Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Second Thread - "Tomorrow is Something New"

Tomorrow is something new, that make me wonder today.

***

Aku dan Mama hanya tinggal berdua, di apartemen warisan Kakek.

Apartemen yang mempunyai sepuluh lantai ini, bisa dikatakan sangat mewah. Kami tidak perlu masuk menggunakan kunci besi, melainkan nomor password. Mama selalu mengingatkan kepadaku untuk tidak membocorkan nomor itu kepada siapapun, jadi aku tidak akan pernah menyebutkannya.

Kami tinggal di lantai sepuluh, di apartemen nomor 1009 dan nyaris menghabiskan waktu untuk naik dan turun menggunakan elevator sepanjang hari.

Menurut kabar, katanya hampir sebagian besar kamar di apartemen ini dimiliki oleh satu keluarga pengusaha yang kaya. Itu pengakuan orang-orang yang menyewa kamar apartemen jangka tahunan. Aku merasa sangat beruntung bisa tinggal di sini.

"Sudah siap menghadapi semester genapmu?"

"Siap," balasku mantap.

"Kamu cocok dengan teman-teman di kelasmu?"

Kunyahanku pada nasi goreng buatan Mama terhenti begitu saja. Kutatap matanya yang menatapku penuh harap, mengharapkan jawaban paling membahagiakan yang mungkin kujawab. Aku tidak tega merusaknya.

"Kami biasa-biasa saja, Ma," jawabku sembari tersenyum tipis.

Itu bukan jawaban bohong. Kelas yang saat ini kutempati bukan kelas paling baik atau paling buruk. Semuanya netral, biasa saja. Yang terjadi kemarin sama seperti saat SD, kecuali bagian seragam, itu beda cerita.

Saat ini tempat dudukku ada di tengah-tengah. Aku lebih suka menyebutnya lokasi yang paling mematikan, karena orang yang duduk di belakangku punya hobi berbicara tentang lawan jenisnya.

Perbincangan mereka seperti tidak pernah ada habisnya. Bisa tentang kakak kelas kami yang ditolak, padahal sudah dengan tidak tahu malunya berpuisi di depan umum. Lalu pembahasan mereka semakin heboh sampai-sampai mereka harus berdiri di depan kelas.

Dalam keadaan yang seperti itu, mendadak aku merindukan tempat dudukku semasa SD.

Saat aku SD kelas 1 dulu, Mama datang menemaniku pagi-pagi hanya agar mendapat jaminan aku mendapatkan kursi terdepan. Mama teman sekelasku yang lain juga begitu. Semuanya ingin anak-anaknya mendapat kursi paling depan dengan harapan agar mereka bisa menerima pelajaran dengan baik dan mengerti apa yang disampaikan guru di depan.

Namun kebannyakan dari mereka mungkin belum tentu menyukai kursi terdepan. Hari pertama di semester ganjil kemarin, begitu Rania datang di kelas dan melihatku duduk tenang di kursi paling depan, dia malah mengomeliku dan mengatakan bahwa aku terlalu disiplin dan menyebalkan.

Katanya, Mamanya akan melakukan perbandingan di antara kami, jika sampai beliau tahu bahwa aku sengaja memilih kursi terdepan di saat orang-orang justru menghindarinya. Saat ditanya mengapa alasannya, kujawab dengan sederhana, "Aku lebih suka melihat papan tulis langsung daripada melihat kepala orang-orang."

Ada tiga kelas di sekolah ini, dan adalah suatu kebetulan yang tidak diprediksikan bahwa aku akan sekelas dengan Rania di kelas 7-1. Kalau kata Rania kemarin, kebetulan ini dinamakan takdir. Oh ya, dia mengatakannya dengan dramatis seolah dia paham benar soal itu.

"Kamu dan Rania sekelas, kan?" tanya Mama.

Aku mengangguk, "Iya, semester kemarin, dia duduk di belakangku."

Ya, benar. Saat aku berbicara tentang seseorang yang sibuk bercerita sampai harus berdiri di depan kelas, aku membicarakan tantang Rania. 

Pemilihan tempat duduk yang acak kemarin, secara kebetulan membuatku duduk di depan Rania. Dan Rania kembali mendramatis tentang defenisi takdir. Aku mulai kebingungan menghadapi sifat anak itu, karena dia sering sekali tiba-tiba memunculkan sifatnya yang sangat tidak bisa kutebak.

Mama tertawa ringan, "Kalian yang akur ya."

Aku juga berharap begitu, tetapi perbedaan sifat kami yang seperti langit dan bumi tidak akan membuatku berharap lebih. Lagipula, Rania sangat membingungkan. Bisa tiba-tiba mengomel, baik, lalu kembali mengomel. 

Aku tidak mengatakan hal ini tanpa alasan. Baiklah, aku akan bercerita sedikit tentang Rania. Jadi, seminggu sebelum ujian akhir semester, ada pertemuan orangtua. Mama adalah orang yang sibuk, jadi aku tidak memberikan undangan itu kepada Mama. Lalu, aku baru tahu bahwa ternyata undangan itu penting karena menyangkut tentang pengambilan raport.

Rania yang entah bagaimana mengetahuinya, langsung datang kepadaku.

"Makanya, jangan terlalu sok pengertian. Raportmu jadi ditahan, kan?"

Aku hanya diam saat itu, karena Rania memang terlalu sering mengatakan hal sejenis itu kepadaku.

Tanpa menunggu jawabanku, Rania mengatakan, "Ma, ambilin punya Alenna juga, ya. Kasihan, raportnya ditahan bersama tumpukan raport anak-anak bermasalah, padahal dia tiga besar."

"Wah, iya. Mama harus segera mengambilnya sebelum raportnya terkontaminasi raportmu," balas mamanya dengan nada bercanda, yang lalu membuat Rania kesal. 

"Iiih, Mama jahaat! Aku sudah lebih rajin daripada saat SD, kok! Pasti aku nggak akan masuk list yang ditahan!" ucap Rania dengan sangat percaya diri. Dia lalu menatapku lagi, "Makanya, lain kali jangan sok pengertian! Untung aku lagi baik!"

"Hari ini pulang jam berapa, Ma?" tanyaku.

Mama menyesap teh sebentar, menikmatinya. "Hari ini Mama usahakan sebelum jam tujuh, oke?"

Aku mengangguk patuh, "Oke."

Pagi ini mendung. Mama menyarankanku untuk membawa payung dan melarangku untuk bermain hujan.

Terakhir, aku melakukannya dua tahun yang lalu dan demam selama dua hari. Karena itu, Mama harus cuti dan harus repot-repot merawatku yang nakal ini. Meskipun ingin merasakan sensasi bermain hujan, aku tidak akan melakukannya lagi, karena itu hanya akan menyusahkannya.

Jadi, hari ini aku membawa payung merah favoritku untuk berjaga-jaga. Mama yang membelikannya padaku tahun lalu setelah aku meminta. Bukan karena aku tidak suka jas hujan lamaku, tetapi karena sobekannya mulai memanjang dan tak bisa diperbaiki berapa kalipun aku mencoba merekatnya dengan selotip.

Mama juga bilang, memakai jas hujan berwarna-warni itu membuatku terlihat seperti anak-anak. Maksudku, aku sudah mulai menginjak masa remaja, Mama mungkin mulai mengkhawatirkan prilakuku.

*

"Kamu nggak ke kantin?"

Jangan tanya bagaimana bulu kudukku merinding karena dipertanyakan seperti itu oleh Rania. Dia sampai repot-repot mendatangi tempat duduk baruku di sudut paling depan.

Ada dua gadis lain di belakangnya yang juga menatapku dengan pandangan aneh seolah aku adalah makhluk dari planet yang jauh--aneh.

Aku menggeleng, "Aku bawa bekal. Kenapa?"

Rania mengangguk sekilas, lalu memasukkan dompet di kantongnya, "Aku kira kamu nggak bawa uang. Kalau gitu aku duluan, ya."

Bersama kepergiannya, aku mendengar bisikan dari dua temannya yang mempertanyakan siapa aku dan Rania dengan santainya menjawab bahwa Mama kami berteman lama.

Aku lebih senang mengalihkan pandanganku, menatap jari kelingking Rania terikat oleh benang merah yang mengarah ke luar jendela dalam keadaan melayang tanpa apapun yang mendukungnya. Hanya beberapa saat setelah kepergian Rania dan dua temannya, sebelum akhirnya benang merah itu menghilang tanpa jejak.

Meskipun tahu bahwa ini adalah hal aneh, aku tidak berani menceritakannya kepada siapapun.

Aku punya kelebihan untuk melihat benang merah. Sederhananya, benang merah itu menghubungkan dua orang yang ditakdirkan untuk bersama. Anehnya, benang merah itu hanya muncul setiap aku berkomunikasi dengan orang lain.

Sebenarnya, aku tidak terlalu sering melihatnya karena aku memang tidak punya terlalu banyak teman, tetapi aku pernah melihat benang merah milik guru yang menanyakan pertanyaan padaku, petugas kebersihan di apartemen setiap aku menitipkan kantong sampah padanya, kakak kasir yang melontarkan jumlah uang yang harus dibayar dan bahkan orang yang meminta maaf karena tidak sengaja menginjak kakiku di bus.

Ya, aku bisa melihat benang merah.

Aku tahu ini tidak wajar, aku tahu bahwa tidak semua orang bisa melihat hal ini.

Dan belakangan, aku baru menyadari bahwa aku tidak akan lagi melihat benang merah orang itu jika kami tidak berkomunikasi selama sepuluh detik.

Sebenarnya aku juga melihat benang merah milik Mama. Aku bahkan pernah berpikir untuk menemukan ujungnya agar dapat bertemu dengan benang merah Mama. Namun aku selalu berpikir, apakah memang ini yang diinginkan Mama? Apakah setelah bertemu dengan benang merahnya, Mama akan bahagia? Apakah Mama akan menyesal?

Aku pernah menanyakan pada Mama soal ini. Mama bilang beliau tidak ingin menikah lagi dan masih lebih suka fokus pada karier-nya dan aku.

Rencananya, aku hendak membawa bekal makananku ke area diskusi, karena hanya itu satu-satunya tempat dimana ada meja dan kursi. Kami tidak diperbolehkan makan di kelas karena kelas dengan air conditioner hanya akan meninggalkan aroma makanan selama pelajaran. Beberapa orang menilai itu tidak efektif untuk belajar--padahal menurutku sama saja.  

Anehnya, langkah kakiku berhenti di papan mading kelas 7.

Keberadaannya hitam dan cukup mencolok di lorong koridor yang berwarna cerah. Secara otomatis, aku menemukan namaku di daftar ranking paralel tertera di nomor empat. Di kelas, aku mendapat ranking dua.

Sebenarnya aku mulai memikirkan cara agar bisa masuk tiga besar paralel atau setidaknya mendapat ranking satu di kelas. Jawaban yang kupikirkan hanya satu; aku harus belajar lebih keras daripada sebelumnya.

Lalu, mataku secara otomatis naik ke daftar ranking pertama.

Arlan Pratama.

Aku mengenalnya; Dia adalah anak ranking pertama paralel,  orang yang sering dikirim untuk ikut olimpiade, anak kelas 7-2 yang sering digosipkan Rania dan temannya sebagai si Pertama.

Dan juga, aku tidak akan lupa bahwa dia adalah peserta ujian nomor satu.

Lama-lama melihatnya di urutan pertama, akan terus membuatku merasa berapi-api. Aku telah memutuskan untuk mengalahkannya. Aku akan mendapat ranking pertama paralel, semester depan.

***TBC***

28 November 2018

Cindyana's Note

Iya, aku update ini di acara nikahan sepupuku. Wish to read a lot of comments, when I come back home :D

Oke, nama doi adalah Arlan!

Dicatat dan ditempelin ke jidat! :D

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro