
The Fifteenth Thread - "The Situation is Something To Blame"
The situation is something to blame, because I feel weird by your side.
***
Malam itu, aku pun mengerti defenisi tentang untaian benang hitam. Eksistensi yang tidak pernah diharapkan ada. Namun cepat atau lambat, dia akan datang merenggut kehidupan seseorang. Bakat yang awalnya kupikir sebagai lelucon, mulai menjadi hal yang menggerikan.
Lama kelamaan, aku merasa aneh dengan bakat ini. Pertanyaan yang seharusnya kutanyakan sejak awal, pun kembali mengerubungi diriku.
Bagaimana bisa aku mendapatkan kemampuan ini? Mengapa harus aku? Dan apa tujuannya aku--seseorang yang normal dan tidak penting--mendapatkan kemampuan ini?
Semua ini membuatku bingung....
Tidak benang merah, tidak benang hitam, tidak Arlan Pratama.
Hari ini adalah hari senin, upacara bendera. Hal yang ajaib hari ini adalah fakta bahwa aku bisa kebetulan berdiri tepat di samping Arlan Pratama hari ini.
Tidak tahu dia yang menyusut atau aku yang tumbuh tinggi tiba-tiba, karena urutan baris berbaris seharusnya diurutkan berdasarkan tinggi badan.
Kami tidak berbicara. Aku tidak terlalu memusingkan apa pun. Lagipula, memang sudah sepantasnya kami tidak mengobrol saat upacara sakral. Hanya terkadang, aku jadi bisa memperhatikan apa yang dilakukannya lebih jelas. Arlan Pratama jadi lebih pendiam, mungkin?
Sesi upacara pun berakhir. Kami masuk ke kelas masing-masing, berjalan berbaris sesuai komando pemimpin upacara. Saat sedang berjalan, Rania menjadi ninja yang tiba-tiba menyelip di belakangku. Padahal dia memang selalu berdiri di posisi hampir akhir, mengingat Rania memang termasuk perempuan yang tinggi di kelas.
"Tadi kami di belakang ngebahas soal festival minggu depan sama anak 8-2. Kayaknya mereka sudah nentuin bakal ngadain lomba apa," sahut Rania.
Aku menatapnya bingung, "Terus?"
"Terus apanya? Kelas kita dari kemarin belum nentuin lomba, padahal deadline-nya Jumat ini."
"Iya, jadi kenapa tidak bahas sama ketua kelas aja?" tanyaku sambil melirik ketua kelas yang berdiri di barisan kanan kelas kami, tampaknya tidak sadar kami sedang membicarakannya.
"Nah, bener tuh, kata Alenna. Kalau kamu bahasnya sama Alenna, nanti kelas kita malah ngadain lomba olimpiade," celetuk Fhea dari depan.
"Diam ih, Fheak! Aku nanya ke Alenna karena dia yang paling waras. Kalau nanya ke kalian, jangan-jangan kelas kita bakal ngajuin lomba makan bubur pakai sumpit!" ucap Rania mendramatis.
Saat dia mengatakan sumpit, aku mengerutkan kening. Apa tidak ada nama lomba lain yang lebih konyol daripada itu?
"Lagian ya, kalau kita nanya sama anak cowok, permainan yang mereka ajuin pasti permainan anak-anak. Percaya deh, kalau nggak lempar kelereng, ya palingan lomba umum misalnya lomba makan kerupuk kayak tujuh belasan," celetuk seseorang dari depan, yang sepertinya mendengar perbincangan kami.
"Jangan ngeremehin lomba makan kerupuk lho, ya. Pas aku kecil dan lagi kelaparan nunggu ibuku ngejemput pulang, lomba itu yang menyelamatkan perutku," sambung seseorang dari depan.
"Pembahasannya jadi ke mana-mana, kan," sahut Rania sambil menghela napas. "Ya sudah, kalau kita nanti kita diskusi sama sekelas. Nanti voting saja daripada sekelas diskualifikasi."
Aku hanya mengendikkan bahu. Salah Rania juga, mengapa harus membahasnya di sini alih-alih di kelas. Lagipula aku yakin, mereka pasti akan mendapatkan permainan yang mereka mau sebelum Jumat mendatang.
*
Aku mulai merasa aneh saat menyadari bahwa komunikasiku dengan Arlan Pratama sepertinya mulai terasa janggal sejak malam itu. Ya, aku tidak salah menafsirkannya. Bisa kurasakan dengan jelas bagaimana Arlan Pratama memilih diam saja daripada mengajakku mengobrol.
Padahal jika dalam situasi tinggal berdua di lift, biasanya dia akan sibuk mempertanyakan tentang banyak hal; tentang pelajaran yang kudapat hari ini, tugas yang diberikan beserta deadlinenya; atau bahkan untuk sekadar basa-basi soal pintu kelas 8-2 yang bisa tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Omong-omong kelas mereka memang punya banyak cerita seram dibaliknya.
Namun hari ini berbeda, dia hanya diam dan saat ini kami benar-benar hanya menunggu lift membawa kami sampai ke lantai sepuluh. Aku kembali merasa bahwa situasi saat pertama kalinya kami berbicara di lift seolah terjadi kembali. Kupikir mungkin Arlan Pratama tersinggung dengan kata-kataku, tapi aku bisa menjelaskan alasanku mengatakan hal seperti itu. Arlan Pratama melakukan sesuatu yang bahaya dan tidak ada yang ingin melihatnya dalam bahaya.
Kalau memang situasinya akan menjadi buruk, kupikir memang harus aku yang meminta maaf.
"Arlan, aku--"
"Alenna, aku--"
Kami berdua terdiam secara bersamaan. Lift sudah membawa kami sampai ke lantai delapan dan aku tidak tahu siapa yang mempunyai ide cemerlang untuk memulai obrolan di saat pintu rumah kami sudah hampir berada dalam jangkauan.
"Kamu duluan," kataku dan Arlan Pratama nyaris bersamaan.
Kuhela napasku dalam-dalam, karena pintu lift akan segera terbuka dan pembicaraan kami tampaknya tidak akan menemukan titik terang, apabila kami masih saja saling melempar perkataan untuk meminta lawan bicara kami agar berbicara lebih dulu.
"Aku minta maaf," ucapku.
Dan rupanya kata-kataku malah membuat Arlan Pratama mengerutkan keningnya dalam-dalam. "Eh? Minta maaf?"
Kuanggukan kepalaku sebagai balasan. Sebelah alisnya terangkat, dia melihatku tidak yakin.
"Soal apa? Jangan bilang kamu yang terpilih untuk olimpiade IPA?" tanyanya dengan nada curiga.
Kali ini malah keningku yang mengerut. "Memangnya ada olimpiade IPA?"
"Ada. Tadi aku baru dikabarin, tapi katanya mereka belum tahu siapa yang akan jadi perwakilan," balas Arlan Pratama.
Kalau mereka tidak mengabarkannya kepadaku, berarti aku tidak akan terpilih kan? Kenyataan itu membuatku menggigit pipi dalamku.
"Kamu tidak tahu ya? Jadi kamu minta maaf soal apa?" tanyanya.
"Maaf karena sudah berkata kasar kemarin malam." Aku membungkukkan sedikit kepalaku, menunjukkan padanya bahwa aku benar-benar merasa bersalah.
"Kemarin malam?" Arlan Pratama mengerutkan keningnya lagi, bingung. "Oh. Saat kamu bilang kalau aku bodoh?"
"Kamu tidak bodoh!" Suaraku mengeras, aku benar-benar kesal padanya. "Tapi tindakanmu kemarin tidak pintar, tahu. Kalau kamu terjatuh dan aku tidak bisa menolongmu, bagaimana?"
Arlan Pratama terdiam selama beberapa saat, lalu melemparkan senyum tipis, "Logikanya, kalau aku jatuh dari ketinggian seperti itu, jelas aku akan mati, kan?"
"Jangan gitu. Tidak lucu, tahu!" ucapku kesal.
Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka lebar, kami sama-sama melangkah keluar dari sana. "Aku tidak bilang kalau itu lucu."
"Tapi kamu senyum!" balasku lagi.
"Kamu nggak suka aku senyum?" tanyanya.
Aku membuang muka, "Jujur, enggak."
Semua senyuman yang dibuat Arlan Pratama ... entah mengapa saat aku membayangkan visualnya, yang tampak hanyalah senyuman-senyuman sombong yang arogan, membanggakan dirinya dan juga senyuman yang meremehkan. Aku ... tidak suka, tentu saja.
"Oh, gitu ya? Kalau gitu aku akan lebih sering senyum deh," katanya dan dengan sengajanya melempar senyuman lebar.
"Kamu nggak denger ya, kalau aku bilang nggak suka?" tanyaku kesal.
"Siapa tahu nanti kamu jadi suka, kan?" godanya.
Aku mengibas-ngibaskan tanganku, "Enggak bakal. Sudah ah, pulang sana."
Dia pun menurut, dia berjalan ke pintu apartemennya dan mulai menekan sandi seperti yang kulakukan.
"Oh iya, tadi kamu mau bilang apa?" tanyaku yang tiba-tiba teringat kembali bahwa dia ingin menyampaikan sesuatu tadi.
Arlan Pratama yang hampir saja menutup pintunya, langsung memunculkan kepalanya lagi, "Enggak jadi. Kita omonginnya kapan-kapan saja."
Kukerutkan keningku, menatapnya bingung, "Penting, tidak?"
"Penting atau tidak ya? Tergantung, sih. Tapi bisa diomongin kapan-kapan, kok. Ingetin aja lagi, kalau kita udah nggak punya topik perbincangan," sahutnya enteng.
"Hm, oke deh, kalau begitu," balasku.
Aku menutup pintu apartemen, Arlan Pratama juga menutup pintu apartemennya.
Aku tidak tahu bahwa detik itu akan menjadi momen terakhir aku melihatnya hari itu, karena di hari selanjutnya, aku tidak bisa menemukannya lagi.
***TBC***
3 April 2019, Rabu
Cindyana's Note
Update karena hari ini libur. Cheers everybody!
BTW aku beneran baru ingat kalau ada adik-adik yang lagi UN. Kalau tahu kalian lagi UN, aku nggak bakal update Aqua World dulu kemarin malam :(
Anyway, denger-denger soal MTK semalam agak killer ya? Waduh adikku tahun depan UN dan kayaknya aku bakal dirusuhin lagi sama dia, haha.
SEMANGAT YA, buat kalian yang UN besok! GANBATTE! Setelah lewat bakal ada libur panjang lho! Semoga bisa dapetin kampus inceran kalian ya <3
Dan yang lain, kita juga semangat yaa~ Ahahaha.
Tadi aku udah janji sama diri sendiri kalau hari ini HARUS update gatau dah gimana caranya, pokoknya harus. Sampe aku bela-belain nggak tidur, padahal saat ini gemuruh petir tengah menyambar dengan ganas-ganasnya. :(
BUT ITS OKAY aku udah update! Yeay! Dan konfliknya mulai lagi, saudara-saudara.
BTW ini bukan Dilan. Ini Arlan. Jadi ofc dia ga akan segombal Dilan, walau bagiku itu udah gombalan level sekian sih. Arlan perlu diwaspadai. Untung Alenna bukan cewek yang suka digombalin wkwkwkw.
Aku suka nulis pair ini wkwkwkkww.
See you on the next update! <3
Cindyana / Prythalize
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro