung berbalik dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen.

Sekarang atau menunda lagi? Aku tidak memilih sekarang, tetapi aku tidak menyesal.

Aku benar-benar tidak tahu bahwa detik saat aku menutup tirai malam beberapa minggu yang lalu, aku berpisah dengan Arlan Pratama yang masih tertawa puas. Dan sekali pun, aku belum pernah membayangkan bahwa aku akan menghadapi Arlan Pratama yang menunjukkan punggung rapuhnya.  

Logikaku sampai menolak percaya bahwa dia adalah Arlan Pratama yang sama dengan biasanya. Dia benar-benar seperti orang lain.

***TBC***

8 Februari 2019, Jumat. 

Cindyana's Note

Ceritanya, kemarin adalah hari ketiga tahun baru imlek dan aku sedang ke rumah family untuk bersilaturahmi. Namun karena obrolan mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, aku memilih membuka Wattpad untuk mengedit Red String yang saat itu masih 1300 kata. 

(Ini 1900 kata, BTW).

Lalu, tragedi itu terjadi begitu saja. Obrolan mereka berhenti tanpa kusangka-sangka. Selanjutnya, aku menyadari bahwa layarku menunjukkan tulisan yang mencurigakan saat sedang memakai sepatuku. 

"Memublikasikan" katanya. 

Alhasil, aku panik setengah mati. Aku berusaha back, back, dan back, tapi putaran siklus proses yang berwarna jingga itu tidak mau berhenti. Aku bahkan berpikir untuk mematikan data selulerku, tapi aku sadar kalau itu akan menghalang usahaku untuk unpublish nanti. 

Jadi, aku segera unpublish padahal belum semenit tayang di Wattpad. Dag dig dug seeer. 

Ya, intinya, siang tadi aku kepencet. Udah, itu aja. Wwkwkwk. 

Haloo! Bagaimana chapter Red String hari iniiii? 

Angst dan Teen-nya berasa ga sih? //angst dari Hongkong, Cin//

Sebenarnya kumerasa kasihan sama Arlan //puk puk// untung benang merahmu pengertian banget ya //colek Alenna//

Itulah awal mula payung merah yang Arlan gunakan untuk menjemput Alenna //tsah//

Untuk next chapter dan selanjutnya, kita akan kembali santai sebentar, ya. Karena aku juga sama seperti Alenna; aku nggak suka situasi sedih kayak gini :< //Lah terus kenapa lu buat// 

Tapi, tapi, tapi, apakah kalian sudah melihat gambaran konflik di Red String? :D

Gong Xi Gong Xi~~~ 

BTW ada yang kaget nggak liat Ikon Wattpad berubah mendadak tadi? Wkwkwkwk. (Kalau belum berubah, berarti HP kalian nggak auto update), it's ok, not a bad thing.

Sembur manja dari paus! 


Cindyana/Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro