Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Mendekat

💫💫💫

"Gue sebenarnya gak percaya kalau bisa suka sama dia, alias Raffa. Tapi kok segampang itu yah ... gue kena pelet suara emasnya Raffa?" ujarku pada Dea.

Tuk....

"Aduh sakit, apa-apaan sih lo," ringisku saat kepalaku terkena benturan pensil yang sengaja Dea ketukan tepat di atas ubun-ubunku, emang dasar Dea jahaD.

"Abisnya lo ngomong gak disaring, lo suka sama Raffa bukan dipelet. Lo-nya aja terlalu kecentilan, mepet terus lo."

Aku berdecak kesal, "Enak aja, acara pepet-pepetannya belum dimulai. Lagian gue gak seagresif itu kali, dan ... awas aja kalau semua temen kelas kita tau kalau gue suka sama dia." Aku mengepalkan tangan di depan Dea, sebagai bentuk ancaman.

"Gue gak janji." Aku langsung menatap Dea dengan tatapan kilatku.

"Ck, jadi lo mau bocorin sama anak-anak?" tanyaku sinis.

"Enggaklah, lo kayak gak tau aja di sini banyak cicak putih dan bibir ember," jawab Dea diakhiri tawanya.

"Hilih, lo juga termasuk bibir ember kali," celetukku membuat Dea cengengesan.

Aku mengedarkan pandangan, membuat Dea yang melihatnya langsung peka dengan apa yang sedang aku cari.

"Kenapa? Cari Raffa?"

Aku berdecak, "Iya, biasanya Raffa lagi main gitar di pojok sana sama anak-anak."

"Dia lagi main gitar kok," jawab Dea membuatku mengerutkan dahinya.

"Mana?"

"Tuh di luar," jawab Dea sembari menunjukan dengan dagunya.

"Eh iya, kok gue baru sadar."

"Lo-nya aja yang kupingnya budek, rame kek gitu gak kedenger."

Aku melotot mendengarnya, "Kurang asem lo, dasar temen lucnut."

"Gue tuh temen yang baik sayangkuh, gih sana ikutan nimbrung! Sapa tau nanti ada jalan buat pdkt sama doi."

"Enggak ah."

💫💫💫

Aku berjalan sendirian di koridor sekolah, karena Dea pamit pulang duluan. Sedangkan aku harus mengikuti rapat osis terlebih dahulu, saat teman osisku yang lain sudah berjalan jauh di depanku. Langkahku malah terhenti dengan suara yang aku rasa sumbernya dari ruang musik, aku sedikit mengintip pada pintu yang terbuka. Memastikan bahwa di dalam sana ada seseorang, jangan sampe ada penampakan, batinku.

Aku menyipitkan mata, berusaha memperjelas penglihatanku. Saat penglihatanku semakin jelas, aku perlahan-lahan membuka pintu lebih lebar.

"Raffa?" lirihku.

"Lo lagi ngapain di sini?" Dengan mudahnya pertanyaan itu lolos dari mulutku.

Kulihat Raffa sedikit kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba sudah berada di dalam, aku melangkah mendekati tempat Raffa.

"Lo yang lagi ngapain di sini?" tanya Raffa.

"Itukan pertanyaan gue, jawab dulu!"

"Ini ruangan apa?" Ini si Raffa kenapa malah balik nanya lagi.

"Ruangan musik," jawabku.

"Lo pasti tau gue lagi ngapain," tanya Raffa dengan ekspresi wajah yang selalu membuatku jengkel. Datar.

"Gue gak sengaja lewat, terus yah kepo deh," jawabku seadanya.

"Hidup lo kebanyakan kepo."

"Namanya juga cewe," balasku tetap membela diri.

"Duduk!" Dahiku berkerut, menatap aneh pada Raffa. Tumben sekali nada bicaranya lembut, dan apa tadi? Dia menyuruhku duduk, maksudnya apa?

"Kenapa sih setiap gue suruh lo apapun itu, mata lo suka melotot."

"Hah?"

"Tuhkan melotot lagi."

Aku mengedipkan mata beberapa kali, lalu duduk di kursi dengan berhadapan dengan Raffa.

"Mau apa nyuruh gue duduk?" tanyaku pura-pura jutek, padahal hati ini udah ketar-ketir mau loncat. Aduh kok jadi salting kek gini yah.

"Mau nyanyi?"

Aku menggeleng kencang, "Enggak, gue gak bisa nyanyi."

Kulihat Raffa mengangguk-anggukan kepalanya, "Oh iya, besok gue izin dispensasi. Suratnya nanti ada kok."

Aku mengangguk sebagai jawaban, tiba-tiba Raffa langsung memasukan gitar ke dalam tempatnya. Aku menganga melihat Raffa melengos pergi tanpa pamit, "Gue ditinggal nih?"

Aku berdecak kesal, "Emang yah dia itu ngeselinnya tetep ada, kayaknya gue suka sama dia pas dia lagi jadi danton aja deh."

"Ihh, gue kira mau ngapain nyuruh gue duduk. Mau bikin cerita indah yang bisa gue ceritain ke Dea kek, taunya abis itu ditinggal. Dasar emang, Raffa nyebelin ...."

Saat aku akan beranjak dari tempat dudukku, mataku malah menangkap secarik kertas berwana biru di bawah sepatuku. Aku segera mengambilnya, "Kok ada nama dia?"

Saat sadar aku tengah sendiri di ruangan musik, aku segera berlari keluar untuk segera pulang. Dan soal secarik kertas itu, aku simpan dalam tasku.

Tapi, lagi-lagi aku melihat Raffa yang masih belum pulang. Ku kira dia sudah meninggalkan sekolah, dan kelihatannya dia sedang mencari sesuatu yang hilang. Tapi yasudahlah, aku harus segera pulang.

💫💫💫

Gimana sama part dua ini? Ya ampun maafkan cerita ini baru ku sentuh lagi, selamat menunggu part selanjutnya 😉

07 Juni 2020
-ar-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro