Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Fourth Thread - "Conversation is Something Awkward"

Conversation is something awkward, you knew it well, too.

***

Aku menemukan Arlan Pratama, berdiri di depan papan mading.

Ini kebetulan yang luar biasa, karena saat ini masih jam pelajaran dan kami bisa bertemu di koridor.

Saat ini kelas 7-1--kelasku--masih memasuki jam bahasa inggris yang mewajibkan kami sekelas untuk berbicara dengan bahasa inggris di dalam kelas.

Hal ini membuat semua teman sekelasku menjadi pendiam, terlebih lagi ada aturan yang mengharuskan seseorang untuk bernyanyi lagu barat, apabila mereka tertangkap basah menggunakan bahasa lain selain bahasa inggris.

Itu juga menjadi salah satu alasanku keluar dari kelas saat ini, aku merasa butuh oksigen.

Dan bertemu dengan lelaki itu, entah mengapa membuatku merasa lebih sesak daripada sebelumnya.

Dia juga keluar dari kelas saat jam pelajaran. Kukira dia tipe yang akan terus duduk di kelas sampai jam pelajaran berakhir.

Aku merutuki diriku sendiri karena tidak sengaja berhenti melangkah, padahal lorong yang harus kulewati masih sangat panjang untuk bisa menjangkau toilet wanita.

Kurasa, aku juga akan menoleh jika mendapati seseorang berhenti berjalan di koridor kosong. Dan itulah yang dilakukan oleh Arlan Pratama saat ini.

Kami bersitatap selama beberapa saat, sebelum aku memilih keputusan cepat yang cukup konyol. 

Aku memilih berputar balik ke kelas. Tanpa masuk ke toilet.

Padahal, satu-satunya alasanku keluar dari kelas adalah agar telingaku bisa bebas sejenak dari ocehan Mrs.Verent. Aku tidak perlu takut ketinggalan 'dongeng' beliau, karena beberapa mingu sebelumnya, aku sudah selesai menerjemahkan dan memahami cerita yang didiktenya saat ini.

Aku tidak merasa bahwa dia mengenalku, tapi aku bersumpah bahwa keadaan barusan berhasil menyeretku dalam situasi yang sangat canggung.

Dengan perasaan gugup, aku kembali masuk ke kelas dan duduk di tempatku.

"Wow, Alenna, you go to toilet so fast," oceh Rania yang membuatku mengerutkan kening.

Aku ingin mengatakan kepadanya bahwa bahasanya agak kacau, tetapi nanti sajalah, saat pelajaran sudah berakhir. Aku takut malah salah bicara.

Oh ya, dan bicara soal kebetulan lain yang tak kalah luar biasa. Di hari pertama semester genap kemarin, wali kelas kami kembali mengacak tempat duduk kami. Rania saat ini duduk di sebelah kananku.

"I see book and see you after write book!" ucapnya.

Astaga, bicara apa Rania ini?

"What?" tanyaku kebingungan.

Rania mengerutkan kening, "I see your book after done! Can I see?"

Aku melirik Mrs.Verent yang masih asyik mendongengkan cerita Pangeran Kodok dalam versi bahasa inggris dengan seru. 

"Okay, we talk again after," putus Rania yang pada akhirnya sedikit kumengerti.

Baru saja hendak mengangguk, suara bel berbunyi. Semua menghela napas lega, termasuk aku dan Rania.

"Kamu bicara apa?" tanyaku.

"Aku bilang, tadi aku lihat bukumu sudah diterjemahkan sampai selesai. Boleh aku pinjam nggak, nanti?"

Aku menganggukan kepalaku mengerti, "Oh, boleh." 

Rania langsung menyambar bukuku, "Oke, kalau begitu aku pinjam sekarang saja. Besok aku balikin." 

Setelah itu, dia langsung memasukan bukuku dalam tasnya.

*

Aku menolehkan kepalaku, menatap asal sebuah bangunan besar di ujung kota hanya untuk menghindari hal yang kulihat di depan mataku saat ini.

Jam pulang juga tak kalah canggung.

Baiklah, aku jadi ingin tahu. Kebetulan apa lagi yang membuatku bisa satu halte dan satu bus dengan Arlan Pratama?

Hari ini memang lucu.

Akan kuceritakan sedikit apa yang terjadi. Halte yang biasanya menjadi tempat kumenunggu bus memang ramai ditunggu oleh orang-orang. Terlebih di jam pulang seperti ini. Masalahnya, sebelum dia datang kembali ke sekolah, kami belum pernah bertemu dengan cara lucu seperti hari ini.

Kupikir, aku tidak perlu merasa tertekan di halte bus lama-lama. Karena begitu aku menoleh ke kanan, aku langsung menemukan bus yang bersiap-siap berhenti di halte kami. Saat aku naik ke bus, rupanya Arlan Pratama juga naik di bus yang sama.

Karena jarak tempat duduk yang cukup jauh, aku bahkan ragu bahwa dia menyadari keberadaanku saat ini.

Kebetulan itu tidak berakhir sampai di sana, karena bahkan sampai turun dari bus pun ...

Arlan Pratama masih berjalan di belakangku.

Sengaja pula, aku berhenti melangkah dan membiarkannya lewat duluan. Aku bukan percaya diri bahwa dia sedang mengikutiku atau apa, tetapi aku hanya ingin tahu kemana dia akan pergi. Karena kalau aku langsung masuk ke gedung apartemen, bisa saja dia berjalan entah kemana. 

Namun rupanya, prediksiku tepat. Dia benar-benar masuk ke gedung apartemen yang sama. Dia juga menunggu di antara kerumunan orang-orang yang akan naik elevator. Aku benar-benar merasa aneh dengan situasi ini, ingin bertanya, tetapi keadaan tidak memungkinkan.

Ada apa ini? Apa dia juga tinggal di apartemen ini?

Lift akhirnya terbuka. Kami masuk di elevator yang sama, walaupun ada dua elevator yang sedang beroperasi. Aku tinggal di lantai teratas--lantai sepuluh--yang mana halnya membuatku mampu mengetahui di lantai berapa dia tinggal. Bukannya sedang berniat mencari tahu, tetapi ada satu sudut hatiku yang ingin mengetahui perihal itu.

Setiap pintu elevator terbuka, aku selalu melihat ke pintu elevator untuk memeriksa apakah dia bergerak dari tempatnya. Namun, berapa kalipun pintu lift terbuka dan orang-orang lalu lalang untuk keluar, Arlan Pratama masih setia berdiri di sudut elevator, menyimak satu persatu punggung orang-orang yang keluar.

Pintu kembali tertutup, semakin minim pula orang yang ada di dalam lift. Pintu lift terus terbuka dan tertutup, belum ada tanda-tanda dia akan segera turun dari sana. Hal itu terus terjadi hingga lift elevator hanya berakhir menyisakan empat orang ditambah diriku sendiri.

Saat pintu lift lantai ke-sembilan terbuka dan aku hendak melangkah ke depan untuk mengontrol tombol elevator, ada yang menabrak bahuku dari belakang.

Kepalaku terbentur dinding lift. Untungnya, aku berhasil mengendalikan keseimbangan tubuhku sehingga benturannya tidak terlalu keras. Tapi karena itu, aku berakhir dalam posisi yang cukup memalukan, seperti nyaris tersandung.

"Hati-hati, dong! Sudah tahu liftnya sempit begini!" Pria yang menabrakku itu menatapku tajam sambil merangkul bahu seorang wanita di sampingnya. "Sayang, kamu nggak apa-apa, kan?"

Dan mereka berdua keluar dan melangkah dengan begitu entengnya.

... Benar-benar mengesalkan sekali.

Aku memperhatikan benang merah pria yang menabrakku itu, tidak tersambung dengan wanita yang sedang dirangkulnya.

Sudah sering, aku melihat hal seperti itu.

Misalnya saat Mama mengajakku ke resepsi pernikahan rekan kerjanya. Saat bersalaman dengan pengantin wanita dan dia menanyakan berapa umurku, aku melihat benang merahnya tidak berhubung dengan benang merah suaminya.

Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka hingga hari ini, kuharap mereka baik-baik saja.

Hanya beberapa kali aku menemukan seuntai benang merah yang terhubung. Beberapa di antaranya, mungkin tidak sedang bersama, entahlah. Kakek dan Nenek yang kutemui di halte saat itu adalah yang pertama kalinya. Setelah itu, sulit menemukan sepasang yang lain.

Baru saja hendak menghela napas dan melupakan amarah sejenakku, Arlan Pratama tiba-tiba sudah berdiri di depanku, menyentuh bahu pria tadi.

"Bapak yang seharusnya berhati-hati," ucapnya.

Aku mengerjapkan mataku, benar-benar tidak paham situasi apa yang tengah kuhadapi saat ini.

Pria itu berbalik dan menatap tajam ke arah kami.

"Apa ini? Kau sedang membela pacarmu?"

Larut wajah pria itu berubah menjadi serigai yang mengerikan. Dilepaskannya rangkulannya pada wanita tadi, lalu melempar senyuman yang memuakkan.

"Kalian berdua, keluar dari sana."

Arlan Pratama menatap ke arahku sejenak, lalu mengambil alih tombol di elevator tiba-tiba. Ditekannya lama-lama agar pintu elevator tidak tertutup. Sedangkan aku menarik tanganku secepat mungkin dari tombol-tombol di elevator, hanya untuk menghindari masalah lain.

"Kalian pasti mau berbuat sesuatu, kan? Aku dengar, memang banyak anak remaja yang datang ke atap apartemen ini karena tidak ada pengawasan CCTV," ucap wanita itu. "Masih SMP juga," bisik wanita itu sambil melemparkan tatapan merendahkan ke arah kami berdua.

"Keluar, kalian. Dari sekolah mana, kalian?" Pria itu makin menjadi-jadi begitu mendengarkan ucapan wanita itu.

"Bapak dan Ibu ini bicara apa? Saya hanya memberitahu, kalau yang Bapak lakukan tadi salah. Minta maaf dulu kepadanya," ucap Arlan Pratama yang membuatku makin merinding sejadi-jadinya, memikirkan masalah yang jelas tidak pernah ada.

"Kau juga jangan sok menjadi pahlawan. Bilang dulu, kau dari sekolah mana dan apa yang akan kalian lakukan di sini?"

"Saya tinggal di sini, tentu saja saya mau pulang."

Begitu Arlan Pratama mengatakan begitu, pria itu beralih pandang ke arahku.

"Saya juga," cicitku dengan suara kecil. 

Eh ... jadi Arlan Pratama memang tinggal di sini, ya? Aneh sekali aku baru mengetahuinya setelah satu semester berlalu.

"Pembohong!" seru pria itu tidak terima.

"Saya tinggal di apartemen nomor 1010," ucap Arlan Pratama.

Tunggu ... kamar 1010 itu bukannya ...

Apa benar-benar sekebetulan itu?

"Saya di 1009," ucapku tanpa perlu diminta.

Aku mengatakan yang sebenarnya. Namun melihat pria itu semakin geram saja, aku akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan kartu pelajarku. Mama pernah bilang, dalam situasi darurat, terkadang mereka membutuhkan jaminan. Kartu pelajar mungkin cukup.

"Tidak perlu." Arlan Pratama menahanku agar tidak memberikan kartu pelajarku.

Aku ingin menatapnya dengan tatapan sesinis mungkin dan mengatakan bahwa semua hal yang terjadi ini adalah salahnya, tetapi aku sadar juga bahwa dia melakukannya karena membelaku. Padahal, sebenarnya aku tidak perlu dibela. Semua hal kecil seperti ini memang sudah biasa bagiku.

"Begini saja, sekarang kita ke lantai sepuluh. Ada security yang biasa patrol di sana di jam segini. Kalian bisa tanyakan langsung kepada mereka," saran Arlan Pratama, memberikan pencerahan.

"Boleh-boleh saja," ucap pria itu sambil bersiap-siap masuk lift.

Aku menghela napas lega, karena sepertinya permasalahan ini akan berakhir secepat ini.

"Tapi, kalau ternyata kami mengatakan yang sebenarnya, apakah Bapak siap untuk melihat rekaman CCTV?" Arlan Pratama menolehkan setengah kepalanya, menatap CCTV yang terpasang di sudut.

"Tentu saja," jawab pria itu tanpa ragu.

Aku menekuk alisku diam-diam. Pria itu masih tidak menyadari kesalahannya.

"Dan kalau ternyata Bapak yang salah, apakah Bapak siap untuk bersujud di depannya?"

Langkah pria dan wanita itu terhenti, saat Arlan Pratama mengatakan kata-kata itu dengan nada yang mengintimidasi. Jangankan mereka, aku juga merinding saat mendengarnya mengatakan hal itu dengan suara tenang tanpa takut.

Ada tiga hal mengagetkan yang kuketahui hari ini.

Pertama, Arlan Pratama adalah tetangga apartemenku. Yang mana halnya, dia yang selalu dibicarakan oleh Mama. Itu artinya aku sudah berbicara dengan Ayah dan ibunya minggu lalu.

Kedua, sebelumnya aku hanya mengira bahwa Arlan Pratama memiliki pribadi yang keras--mengingat dia pernah membentak satu kelas hanya untuk merasakan momentum yang hening dan damai--ternyata dia punya kepribadian lain yang lebih mengejutkan. Sampai meminta orang itu untuk bersujud...?

Ketiga ...

Aku mengangkat tangan kiriku dan memperhatikan jari kelingkingku dengan gemetaran.

Untuk pertama kalinya aku melihat benang merahku sendiri.

***TBC***

11 Desember 2018, Selasa

Cindyana's Note

Hai! Aku update tengah malam lagi!

Bagaimana Red String hari ini?! Apakah kalian doki-doki?!

Aku sedang dalam mode sangat-ingin-update-Red-String. So I update it, anyway!

Ini mungkin lebih cepat daripada jadwal seharusnya, tapi ya sudahlah. 

I REALLY LOVE THIS ARLAN, YOU KNOW?

Kalau kalian berpaling dari Aetherd, aku tidak akan menyalahkan kalian (diam-diam ketawa setan).

DAMN YOU, ALENNA ///teriak ke bantal///

BTW, aku minta maaf sebesar-besarnya karena tidak bisa balas komentar. Aku sangat ingin, tapi waktu benar-benar mencekikku dan memintaku untuk tidak berpaling dari tugas-tugas kampus //menangisi kenyataan//

Kadang kalau lagi ngetik cerita anak sekolahan, aku bisa mikir kayak, "Heh. Enak sekali kalian tidak harus menghadapi tugas seberat aku."

AND THEN, aku ketawa setan karena tokoh-tokohku jelas akan menghadapi konflik yang lebih berat dari aku ///mode iblis///

Oke, aku menunggu komen-komen kalian semua! Pasti aku baca semua kok, komennya! Biasanya aku membalas komen lucu dan heboh ahahaha //kode--kalau kalian peka.

SEE you on the next thread!

Big Love,

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro