The Nineth Thread - "Promise is Something to Fulfil"
Promise is something to fulfil, but we don't have to promise, because I trust you.
***
"Ini."
Mungkin bukan hanya aku yang mengira bahwa dia salah masuk kelas, tetapi juga semua orang.
Arlan Pratama bukan saja membuat kehebohan yang luar biasa dengan memasuki kelas 7-1 tanpa ragu. Dia juga langsung menghampiri mejaku dan menunjukkan sekantong plastik berwarna putih di depanku.
Kelihatannya dia tidak menyadari bahwa saat ini kami sedang menjadi pusat perhatian kelas karena ulahnya, karena dia tidak terlihat segelisah diriku yang menoleh kiri-kanan hanya untuk melihat bagaimana raut wajah mereka saat ini.
Perhatianku terebut kembali saat Arlan Pratama dengan sengaja menggerak-gerakkan plastik dan membuat suara plastik saling bergesekan. Suaranya tidak keras, tetapi terdengar jelas karena keadaan kelas yang mendadak hening. Padahal tadi semuanya sibuk dengan topik pembicaraan tentang ujian akhir semester minggu depan. Keheningan telah berlangsung sejak Arlan Pratama melangkah dua langkah memasuki kelas kami.
"Hah?"
Aku yang sedang duduk di kursi dan tengah menunggu lonceng berbunyi, dibuat terheran oleh hal yang dilakukannya.
"Apanya yang 'hah'? Kamu sudah sarapan memangnya?" tanya Arlan Pratama sambil meletakan kantong plastik di mejaku, lalu melangkah menjauhi mejaku.
Dia meninggalkan kelas tanpa memberi petunjuk apapun kepadaku. Tentu saja aku kebingungan di tempatku.
"Wow." Tanpa menoleh ke kanan, aku sudah dapat menebak bahwa itu adalah Rania. "Rupanya kamu bisa jadi magnet juga, ya."
"Maksudmu?" tanyaku.
"Mungkin tipe cewek Arlan itu yang pintar atau mungkin pendiam."
Aku tidak berkomentar apapun, hanya diam dan mulai membuka kantong plastik tadi. Ada dua buah roti yang cukup familier untukku.
Di detik yang sama, aku menemukan selembar kertas yang terlipat di dalam sana.
Kuraih kertas itu dan membukanya.
Kamu berangkat pagi sekali, hari ini. Roti yang sudah Mama belikan buatmu kemarin malah ketinggalan. Mama titipin ke Arlan, kamu bilang terima kasih dengan benar, kan?
Langsung dimakan ya, Sayang.
Aku menganggukan kepalaku pelan. Mama menitipkannya kepada Arlan Pratama, rupanya. Karena Arlan Pratama meninggalkan kelas tanpa memberikan keterangan apapun, aku juga belum mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Kamu dipanggil Sayang?"
Tanpa kuduga-duga, Rania sudah berdiri di sampingku dan ikut membaca surat itu tiba-tiba. Aku refleks merapatkan surat itu kembali dan menatap Rania dengan tatapan kaget.
"Eh, tenang. Aku hanya kebaca di akhir-akhir saja, kok," kata Rania tanpa merasa bersalah.
"Bukan itu masalahnya," sahutku.
"Aku juga tidak akan bilang ke siapapun, kok," janji Rania sambil mengangkat tangan kanannya.
Rania bereaksi terlalu berlebihan, menurutku. Bukankah sangat lazim bila orangtua memanggil anak mereka dengan sebutan sayang? Atau Rania beranggapan kalau itu terlalu kekanak-kanakan karena kami sudah SMP?
"Arlan memang keren, sih, tapi kamu tenang saja, yang terlalu pintar bukan tipeku," ujar Rania sambil duduk kembali di tempatnya.
Aku mengerjapkan mataku, mencerna kata-kata yang dilontarkan Rania, "Tunggu, sepertinya kamu salah pa--"
Bel berbunyi, membuatku menghentikan kata-kataku tanpa sadar. Teman sekelasku juga kembali memasuki ruang kelas.
"Eh, Alenna, kita ada PR tidak?" tanya Rania.
Aku mengerjapkan mata, bingung dengan sikapnya, "Tidak."
Rania tiba-tiba bersikap biasa saja, tidak peduli. Kurasa aku masih belum bisa menebak sikapnya, walau sudah lewat sepuluh bulan sekelas dengannya.
Kusimpan rotiku di dalam laci. Akan kupastikan bahwa aku tidak lupa memakannya saat jam istirahat pertama nanti.
Menurutku Mama dan Arlan Pratama itu dekat. Sepertinya memang benar, dulu Mama sempat menginginkan anak laki-laki.
Terkadang Mama bisa mendadak bercerita hal yang tidak kuketahui tentang Arlan Pratama. Hanya dua kali aku mengajak Arlan Pratama untuk makan di rumah dan sekarang dia seperti seorang langganan yang datang beberapa kali dalam seminggu, tanpa perlu kuajak lagi. Tentu saja dengan memberikan informasi kepadaku bahwa dia akan datang, lalu aku yang akan menyampaikannya kepada Mama.
Saat tahu bahwa Arlan Pratama adalah ranking pertama paralel yang sebelumnya, Mama malah menyemangati kami berdua bersama. Padahal Mama pasti tahu bahwa ranking pertama hanya bisa didapatkan oleh satu orang saja.
Kalau pun total nilai kami seimbang, sekolah akan mempertimbangkan siapa yang paling tinggi di pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan. Jika nilai tetap kembar, maka sikap dan prilaku murid akan menjadi bahan pertimbangan. Darimana aku mengetahuinya? Aku menyimak saat sekolah menjelaskannya dalam suatu pertemuan untuk orangtua, aku lupa judul besar pertemuan itu. Yang jelas, tidak akan ada ranking yang dimiliki oleh dua orang.
Aku mengeratkan peganganku pada pena. Hasil ujian kali ini adalah pertempuran yang sebenarnya. Aku tidak akan kalah.
*
"Belakangan, kamu makin susah dipanggil keluar, ya," komentar Arlan Pratama begitu aku membuka kaca pintu balkon.
Aku hanya diam. Arlan Pratama selalu saja mengganggu di waktu belajarku. Dia mengetuk kaca balkon tanpa henti karena aku tidak segera menyahut. Dan aku terpaksa keluar dari sana, walaupun aku sudah tahu bahwa kami malah akan berakhir membicarakan hal tidak penting lainnya.
"Biar kutebak. Kamu sedang belajar untuk ujian minggu depan?"
Dia tahu, dan dia sengaja.
"Hm, tapi setidaknya kamu sudah mau berusaha."
Aku menggigit pipi bagian dalamku, menahan mulutku agar jangan bersuara. Terkadang aku kesal dengan kata-kata Arlan Pratama yang tajam dan tanpa disaring lebih dulu. Bisa-bisanya dia mengatakan begitu seolah dia sudah melihat hasil ujiannya dan aku tidak bisa menempati ranking pertama lagi.
"Aku bercanda, kalau tidak suka, langsung bilang saja."
"Aku tidak suka," ungkapku pada akhirnya.
Arlan Pratama malah menahan tawanya, "Kamu selalu seperti itu, tidak mau mengatakan hal yang tidak kamu suka. Ingat beberapa bulan yang lalu saat kamu ditabrak paman garang di elevator? Padahal raut wajahmu sudah kesal begitu, tapi kamu tetap diam."
"Aku tidak ingin membuat masalah." Akhirnya aku bisa mengutarakan hal yang selama ini ingin kusampaikan kepadanya.
"Tidak apa-apa, kan kamu nggak salah. Makanya aku berani membelamu," katanya. "Kalau tidak suka, tinggal bicara saja, kan?"
Aku memejamkan mata selama beberapa saat, mencoba mengingat hal yang terjadi saat itu. Sebenarnya aku juga bingung mengapa dia mau repot-repot membelaku, tapi ya sudahlah.
"Kenapa panggil aku keluar?" tanyaku.
"Aku tidak punya teman ngobrol," jawabnya yang membuatku menatapnya sedatar-datarnya.
"Aku bukan teman mengobrol yang menyenangkan," ucapku. "Sudah dulu, ya, aku masih harus belajar."
"Masih mau lanjut? Tadi kamu mulainya setelah kita selesai makan malam, kan? Sudah mau dua jam, lho. Nggak stress kamu belajar terus?"
Aku diam saja, karena sebenarnya kepalaku sudah berdenyut-denyut. Ingin berhenti, tapi aku tahu sekarang bukan waktunya untuk berhenti.
"Lagi belajar apa?" tanyanya lagi.
"IPS," balasku.
"Mau belajar bersama?" ajaknya tiba-tiba.
"Aku biasa belajar sendiri," jawabku.
Arlan Pratama menatapku kesal, "Aku juga biasa belajar sendiri."
Mengapa dia mengatakan begitu seolah aku yang mengajaknya belajar bersama? Aku mulai bingung menghadapi orang-orang di sekitarku. Tidak Rania, tidak Arlan Pratama, mereka sama-sama membingungkan. Semua orang membingungkan.
"Mau berlomba?"
Aku sontak menoleh ke arahnya, entah mengapa berhasil menebak jalan pikirannya kali ini. "Berlomba mendapat ranking pertama, maksudmu?"
"Iya," responsnya.
Sejak awal kami memang sudah berlomba, kan?
"Yang menang bisa memerintah yang kalah satu kali. Bagaimana?" tawarnya.
"Itu pertaruhan. Secara tidak langsung, itu namanya berjudi," ucapku sambil mengerutkan kening.
"Kita tidak menggunakan uang atau barang sebagai bahan pertaruhan, jadi ini bukan berjudi," balasnya dengan tenang. "Atau kamu tidak mau karena sudah tahu kalau aku yang akan mendapat ranking satu?"
...anak ini menyebalkan sekali.
"Tidak boleh memerintah membelikan barang, kan?" tanyaku untuk memastikan.
Jangan karena aku lalai sedikit, semua tabungan yang kusimpan untuk memberi hadiah hari Ibu langsung ludes untuk membeli barang tidak penting.
"Tidak boleh. Kalau memerintah membelikan barang kan pakai uang, itu berjudi namanya," balas Arlan Pratama. "Jadi bagaimana?"
"Oke."
.
.
.
Hari ini adalah hari pengambilan rapor. Tidak semua murid-murid mau datang ke sekolah, karena memang tidak diwajibkan. Aku memang biasanya datang untuk menemani Mama yang mengambil raporku.
Hanya ada beberapa murid yang datang. Beberapa di antaranya adalah murid-murid yang nilainya bermasalah. Guru-guru yang lewat koridor biasanya akan menanyakan murid yang duduk sendirian di koridor tentang masalah ini, tetapi saat melihatku, mereka hanya bertanya apakah aku tidak pergi berlibur atau berbasa-basi tentang siapa yang mengambil raporku.
Belajar dari pengalaman semester lalu, kepala sekolah baru akan menempelkan daftar ranking paralel setelah orangtua keluar dari kelas.
Kali ini juga begitu.
"Kamu ranking pertama lagi," kata Mama begitu keluar dari kelas.
Hal itu sontak mengundang para ibu-ibu untuk menoleh ke arahku. Aku hanya melempar senyum tipis saat Mama menghampiriku untuk memperlihatkan raporku.
"Alenna hebat, ya. Mau saja menemanimu datang mengambil rapor. Rania-ku masih tidur seperti sapi," komentar mamanya Rania saat aku belum sempat nilai di raporku. "Alenna, kalau Rania bingung di kelas, tolong diajari ya. Rapornya kebakaran."
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman tipis dan anggukan kecil. Tidak kuberitahu bahwa Rania selama ini tidak ingin diajari walaupun aku sudah menawarkan langsung kepadanya. Mungkin semester depan dia bisa berubah.
Kulihat papan mading di koridor mulai dikelilingi oleh kerumunan ibu-ibu, terlebih saat pintu kelas 7-2 dan 7-3 telah terbuka--tanda bahwa pertemuan orangtua telah berakhir. Ada juga yang memutuskan untuk langsung pulang tanpa memeriksa papan mading terlebih dahulu.
"Ma, Alenna lihat ranking paralel dulu, ya," ucapku.
Mama mengiyakan. Sementara menungguku memeriksa ranking paralel, Mama mengobrol dengan mamanya Rania.
Cukup sulit menembusi kerumunan yang ada dan mencapai depan mading. Aku sampai harus menunggu selama beberapa saat, menunggu kerumunan bubar dengan sendirinya. Tidak memerlukan waktu lama bagi kerumunan itu untuk membubarkan diri. Tahu-tahu di sana sudah sepi. Seperti benar kata Mama, cara memadamkan rasa antusias adalah dengan merasa kecewa.
Karena itulah yang kurasakan ketika berdiri di depan mading.
Arlan Pratama lagi-lagi menempati posisi pertama.
Dan aku di posisi kedua.
... angka ini tidak asing.
"Bagaimana?" tanya Mama sembari menghampiriku. Mama sendirian, karena sepertinya mamanya Rania memilih untuk pulang dan tidak melihat ranking paralel Rania.
"Aku ranking dua," ucapku.
Mama memperhatikan papan mading sebentar, lalu tersenyum tiba-tiba.
"Ayo, kita pulang. Kita makan enak ya, hari ini. Jangan lupa ajak Arlan."
Aku mengikuti Mama berjalan keluar dari gedung sekolah. Saat tengah menunggu di halte, aku memberanikan diri bertanya, "Mama tidak kecewa?"
"Kamu kan sudah berusaha, buat apa kecewa?" tanya Mama balik.
Aku menunduk memperhatikan sepatu kets putih yang kukenakan selama beberapa saat, "Sepertinya ini limit Alenna ya? Padahal sudah belajar terus sampai malam, tapi tidak bisa ranking pertama."
"Kamu ini, masih SMP sudah membicarakan keterbatasan. Kayak orang tua saja," gurau Mama sambil tertawa. "Itu karena Alenna belajar terlalu keras, jadinya capek. Mama sudah pernah bilang, kan? Yang terlalu berlebihan itu tidak pernah baik, secukupnya sajalah."
Aku menarik napas panjang-panjang, "Alenna akan lebih berusaha lain kali."
Hari itu, aku mengerti tentang sesuatu. Mama tidak pernah menuntutku untuk menjadi yang terbaik. Kemudian, ingatanku pelan-pelan kembali pada memori semasa kecil. Selama di bus, aku merenungi hal yang sebenarnya mulai kuherankan sekarang.
Sejak SD, Papa yang rajin menanyakan ranking, nilai dan semacamnya. Kalau aku mengatakan bahwa aku mendapat nilai sempurna atau ranking pertama, Papa akan tersenyum dan menepuk bahuku dengan bangga. Itu adalah cara untuk membuat Papa senang.
Lalu ... bagaimana cara membuat Mama senang?
"Kenapa kamu ngelihatin Mama kayak gitu, daritadi?" tanya Mama sambil menekan password apartemen dan tersenyum penasaran. Benang merah Mama muncul, aku menatap ke arah benang yang ujungnya masih misterius sampai hari ini.
"Tidak apa-apa, Ma," jawabku seadanya.
Pintu apartemen kami terbuka begitu terdengar suara "BIP" setelah Mama menekan tombol hijau.
"Coba tanya Arlan, dia mau ikut makan siang dengan kita atau tidak. Sekalian merayakan ranking pertama kalian berdua."
Arlan Pratama ranking pertama paralel, otomatis dia pasti ranking pertama di kelasnya. Kurasa Mama mengatakan begitu untuk menghiburku.
"Oke," jawabku patuh.
Kulangkahkan kakiku pada ruang belajar, langsung kubuka kaca pintu balkon dan memeriksa terlebih dahulu apakah ada tanda-tanda keberadaan Arlan Pratama di dalam kamarnya atau tidak.
Ya, baru-baru ini aku mengetahui bahwa ruangan yang memiliki balkon di apartemennya adalah kamar pribadinya, sedangkan ruangan berbalkon di apartemen kami adalah ruang belajar. Dia yang mengatakannya sendiri saat perbincangan malam entah kapan. Aku lupa.
Mendengar suara yang berasal dari dalam sana, membuatku yakin bahwa Arlan Pratama memang ada di sana.
"Mama bilang akan menghargai keputusan yang kubuat sekarang, kan? Lalu mengapa?!"
Suara kerasnya membuat kepalan tanganku yang hendak mengetuk pintu kacanya, langsung berhenti di udara.
Apa ini...? Dia sedang bertengkar dengan ibunya?
"Aku pasti akan pergi ke sana, pasti. Iya, pasti. Entah kapan. Tolong jangan paksa aku sekarang."
... Suaranya terdengar sangat memilukan.
Kutolehkan kepalaku untuk melihat jam yang menggantung di bawah pintu penghubung ruang belajar dan koridor. Masih jam sepuluh pagi.
"Ma, tolong jangan sekarang. Aku belum siap. Iya, tolong sampaikan kepada Papa juga. Terima kasih sudah mau mengerti."
Aku segera masuk kembali ke ruang belajar dan menutup tirai.
Baru saja, aku tidak sengaja menguping.
"Bagaimana? Arlan mau?" tanya Mama saat melewati ruang belajar yang pintunya memang sengaja kubuka.
"Dia lagi menerima telepon, Ma," jawabku sejujurnya. "Mungkin setengah jam lagi aku baru akan mengajaknya."
"Oh, tidak apa-apa sih. Mama di ruang tengah ya, lanjutin kerjaan Mama. Nanti kalau sudah ajak Arlan, kita langsung pergi, ya."
"Iya."
Selanjutnya, Mama tidak terlihat lagi dari pintu. Sementara itu, pikiranku yang sebenarnya sedaritadi hanya memikirkan tentang ranking keduaku, langsung terbelah menjadi dua.
***TBC***
27 Januari 2019, Minggu.
Cindyana's Note
2050 kata, saudara-saudari sekalian!
Sebenarnya tadi mau ku-TBC-in pas bagian mereka taruhan, tapi aku ingin masalahnya cepat nongol, jadilah begini, chapter hari ini jadi panjang.
YEAY, konfliknya sudah muncul! Aku jadi makin semangat nulis! Konfliknya masih abu-abu kan ya? Tapi gapapa, semuanya akan terkuak seiring berjalannya waktu.
Setelah kubaca ulang, chapter hari ini beneran panjang banget. Biasa kalian baca 1200 kata, mendadak bertambah sekian ratus kata. Haha. Tapi nggakpapa lah, ya, toh ini hari minggu. Mwehehehe. Aku sengaja juga nulis dua jam buat kalian nikmati.
Latar waktu sekarang: Chapter 1 Air Train.
Bener, kan? Chap 1 Air Train menceritakan tentang Tyara datang ke sekolah untuk memeriksa apakah dia remedial atau enggak. Kira-kira sama deh, kayak Alenna ngecek rapor.
Aduh, Red String bakal kurang dari 30 chapter nggak ya? /mendadak khawatir/
Oke, sekian untuk chapter hari ini dan juga bacotanku hari ini. Sebenarnya minggu ini aku dilanda tugas habis-habisan dari kampus, semoga semuanya cepat berlalu.
Aku ingin Red String segera tamat. Amiiiin. Masih lama sih, tapi amiiiiin.
Cindyana / Prythalize
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro