
The Sixth Thread - "Mistake is Something Glorified"
Mistake is something glorified, because no one will ever forget it.
***
Seperti biasanya, kami menghabiskan Jumat pagi kami untuk melakukan senam di lapangan sekolah.
Namun sebelum melakukan senam, hal yang kami lakukan adalah berbaris sesuai dengan kelas. Banyak orang yang memilih menjauhi barisan depan dengan alasan menghindari pemilihan acak yang dilakukan oleh wali kelas kami. Nantinya, yang terpilih akan menjadi perwakilan kelas dan harus melakukan senam di depan.
"Alenna, tukaran tempat, yuk!"
Kukedipkan mataku beberapa kali, sembari melihat ke mana jari orang yang tidak kukenal ini menunjuk. Paling belakang dan hampir sudut.
"Memangnya ada apa?" tanyaku.
Perempuan di depanku ini hanya tersenyum, tidak menjawabnya. Dia kelihatan ragu-ragu, sehingga membuatku mengedipkan mata, menunggunya merespon.
"Alenna ..." Rania menarik lenganku, membuatku tidak lagi berdiri di tempatku tadi. "Kamu ini pintar banget, tapi enggak tahu baca situasi."
Aku memiringkan kepalaku bingung. "Memangnya ada apa dengan tempat itu?" tanyaku sambil memperhatikan gadis tadi yang telah mengambil alih tempatku tanpa bertanya lagi.
"Dia suka sama anak sebelah, tempatmu lumayan strategis buat lihatin gebetannya."
Kuamati tempat tadi sekali lagi. Posisinya tiga baris dari depan, paling ujung dan berada tepat di samping murid-murid kelas 7-2. Kuamati benangnya yang mengarah ke arah sebaliknya, kemudian menghilang tiba-tiba begitu aku mencoba mencari kemana benang itu mengambang.
"Kita di belakang saja," ucapnya sambil menarikku ke belakang.
Aku hanya mengikuti kemana Rania akan membawaku. Rupanya, dia membawaku kepada dua temannya yang sudah menjaga beberapa tempat. Mereka sampai melebarkan kedua kaki mereka untuk menjangkau dua tempat yang lumayan jauh. Aku yakin, mereka berdua pasti bisa melakukan split jika berlatih. Ketika melihat kami datang, mereka berdua kembali berdiri tegak.
"Makasih ya, Fheak, Jing."
Sebenarnya aku mengenal dua teman yang sering bersama Rania ini. Katanya mereka adalah teman Rania sejak SD. Mereka juga sampai masuk ke sekolah yang sama dengan Rania dengan jalur biasa yang lumayan mahal hanya untuk bersekolah dengan Rania. Menurutku pertemanan mereka agak aneh, tapi ...
Salah satu temannya mengerutkan kening, "Panggil Jingga aja kenapa, sih? Nyesel aku ngejagain tempatmu."
"Tahu, nih. Namaku Fhea, bukan Fheak!" ujar temannya yang lain dengan kesal. "Ini masih pagi, jangan ngajak berantem."
Jantungku mendadak berdebar kencang. Astaga, apakah mereka akan bertengkar, saling menarik rambut mereka dan membuat keributan besar di tengah lapangan?
"Hahaha, sorry deh. Makasih sudah jagain tempat kami."
Aku langsung menoleh ke tempat yang seharusnya kutempati setelah barter barusan. Yang benar saja, tempat itu sudah ditempati oleh orang lain dan dia tengah terkikik-kikik di sana.
"Jangan terlalu sering dekat-dekat Rania, nanti kalau kamu ketularan gila-nya Rania, nggak ada lagi cewek normal di kelas kita," bisik Jingga kepadaku. Dia jelas sedang berbicara denganku, karena benang merahnya tiba-tiba saja muncul.
"Secara tidak langsung, kamu juga ngatain kalau kamu juga enggak normal, tahu," balas Rania yang ternyata mendengar perbincangan kami.
"Bukan gitu, tapi Alenna kan yang paling tenang. Kalau kalian ngomong berdua, seratus persen hanya kedengaran suaramu, lho, Ran!" balas Jingga sambil terbahak keras.
"Jingga, hari ini kamu yang jadi perwakilan kelas," tunjuk wali kelas kami dari depan.
"Eh? Saya, Bu?" Jingga menunjuk diri sendiri sambil berkedip beberapa kali.
"Memangnya ada Jingga lain di kelas 7-1?"
Seisi kelas tertawa, pengecualian untukku. Rania yang terbahak paling keras karena kesialan yang menimpa Jingga.
Di sela tawa keras itu, aku bisa mendengar Rania mengatakan, "Instant karma. Makanya jangan ngatain hal yang buruk tentang temannya."
Ada pula suara Fhea mengatakan, "Untung aku enggak ikutan."
Sementara murid-murid dari kelas 7-2 dan 7-3 menatap ke arah barisan kami dengan tatapan terheran, bingung dengan hal yang sebenarnya tengah mereka tertawakan.
Jingga yang melangkah ke depan dengan wajah cemberut, kembali membuat orang-orang tertawa. Apalagi saat wali kelas kami menepuk bahunya, seolah memintanya bersabar.
Saat menyimak reaksi dari orang-orang, aku tidak sengaja bertukar pandang dengan Arlan Pratama. Dia sepertinya menyadari hal itu, karena dia melempar senyum ke arahku sambil menunjuk angka satu.
Tentu saja, aku lebih memilih memalingkan wajahku daripada meladeninya.
Kekanak-kanakan sekali.
*
Ketukan pintu di sela pelajaran matematika membuat kami yang tengah fokus menyalin rumus, langsung menoleh ke pintu. Ada segerombongan murid yang berdiri di depan pintu kelas kami. Mereka semua tampak ragu-ragu untuk masuk.
"Eh? Ada apa ramai-ramai ke sini?" Bu Farah berhenti menulis di papan dan melangkah ke pintu.
Saat aku sedang berusaha mencerna sikap Bu Farah, terdengar celetukan pelan dari kananku.
"Pilih kasih banget. Kalau anak-anak kelas kita yang kumpul di depan kelas lain saat pelajarannya, bakal dikasih soal dadakan. Kalau anak 7-2, bakal disamperin," ocehnya entah kepada siapa.
"Kelas 7-2 lagi pelajaran inggris. Kayaknya mereka mau pinjam kamus," balas gadis di belakang Rania.
"Waduh! Kurang kerjaan banget kamu, sampai hafal mata pelajaran kelas sebelah. Aku sama jadwal kelas kita saja, nggak ingat." Rania memutar-mutar penanya. "Hmm, biar kutebak. Kamu suka sama anak sebelah?"
Gadis yang duduk di belakang Rania tertawa kecil, "Wajar, kan? Cowok 7-2 banyak yang keren, beda banget sama cowok kelas kita. Kayak kelas buangan saja, kelas kita ini."
Aku bisa merasakan Rania menatap ke arahku, "Enggak terbuang, kok. Kan kita punya Alenna."
Kutolehkan kepalaku ke arah Rania, mengerutkan keningku, menanyakan maksudnya mengatakan itu tanpa berbicara.
"Oh iya, jadi siapa yang kamu suka?" Rania tiba-tiba mengalihkan topik.
"Enggak, ah. Rahasia."
Rania mencoba membujuknya, "Inisialnya aja, deh."
"Kalau aku kasih tahu inisialnya, kamu pasti langsung tahu." Gadis itu tertawa lagi, walau tidak ada yang lucu. "Pokoknya dia yang paling ganteng di angkatan kita, pintar, keren banget deh. Hihi, pokoknya kalau kamu nanya siapa, jawabannya rahasia. Aku enggak mau ngasih tahu siapapun, nanti pasti kesebar."
Rahasia, katanya, tapi diomongin terus.
Aku menghela napas. Jangan mendengarkan apa-apa lagi, lebih baik aku fokus mencatat ulang rumus yang ada di papan tulis.
Iya, mencatat ulang, karena sebenarnya aku sudah pernah merangkum rumus ini beberapa hari yang lalu. Semoga saja aku bisa segera menghafal rumusnya dan mencoba latihannya pulang nanti.
Saat sedang menatap bukuku dan memperhatikan rumus itu lama-lama, tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang berdiri di depan mejaku. Segera kuangkat kepalaku dan kudapati seseorang yang paling tidak ingin kutemui saat ini.
"Hai, Alenna."
Arlan Pratama.
"Apa aku boleh meminjam kamus bahasa Inggris-mu?" tanyanya sambil tersenyum. Senyum yang membuatku teringat dengan kejadian kemarin malam. Senyum meremehkan. Aku tidak suka.
Dan mengapa dia tidak bertanya lebih dulu apakah aku membawa kamus bahasa inggris atau tidak?
Aku segera menunduk, memeriksa laci mejaku karena seingatku aku memang menyimpan kamusku di sana. Sambil memeriksa apakah yang kuberikan memang kamus bahasa Inggris dan bukan kamus bahasa Indonesia, aku juga melihat tangan kiriku yang seharusnya terbebas dari aksesori apapun. Ada benang merah di sana, membuatku ingin menghela napas lagi.
Kutaruh kamus bahasa Inggris di atas meja tanpa mengatakan apapun. Arlan Pratama juga tidak langsung mengambilnya seperti yang kuprediksikan.
Seharusnya dia tahu kalau aku meminjamkan kamus ini untuknya, kan? Aku mengeluarkannya langsung dari laciku saat dia memintanya, bukan?
"Boleh, tidak?" tanyanya.
"Hah?"
Arlan Pratama bertanya lagi, "Boleh pinjam kamusnya?"
"Boleh," balasku. "Kan sudah kukeluarkan."
Dia mengambil kamusku, lalu melempar senyum sekali lagi, "Thanks, nanti kubalikin."
Saat Arlan Pratama keluar dari kelas, aku bisa merasakan dengan jelas bagaimana tatapan orang-orang di sekitarku terasa lebih fokus daripada biasanya.
Bu Farah mengetuk spidol di papan tulis setelah semua murid 7-2 keluar dari kelas kami. "Sudah, sudah, ayo lanjut tulis rumus. Nanti Ibu periksa catatan kalian, ya."
Selanjutnya, mereka kembali fokus dengan papan tulis, tanpa mengomentari apapun. Namun bukan Rania namanya, kalau tidak menanyakan hal yang membuatnya penasaran.
"Wow, kamu dan Arlan saling kenal?"
Belum sempat aku menjawab, Rania melanjutkan lagi, "Kukira kalian berdua sama-sama manusia yang hidup terperangkap dalam buku. Rupanya kalian saling kenal."
Aku hanya diam. Detik berikutnya, aku tidak sengaja bertukar pandang dengan gadis yang duduk di belakang Rania.
Dia menatapku dengan tatapan dalam. Entah kemana senyumannya yang tadi, saat dia sedang membicarakan orang yang disukainya.
***TBC***
3 Januari 2019, Kamis.
Cindyana's Note
Selamat tahun baru, semua!
BTW relate banget nggak sih saat ada cewek suka sama cowok. Soalnya aku ngerasa pas SMP, teman-temanku kayak gitu. Baru bisik-bisik ngasih tau nama gebetannya, besoknya satu angkatan sudah pada tau :). Tapi pada kebelet mau ngasih tau, karena tydac kuat memendam rasa itu sendirian. Wkwkwkwk.
Hihi, saat Arlan dan Alenna semakin dekat, aku akan memunculkan konfliknya pelan-pelan. So, stay tune yaaaa! Kira-kira setelah Alenna ketemu Tyara dkk.
EEEEITTT, jangan curigaan amat sama aku. Aku sayang Arlan dan Alenna, kok, aku nggak bakal susah-susahin mereka. Hihihi. HIHIHIHI.
Tenang, konfliknya menurutku ga seberat Litte Fantasy Senpai (3, 4, 5). LFS 2 masih santai, laaaah. Kan genre-nya teenfict.
Oke, jadi minggu depan aku bakal UAS. Semoga lancaaaar~
Kalian juga, selamat memasuki semester genap! Alenna dan Arlan juga sudah masuk semester genap, lho! Hihi.
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro