Twenty Three
Lelaki yang benar-benar cinta dan tulus sama kamu akan datang menemui orang tuamu, bukan malah mengatakan perasaannya dan memintamu untuk menjadi kekasihnya.
©Letter of Destiny©
🕊🕊🕊🕊
Haidar menuruni undukan anak tangga dengan santai sembari bersiul. Sebelah tangannya dimasukkan ke saku jeans hitam yang dia gunakan, sementara tangan lainnya memutar-mutar kunci motor kesayangannya. Di pagi hari yang cerah ini dia sudah terlihat rapi dan tampan dengan setelan yang seperti biasanya, yaitu kaos polos berwarna hitam yang dilapisi jaket jeans berwarna maroon, hanya saja jeans hitam yang kali ini dia gunakan bukan jeans hitam yang kerap kali dia pakai, yaitu jeans yang robek di bagian lututnya.
Saat tiba di anak tangga terakhir, raut wajahnya seketika berubah datar saat berhadapan dengan Dean yang kini sudah menjadi saudara tirinya. Namun, Haidar sudah berjanji bahwa sampai kapan pun dia tidak akan mau mengakui musuhnya itu sebagai saudara, maupun itu saudara tiri.
Setelah melempar tatapan penuh permusuhan keduanya saling melongos dan menyenggol bahu masing-masing. Tidak ada pembicaraan di antara keduanya setelah Abrisam dan Dania menikah. Bahkan, Haidar kerap menghindar jika dia harus berada di ruangan yang sama dengan Dean.
Baru saja Haidar akan melangkah keluar rumah, suara lembut dari belakangnya membuat dia menghentikan langkah, tetapi tidak berbalik. Tanpa berbalik pun dia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Siapa lagi jika bukan istri baru papanya?
"Ayo, sarapan. Mama sudah siapkan nasi goreng yang enak di meja makan," ajak Dania seraya tersenyum manis.
Haidar membalikkan tubuhnya, lalu menatap Dania dengan intens. "Tidak perlu, saya sudah kenyang. Dan dua hal yang harus Tante tahu, jangan pernah menyebut diri Tante sebagai mama saya karena sampai kapan pun saya hanya akan memiliki dua mama nantinya, yang pertama mama kandung saya dan yang kedua mama mertua saya. Dan lagi, perlu Tante ketahui kalau tidak ada nasi goreng terenak selain buatan mama saya. Permisi!" Bertepatan setelah Haidar mengucapkan kalimat itu, suara teriakan terdengar dari arah belakangnya.
"Haidar!" Haidar pun berbalik dan ....
Plak!
"Mas!"
Tamparan keras dia dapatkan di pipi sebelah kanannya, saking kerasnya Haidar sampai berpaling wajah ke sebelah kiri dengan pipi yang terasa kebas. Haidar tersenyum miring, lalu menatap Abrisam yang kini menghujamnya dengan tatapan yang penuh dengan amarah.
"Berani-beraninya kamu berbicara seperti itu sama mama kamu!"
"Dia bukan mama aku. Mama aku cuma Mama Rumaisha!"
"Dia ini istri Papa dan itu berarti dia juga Mama kamu, Haidar!" Abrisam mencoba untuk memberikan pengertian pada Haidar.
Haidar menggeleng. "Bukan, Mama aku cuman satu yaitu Mama Rumaisha. Walaupun dia istri Papa aku tidak akan pernah memanggilnya mama!" tandas Haidar. Setelah itu berlalu dari hadapan Abrisan yang menatapnya dengan berang sembari meneriaki namanya, tetapi Haidar mengabaikan teriakan itu.
Sementara Dania menatap punggung Haidar dengan tatapan sendu. Dia mulai mempertanyakan apakah pernikahannya dengan Abrisam seharusnya tidak terjadi? Karnanya Abrisam dan Haidar bertengkar.
••••
Haidar menghentikan motornya di depan sebuah rumah yang tampak sederhana. Setelah membuka pagar besi yang mulai karatan itu, Haidar kembali menaiki motornya dan memasukkannya ke pekarangan rumah yang memiliki beberapa tanaman bunga yang berjejer rapi di sebelah kanan pintu utama.
Haidar mengetuk pintu berwarna cokelat tua di hadapannya sembari mengucapkan salam. Tak lama setelah itu, pintu terbuka hingga menampakkan seorang gadis berambut sebahu dengan poni tipis.
"Bang Haidar, aku pikir siapa tadi. Ayo masuk!" Gadis itu mengajak Haidar masuk.
"Mama mana, Ra?" tanya Haidar pada gadis itu--Haura.
"Di dapur," jawab Haura, lalu meneliti penampilan Haidar dari bawah hingga ke atas. "Bay the way, tumben Abang kelihatan rapi gini. Pasti mau jalan, kan? Ikut dong!"
Haidar menoyor pelan kepala Haura. "Dilarang kepo dan anak kecil kayak kamu nggak boleh ikut." Setelah mengucapkan itu Haidar segera berjalan menuju dapur.
Saat tiba di dapur manik Haidar menangkap banyak nasi kotak yang sudah tersusun rapi di atas meja. Beberapa lagi masih disiapkan oleh dua orang wanita yang terlihat masih muda. Keduanya belum menyadari keberadaan Haidar di sana.
"Bang."
Sontak Haidar berbalik dan menemukan Rumaisha yang kini tersenyum kepadanya. Haidar membalas senyuman sang mama lalu mengambil tangannya untuk disalim. "Ada pesanan lagi ya, Ma?" tanya Haidar sembari melirik sekilas nasi kotak yang berada di atas meja itu.
"Alhamdulillah. Bu RT pesan makanan buat acara lamaran anaknya," jelas Rumaisha dan mendapat anggukan dari Haidar. "Eh, ini kamu rapi kayak gini mau ke mana?"
Senyum Haidar seketika merekah mendapat pertanyaan seperti itu dari mamanya. Sebelum menjawab pertanyaan mamanya Haidar memperbaiki jaket jeans miliknya. "Mau ke rumah calon menantu Mama," ucap Haidar dengan penuh percaya diri.
"Azura?" Haidar mengangguk mantap. "Jadi, kamu benar-benar ingin menemui orang tuanya?" Lagi, Haidar mengangguk mantap.
"Ya uda, ya, Ma. Aku berangkat sekarang aja. Jangan lupa doain anakmu ini, biar dapat restu dari calon besan Mama. Assalamualaikum." Setelah kembali menyalimi tangan Rumaisha Haidar pun bergegas keluar rumah. Meninggalkan Rumaisha yang menatap punggungnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Ya, semoga kamu selalu bahagia, Bang.
••••
Haidar tersenyum canggung pada pria paruh baya yang kini menyesap secangkir teh yang baru saja dibawakan oleh istrinya--Ruqayyah--Umma Azura. Ya, Haidar sudah tiba di pesantren lima belas menit yang lalu, sebelum menemui orang tua Azura pun. Haidar sudah lebih dulu mengobrol dengan perempuan itu, tetapi hanya tiga menit, selebihnya Azura langsung menyuruhnya masuk untuk menemui orang tuanya yang memang sudah menunggu.
"Ayo, Nak. Tehnya diminum dulu, mumpung masih hangat," ujar Ruqayyah seraya tersenyum kepada Haidar.
Haidar mengangguk canggung seraya tersenyum. Entah pergi ke mana kepercayaan dirinya itu, hingga sekarang dia jadi merasa begitu gugup.
"Jadi, tujuan Nak Haidar ke sini untuk apa, ya?" tanya Abrar dengan ramah.
Jantung Haidar seketika berdegup kencang, kembali dia merasa sangat gugup. Kata-kata yang sudah dia susun semalaman hilang seketika. Dengan susah payah Haidar menelan salivanya, bahkan keringat mulai membasahi pelipisnya.
Haidar berusaha mengendalikan diri. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan pelan. Setelah merasa mulai tenang, Haidar menatap wajah Abrar yang juga menatapnya dengan senyuman.
Baru saja Haidar membuka mulut hendak mengeluarkan kalimat, tetapi terurungkan saat suara salam terdengar dari luar rumah. Tak lama kemudian muncullah seorang pria dewasa yang bertubuh jangkung dengan setelan kemaja yang dapadukan dengan celana bahan kain.
Kini semua mata tertuju kepada pria dewasa itu. Sementara Haidar menatap penasaran ke arah pria yang kini berjalan menghpiri Ruqayyah dan juga Abrar. Haidar masih mengamati pria yang saat ini sedang memeluk Ruqayyah dan Abrar secara bergantian setelah tadi dia menyalami tangan kedua orang tua Azura.
"Oh iya kenalin, Han. Dia ini Haidar seniornya Azura di kampus."
Pria yang bernama Han atau Farhan itu beralih menatap Haidar dan detik berikutnya tersenyum ramah pada lelaki itu. Kemudian, dia mengulurkan tangannya pada Haidar. "Assalamualaikum. Ana Farhan, Kakaknya Azura."
Haidar membalas uluran tangan Farhan seraya tersenyum. "Saya Haidar, Mas," balas Haidar, lalu menarik kembali tangannya.
"Jadi, Nak Haidar. Tujuannya ke sini apa, ya?" Kembali Abrar mengulang pertanyaannya.
Haidar tidak langsung menjawab, dia melirik Ruqayyah yang juga sedang menunggu jawabannya, lalu atensinya beralih pada Farhan yang juga menatapnya dengan penuh kepenasaran. Kemudian atensinya kembali memandang wajah Abrar.
Haidar kembali menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan pelan. Bahkan dia juga sedikit memperbaiki posisi duduknya senyaman mungkin. "Jadi, maksud saya ke sini untuk menemui Ustaz dan Ustaza karena saya ingin mengatakan kalau saya suka dan cinta dengan putri kalian," ucap Haidar dengan satu tarikan napas.
Haidar bisa melihat raut keterkejutan yang ditunjukkan oleh keluarga Azura.
"Jadi, tujuanmu menemui saya karena hanya ingin mengatakan hal itu?" tanya Abrar dan mendapat gelengan oleh Haidar.
"Tidak. Selain karena ingin mengatakan hal itu, saya juga ingin ...." Haidar menjeda ucapannya, dia kembali menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan pelan. Jantungnya semakin menggedor-gedor kuat di dalam sana. "... melamar putri kalian."
Haidar mengembuskan napas lega setelah kalimat itu berhasil keluar dari mulutnya. Dia menghapus keringat yang mulai membasahi pelipisnya, lalu menatap ketiga orang di hadapannya yang terlihat masih terkejut karena ucapannya barusan.
.
.
.
.
.
To be continued.
Assalamualaikum semua. Selamat malaaaam!
Jadi gimana? Menurut kalian Haidar bakalan diterima nggak tuh? Atau malah ditolak? (Mohon bersabar ya, Dar. Semuanya memang butuh perjuangan) wkwkwkwk.
Yap, seperti biasa jangan lupa vote, komen, dan follow ya. Jadilah pembaca yang budiman😉.
Ig : @ayuniswy.story
Sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamualaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 27, Mei, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro