Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Nineteenth Thread - "Wishing is Something Upsetting"

Wishing is something upsetting, so I won't make a wish. I'll make it come true.

***

Baru seminggu sejak ujian terakhir diadakan dan mendadak aku merasa mempunyai hidup yang monoton.

Mama kerja, aku menetap di rumah sendirian. Itu yang terjadi setiap liburan dan aku tidak punya kegiatan apapun lagi.

Grup kelas juga tidak mengeluarkan satu notifikasi pun. Padahal di hari normal, mereka selalu mengirim banyak gambar. Terkadang mereka mengirim gambar si kucing Tom yang tertawa mencurigakan.

Terkadang mereka mengirim gambar-gambar berdefenisi yang mispell dan mereka merespons di chat dengan W dan K kapital. Entah singkatan apa itu dan entah bagaimana cara bacanya. Saat mencarinya di internet, pelafalannya entah waka-waka atau weka-weka. Memusingkan.

Aku sudah belajar selama dua jam dan itu sudah mencapai target harianku; yaitu belajar dua jam sehari. Awalnya aku ingin menargetkan lima atau enam jam, tapi Mama bilang aku harus lebih banyak bersantai, karena ini liburan. Dan Mama hanya mengizinkanku belajar dua jam atau tidak sama sekali.

Jam masih menunjukkan pukul satu sore dan aku juga baru menghabiskan makan siangku setengah jam yang lalu. Aku membelinya. Mungkin jika Mama bisa pulang lebih awal, aku harus mulai belajar memasak makanan praktis yang menyehatkan.

Saat ini aku sedang berada di ruang belajar, habis menata ulang buku novel lamaku. Sepertinya aku harus membeli stok novel baru untuk menghabiskan waktu selama liburan.

Saat duduk, mendadak perhatianku tertuju pada tas hitam yang ada di sudut kamar. Itu tas Arlan Pratama yang dititipkannya padaku, tapi aku belum bisa mengembalikannya karena dia tidak belum pulang.

Dia juga tidak mengabarkan apapun kepadaku lewat pesan.

Aku pun tiduran di sofa, mengangkat ponselku tinggi-tinggi, memikirkan apakah aku harus menghubunginya atau tetap menunggu kabar saja.

Sampai akhirnya layar ponselku yang gelap mendadak mengeluarkan cahaya dan berdering.

Arlan Pratama is Calling ...

TOK!

Ponselku tergelincir dari tanganku dan jatuh tepat mengenai daguku. Kujauhkan segera dari wajahku, mengusap daguku dan mengangkat teleponnya dengan segera.

"Halo?" sapaku, masih mengusap dagu dengan pelan.

"Halo? Bisa video call tidak?" tanya Arlan Pratama dari seberang telepon.

"Kenapa?" tanyaku sambil buru-buru berdiri dari dudukku dan berjalan ke arah cermin untuk memeriksa apakah daguku tidak memerah karena benturan tadi.

"Uh, itu. Tas sekolahku masih sama kamu, kan?"

Aku mengangguk, sebelum akhirnya merasa bodoh karena tidak ada yang melihatku mengangguk saat ini. "Iya. Kan belum kukembalikan padamu."

"Siapa tahu kamu lempar ke balkon kan?" canda Arlan Pratama, yang sama sekali tidak bisa membuatku membayangkannya.

"Tas bukan untuk dilempar," balasku.

"Ah, iya. Kamu lagi di rumah?" tanya Arlan Pratama.

"Aku lagi di rumah," balasku.

"Oh, titip salam sama mamamu, ya," katanya.

"Mamaku masih di kantor."

Arlan Pratama terdiam selama beberapa saat. "Oh ..."

"Kenapa tanyain tas?" tanyaku sambil duduk kembali di sofa, sambil melirik ke arah tasnya.

"Oh iya, coba kamu periksa, terus keluarin tas hitam kecil," pintanya.

Aku mendekat ke tas hitamnya. "Nggak apa-apa kubuka?"

"Nggak apa-apa. Yang punya kan sudah ngasih izin," balas Arlan Pratama. "Coba cek di bagian depan dulu."

"Bagian depan ..." Kuputuskan untuk menaruh ponselku di lantai dalam keadaan speaker menyala, lalu mulai memeriksa tasnya. Dan benar saja, langsung menemukan tas hitam kecil yang dimaksud Arlan Pratama. "Oh, ketemu."

"Itu bukan tempat pensilku kan?"

Kubuka sedikit dan kuintip tanpa mencoba mengeluarkannya. Baru saja melihat sebuah botol kecil bertuliskan obat tetes mata, tiba-tiba Arlan Pratama menyahut dari seberang telepon.

"Jangan dibuka ya. Dirasa saja dari luar kalau itu bukan pensil-pena."

Dan itu sontak membuatku menutup resleting tas hitam kecil itu dan mengunci tasnya kembali.

"Uh, iya. Terus, ini harus kuapakan?" tanyaku.

"Kira-kira lima menit lagi aku sampai di apartemen. Nanti kamu lemparin saja dari atas ke bawah."

Aku melotot, "Eh. Lempar ke bawah?"

"Iya, soalnya aku agak buru-buru," jawabnya.

"Aku turun ke bawah saja," sahutku pada akhirnya.

"Nggak ngerepotin?" tanyanya.

"Enggak. Lagian aku lagi nggak ngapa-ngapain," balasku sambil membawa tas kecil itu di tangan dan berjalan keluar ruang belajar.

"Lagi nggak ngapa-ngapain atau mau ketemu?" tanya Arlan Pratama sambil terkekeh, yang membuat langkahku berhenti seketika.

"Kayaknya aku lempar dari atas saja, deh," balasku ketus dan dia malah menertawakanku dari seberang telepon.

"Bercanda, tahu!" ujarnya masih tertawa.

"Enggak lucu," ucapku, kembali melanjutkan langkahku dan untuk bersiap-siap meninggalkan apartemen.

"Aku juga tidak sedang melucu," balasnya. "Ya udah, aku pakai permintaanku, deh."

Aku benci mengatakan ini, tetapi Arlan Pratama lagi yang berhasil mendapatkan peringkat pertama. Dan aku lagi-lagi di ranking dua. Jadi dia memang boleh memerintahku sekali.

Kututup pintu rapat-rapat dan mencoba membukanya lagi untuk memastikan bahwa itu memang tertutup rapat dan tidak bisa dibuka tanpa menekan password. Saat sudah merasa aman, barulah aku berjalan ke arah elevator.

"Mau apa?" tanyaku malas, sambil menekan tombol turun di lift dan menunggu pintu lift terbuka.

"Mau ketemu. Jadi, tolong anterin ke bawah ya," balasnya.

"Kenapa mau ketemu?" tanyaku dengan kening berkerut.

Jangan-jangan dia ingin memamerkan rankingnya lagi dan melihat ekspresi kekalahanku. Entahlah, aku tidak pernah mengerti jalan pikirannya.

"Ya, karena mau ketemu. Gitu aja nggak paham, masak?" tanyanya lagi.

"Tadi katamu buru-buru."

Pintu lift terbuka dan aku segera masuk ke dalamnya. Kutekan angka satu sambil menunggu jawabannya.

"Ya, makanya ketemunya bentar aja."

Kuhela napasku dalam-dalam. Ya sudahlah, terserah dia. Lagipula tanpa dia melakukan permintaan pun, aku memang akan turun. Dan kubiarkan saja selama permintaannya tidak aneh-aneh.

Saat pintu lift terbuka, aku sudah melihat Arlan Pratama baru saja keluar dari sebuah mobil hitam dan dia mengangkat tangannya. Arlan Pratama menggunakan pakaian kasual, tetapi aku belum pernah melihatnya memakai pakaian itu selama dia mampir untuk makan malam, sepertinya baju barunya. Kututup teleponku dan langsung menghampirinya.

"Tadi katamu lima menit. Ini baru tiga menit lewat lima belas detik," sahutku sambil melihat jam di tanganku.

"Lima menit, kalau tadi kena lampu merah, tapi tidak kena," balasnya tanpa merasa bersalah.

"Ini. Kamu langsung pergi lagi ya?" tanyaku sambil menyerahkan tas kecil itu.

"Iya."

Kuanggukan kepalaku termanggut, lalu memperhatikan ke kursi pengemudi. Yang mengemudi adalah laki-laki dengan setelan pakaian formal putih. Dia mengangguk sekali saat menyadari aku melihat ke arahnya.

"Kamu sudah punya rencana selama liburan ya?" tanyaku.

"Iya, bisa dikatakan begitu. Kayaknya aku baru bakal balik setelah hampir mendekati minggu masuk sekolah," jawabnya.

Oh, melewati Januari.

"Hm, oke."

Arlan Pratama menatapku sambil tersenyum, "Tumben nanya-nanya soal gituan."

"Soalnya Mama sering nanya, kalau kamu nggak ada," balasku sambil menatapnya datar. "Ngomong-ngomong kamu lagi buru-buru kan? Kalau begitu aku balik dulu ya."

"Alenna," panggil Arlan Pratama yang membuat langkahku terhenti. "Lain kali jangan ngasih tahu orang lain kalau kamu lagi sendirian di rumah. Kan bahaya."

Kuangkat sebelah alisku, bingung, "Biasanya aku tidak memberitahu, kok, tapi karena yang telepon itu--"

"Dari siapapun tidak boleh, apalagi kalau via chat. Bagaimana kalau ponselnya dipegang orang lain?" tanya Arlan Pratama.

... Mengapa dia malah berceramah?

"Uh, oke. Terima kasih nasihatnya," sahutku. "Aku balik dulu, ya."

"Iya. Hati-hati," ucapnya.

Seharusnya dia yang berhati-hati, kan?

Saat aku sudah berbalik, Arlan Pratama malah bersuara lagi, "Alenna."

Aku menoleh ke belakang. Diam, menunggu kata-katanya.

"Sampai jumpa lagi."

Tak membiarkanku menjawab, dia langsung masuk ke dalam mobil hitam itu dan menghilang bersama suara gas dari mesin mobil itu.

*

Malam tahun baru pun datang tanpa disadari.

Papa memesan tempat untuk makan malam bersama. Dan kupikir Papa mungkin terlalu antusias akan ini, karena beliau malah memakai pakaian yang sangat formal, sementara aku dan Mama memakai pakaian yang terkesan biasa saja.

Kukira hari ini akan menjadi makan malam terbaik yang pernah ada, tetapi mereka berdua tidak pernah berbicara secara langsung sama sekali.

"Lenna, coba tanya ke Mama-mu, mau makan apa."

"Bilang ke Papa-mu, Mama terserah saja."

Dan mereka mengatakan itu dalam satu meja yang sama. Sepertinya keberadaanku di sini hanyalah penyampai pesan.

Namun aku tahu bahwa keduanya berkomunikasi dengan cara mereka sendiri. Dan aku masih bisa melihat benang merah. Benang merah keduanya juga tidak tersambung, itu masih membuatku agak sedih.

Papa tampak berusaha agar kami tetap bersamanya hingga tahun baru dan beralasan bisa menjemput kami pulang setelah pukul dua belas malam. Namun Mama menolak dengan alasan karena tengah malam ini pasti akan macet karena banyaknya orang-orang yang pergi ke alun-alun kota untuk melihat kembang api raksasa.

Grup kelas kembali ramai saat tahun baru. Banyak yang mengirimkan gambar dan pesan seputar tahun baru.

Rania mengirimkan foto bakar-bakar di rumahnya. Kukira mereka akan membuat api unggun, rupanya mereka memanggang di atas pemanggang.

Aku sempat mengabadikan video kembang api di ponselku dan sudah bersiap-siap mengirimkannya, kalau ada yang memintanya. Namun rupanya, tidak ada yang meminta video kembang api di grup. Jadilah aku tidak mengirimkannya.

Dan dengan antusias yang memadam karena tidak ada yang memintanya, aku sudah bersiap-siap mematikan ponselku, tetapi aku tidak sengaja mengirimkannya kepada beberapa orang yang telah kutandai untuk kukirim. Mama, Papa, Rania, dan juga Arlan Pratama.

Seingatku seharusnya aku bisa mengurung pesan, tapi bagaimana caranya?!

Mama yang duduk di kursi depan taksi, langsung memainkan video dan tersenyum ke arahku. Papa memuji sudut pengambilan video, sedangkan Rania mengirim balik video kembang api yang rupanya dekat dan besar.

Saat sudah berada di depan gedung apartemen, tiba-tiba muncul notifikasi pop up dari Arlan Pratama. Aku hanya membaca sekilas dari tampilan depan.

Ayo kita lihat bersama tahun depan.

Lalu, setelah itu, aku juga ingin memperkenalkanmu kepada ...

Ah, pesannya terlalu panjang.

Arlan Pratama mengirimkan pesan sekali lagi.

Ulang tahunnya juga 11 Mei.

Mau, ya?

Aku tidak terbiasa mengetik pesan di depan Mama, jadi kuputuskan untuk berjalan dengan Mama, mengobrol di elevator sampai kami menjangkau apartemen kami.

Saat Mama menekan password, aku memutuskan untuk membuka pesan itu karena penasaran dengan orang yang dibicarakan Arlan Pratama.

Arlan
Ayo kita lihat bersama tahun depan.


Arlan mengurungkan pengiriman pesan.

Arlan mengurungkan pengiriman pesan.

Arlan
Mau, ya?

Aku mengambil napas panjang. Arlan Pratama ingin mengatakan sesuatu, aku tahu itu. Namun aku tidak punya hak untuk menuntutnya, aku harus bersabar.

Arlan Pratama adalah anak yang cerdas dan pintar. Dia pasti tahu kapan waktu yang tepat dan benar. Dan lagipula itu keputusannya.

Alenna
Iya, ayo

"Eh ... Kenapa kamu sedih begitu?" tanya Mama saat aku mengunci pintu.

Aku menggelengkan kepala, "Tidak apa-apa kok, Ma."

Tahun depan ... semoga pada saat itu, Arlan Pratama sudah baik-baik saja.

***TBC***

6 Mei 2019

Cindyana's Note

Mengetik ini untuk menemani kalian yang sahur! Horeeee. Selamat berpuasa bagi yang menjalankan, ya!

Kuusahain semoga aku bisa up tiap malam saat puasa. Mungkin bisa selang-seling sama Mamerah. Amin. Semoga lancar!

Baru satu tugas akhir yang kelar, masih ada 2 lagi yang menanti dan tentu saja lebih berat. Kayaknya aku baru bakal lancar update setelah tanggal 20. Kelar UASnya tanggal segitu, sih.

Next Chapter: Those Rain That Passes By!

<3

Cindyana / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro