Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Seventh Thread - "Moment is Something Rare"

Moment is something rare, it happens once and won't same anymore. Every second is a moment.

***

Kutekan lembaran sticknote pada buku paket pelajaran Sejarah. Entah sudah berapa catatan kecil yang kutempelkan di sana. Banyaknya kronologi yang saling berhubungan membuatku memilih meringkasnya lebih dulu. 

Aku ingat persis, saat aku mulai meringkasnya di kelas dan Rania melihatku berusaha menulis informasi sebanyak-banyaknya dalam kertas kecilku, dia menyerahkan sebuah stabilo dan memintaku mencoretnya saja. Tentu saja aku menolak kebaikan hatinya itu dengan alasan karena lebih mudah melafalkannya dengan meringkasnya lebih dulu. 

Mencoret buku paket agak disayangkan, menurutku. Harganya mahal. Biasanya ada adik kelas yang ingin membeli buku paket bekas dengan harga yang lebih murah daripada membeli langsung di toko buku. 

"Alenna sudah selesai?" Mama membuka pintu kamar belajar dan berhenti di pintu. 

Segera kututup buku dan berdiri mendekati pintu, "Sudah, kok. Mama sudah mau mulai?"

Tidak biasanya Mama pulang lebih awal hari ini. Sudah lolos dari tugas kantor yang menggunung setelah akhir tahun selesai, Mama bilang pekerjaannya mulai mereda dan lebih santai dari sebelumnya. Itu membuatku agak senang.

"Hati-hati ya, potongnya. Jangan sampai kena tangan," pesan Mama.

"Iya." 

Kuluruskan papan potong lebih dulu, mencari posisi nyaman. Selanjutnya, aku memasang dan mengetatkan ikatan pada celemek sebelum meraih pisau. Menggunakan celemek ketika membantu Mama memasak membuatku terlihat seperti asisten Mama. Padahal kenyataannya, aku tidak bisa memasak. 

Alasan mengapa aku menggunakan celemek karena aku benar-benar ceroboh. Pernah sekali Mama memintaku untuk mengoper kecap asin dan aku tidak sengaja membuatnya tumpah terkena seragamku. Itu bukan pengalaman yang menyenangkan, mengingat bahwa saat itu terjadi, pakaianku yang kotor adalah seragamku dan saat itu masih Senin pagi. 

"Kamu sudah tahu siapa anak sebelah?" Mama bertanya tiba-tiba, setelah keheningan yang menguasai dapur.

Aku terdiam selama beberapa saat, "Sudah, Ma."

Mama juga diam sebentar, kemudian bertanya lagi, "Teman sekelas?" 

"Bukan. Dia kelas 7-2," balasku. 

"Ooh." Mama mengaduk kuah daging yang ada di dalam panci. "Sudah kenalan?"

Bayangan saat aku bersalaman dengan Arlan Pratama kembali terputar jelas di kepalaku. Kujawab dengan sedikit percaya diri, "Sudah." 

"Siapa namanya?"

Aku berusaha untuk tidak menghela napas saat menjawab, "Namanya Arlan Pratama." 

Kuserahkan sayur-sayuran yang telah kupotong kepada Mama, menyaksikan sayuran yang kupotong terjun ke dalam panci. 

"Mama dengar dari petugas kebersihan, katanya orangtuanya jarang pulang, ya?" 

Jelas, itu adalah hal yang tidak kuketahui. Namun setelah kupikir-pikir, aku baru sekali bertemu dengan mereka setelah kepindahan mereka yang nyaris memasuki minggu ketiga. 

"Enggak tahu, Ma." 

Akhirnya kujawab juga pertanyaan Mama dengan jawaban yang paling tidak ingin kusebutkan. Semua hal mempunyai jawaban. Menjawab "tidak tahu" hanyalah sekadar alibi, menurutku. Namun untuk pertanyaan Mama kali ini, aku benar-benar tidak tahu jawabannya. 

Satu-satunya hal yang aku tahu tentang kedua orangtua Arlan Pratama adalah bahwa benang mereka tidak tersambung. 

Selesai memotong sayuran, kini aku beralih menyusun piring dan gelas yang telah dicuci. Aku juga sempat melirik Mama yang tampak tengah mengaduk kuah. Pembicaraan tentang Arlan Pratama sudah selesai, kan?

"Kalau memang orangtuanya jarang pulang, ajak saja dia makan dengan kita." 

Aku kaget, tetapi tidak menunjukkan reaksi. Yang pasti, aku tidak sampai melepaskan piring-piring yang sedang kubawa. Langkahku berhenti di depan lemari kecil tempat kami menaruh piring-piring, aku mulai menyusun sambil bertanya ulang. 

"Makan bersama?" 

"Iya, kan kita tetanggaan dengannya," kata Mama tanpa perlu sibuk menoleh melihat reaksiku. 

Memangnya dia mau makan dengan keluarga yang tidak dia kenal? 

"Makan sendirian di meja makan itu sepi, lho.  Alenna tahu itu, kan?" Mama bertanya. 

Aku termenung diam selama beberapa saat. Dulu, sebelum Papa dan Mama berpisah, aku sering makan di rumah sendirian. Tentu saja aku tahu bagaimana rasanya makan sendirian di meja makan dengan dua kursi kosong. Makanan yang enak terkadang terasa hambar. Tidak ada alasan untuk duduk lama-lama di meja makan selain untuk menghabiskan makanan. 

Mama berkata tiba-tiba, "Setelah Mama ingat-ingat, kamu ini hampir tidak pernah mengeluh, ya." 

"Soalnya mengeluh tidak akan mengubah apapun," jawabku seadanya sambil menatap ke Mama yang ternyata sudah berbalik menatapku.

"Kadang mengeluh itu tidak apa-apa, kok. Memang kesannya tidak baik, tapi lebih sehat daripada kamu memendam sesuatu yang ingin diprotes, kan?" Mama melemparkan senyum. "Kalau kamu mau cerita sesuatu, cerita saja ke Mama." 

"Iya, Ma," jawabku. 

"Jangan kayak kemarin, masak ada hal penting malah tidak kasih tahu Mama. Memangnya kamu tidak histeris, ya? Kalau Mama enggak kepergok kamu nyimpan pembalut dalam tasmu, Mama tidak akan tahu kalau ternyata kamu sudah--"

 "Ma ... ini topik yang memalukan," ucapku sambil menunduk malu. "Tidak histeris, soalnya sudah pernah belajar di penjaskes waktu SD." 

"Sama Mama sendiri, kok malu," ucap Mama dengan santainya. "Oh ya, sampai mana kita tadi? Oh. Jangan lupa ajak Arlan makan malam bersama, ya." 

"Iya," jawabku lagi, walaupun aku sangat ragu bahwa Arlan Pratama akan menerima. 

*

Kurenggangkan tubuh saat pengingat yang kubuat di ponsel telah berdering. Satu setengah jam yang lain telah berlalu begitu saja, padahal aku merasa belum ada apapun yang masuk dalam kepalaku untuk materi yang baru saja kututup.

Kulirik jam putih yang menggantung di atas pintu. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya aku kembali ke kamarku dan beranjak tidur. 

Setelah menyimpan buku paket dan memeriksa buku-buku yang harus kubawa besok, aku mendekat ke pintu kaca untuk mengunci pintu balkon. Namun saat hendak mengunci, ada suara bisikan pelan dari balkon sebelah yang membuat niatku terhenti begitu saja.  

"... Tidak ada gunanya," bisik Arlan Pratama.

Maksudnya apa? 

Tidak ada kata-kata yang terdengar lagi setelahnya, hanya napasnya yang terdengar berat dan suara bisikannya yang entah mengatakan apa.

Kugeser pintu balkon pelan-pelan, lalu keluar pelan-pelan menuju balkon. Bisa kulihat Arlan Pratama membelakangiku. Dia tidak menyadari keberadaanku. Suara napasnya yang putus-putus membuatku semakin heran. 

Kedua bahunya yang bergetar pelan membuatku mulai bertanya-tanya. 

Anak ini sedang apa?

"... Tidak bisa lagi," katanya lagi.

Arlan Pratama meletakan tangannya di batu balkon yang lebarnya kira-kira lima centimeter. Dia mengambil pisau yang ternyata diletakannya di sana dan tidak kusadari sampai  tangannya membawa pisau itu. 

Aku melotot saat dia mengarahkan pisau itu pada tangannya, yang membuatku refleks memanggil namanya. Konyol, tetapi entah mengapa aku berharap dia berhenti bergerak begitu aku memanggilnya.

"Arlan Pratama!" seruku.

Dan untungnya, dia benar-benar berhenti. 

Arlan Pratama langsung menoleh ke arahku. Terlihat sekali kalau dia terkejut karena suaraku. Aku juga terkejut, karena kupikir dia sedang memasang ekspresi terburuknya dan sedang mencoba untuk melukai dirinya. Namun, tak kulihat sedikit pun ekspresi terlukanya seperti yang pernah kulihat dulu. Dia terlihat ... baik-baik saja.

Kulirik tangannya yang rupanya memegang sebuah makanan kalengan.

Di sana, aku tersadar. Rupanya, aku hanya salah paham. 

Sebenarnya aku mungkin akan berpikir dia tidak mungkin melakukan itu, apabila aku tidak pernah melihat benang merah orangtuanya. Arlan Pratama tidak terlihat seperti seseorang yang bermasalah. Dia berprestasi, keluarganya berkecukupan dan tinggal di tempat yang layak, dan keluarganya akur. Memang, aku tidak pernah tahu alasannya tidak masuk saat awal semester genap kemarin, tetapi sepertinya masalah keluarga itu sudah berakhir.   

Aku tidak tahu harus merasa lega karena rupanya dia hanya berniat membuka kaleng itu ataukah aku merasa malu karena telah salah paham. Juga, aku tidak tahu mengapa aku merasa sedikit simpati melihatnya berusaha membuka kaleng tersebut.  

Dia bertanya dengan heran, "Apa? Kenapa kamu marah?" 

"Eh ... aku tidak marah," balasku tak kalah herannya. 

Mengapa dia bisa menyimpulkan kalau aku marah? Karena aku memanggilnya dengan suara keras?

"Terus, kenapa panggil nama lengkap?" tanyanya bingung. 

"Biasanya juga--" 

Lalu, aku terdiam. Setelah kupikir-pikir, aku belum pernah memanggil namanya langsung kepadanya. Tentu saja dia juga tidak pernah mendengarkan aku memanggil namanya atau nama lengkapnya. 

Ini agak canggung. Terakhir kami mengobrol adalah saat dia mengembalikan kamusku. Itupun sudah dua minggu yang lalu. Setelah itu, kami tidak lagi mengobrol walaupun saling berpapasan di koridor sekolah, saat satu halte, atau saat kami tidak sengaja keluar dari apartemen bersama-sama saat hendak berangkat ke sekolah. 

Mengobrol dengannya tiba-tiba, apalagi dalam keadaan berseru dan dalam kesalahpahaman ini membuat keadaan menjadi sangat kaku.  

"Kamu ... belum makan?" 

"Belum," jawabnya terlihat tidak peduli. Masih saja dicobanya menusuk-nusuk tutup kaleng dengan pisau, kali ini menghadap ke arahku. 

Bersamaan dengan gerakan tangannya yang mencoba menusuk kaleng, aku bisa melihat benang di tangannya juga ikut bergerak dengan gerakan yang sama.

"Padahal sudah jam segini?" tanyaku lagi

"Memangnya ini jam berapa? Aku ketiduran, tadi." Arlan Pratama tampak sedikit riang saat pisau itu berhasil menembus kaleng. "Eh, setelah ini harus kuapakan? Ini bisa langsung dimakan?"

Aku terdiam selama beberapa saat. 

"Rumahmu tidak masak?"

"Tidak."

Jadi orangtuanya benar-benar jarang pulang? 

Tentu saja aku tidak menanyakan pertanyaan yang satu itu kepadanya. 

"Biasanya ... kalau tidak masak, kamu makan apa?"

Arlan Pratama mengerutkan kening, "Kok kamu malah wawancara begini? Ini bisa langsung dimakan atau harus diseduh air panas dulu?"

Baru hendak kujawab, dia lebih dulu merespon, "Ah. Kamu tidak tahu juga, ya? Kalau begitu aku tanya google saja."

Diletakannya kaleng dan pisau di balkon, lalu mulai memainkan ponselnya. Aku hanya diam melihatnya membaca artikel dalam keadaan alis mengekerut. Dia benar-benar tidak tahu, ya?

Kuhela napasku diam-diam. Ini saatnya mengabulkan keinginan Mama. 

"Kalau besok rumahmu tidak masak, mau makan malam bersama?"

***TBC***

8 Januari 2019, Selasa. 

Cindyana's Note

Wah, sakti amat aku update padahal lagi minggu UAS /slow applause/

Eh, sumpah ya, Arlan sam Alenna ngegemesin banget kan yaaaa.><

BTW, konflik Red String sudah boleh kunaikin pelan-pelan. Karena aku berencana membuat cerita ini punya lebih dari 20 chapter, jadi aku punya lumayan banyak kesempatan untuk menaikkan suasana dulu. 

UJIAN, CEPATLAH KELAR! Ayo kita semua semangat! 

DAN JANGAN CURIGAAN SAMA AKU LAH. Percaya saja sama aku. Aku akan berusaha membuat cerita yang baik. Okeeee? 


Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro