1. Wish
💫💫💫
1. Bisa juara kelas
2. Rajin belajar, males dikit gpp
3. Kalau udah pintar, boleh punya gebetan
4. Makanya harus rajin belajar, biar punya gebetan, eh salah biar pintar maksudnya
5. Pokonya kisah cinta di SMA harus indah
6. Nikmati masa SMA, mau tentang persahabatan atau percintaan, oke
7. Gak boleh galau karena cinta, dikit bolehlah
8. Lulus dengan nilai terbaik
9. Menata masa depan setelah lulus
10. Lulus
11. Lulus
12. Lulus
13. Lulus
14. Lulus sekolah
15. Move on dari hal buruk di waktu SMA dan simpan yang paling terindah, gebetan misalnya
25 Maret.
Tertanda Rara.
Sejak tadi aku hanya senyum-senyum tidak jelas membaca catatan wish-ku sewaktu kelas sepuluh, gila parah sebocah itu pemikiranku. Apaan juga harus punya gebetan, elah si aku.
"Astagfirullah," pekikku kaget saat mendapatkan teman sekelasku yang tiba-tiba sudah berada di samping.
Dan dia malah ketawa, dasar teman lucnutt.
"Ngagetin aja lo, Deon," decakku kesal, padahal baru saja mau ngehalu kalau aku punya gebetan.
Aku lihat dia cengengesan, "Sorry," ujar Dea--aku sering manggil dia Deon, dia temen deketku, deket banget sedekat bibir atas sama bibir bawah, rempet bangetkan? Lah aku malah ngomongin bibir-dia duduk tepat di hadapanku.
"Kenapa lo senyum-senyum? Kesambet, baru tau rasa." Nih anak mulutnya asal ngomong aja.
"Hussh, enak aja lo. Amit-amit, astagfirullah...."
"Apaan nih, coba gue liat." Buku yang sedari tadi aku pegang sudah berpindah tangan secepat kilat tanpa memberi waktu untukku menjauhkannya dari gapaian tangan Dea.
"Ih siniin elah!" pintaku.
"Berisik, bentar belum beres baca," ujarnya sembari menempatkan buku kecilku di awang-awang.
Beberapa saat aku membuang muka karena kesal, tiba-tiba aku mendengar suara tertawa yang menggelegar di ruang kelas. Untung anak-anak yang lain pada di kantin, setidaknya suara tertawa Dea tidak dilirik dengan tatapan aneh orang-orang.
"Siniin, rahasia tau." Aku segera merebut buku itu di tangan Deon.
"Dasar bocah, btw---"
"Apa?" seruku memotong ucapan Dea.
"Harus punya gebetan, yah? Terus, sekarang lo udah punya? Pasti belum," ujar Dea dengan nada yang terdengar meledak.
"Ngeledek gue lo?"
"Bukan ngeledek, tapi faktanya emang gitu, kan?" aku menghela napas kasar, menatap Dea dengan tatapan tidak bersahabat.
"Tadinya gue udah mau punya gebetan," jelasku membuat mata Dea melotot seketika.
" Serius?" aku mengangguk pasti.
"Siapa?"
"Gak jadi, soalnya lo udah ngagetin gue. Jadi acara ngehalu gue gagal karena lo," jawabku sembari menahan tawa yang sebentar lagi akan membludak.
"Teman lucnutt lo," sarkisnya.
"Gue punya ide, gima---" ujar Deon yang terpotong oleh suara bel masuk.
"Heuh, ganggu aja," gumamnya yang masih terdengar oleh telingaku.
Bangku yang terlihat kosong sebelumnya kini sudah dipenuhi kembali oleh teman-temanku, meski mereka masih tetap membuat acara pergibahan. Tapi setidaknya telinga mereka masih berfungsi dengan baik, karena saat bel berbunyi mereka sudah berada di kelas.
Sekarang barulah aku mencari seksi pendidikan, untuk bertanya kenapa guru masih belum datang. Biasanya seksi pendidikan di kelasku itu gerak cepat banget kalau soal menjemput guru. Sebagai ketua kelas yang sigap, aku harus mengingatkan jikalau seksi pendidikan kelupaan belum menjemput guru.
"Hilda, Risa," pangilku sembari menghampiri mereka berdua.
"Kenapa?" tanya mereka bersamaan.
"Udah jemput guru?"
Hilda mengangguk, "Udah kok, iyakan Ris?" Risa terlihat ikut mengangguk.
"Kok belum dateng? Dikasih tugas gak?" tanyaku lagi.
"Enggak Ra, mungkin lagi otw. Bentar lagi juga ada," jawab Risa membuat gue mengangguk dan kembali ke tempat duduk gue.
Tidak lama kemudian guru Bahasa Indonesia datang, lalu memulai dengan pembukaannya dan tugas-tugas yang Ia berikan pada kami.
Entah kenapa sejak pelajaran terakhir ini, otakku terus memikirkan isi wish yang aku buat sebelumnya. Rasanya menggelikan sekali, tapi bagaimana yah kalau nanti aku punya gebetan?
"Ayo pulang!" Suara Dea lagi-lagi selalu menghancurkan acara haluku.
"Pulang?"
Kudengar dia berdecak, "Emangnya lo mau nginep? Ayo cepet, udah sore nih. Noh anak-anak juga udah pada gak ada."
Mataku menelusuri ruang kelas, ternyata benar kelas sudah sepi, dan tinggal kita berdua. Ternyata acara menghaluku terlalu berlebihan, sampai lupa jika tadi bel pulang sudah berbunyi.
"Ini udah setengah jam kita di kelas, ayo cepet pulang!" seru Dea lagi membuat lamunanku tersadar.
"Iya iya, bawel," jawabku sembari membereskan buku-buku yang masih tergeletak di meja.
Gue segera mengikuti langkah Dea yang sudah jauh beberapa langkah di depanku, saat langkahku mulai cepat untuk menyeimbangi langkah Dea. Tiba-tiba telingaku mendengar suara yang membuat langkahku terhenti.
"Wait," ujarku membuat langkah Dea ikut berhenti.
Dea terlihat memutarkan matanya jengah, "Apalagi?"
"Itu suara siapa? Kok gagah banget sih suaranya," ujarku sembari tersenyum semanis gula.
"Noh, anak paskibra lagi latihan. Itu suara dantonnya lah," jawab Dea.
Dahiku mengerut, "Emang dantonya siapa?" tanyaku penasaran.
"Si Raffa, masa lo ga tau."
"Raffa? Temen sekelas kita?" tanyaku sekali lagi untuk meyakinkan ketidakpercayaan ini.
"Hooh, temen kelas kita. Partner lo, sebagai ketua kelas dan wakil ketua kelas."
"Idih, serius? Dia yang tukang ngirit ngomong, suaranya bisa bagus gitu?" tanyaku lagi-lagi tak percaya.
"Yah siapa tau, dia ngirit ngomong buat ngumpulin suara emasnya sebagai danton," ujar Dea diiringi tawanya.
Tanpa membalas ucapan Dea, aku berjalan kembali dan berhenti di teras yang langsung menghadap lapangan sekolah.
Aku duduk di tempat duduk keramik yang memang disediakan di depan kelas, tanpa sadar aku memperhatikan Raffa terus menerus. Tersenyum kagum pada kegagahan teman sekelasku saat menjadi danton.
Padahal kadang aku suka gibahin dia, karena tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai wakil ketua kelas. Meski hanya wakil, apa harus semuanya dilakulan olehku seorang diri karena sebagai ketua kelas. Yang lebih mengesalkannya lagi, seharusnya yang jadi ketua kelas itu dia, eh tapi malah tertimpa balik padaku karena saat tahun lalu yang sebagai ketua kelas adalah Raffa--sekolahku memang tidak pernah merolling muridnya saat kenaikan kelas, makanya teman-temanku tetap sama itu itu saja, tidak pernah ganti sampai nanti lulus sekolah.
"Hari ini lo udah keseringan melamun dan menghalu," ujar Dea menyindirku.
Aku cengengesan menatap wajah Dea yang sudah masam, "Ngehalu itu indah, Yon."
"Tunggu beberapa hari lagi juga lo udah suka tuh sama si Raffa," ujar Dea ketus.
"Bener, sekarang aja hati gue lagi otw ke hati dia," jawabku dengan mata yang tetap fokus memperhatikan gerak-gerik Raffa.
"Hati-hati," balas Dea membuatku seketika menatapnya dengan penuh tanya.
"Hati-hati, Raffa gitu-gitu banyak penggemarnya lho," lanjut Dea memberitahu.
"Serius? Masa sih, Raffa 'kan gak terlalu ganteng, eh ...."
"Gak terlalu ganteng aja lo bisa suka hanya karena suara emasnya, mungkin penggemarnya juga sama kaya lo. Terpesona melihat Raffa saat menjadi danton."
"Ah iya, wish lo kan harus punya gebetan. Jujur aja kalau lo suka---"
"Teman lucnut, maen jujur-jujur aja. Gebetan aja gak punya, gimana sih," jawabku sensi.
"Kan otw punya, sosor makanya. Sebelum kena tikung." Aku mengerucutkan bibir saat mendengar tawa ledekan dari Dea.
Emang dasar, teman lucnut, teman lucnut, Dea lucnut.
💫💫💫
Makin penasaran dengan kisah Rara? Jangan lupa save ke library, komen dan vote juga! 😉
A/n : Ayo ceritakan kisah singkat kalian di komentar bersama teman lucnut kalian, wkwk.
01 April 2020
-ar-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro