Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Two

Terkadang kita perlu bersikap pura-pura tidak tahu tentang suatu hal yang akan membawa kecanggungan.

©Letter of Destiny©

🕊🕊🕊🕊

Seorang wanita sedang duduk santai di bawah pohon rindang di area pesantren sembari membaca sebuah novel di genggamannya. Angin sepoi-sepoi menerpa kulit wajahnya yang terlihat putih dan bersih. Keadaan tampak sepi, sebab saat ini adalah jadwal belajarnya para santri dan santriwati. Kedua netra hazel-nya tampak serius memperhatikan kata demi kata dari novel yang sedang dia baca.

"Woi, Ra!" Wanita pemilik netra hazel itu seketika terperanjat saat mendengar suara juga tepukan di bahunya secara bersamaan.

Bahkan, saking terkejutnya, novel yang sedang dia genggam terlepas dari tangannya. "Astagfirullah, Adira!" tegurnya.

"Iya itu aku," ujar Adira--wanita yang baru saja membuatnya terkejut--sambil menaikkan kedua alisnya.

"Kamu kebiasaan, deh. Kan, aku selalu bilang sama kamu, jangan lupa ucapin salam dulu kalau baru dateng." Wanita itu menatap Adira dengan kesal. "Lihat, gara-gara kamu, novelku jadi jatuh karena terkejut," lanjutnya, lalu memungut novelnya yang tergeletak di tanah.

"Ya, maaf. Aku lupa," ucap Adira dengan wajah yang tidak terlihat bersalah sama sekali.

"Alasan aja kamu, Dir."

Adira memutar bola matanya malas, lalu duduk di samping wanita bernetra hazel itu. "Azura, anaknya Umma Ruqayyah dan Buya Abrar, kamu lupa, ya?" tanya Adira pada wanita bernetra hazel itu--Azura.

"Lupa apa?" tanya Azura sembari mengernyitkan dahinya.

"Lupa, kalau sifat pelupa itu manusiawi. Kan, aku juga manusia, jadi wajar kalau aku suka lupa. Kamu pasti juga suka lupa, kan?" tanya Adira pada Azura.

"Tapi, nggak sesering kamu juga, Dir. Masa iya, kamu tiap saat diingetin, tapi tetep aja nggak kamu lakuin dan alasannya lupa terus. Aku hitung, loh berapa kali kamu nggak salam hari ini dan berapa kali juga kamu udah diingetin, tapi tetep aja nggak dilakuin."

Adira meringis pelan, dalam hati dia bertanya-tanya mengapa dia selalu diomeli, tidak Azura, tidak umminya, tidak abinya, bahkan Umma Azura juga terkadang mengomelinya. Bisa-bisa Adira bisa kenyang karena omelan, bukan karena nasi lagi.

"Udah, ya, Ra. Aku tahu, aku salah. Afwan, insya Allah aku akan usahain buat salam dulu kalau misalnya aku baru datang, oke? Jadi, stop! Jangan omelin aku lagi. Kamu nggak kasian sama telinga aku yang sering banget dengerin omelan dari kalian semua?" tanya Adira dengan wajah yang dibuat sememelas mungkin.

Azura mengembuskan napas dengan pelan, lalu mengangguk. Setelah itu dia kembali melanjutkan bacaan novelnya dan mengabaikan Adira yang duduk di sampingnya.

"Kamu baca novel mulu, nggak sakit tuh mata?" tanya Adira. "Enakan baca komik, ada gambarnya, kalau baca novel tulisan semua, bisa-bisa mata aku jadi buram nanti," lanjut Adira seraya membuka komik horor miliknya.

"Dir, selera orang beda-beda. Kalau kamu nggak suka baca novel, sama kayak aku yang nggak suka juga baca komik. Jadi, stop ganggu aku dulu!" Azura berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari novel yang sedang dia baca.

"Iya, iya. Gitu aja marah," dumel Adira, lalu mulai fokus dengan komiknya.

"Aku nggak marah, ya," kilah Azura sembari melirik Adira sekilas.

Namun, tidak ada tanggapan lagi dari Adira sebab wanita yang sedang mengenakan hijab maroon itu sudah larut dalam cerita komik yang ada di genggamannya.

"Assalamualaikum," suara salam itu berhasil membuat fokus Azura dan Adira pecah.

"Waalaikumsalam." Azura dan Adira menjawab bersamaan salam dari seorang santriwati di hadapannya.

"Mbak Maya, ada apa?" tanya Azura, sementara Adira sudah kembali fokus dengan komiknya.

"Maaf aku ganggu, tapi aku dikasih amanah sama Ustazah Robiah untuk memanggil Mbak Azura," ucap Maya seraya tersenyum.

"Oh iya, makasih, ya, Mbak." Maya mengangguk, lalu setelah itu pamit.

"Dir, aku ke Ustazah Robiah dulu, ya." Adira hanya mengangguk, tanpa melirik Azura. "Assalamualaikum."

••••

Setelah mengucap salam dan mengetuk pintu ruangan khusus para ustazah. Azura segera masuk dan mendapat sambutan hangat oleh beberapa wanita dewasa di dalam sana.

"Kata Mbak Maya, Ustazah manggil aku. Ada apa, ya?" tanya Azura setelah duduk di hadapan Robiah.

"Iya, ini saya mau minta tolong sama kamu. Boleh?" tanya wanita bercadar itu.

"Boleh Ustazah, insya Allah saya akan bantu. Memangnya Ustazah mau minta tolong apa?" tanya Azura dengan senyumnya.

"Begini, obat asma saya sudah habis dan saya tidak bisa ke rumah sakit untuk mengambilnya. Saya boleh minta tolong kamu untuk temani Fajar ke sana?" tanya Robiah, "Fajar, kan masih terbilang baru di sini dan dia juga belum hapal jalanan ke rumah sakit. Saya juga sudah menelpon Mbak Kia dan dia sudah menunggu di rumah sakit."

"Bagaimana, ya Ustazah ...." Azura tersenyum tidak enak menatap Robiah. Dia tidak mungkin ke rumah sakit hanya berdua saja dengan Fajar, apa kata santri dan santriwati di sini? Terus apa kata orang lain juga nanti?

"Kamu boleh mengajak Adira untuk ikut bersama kalian." Robiah seolah mengerti dengan kegelisahan yang dirasakan oleh Azura.

"Ya sudah Ustazah, saya minta izin dulu sama Umma dan Buya," ucap Azura dan mendapat anggukan oleh Robiah.

Jangan heran mengapa orang tua Azura bisa ada di sini. Sebab, pemimpin Pondok Pesantren Al-Ikhlas ini adalah Buya Azura sendiri, sementara pendirinya adalah mendiang kakeknya. Jadi, tidak heran jika semua santri, santriwati dan para ustaz dan ustazah mengenal dirinya.

••••

Mobil sedan berwarna abu-abu memasuki pelataran rumah sakit. Setelah memarkirkan mobil, dua orang wanita yang tengah menggunakan gamis yang sama, tetapi warna jilbab yang berbeda keluar dari mobil di bagian penumpang. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh tegap dan berkulit putih ikut keluar dari mobil di bagian kemudi.

"Ayo!" ajak pria itu, lalu berjalan lebih dulu meninggalkan dua wanita itu yang tak lain Azura dan Adira.

"Ra," panggil Adira saat Azura akan menarik tangannya untuk mengikuti langkah pria yang sedang bersama mereka tadi--Fajar--adik dari Ustaza Robiah.

"Ada apa?" tanya Azura seraya memandang Adira.

"Kamu nggak sadar, ya? Kalau selama di perjalanan tadi, Ustaz Fajar ngelirik-lirik kamu lewat spion?" tanya Adira sedikit mengecilkan nada suaranya.

Azura mengembuskan napas dengan pelan. "Hm ... aku sadar, kok. Tapi pura-pura nggak tahu aja," jawab Azura.

"Kayaknya Ustaz Fajar suka deh, Ra sama kamu."

"Dir, udah! Jangan bahas hal yang nggak-nggak kayak gini. Yuk, masuk! Nanti Ustaz Fajar nyasar di dalam. Kamu, kan tahu dia baru sebulan pindah ke sini, dan udah pasti dia nggak tahu seluk beluk rumah sakit ini. Ayo!" Azura menarik tangan Adira dengan pelan. Mengabaikan pemikiran-pemikiran yang dikatakan oleh Adira.

"Ra, kamu sudah hubungi Mbak Kia?" tanya Fajar setelah Azura dan Adira tiba di hadapannya.

"Belum, Ust. Sebentar, saya telepon Kak Kia dulu." Pria berusia dua puluh lima tahun itu mengangguk seraya tersenyum tipis.

Azura sedikit menjauh, lalu mulai menghubungi kakak keduanya itu. Setelah terhubung, Azura segera memberitahu kakaknya jika dia sudah sampai di rumah sakit dan Kia menyuruhnya untuk datang langsung keruangannya.

Setelah mematikan sambungannya, Azura kembali menghampiri Fajar dan juga Adira. "Kak Kia ada di ruangannya. Kalian ke sana dulu saja, nanti saya menyusul."

"Mau ke mana kamu?" tanya Adira.

"Mau ke toilet. Udah, kamu anter Ustaz Fajar aja ke ruangan Kak Kia, habis dari toilet nanti aku bakalan nyusul kalian," jelas Azura.

"Nggak apa-apa, kamu ke toilet dulu saja. Saya dan Adira bisa menunggu kamu di sini, biar nanti kita bareng-bareng ke ruangannya Mbak Kia."

Azura menggeleng pelan, dia tidak menyetujui ucapan Fajar. "Nggak usah, Ustaz. Kalian duluan saja, nanti saya menyusul," ucap Azura yang masih kekeh dengan pendiriannya.

"Ya sudah, yuk, Ustaz. Saya anter ke ruangannya Kak Kia," ajak Adira dan mendapat anggukan dari Fajar.

Azura berbalik, lalu berjalan menuju toilet. Setelah tiba di toilet Azura segera masuk dan menuntaskan hal yang membuatnya gelisah sedari tadi. Tidak membutuhkan waktu lama, dia keluar dari toilet, lalu berjalan menyusuri koridor rumah sakit.

"Tunggu!" Seruan itu berhasil membuat langkah Azura terhenti, dia berbalik dan mendapati seorang pria bertubuh tinggi yang terlihat ... tidak asing.

"Mas manggil saya?" tanya Azura seraya menunjuk dirinya sendiri.

"Ada apa, ya, Mas?" tanya Azura setelah mendapat anggukan dari pria itu.

Pria dengan rambut hitam lebat dan juga agak panjang itu, tidak langsung menjawab. Melainkan, dia menyodorkan selembar uang dua puluh ribu pada Azura.

"Maksudnya apa, ya, Mas? Saya tidak minta uang, kok sama Masnya." Azura mengernyitkan dahinya pertanda dia sedang bingung.

"Duit lo jatuh, jadi gue balikin. Ini." Pria itu kembali menyodorkan uang itu pada Azura.

"Jatuh?" tanya Azura, lalu memeriksa tasnya dan benar saja uang dua puluh ribu yang selalu ada di dalam tasnya tidak ada. Apalagi, tadi tasnya tidak tertutup setelah dia mengambil ponselnya. Azura yakin pasti uangnya jatuh saat dia mengambil ponselnya tadi.

"Benar itu uang saya," ucap Azura, "terima kasih, Mas." Azura mengambil uanganya, lalu tersenyum tipis.

"Kalau begitu saya pergi dulu. Sekali lagi terima kasih, ya, Mas. Permisi." Azura berbalik meninggalkan pria bertubuh tinggi itu.

Pria itu tidak mengalihkan pandangannya dari punggung kecil milik Azura. Pria itu--Haidar masih terpaku setelah melihat senyum tipis yang diberikan oleh Azura. Senyuman itu terlihat begitu manis, lembut, dan tulus. Walau hanya senyuman tipis, tetapi mampu membuat Haidar terpikat.

.
.
.
.
.

To be Continued.

Haluu, assalamualaikum, dan selamaat pagiii!👋.

Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca ya😉. Gampang kok, kalian tinggal pencet gambar bintang yang ada di  bawah, bagian pojok sebelah kiri. Abis itu, jangan lupa komen juga, komen krisar juga boleh banget. Insya Allah akan aku terima🤗.

Sampai jumpa lagi di bagian selanjutnya👋.

Wassalamualaikum.

Jazakumullah Khairan.

Ay.

Pinrang, 05, April, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro