Twenty Two
"Haram hukumnya seorang laki-laki mengatakan cinta kepada seorang wanita, tanpa ada niat untuk menikahinya."
~Ustaz Derry Sulaiman~
🕊🕊🕊🕊
Azura tampak melamun, mengabaikan beberapa buku yang ada di hadapannya. Bahkan suara Adira yang sedang membaca dengan suara yang agak keras di sampingnya, tidak membuat dia terganggu sama sekali. Pikirannya selama seminggu ini benar-benar hanya berporos pada kejadian minggu lalu, di mana untuk pertama kalinya dia mendapat pengakuan secara langsung seperti itu.
Yang Azura tidak mengerti adalah, kenapa dia harus selalu mengingat kejadian itu? Kenapa dia tidak bisa melupakannya barang sejenak? Kenapa juga jantungnya selalu berdegup cepat saat kejadian itu selalu menghantui pikirannya? Azura benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri.
Tuk!
Azura seketika tersadar dari lamunannya saat sebuah pulpen mengenai kepalanya. Sembari meringis, dia menoleh ke sebelahnya, di mana dia melihat cengiran Adira yang ditujukan untuknya.
"Afwan, Ra. Aku nggak sengaja beneran!" ujar Adira seraya menunjukkan kedua jarinya membentuk huruf V.
Azura hanya mengangguk singkat, lalu memusatkan perhatiannya pada buku yang terbuka di hadapannya--yang sedari tadi dia abaikan karena melamunkan hal yang berulang-ulang selama seminggu ini.
"Libur sebentar lagi tiba, yey!" Adira bersorak senang, seraya memeluk Azura dari samping.
Memang benar libur semester akan segera tiba. Sebab besok adalah hari terakhir ujian yang sealama seminggu ini mereka jalani. Azura dan Adira benar-benar memanfaatkan waktu untuk belajar selama seminggu itu, selama seminggu itu pula keduanya jarang keluar rumah kecuali saat berangkat ke kampus.
"Dir," panggil Azura. Perempuan itu menutup buku yang sempat dia baca sebentar, kemudian membalikkan dirinya untuk tidur terlentang. Kedua manik hazelnya menatap langit-langit kamar dengan pandangan tidak terbaca.
"Apaan?" tanya Adira, lalu mengikuti posisi Azura yang tidur terlentang.
Azura kembali membisu dan hal itu sontak membuat Adira menoleh ke arah Azura yang masih setia memandangi langit-langit kamar. Karena merasa digantung dan penasaran, Adira pun kembali bertanya.
"Apaan, sih, Ra? Jangan buat aku penasaran deh," ujar Adira sembari mendelik. "Kamu, kan tahu aku paling nggak bisa kalau dibuat penasaran kayak gini. Aku juga tahu dari nada kamu manggil aku kayak tadi, pasti ada sesuatu yang penting yang mau kamu ka ...."
"Minggu lalu Kak Haidar ngungkapin perasaannya ke aku," potong Azura tanpa mengalihkan pandangannya.
Sontak saja, ucapan Azura itu membuat Adira melongo seketika. "Apa? Tadi kamu bilang apa? Pasti aku salah denger, kan?" tanya Adira beruntun. Dia takut jika telinganya salah mendengar ucapan Azura barusan.
"Kamu nggak salah denger. Aku emang ngomong kayak gitu barusan," jawab Azura seraya menatap Adira yang kembali dibuat melongo.
Setelah tersadar dari keterkejutannya Adira segera bangkit dari tidurnya lalu duduk menghadapan Azura. "KAN! AKU JUGA BILANG APA? KAK HAIDAR TUH SUKA SAMA KAMU!" teriak Adira, sontak saja Azura juga ikut duduk dan membekap mulut Adira.
"Jangan teriak, Dir. Nanti Ummi denger," tegur Azura dan Adira hanya mengangguk patuh.
Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pintu dari luar kamar dengan suara Hasna yang saling beradu. "Adira, kenapa berteriak?"
Azura dan Adira saling memandang, tetapi detik berikutnya Adira melompat turun dari tempat tidur dan membukakan pintu untuk Hasna. Setelah pintu terbuka, Adira menyambut kebingungan Hasna dengan cengiran andalannya.
"Afwan, Ummi. Tadi ada tikus yang lewat, makanya aku teriak," ujar Adira berbohong.
"Kamu ini, buat Ummi terkejut saja. Lain kali tidak usah berteriak seperti itu!" tegur Hasna dan Adira hanya mengangguki sembari tersenyum menampakkan deretan giginya yang putih.
Setelah kembali memberi teguran dan petuah pada Adira, Hasna pun berlalu. Dengan segera Adira menutup pintu dan kembali melompat ke atas tempat tidur menghadap Azura.
"Jadi, gimana? Ayo ceritain ke aku?" tanya Adira begitu semangat.
Azura mengembuskan napas panjang sebelum menceritakan semuanya pada Adira. Pemilik manik hazel itu sudah tidak kuat lagi memendam sendiri kejadian waktu itu, dia ingin menceritakannya agar dia merasa lebih puas. Walau sebelumnya dia pernah bercerita kepada Allah di atas sajadah--di sepertiga malam, tetap saja dia juga ingin berbagi pada Adira.
Azura pun mulai menceritakan semuanya pada Azura, mulai dari Haidar yang menemuinya di depan toilet sampai Haidar mengungkapkan perasannya. Saat menceritakan kejadian itu pun, Azura menceritakan apa adanya tanpa ada yang dia tambah-tambahi ataupun di kurang-kurangi.
"Kak Haidar bukan ngungkapin ke aku, tapi kok aku yang baper, sih? Gimana sama kamu coba?" tanya Adira seraya memegang dadanya.
Azura mengedikkan bahu, pertanda dia tidak tahu. "Aku nggak tahu, waktu itu aku baper apa nggak. Tapi ...."
"Tapi apa?" potong Adira cepat.
"Tapi, jantung aku detakannya cepat banget waktu Kak Haidar ngomong gitu. Bahkan sampai sekarang, kalau aku inget kejadian itu, pasti aku deg-degan," jelas Azura.
"Jangan bilang kamu juga suka sama Kak Haidar!" Kembali Adira berucap heboh, tetapi tidak sampai berteriak seperti sebelumnya.
"A ... aku? Su ... suka Kak Haidar?" tanya Azura tergagap seraya menunjuk dirinya sendiri. Raut keterkejutan tercetak jelas di wajah ayunya.
Adira mengangguk semangat, lalu kembali bertanya. "Terus, terus ... kamu ngomong apa, pas Kak Haidar udah ngungkapin perasaannya?"
Azura terdiam sejenak, lalu detik berikutnya menjawab pertanya Adira. "Aku suruh Kak Haidar untuk nemuin Buya kalau memang dia beneran suka dan cinta sama aku," jawab Azura.
"Beneran? Terus, Kak Haidar ngomong apa? Dia mau ketemu sama Buya?" Azura mengangguk.
"Kapan?"
"Setelah ujian selesai."
••••
Haidar, Rumaisha, Haura, Gavin, dan Nizam berdiri bak pagar negara di depan sebuah gedung pencakar langit yang terlihat begitu ramai. Tidak ada senyum di wajah keempat orang itu selain Rumaisha yang tampak tersenyum dari saat dia turun dari mobil sampai tiba di depan pintu utama gedung itu.
"Yuk, masuk!" ajak Rumaisha, lalu menggandeng tangan Haura, hendak membawa putrinya itu masuk ke dalam sana.
"Pulang aja, yuk, Ma! Mending kita ke mall aja gimana?" ajak Haura. Dia benar-benar enggan menapakkan kaki ke dalam gedung yang sudah disulap dengan begitu mewahnya.
"Nggak boleh gitu dong, Sayang. Mama tahu, kamu nggak suka sama keadaan ini, tapi menghindar juga bukan jalan yang baik. Yuk, kita hadapi sama-sama. Biarin Papa kamu bahagia dengan pilihannya, oke?" tanya Rumaisha seraya merangkul Haura.
Haura hanya berdeham hingga membuat Rumaisha tersenyum. Memang, saat ini mereka sedang menghadiri acara pernikahan Abrisam dengan Dania. Seperti saat acara lamaran tempo dulu, Hura juga sebenarnya tidak ingin menghadiri pernikahan Abrisam jika bukan karena bujukan sang mama.
"Yuk, ah masuk! Nanti kita kehabisan makanan gratis," ajak Nizam setelah lama terdiam mendengar ucapan Haura dan juga Rumaisha.
Rumaisha hanya tersenyum seraya menggeleng pelan, kemudian mengikuti langkah Nizam yang sudah berjalan lebih dulu seraya menarik tangan Haidar dan juga Gavin masuk ke gedung itu.
"Kak Haidar!" seruan itu berhasil membuat kelima atensi mereka teralihkan.
Seorang perempuan dengan gaun selutut berwarna peach berlari kecil menghampiri mereka dengan senyumnya yang terlihat sangat bahagia. Sangat berbeda jauh dengan ekspresi keempat orang itu--Haidar, Haura, Nizam, dan juga Gavin yang hanya menatap kedatangan perempuan itu dengan tatapan yang tidak terbaca.
"Loh, Tante Rumaisha!" serunya begitu girang saat tiba di hadapan mereka. "Keadaan Tante gimana? Udah baikan, kan? Maaf, ya Olaf belum sempat jenguk Tante pas udah sadar," ujarnya lagi seraya menatap Rumaisha dengan tatapan merasa bersalah.
"Drama!" Setelah mengucapakan kata yang terasa menusuk di rungu Olaf, Haidar segera melangkah mengindari semuanya, lebih tepatnya mengindari Olaf sebelum wanita itu mendekatinya.
"Ke mana lo?" tanya Nizam.
"Toilet," jawab Haidar singkat.
Rumaisha menghela napas pelan, saat melihat Haidar pergi, dia tahu jika putranya itu sedang berusaha menjauhi Olaf yang saat ini tengah bersedih setelah mendapat sindiran dari Haidar. Rumaisha jadi merasa tidak enak dengan Olaf yang saat ini sedang menunduk di hadapannya.
"Maafin ...."
"Apa aku terlihat menjijikan, ya, Tan? Sampai Kak Haidar ngehindarin aku banget. Aku ngerasa kalau Kak Haidar itu nganggep aku kayak kuman yang harus dihindarin," lirih Olaf dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Hatinya begitu sakit mendapat penolakan yang kesekian kalinya dari Haidar.
••••
"Jadi, skripsi kamu gimana, Dar?" tanya Damarion seraya memberikan Haidar segelas minuman.
Haidar menoleh dan mengangguk singkat, lalu menerima minuman yang ditawarkan oleh pria paruh baya itu. "Masih sementara saya buat, Om," jawab Haidar sesopan mungkin. Walaupun Haidar tidak menyukai Olaf, dia tetap bersikap sopan pada yang lebih tua darinya. Tentu saja petuah itu dia dapatkan dari sang mama tadi sebelum dia pulang bersama dengan Haura, Nizam, dan Gavin.
Haidar sendiri belum pulang, karena Damarion yang ingin mengajaknya mengobrol. Awalnya dia ingin menolak dan ikut pulang dengan mereka, tetapi lagi dan lagi berkat bujukan sang mama akhirnya Haidar menyetujui ajakan Damarion.
"Apa perlu Om suruh orang untuk bantu mengerjakan skripsi kamu?" tawar Damarion dan segera mendapat gelengan oleh Haidar.
"Tidak perlu repot-repot, Om. Saya masih sanggup mengerjakannya sendiri," jawab Haidar dan mendapat anggukan paham dari Damarion.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau. Om doain semoga skripsi kamu cepat selesai biar cepat diwisuda. Habis itu acara lamaran kalian bisa segera dilaksanakan."
"Lamaran?" tanya Haidar kebingungan.
"Iya, lamaran. Memangnya papa kamu belum kasih tahu, kalau lamaran kamu dengan Olaf akan dilaksanakan setelah kamu wisudah. Kami sudah membahas ini beberapa hari yang lalu, dan kata papa kamu, kamu akan setuju walaupun kita nggak minta masukan sama kamu."
Syok? Tentu saja. Bagaimana bisa dia melamar Olaf, sementara beberapa hari ke depan dia akan mendatangi orang tua Azura, dia juga berniat melamar perempuan yang dicintainya itu. Namun, lagi-lagi karena keegoisan papanya apa dia harus membatalkan niatnya itu?
Nggak akan! Sampai kapan pun aku nggak akan nikah sama dia. Karena yang berhak jadi istri aku nanti hanya Azura bukan perempuan itu, batin Haidar sungguh-sungguh.
.
.
.
.
.
To be continued.
Assalamualaikum, selamaaat pagi semua!
Maaf, ya semalam aku nggak update, soalnya semalam aku ketiduran pas nulis. Abis ngantuk banget, kan aku paling nggak bisa begadang, wkwkwk. Tapi, nggak apa ya, sebagai gantinya aku update hari ini, hehehe.
Seperti biasa jangan lupa meninggalkan jejak dengan menekan gambar bintang yang ada di pojok bawah bagian kiri, ya. Jangan lupa komen juga, ehh follow juga jangan lupa ya, wkwkwk.
Follow Ig aku juga @ayuniswy.story
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 25, Mei, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro