9.
"Ceri. Kau suka buah itu, kan? Aku dengar, bahwa kemarin kau hendak membeli buah merah tersebut, namun terhalangi oleh derasnya air dari langit."
***
Memang benar cuara kemarin sendu. Bermula melihat salah satu sensei memakan buah merah tersebut, membuatmu tertarik untuk mengunjungi supermarket saat pulang sekolah. Niatnya, kau akan mengajak beberapa orang temanmu untuk menemani sekaligus berbincang ria.
Namun, sayang, sangat sayang, bahwa keinginanmu berbalik dengan kondisi. Keinginan yang sudah tertanam, harus diurungkan bulat-bulat di bawah rintikan air yang makin menjadi. Kesal memang, tetapi mau bagaimana lagi? Apa kauharus memanggil pawang hujan untuk memindahkan hujannya ke wilayah lain? Sudah dipasti tidak mungkin.
Lagi pula, kau sudah berniat untuk membelinya di keesokan hari—jika di hari kemarin kau tidak dapat menggenggam ceri—dan nyatanya benar, mau bagaimana juga kau harus membelinya di hari ini juga. Walau teman-temanmu berkata bahwa mereka tidak bisa menemanimu, kau tak mengacuhkan, yang terpenting kaubisa menggapai buah merah nan segar itu.
Namun, kembali kau urungkan. Bukan karena hujan atau apalah, tetapi karena buah ceri itu terpampang jelas bersamaan ketika kau menemukan surat ini.
Benakmu mengerang. Sang pengirim bahkan memberimu buah ceri?! Apa itu tidak terlalu berlebihan? Kau merepotkannya sekarang.
Bahkan ia sampai tahu keinginanmu, ya.
Kau meneguk liur. Buah ceri itu sungguh membuatmu terpana. Merah mengilau disertai aura segar yang menguar, membuat hasrat ingin memakannya. Selain itu, tangkai berukuran kurang dari lima senti yang menghiasi buah ceri, menambah kesan seperti baru saja dipetik. Begitu pun dengan daun-daun yang ada, makin menguatkan opini tadi.
Kau menggeleng. Diingatnya bahwa buah ceri itu masih belum menjadi milikmu sepenuhnya.
Oke, maksudmu sedikit jahat memang, belum menjadi milikmu sepenuhnya. Itu berarti, sudah ada niatan bahwa kau akan memilikinya.
Eh, tetapi bukankah sang pengirim sudah memberikannya kepadamu? Lantas apa yang kautunggu? Maka lekaslah ambil dan kau dapat memakannya di tempat lain.
Iblis berkata lain.
Tidak, tidak. Itu belum menjadi milikmu! Ke mana tata kramamu? Ingatlah kau masih punya harga diri. Setidaknya kau harus menerima secara langsung, bukan main impit saat kau sedang menukar uwabaki dengan sepatu.
Air liur menetes, tampak dari ujung bibir. Saraf tak mampu lagi untuk menahan gairah. Dorongan untuk memakan si ceri pun makin tangguh. Spontan sebelah tangan tergerak, ujung jari menyentuh pelan permukaan merah gemerlap, membawanya menuju indra perasa. Lidah menjulur, mencecap dengan lembut buah ceri, lalu menggiringnya ke bagian tengah membuat gigi ambil serta.
Manis.
Akhirnya kau tidak bisa menahan nafsu. Sedikit menyesal ketika selesai menelan tujuh buah ceri. Terlambat memang. Namun, biarlah. Anggap saja itu rezeki, kan sayang kalau ditolak, mending dimakan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro