Twenty Six
Even though we also need to say things that have been a burden for us all this time.
©Letter of Destiny©
🕊🕊🕊🕊
"Mau ke mana lagi kamu?"
Pertanyaan itu berhasil membuat langkah Haidar yang akan menuruni anak tangga terurungkan. Haidar berbalik, kemudian menatap papanya tanpa ekspresi apa pun.
"Yang pasti pergi ke tempat yang bakalan buat aku nyaman," ucap Haidar, lalu memperbaiki posisi ransel di bahunya
"Sampai bawa pakaian sebanyak itu?" Abrisam melirik ransel Haidar yang kelihatan menggembung karena pakaian.
"Iya."
"Kamu tidak boleh pergi! Malam ini Olaf dan Damar akan ke sini untuk makan malam bersama."
"Kedatangan mereka sama kehadiran aku nggak ada sangkut pautnya. Tanpa aku juga acara makan malam kalian tetap jadi. Jadi, aku akan tetap pergi," jawab Haidar, lalu berbalik hendak kembali menuruni anak tangga, tetapi lagi-lagi terurungkan saat Abrisam mengatakan sesuatu dengan nada yang naik beberapa oktaf.
"Dia calon keluargamu, Haidar! Olaf adalah calon istrimu, kenapa kamu selalu bersikap dingin sama dia, hah? Olaf itu perempuan yang baik, bahkan dia sangat sabar menghadapi sikap kamu yang dingin sama dia."
Haidar kembali berbalik, menatap Abrisam yang saat ini menatap berang ke arahnya. Napas pria paruh baya itu juga tampak memburu menahan emosi dan kekesalan dengan tingkah putranya yang sangat keras kepala.
"Udah berapa kali aku bilang ke Papa kalau aku nggak mau nikah sama Olaf. Papa ngerti nggak, sih? Aku nggak cinta sama dia. Kenapa Papa selalu maksain kehendak Papa sama aku? Pa ... inget, aku ini anak Papa bukan boneka Papa yang bisa Papa perintah seenaknya tanpa tahu aku suka atau nggak!" ucap Haidar dengan napas yang memburu, bahkan kedua tangannya mengepal dengan kuat. Sebisa mungkin dia menahan emosinya agar tidak membentak papanya.
Untuk pertama kalinya juga Haidar mengungkapkan ketidak sukaannya atas sikap Abrisam yang seenaknya memerintah dan hal itu membuat Abrisam tertegun sembari menatap Haidar dengan tatapan yang tidak terbaca.
"Jadi aku mohon sama Papa, tolong hentikan perjodohan ini. Biarkan aku memilih satu aja untuk diriku sendiri. Udah cukup selama ini aku ikutin perintah Papa yang selalu bertolak belakang dengan keinginan aku."
"Aku pamit." Haidar pun kembali berbalik lalu meninggalkan Abrisam yang masih termangu di tempatnya.
"Kamu mau pergi, kan? Minum ini dulu, biar perasaan kamu agak membaik." Haidar yang sudah sampai di lantai dasar melirik sekilas sebuah cangkir berisi teh yang masih kelihatan menggepul--disodorkan tepat di depannya.
"Nggak usah. Terima kasih." Haidar beringsut sedikit ke samping lalu kembali melanjutkan langkahnya. Namun sayang, ranselnya tidak sengaja menyenggol cangkir yang sedang Dania pegang, hingga mengakibatkan teh itu tumpah mengenai tangan Dania.
"Aduh." Bersamaan dengan kata yang keluar dari mulut Dania, suara pecahan juga terdengar.
Sontak Haidar berbalik, lalu segera menghampiri Dania. Namun, baru saja dia akan memegang tangan Dania, sebuah tangan lain sudah lebih dulu menghempaskan tangannya dengan kasar. Lalu detik selanjutnya tangan lain itu mencengkram kerah jaket yang Haidar gunakan.
"Lo apain nyokap gue, Bangsat!" Dean menatap nyalang Haidar.
"Gue nggak ngapa-ngapain nyokap lo!"
"Bohong!"
Bugh!
"Dean!"
Satu pukulan mentah Haidar terima di pipi sebelah kanannya. Pukulan Dean tidak main-main, karena saat ini darah segar sudah keluar dari sudut bibir Haidar.
"Lo dibaik-baikin bukannya bersyukur malah ngelunjak," geram Dean, " dasar nggak punya hati!"
Haidar yang tadinya sibuk menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya, seketika memandang Dean dengan tajam. Kemudian, detik selanjutnya dia maju dan melayangkan satu pukulan juga di wajah saudara tirinya itu.
"Kenapa kalau gue nggak punya hati? Masalah? Atau lo mau kayajk bokap gue juga yang suka perintah-perintah seenaknya? Iya?" Kekesalan Haidar pada Abrisam tadi belum hilang, jadilah dia melampiaskannya pada Dean. "Denger, ya walaupun nyokap lo udah nikah sama bokap gue, gue nggak akan sudi ngakuin lo sebagai saudara tiri gue!" tandas Haidar seraya menunjuk tepat di depan wajah Dean.
Dean mengangkat sudut bibir kanannya. "Lo fikir gue juga mau akuin lo sebagai saudara? Nggak akan pernah! Di mata gue lo tetap musuh abadi!"
"Dean, Haidar udah! Kalian nggak boleh gini," tegur Dania. Dari raut wajahnya terlihat kecemasan yang begitu kentara.
Haidar yang akan membalas ucapan Dean, terurungkan saat mendengar teriakan dari tangga. Haidar menoleh dan mendapati Abrisam yang menatapnya dengan sangat tajam. Kemudian, Haidar kembali menatap Dean dengan nyalang.
"Inget, urusan kita belum selesai!" Setelah itu Haidar melangkah keluar, mengabaikan panggilan Dania dan teriakan Abrisam yang memanggilnya.
••••
"Ra, Ra! Liat deh." Adira menyenggol bahu kanan Azura, sembari melirik ke sebelah kanan. Namun, bukannya mengkuti arah pandangan Adira, Azura justru menatap sepupunya itu dengan kernyitan dahi.
"Liat apa, sih?" tanya Azura.
Adira berdecak, lalu menuntun kepala Azura untuk melihat ke sebelah kanan--di mana Haidar sedang serius belajar mengaji yang dibimbing langsung oleh Farhan. Azura masih memandang ke sana tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan, dia mengabaikan ucapan Adira yang sedang memuji Haidar.
"Kak Haidar kalau lagi serius kayak gitu tambah ganteng, ya? Kelihatan berwibawa," ujar Adira sembari melirik Azura yang ternyata masih memandang ke arah sana. Senyum jail seketika muncul di wajah Adira.
Tanpa mengatakan apa pun, Adira segera menutup mata Azura dengan tangan kanannya, lalu mengucapkan, "Astagfirullah, Ukhti. Matanya dijaga, dong. Inget, dia belum mahramnya kamu. Jadi, nggak boleh ngeliatin Kak Haidar lama-lama." Adira terkikik pelan, saat Azura melepaskan tangannya, lalu menatapnya dengan tajam. Namun ada satu hal yang membuat Adira makin tidak bisa menahan tawanya.
"Ciiieee, Azura salting. Ciiieee ...." Adira tertawa saat pipi Azura tambah memerah.
"Adira, ih!" Azura memukul pelan pundak Adira. Bukannya berhenti perempuan itu justru gencar meledeknya.
"Ciiieee ... fix! Kamu suka, kan sama Kak Haidar? Hayooo ngaku!" tanya Azura dengan senyum jailnya.
"Ng ... nggak!" jawab Azura gugup sembari menggeleng.
"Ciiieee ... boong! Tuh, kamu gugup." Adira kembali tertawa saat Azura tidak tahu mau menjawab apa ucapannya barusan. "Kalau kamu suka juga nggak apa-apa kali. Kan, Kak Haidar juga suka sama kamu, jadi aman. Nggak akan ada yang makan hati. Lagian, bentar lagi juga Kak Haidar ngelamar balik kamu kalau dia udah mantap jadi imam yang baik. Iya nggak?" Adira kembali menyenggol lengan Azura masih dengan senyum jailnya.
"Adira, ih!"
Adira kembali tertawa saat melihat Azura yang sudah menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tawa Adira kali ini berhasil membuat Farhan dan Haidar yang berada tidak jauh dari mereka menoleh. Namun, Azura dan Adira masih belum sadar, tetapi saat mendengar suara Farhan barulah keduanya sadar.
"Kalian ngapain di situ?" tanya Farhan.
"Ciiieee, Kak Haidar ngeliatin kamu tuh, Ra." Bukannya menjawab pertanyaan Farhan Adira justru kembali mengejek Azura.
"Dira, apaan, sih!" Azura mencubit tangan Adira karena kesal dengan sepupunya itu. Bukannya menjawab pertanyaan Farhan, dia justru masih meledeknya.
"Kenapa malah bisik-bisik? Ngapain di situ?"
Adira dan Azura saling melirik. Pertanyaan dengan penuh ketegasan sudah menandakan jika Farhan akan memarahi mereka. Dengan segudang alasan yang Adira punya, dia pun segera mengutarakannya, tetapi sebelum itu dia membisikkan Azura agar tidak perlu berbicara. Biar dia saja yang menjawabnya.
Sebelum menjawab pertanyaan Farhan, Adira lebih dulu menunjukkan cengirannya. "Anu, Mas. Tadinya, kan kita mau ke asrama putri, tapi tadi tiba-tiba aja brosnya Azura jatuh, makanya kita lagi nyari-nyari. Tapi malah nggak ada. Iya, kan, Ra?" Adira kembali menyenggol lengan Azura agar sepupunya itu mengiyakan pertanyaannya.
"I ... iya, Mas," jawab Azura sembari mengangguk pelan.
"Kalau gitu kita pergi dulu. Assalamualaikum." Adira segera menarik tangan Azura untuk pergi, saat melihat Farhan memcingkan mata ke arahnya. Sepertinya sepupunya yang satu itu mulai tidak percaya kepadanya.
"Hampir aja!" ujar Adira setelah jauh dari tempatnya tadi. Dia bahkan mengusap dadanya tiga kali.
"Lain kali kalau mau cari alasan yang berdasarkan fakta, Dir," nasihat Azura.
"Berdasarkan fakta? Jujur, dong!" Adira menepuk pelan dahinya. "Aduuuh, Azura. Kalau kita jujur tadi, bisa-bisa kita dapet siraman rohani semaleman dari Mas Farhan. Nggak lagi-lagi aku, kapok kalau udah diceramahin sama dia mah. Lagian aku nggak sepenuhnya bohong, kok. Kan, awalnya kita memang mau ke asrama putri, nah sementara brosmu itu baru alasannya," ujar Adira lalu menyengir.
Azura hanya mengerling. "Aku pake bros aja nggak. Gimana bisa jatuh? Berarti itu namanya kamu bohong."
.
.
.
.
.
To be continued.
Assalamualaikum, selamat malaaam semuaaa!
Seperti biasa jangan lupa vote, komen, dan follow ya. Yuk biasakan meninggalkan jejak setelah membaca hehehe.
Udah itu aja, sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Wassalamu'alaikum.
Jazakumullah Khairan.
Ay.
Pinrang, 03, Juni, 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro